Saturday, April 24, 2010

Pendukung Simon Hayon Bergembira


        Hari ini para pendukung paket calon bupati (cabup) dan calon wakil bupati (cawabup) Drs. Simon Hayon – Fransiskus Diaz Alffi (paket mondial) bersorak ria menyusul terkabulnya keberatan mereka oleh KPU Pusat yang mengoreksi keputusan KPU daerah (KPUD) sebelumnya terkait penetapan cabup dan cawabup yang bakal mengikuti pemilihan umum kepala daerah (pemilu kada) mendatang. Dengan demikian, jumlah paket cabup dan cawabup Flotim yang akan tampil pada pemilu kepala daerah (kada) mendatang menjadi 6 paket, berbeda dengan keputusan KPUD sebelumnya yang menetapkan hanya 5 paket.

         Suhu politik Flores Timur sebenarnya memanas pasca KPUD setempat mengeluarkan surat keputusan No. 043/Kpts/KPU-FLT/018.433980/2010 pada tanggal 15 April 2010 (Pos Kupang, 17/4) tentang penetapan 5 paket cabup. Berdasarkan surat tersebut, ditetapkanlah lima paket cabup dan cawabup, yaitu Yosep Yulis Diaz - Drs. Markus Amalebe Tokan; Felix Fernandez, SH, CN - M. Ismael Arkiang, SH, MH; Hironimus Semau Johny Odjan - H. Ludin Lega; Yosep Lagadoni Herin, S. Sos - Valentinus Tokan, S. AP, dan Dr. Yeremias Bunganaen, M.Sc, Ph.D – Drs. Kristoforus Keban. Sedangkan paket Mondial yang difavoritkan akan memenangkan pemilu kada periode mendatang tidak lolos seleksi KPUD karena terganjal urusan administrasi. Lantas, paket Mondial berkeberatan atas keputusan tersebut karena dinilai persyaratan administratif yang diminta KPUD tidak diatur di dalam peraturan terkait. 

         Hal tersebut dibantah oleh ketua KPUD Flores Timur, Bernardus Boro Tupen, S.Pd, yang dalam sebuah kesempatan mengatakan, “Dokumen yang harus dilengkapi adalah keputusan parpol/gabungan parpol yang mengatur mekanisme penjaringan bakal calon kepala daerah dan wakil kepala daerah yang dilengkapi berita acara proses penjaringan sebagaimana amanat peraturan KPU No. 68 Tahun 2009 pasal 13 ayat 2 huruf l.” Selanjutnya ia menambahkan, “Kami melihat secara totalitas. Kalau hanya surat pernyataan saja tidak cukup.”
  Pernyataan KPUD Flores Timur selanjutnya ditegaskan oleh Juru Bicara KPU Propinsi NTT, Drs. Djihon de Haan, “KPUD Flotim sudah mengingatkan kepada Paket Gewayan Tanah Lamaholot untuk melengkapi berita acara koalisi dan kesepakatan partai pendukung, tapi tidak direspon.” 

         Merasa berada pada posisi yang benar, KPUD Flotim lantas mengadakan penarikan nomor undian calon pada tanggal 21 April 2010, sesuai dengan jadwal yang telah diagendakan. Menurut rencana, penarikan nomor urut akan diadakan pada pkl. 10.00 Witeng. Oleh karena adanya aksi unjuk rasa massa pro Modial yang sudah menguasai kantor KPUD Flotim selama tiga hari, waktu penarikan undian nomor urut pun diulur sampai pukul 14.20 Witeng, setelah massa pro-Mondial membubarkan diri. 

         Kubu Mondial menganggap KPUD Flotim “keras kepala”. Sebelum KPUD membuka acara penarikan nomor undian secara resmi, pada pukul 13.00 witeng KPUD Flotim sebenarnya telah menerima salinan surat KPU Pusat No 98/UND/IV/2010 yang menginstruksikan KPUD agar menunda acara penarikan undian nomor urut calon. Akan tetapi KPUD bersikeras tetap melaksanakan acara tersebut pada pukul 14.20 Witeng. Diperkirakan, keputusan KPUD untuk melakukan penarikan undian nomor urut merupakan sebuah keputusan yang diambil di bawah pengaruh segelintir orang tertentu yang bermaksud menjegal gerak laju paket Mondial. Alhasil, pimpinan KPUD Flotim dipanggil ke Jakarta oleh KPU Pusat pada tanggal 22 April 2010 untuk menjelaskan keputusannya menggugurkan pasangan Mondial. 

         Negosiasi kubu Mondial dengan KPU Pusat berbuah manis bagi kubu Mondial. Pada tanggal 23 April 2010, KPU Pusat akhirnya meloloskan paket Mondial dan menambahkannya sebagai paket ke-6 peserta pemilu kada Flotim setelah diadakan rapat pleno antara KPU pusat, KPU NTT, dan KPUD Flotim untuk menafsirkan ketentuan tertentu dari UU No 68 tahun 2009. Informasi lolosnya paket Mondial segera disambut antusias oleh para pendukungnya. Penulis menerima sebuah kiriman pesan singkat (SMS) Simon Hayon yang dikirimkan oleh seorang pendukungnya demikian, “Go mayan mio, inak-amak, kakak-arik, melan-senaren wahankae, pai hama-hama tobo epu rebonet si bao puken. Tobo geka basa. Tun tuen ko’one hama, wulan balik ko’one tutu. KPU sudah tetapkan, LOLOS! Yang terakhir (6) akan menjadi yang terdahulu (9) seperti yang ada tertulis! No 6 adalah nomor yang tidak diundi, sedangkan mereka membuang undi di antara mereka.” 

         Tulisan ini sama sekali tidak berpretensi membangkitkan rasa takut bagi pihak tertentu. Yang penulis inginkan adalah supaya Flores Timur tercinta mendapatkan pemimpin yang arif dan bijaksana, siapa pun orangnya. Kekisruhan politik telah memecah belah masyarakat. Seorang politikus Golkar Flotim pernah men-sharing-kan pengalaman pahitnya tentang hidup di tengah sebuah keluarga besar dengan haluan politik yang berbeda. Perbedaan haluan politik tersebut sudah sedemikian parahnya, sehingga ada maksud dari anggota keluarga tertentu yang ingin menghabisi nyawanya. Kiranya bahan ini dapat menjadi bahan permenungan bagi kita semua yang membacanya.

Friday, April 2, 2010

Larantuka: Mutiara Iman dari Timur


Pengantar:

Jauh di ufuk timur Indonesia, tepatnya di Pulau Flores bagian timur, Provinsi Nusa Tenggara Timur, terdapat sebuah kota kecil bernama Larantuka yang memiliki nama yang besar di dalam sejarah kekristenan (Katolik) di tanah air. Sudah sekitar lima abad yang lalu, kota ini telah diinjili oleh para misionaris dari Portugis. Kekayaan iman yang pernah diterima dari para misionaris, khususnya ritual seputar Pekan Suci, tetap dipertahankan sampai saat ini, sekalipun mengalami sedikit degradasi makna manakala dibumbui oleh cita rasa komersialisme.

Catatan sejarah yang penting tentang Flores Timur berasal dari seorang pelayar Portugis bernama S.M. Cabot pada tahun 1544. Cabot, dalam pelayarannya ke ujung timur Pulau Flores, menjumpai sebuah bunga karang raksasa di Tanjung Bunga. Tempat di mana ia menemukan bunga karang tersebut dinamainya sebagai “Cabot de Flores”. 

Sebelum misi Katolik menyentuh wilayah Flores Timur, sebagian besar masyarakat hidup dalam kepercayaan lokal yang menghormati roh-roh nenek moyang dan mempercayai takhyul. Sosok Yang Ilahi disapanya sebagai “Lera Wulan Tanah Ekan” atau sang Ada yang menguasai matahari, bulan, dan bumi. Selain itu, kekuasaan mutlak raja tak dapat ditandingi pihak manapun. Rakyat dianggap tidak memiliki hak; mereka hanya berharap dari kemurahan hati sang raja. Setelah masuknya kekristenan, dapat dikatakan bahwa situasi ini mengalami perubahan yang sangat besar, terutama terhadap kehidupan iman umat.

Misi Katolik di Flores Timur:

a. Pusat Misi di Solor
Iman Katolik di Larantuka dan di daerah sekitarnya dibawa oleh para misionaris dari ordo OP (Ordo Praedicatorum), OFM (Ordo Fratrum Minorum), SJ (Societas Jesu), dan SVD (Societas Verbi Divini). Dalam pelayaran portugis untuk mencari rempah-rempah pada peralihan abad ke-5 dan abad ke-6 di Kepulauan Nusa Tenggara, ikut serta pula para misionaris yang mengantongi izin resmi dari Paus untuk mewartakan iman Katolik di tempat persinggahan kapal dagang Portugis.

Pada tahun 1556, P. Antonio Taveira OP, membaptis 5000 orang di Pulau Timor dan banyak orang lain di daerah Flores Timur. Sayangnya, pembaptisan ini tidak segera diikuti dengan upaya-upaya pembinaan iman lanjutan sehingga umat yang telah dibaptis kembali lagi ke keadaan sebelum dibaptis yang diwarnai dengan praktek-praktek kekafiran. Upaya misi yang lebih serius dilakukan pada tahun 1561, yang ditandai dengan kedatangan tiga misionaris dominikan asal Portugis di Lohayong, Pulau Solor, yaitu P. Antonio da Cruz OP, Simâo das Chagas dan Bruder Alexio. Para misionaris ini tinggal di tengah komunitas pedagang portugis yang terpisah dari komunitas masyarakat lokal. Hanya pada saat-saat tertentu saja, para misionaris tinggal bersama dengan umat lokal dan melayani kebutuhan iman mereka. Pada periode tahun 1560-an, setelah mendapatkan serangan dari armada Islam, para misionaris memelopori pendirian benteng pertahanan untuk melindungi kepentingan dagang Portugis dan masyarakat setempat.

Pada tahun 1613, sebuah armada dagang Belanda (VOC- Vereenigde Oost-Indische Compagnie) yang dipimpin oleh Apolonius Scotte menuntut pihak Portugis untuk menyerahkan benteng Lohayong, Solor. Setelah kehabisan amunisi dalam sebuah pertempuran sengit, akhirnya pihak Portugis menyerahkan Benteng Lohayong ke pihak Belanda pada tanggal 20 April 1613. Sebagian pedagang Portugis berangkat ke Malaka, dan sebagian lainnya berangkat ke Larantuka yang pada saat itu masih dikuasai Portugis. Pasca penyerahan benteng di Lohayong, Belanda menguasai pulau Adonara dan sebagian besar Pulau Solor, kecuali Lewolein dan Pamakayo.

b. Pusat Misi di Larantuka
Bersamaan dengan berpindahnya sebagian pedagang Portugis ke Larantuka, pusat misi di Solor kemudian dipindahkan ke Larantuka, Flores Timur. Pada tahun 1630, P. Michael Rangel OP, memperbaiki benteng di Solor yang telah ditinggalkan Belanda. Sementara itu Larantuka telah berkembang menjadi pusat misi yang baru. Pada tanggal 13 Desember 1633, P. Michael Rangel OP menuliskan sebuah laporan ke Portugal yang antara lain menyebutkan, “Masa gemilang agama Kristen sudah kembali lagi. Kurban misa dan perarakan diselenggarakan lagi, stasi-stasi misi didirikan, pertobatan orang kafir dan penghiburan kaum beriman telah berjalan kembali seperti dahulu.”

Misi Portugis di Larantuka rupanya terus didesak oleh pihak Belanda. Pada bulan Desember 1851, pihak Portugis dan Belanda mengadakan perjanjian pembagian wilayah Nusa Tenggara Timur. Beberapa kali perjanjian ini mengalami perubahan dan penegasan. Akhirnya, pada tanggal 20 April 1859, melalui sebuah perjanjian bersama, ditentukanlah bahwa Flores lepas dari pengaruh Portugis. Setelah perjanjian tersebut, perhatian para misionaris ke Pulau Flores menurun. Atas upaya kaum awam yang secara militan mempertahankan iman yang telah ditanamkan oleh para misionaris Portugis, iman Katolik dapat diwariskan. Kelompok Confreria Reinha Rosari Larantuka (kelompok religius awam) yang pernah didirikan oleh P. Lukas da Cruz pada tahun 1564, menjadi yang terdepan dalam mempertahankan tradisi-tradisi ke-Katolik-an yang telah diwariskan oleh para misionaris Portugis.

Setelah lepas dari pelayanan iman oleh misionaris Portugis, umat kemudian dilayani oleh para misionaris Belanda. Misi awal para misionaris Belanda ditandai oleh dua tantangan, yaitu a) kecurigaan umat terhadap bahaya protestanisasi, dan b) kualitas iman umat yang sangat merosot. Sebuah surat dari Fra Gregorio, seorang misionaris di Dili, kepada Raja Larantuka segera mengatasi kecurigaan umat terhadap bahaya protestanisasi pada saat itu. I.P.N. Sanders, misionaris pertama Belanda di Larantuka, menyaksikan kondisi iman umat yang sangat terbengkalai. Misionaris Belanda lain, yaitu Heynen, menuliskan, “Betapa banyak kebiasaan buruk telah masuk ke dalam hidup mereka. Takhyul tumbuh dengan subur bagaikan tanaman liar di ladang yang tak terurus. Animisme dilakukan dengan leluasa. Mabuk, dengan semua akibat yang tidak mengenal kesusilaan, balas dendam dan semua kekejaman tak berperikemanusiaan merajalela. Memang kita harus berjuang untuk melawan kepicikan dan kemalasan keagamaan di daerah ini”. Kedatangan Pater G. Metz SJ membuka daftar misionaris SJ di daerah Flores Timur. Beliau sangat berperan dalam memajukan bidang kesehatan dan pertanian. Pada tahun 1875, simbol kekafiran terakhir dihapuskan dengan dibubarkannya rumah adat kafir yang terakhir di wilayah tersebut. Lewat dukungan Raja Don Lorenzo DVG, Larantuka semakin mantap berkembang sebagai pusat misi Katolik.

Pada tahun 1913, para misionaris Serikat Sabda Allah (SVD) yang berpusat di Jerman, memasuki Gereja di Nusa Tenggara. Mereka mengambil kendali misi di Flores dari tangan misionaris SJ pada tahun 1914. Tempat pendidikan calon imam (seminari menengah) didirikan di Hokeng pada tahun 1950. Pada tahun 1958, sebuah tarekat suster lokal bernama Puteri Reinha Rosari (PRR) didirikan oleh Mgr. Gabriel Manek SVD. Para religius dan kaum awam yang mendapatkan warisan iman yang sama, terus bekerja sama memajukan iman yang pernah diterimanya.

Tradisi Pekan Suci (Semana Santa) di Larantuka:

Pekan suci adalah pekan terakhir dalam masa puasa dan pantang umat Katolik yang telah dibuka pada hari Rabu Abu (Ash Wednesday). Pekan ini disebut suci, karena umat secara khusus mengenangkan saat sengsara, wafat, dan kebangkitan Yesus Kristus. Pekan suci dibuka dengan Minggu Palma, saat untuk mengenangkan Yesus yang memasuki Kota Yerusalem untuk menderita dan wafat di salib. Selanjutnya diikuti dengan perayaan Kamis Putih, Jumat Agung, Sabtu Santo, dan diakhiri dengan Minggu Paskah.

Pada hari Senin dan Selasa dalam Pekan Suci, umat  Larantuka menjalankan kegiatan seperti biasa, tanpa ada perayaan religius tertentu. Hari Rabu, adalah hari untuk mengenangkan Tuhan yang terbelenggu (Tuan Trewa). Umat Katolik Larantuka berkumpul di Kapel Tuan Trewa untuk mendaraskan ratapan Nabi Yeremia (lamentasi). Saat-saat puncak Pekan Suci adalah Kamis Putih, Jumat Agung, Sabtu Santo, dan Minggu Paskah. Hari Kamis Putih, Jumat Agung dan Sabtu Santo sering disebut sebagai Tri Hari Suci.

a. Kamis Putih
Kamis Putih adalah hari peringatan perjamuan terakhir Yesus dengan para murid-Nya. Umumnya pada hari Kamis Putih pagi, diadakan misa Krisma yang dipimpin oleh uskup setempat untuk memberkati minyak yang dipakai untuk sakramen pembaptisan, krisma, pengurapan orang sakit, dan imamat. Pada sore harinya, imam mengadakan ekaristi, yang secara khusus dipersembahkan untuk mengenangkan perjamuan terakhir Yesus. Bagian integral dari perayaan ini adalah tindakan simbolis imam yang membasuh kaki 12 orang yang dipilih untuk mewakili 12 rasul Yesus. Biasanya, perayaan ekaristi ditutup dengan Adorasi/Penyembahan Sakramen Mahakudus (tubuh Kristus yang diletakkan di dalam monstrans) dan tuguran (doa bergilir di hadapan Sakramen Mahakudus).

Pada Kamis Putih pagi, umat Larantuka membuat pagar bambu (pasang turo) sebagai tempat lilin untuk prosesi yang diadakan pada hari Jumat Agung. Turo dipasang sepanjang jalur prosesi. Selain memasang pagar bambu, umat pun membuat Armida, yaitu tempat persinggahan Tuan Ma (arca Bunda Maria) dan Tuan Ana (peti yang berisi arca Yesus) yang diarak keliling kota dalam prosesi Jumat Agung. Selain itu, para petugas dari kelompok Confreria membersihkan arca Mater Dolorosa. Pada hari Kamis sore, kapel Tuan Ma dan Tuan Ana dibuka oleh keturunan Raja Larantuka.
Setelah misa Kamis Putih, dipersiapkanlah empat orang yang secara khusus melakukan promesa  (intensi) Lakademu. Para Lakademu melakukan Jalan Kure, untuk mengecek jalur prosesi dan kesiapan armida. Artefak-artefak religius peninggalan Portugis, yang akan ditempatkan di armida prosesi, dibersihkan pada hari Kamis Putih.
Sebagian besar umat yang tidak secara langsung bersentuhan dengan persiapan prosesi Jumat Agung mengisi waktunya dengan berziarah ke makam sanak keluarga yang telah meninggal dunia.

b. Jumat Agung
Jumat Agung adalah hari khusus untuk mengenangkan sengsara dan wafat Yesus Kristus. Umumnya umat Katolik berpuasa dan berpantang makan daging. Liturgi Gereja diisi dengan ibadat penyembahan Salib Yesus.
Bagi umat Larantuka, Jumat Agung adalah hari yang penting dan istimewa, karena pada hari ini umat mengadakan Prosesi Jumat Agung untuk mengenangkan Bunda Maria yang meratapi Puteranya yang menderita dan wafat di kayu salib. Prosesi ini sangat populer di kalangan umat, tidak hanya yang ada di Larantuka, tetapi juga yang ada di luarnya. Pada hari Jumat Agung, Larantuka bagaikan kota mati yang tak berpenghuni. Masyarakat menjalankan aktivitasnya tanpa menimbulkan keramaian yang amat mencolok.

Pada pagi hari, sekitar jam 10.00 WITENG, diadakan prosesi laut untuk mengarak patung Tuan Meninu (bayi Yesus). Perarakan ini berakhir di depan istana raja, dan selanjutnya di arak menuju armida Tuan Meninu. Perarakan diiringi dengan doa dan nyanyian dalam bahasa Portugis dan Indonesia.
Pada pukul 15.00 WITENG, bertepatan dengan jam wafatnya Yesus Kristus, arca Tuan Ma dan Tuan Ana diarak menuju ke Gereja Katedral Larantuka. Adapun urutan perarakan, antara lain: pemukul genda do (genderang), anggota Confreria, pembawa salib dan lilin, arca Tuan Ma, arca Tuan Ana, dan para petugas yang membawa simbol-simbol penghinaan terhadap Yesus, antara lain, palu dan paku besar, 30 keping uang perak, mahkota duri, tongkat, bunga karang, lembing. Perarakan itu diiringi dengan doa dan nyanyian.

Sebelum prosesi Jumat Agung diadakan, umat mengunjungi pemakaman terdekat untuk mendoakan arwah umat yang telah meninggal, sambil berharap agar mereka bangkit bersama dengan Yesus yang bangkit. Sementara umat berdoa, para Lakademu berjalan mengelilingi pekuburan dan kembali lagi ke Katedral untuk mempersiapkan diri mengikuti prosesi.

Prosesi adalah saat yang paling ditunggu-tunggu oleh umat. Panjang prosesi mencapai 5 kilometer. Setelah doa pembukaan oleh uskup, seorang wanita tampil dan menyanyikan lagu ratapan “O Vos Omnes” (bdk. Rat. 1:12). Setelah prosesi berjalan, doa dan nyanyian dipandu oleh kelompok Confreria. Urutan perarakan prosesi, antara lain, barisan para pemukul genderang perkabungan, panji konfreria, anak–anak yang membawa simbol–simbol penghinaan Yesus, biarawan/wati, Lakademu pengusung Tuan Ma, para promesa, Tuan Ana, umat dan para peziarah. Semua orang yang mengikuti prosesi harus memegang lilin yang bernyala sepanjang jalan prosesi. Pada malam prosesi ini, Larantukan bagaikan lautan cahaya lilin.

Perjalanan prosesi menyinggahi delapan armida:
1. Armida Misericordiae. Di armida ini, umat disuguhkan bacaan Injil, doa-doa, dan nyanyian yang menghantar dan mengingatkan umat akan kedatangan Yesus Kristus.
2. Armida Tuan Meninu. Di sini, umat diajak untuk mensyukuri kasih Allah yang telah memenuhi janji-Nya untuk mengutus Putra-Nya ke dunia.
3. Armida Balela. Di armida ini, umat diajak untuk meneladani Yesus yang setia melaksanakan tugas perutusan-Nya
4. Armida Tuan Trewa (Tuan Terbelenggu). Umat diajak untuk merenungkan sikap dan teladan Yesus yang rela berkorban untuk menebus manusia dari perhambaan dosa.
5. Armida Pante Kebis. Umat diajak untuk merenungkan kesetiaan dan ketabahan Bunda Maria dalam mengikuti Yesus dari rumah Pilatus sampai puncak Kalvari.
6. Armida Pohon Sirih. Umat diajak untuk merenungkan cinta dan ketaatan Yesus kepada kehendak Bapa dengan mengorbankan diri-Nya di kayu salib.
7. Armida Kuce. Di armida ini, umat diajak untuk merenungkan penderitaan Yesus dan wafat-Nya di kayu salib.
8. Armida Tuan Ana. Di armida ini umat diajak untuk merenungkan Yesus yang diturunkan dari salib dan dimakamkan.
Arak-arakan prosesi berakhir di Gereja Katedral. Di depan gereja telah berdiri dua petugas untuk menerima sisa lilin dari umat (punto dama). Sisa lilin biasanya diolah kembali oleh kelompok Confreria untuk keperluan ibadat sepanjang tahun.

c. Sabtu Santo/Sabtu Halleluya
Sabtu Santo merupakan perayaan malam Paskah. Perayaan liturgi malam Paskah dibagi menjadi empat bagian utama, yaitu a. Upacaya Cahaya yang melambangkan Kristus yang menghalau segala kegelapan, b. Liturgi Sabda untuk merenungkan karya penyelamatan Tuhan (7 bacaan dari Perjanjian Lama dan 2 bacaan dari Perjanjian Baru), c. Liturgi Baptis untuk memperbaharui janji baptis umat, d. Perayaan Ekaristi.
Pada hari ini, umat Katolik Larantuka menghantar Tuan Ma dan Tuan Ana kembali ke kapelnya masing-masing. Tuan Ana dan semua simbol penghinaan Yesus dihantar ke kapel Tuan Ana di Kelurahan Lohayong. Tuan Ma diarak menuju ke kapelnya di Pante Kebis. Pada hari ini pula, kota Larantuka disibukkan dengan arus kendaraan para peziarah yang kembali lagi ke tempatnya masing-masing. 

d. Minggu Paskah
Perayaan ekaristi minggu Paskah diwarnai dengan sukacita karena “Tuhan telah bangkit”. Pada hari ini, para anggota Confreria mengevaluasi kegiatan selama Pekan Suci dan memeriksa kembali semua perlengkapan yang dipakai selama prosesi.

Catatan Akhir:
Adalah sebuah kebanggaan bagi masyarakat Flores Timur, khususnya masyarakat Larantuka bahwa mereka dapat mempertahankan warisan iman yang telah mereka terima dari para misionaris asing pada sekitar lima abad lampau. Di tengah perkembangan zaman yang semakin mengancam nilai-nilai keagamaan, tradisi iman tetap berdiri teguh.
Salah satu tradisi keagamaan di Larantuka yang paling populer adalah prosesi Jumat Agung. Prosesi iman yang berintikan Maria yang meratapi nasib anaknya yang menderita dan wafat di salib ini, telah menyedot perhatian ribuan orang dari dalam dan luar negeri. Salah satu daya tarik prosesi ini adalah lamanya ia dipertahankan, dan otentisitas ritualnya yang tetap terjaga. Menurut penulis, kedua faktor inilah yang menyebabkan prosesi Larantuka menjadi pilihan umat Katolik untuk melewatkan masa-masa puasa dan tobatnya. Larantuka bagaikan mutiara berharga yang sangat dicari oleh orang-orang yang haus akan kasih, kebaikan, dan mujizat ilahi.
Keberlangsungan suatu tradisi sangat tergantung dari generasi yang mewarisinya. Adalah sebuah tugas yang berat bagi orang muda Katolik di Larantuka untuk mewarisi warisan iman yang sangat berharga ini. Untuk itu, penulis berharap agar orang muda Katolik Larantuka tetap berpegang teguh pada iman dan merasa bangga sebagai orang muda Katolik Larantuka. Viva Larantuka......

Sumber Acuan:
Tukan, Bernard. 2006. Bara Kagum Menjadi api. Larantuka: Komisi Kerasulan Awam Keuskupan Larantuka.
___________. 2007. Menjadi Semakin Serani. Larantuka: Komisi Kerasulan Awam Keuskupan Larantuka.
Cornelissen, Frans. 1974. Sejarah Gereja Katolik Indonesia (Jilid I). Ende: Dokumentasi–Penerangan Kantor Waligereja Indonesia.
Fernandes, Felix dan Johan Suban Tukan. 1997. Ziarah Iman Bersama Ibu Maria Berduka Cita - Semana Santa di Larantuka. Jakarta: PT. Benza Noia dan Yayasan Putra – Putri Maria.

Steenbrink, Karel. 2006. Orang – Orang Katolik di Indonesia 1808 – 1942 (Jilid I). (Alihbahasa: Yosef Maria Florisan). Maumere: Ledalero.

Thursday, April 1, 2010

“MENELAAH 150 TAHUN PERKEMBANGAN DINAMIKA SOSIAL-POLITIK DI INDONESIA DALAM KONTEKS SEJARAH HUKUM (PERIODE 1840-1990)”


Bagian 1. Pengantar Singkat

 Tulisan pendek ini merupakan kilas balik perkembangan dinamika sosial politik di Indonesia yang dikemas dalam sebuah perjalanan sejarah hukum selama kurun waktu satu setengah abad. Pembabakan sejarah ini dimulai dari tahun 1840 yang ditandai dengan berkembangnya faham liberalisme di ranah politik negeri Belanda, berikut desakan untuk memberlakukan hukum Eropa (Belanda) di tanah jajahan (Hindia-Belanda), sampai dengan tahun 1990 yang ditandai dengan pengaplikasian hukum kodifikasi Belanda yang diberlakukan melalui asas konkordansi bagi pembangunan nasional pada masa Orde Baru.

 Untuk lebih memudahkan penjelasan pada bagian selanjutnya, penulis mengikuti pembabakan sejarah perkembangan dinamika sosial politik di Indonesia dalam konteks sejarah hukum yang dilakukan oleh Prof. Soetandyo Wignjosoebroto [1]. Pembabakan sejarah tersebut antara lain: a) periode tahun 1940-1890, b) periode tahun 1890-1940, dan c) periode tahun 1940-1990. Berikut adalah penjelasan fakta sejarah berdasarkan periodisasi yang telah dilakukan di atas.

Bagian 2. Menyimak Historisitas Perkembangan Dinamika Sosial Politik di Indonesia dalam Konteks Sejarah Hukum

1. Periode Tahun 1840-1890

 Tahun 1840-1860 adalah kurun waktu yang penting, yang menandai berubahnya kebijakan pemerintah kolonial terhadap daerah jajahan di Hindia-Belanda. Eksploitasi daerah jajahan yang tidak dilandasi rasa kemanusiaan—mula-mula dilakukan oleh serikat dagang yang bernama Vereenigde Oost-Indische Compagnie (VOC), kemudian oleh pemerintah kolonial melalui proyek Cultuurstelsel—melahirkan kesadaran baru di ranah politik di negeri Belanda. Kesadaran baru tersebut mewujud di dalam diri kaum liberal yang mengupayakan sebuah penataan hukum kolonial secara sadar yang dilandasi asas kebebasan (liberté), kesamaan (egalité), dan persaudaraan (fraternité) sebagaimana yang diperjuangkan di dalam Revolusi Perancis (1889).

 Dalam sejarahnya, sistem hukum Prancis (Codes Napoleon) [2] pernah berlaku di negeri Belanda. Karena dipandang tidak mencerminkan citarasa kebangsaan Belanda, sistem hukum ini kemudian diganti dengan sistem hukum baru. Pada tanggal 15 Juli 1830, diundangkanlah Kitab Undang-undang Hukum Perdata dengan sebah Koninklijk Besluit. Pada waktu yang bersamaan, diundangkan pula Kitab Undang-undang Hukum Dagang, Kitab Undang-undang Hukum Acara Perdata, dan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana. Pada saat itu Kitab Undang-undang Hukum Pidana belum dapat dibentuk, sehingga Code Penal warisan Napoleon masih di berlakukan di Belanda. Kitab-kitab ini dipersiapkan sejak lama oleh Panitia Kemper, dan baru dinyatakan berlaku pada tahun 1838 ketika penduduk bagian selatan memerdekakan diri dan menjadi negara baru yang bernama Belgia. Kendati sudah ada hukum baru yang berlaku di negeri Belanda, hukum yang berlaku bagi orang Eropa di Hindia Belanda masih berupa ordonansi-ordinansi, intruksi-instruksi eksekutif, dan maklumat-maklumat yang diundangkan secara lepas.

 Upaya kodifikasi hukum di Hindia-Belanda bagi penduduk Eropa tetap diupayakan. Dalam rangka ini, raja Belanda mengutus beberapa ahli hukum untuk menjajaki kemungkinan pemberlakuan sistem hukum Eropa di Hindia-Belanda, misalnya G.C. Hageman, Scholten van Oud-Harleem, dan H.L. Wichers. Pada tanggal 30 April 1847, diundangkanlah KUHPer dan KUHD di dalam Stb. 1847 No. 23. Para puak Liberal mendorong agar Kitab Undang-undang ini diberlakukan juga bagi golongan pribumi.

 Lahirnya Grondwet 1848 (konstitusi negeri Belanda) dan Regeringsreglement 1854 (konstitusi bagi Hindia-Belanda) semakin memuluskan perjuangan kelompok liberal untuk menegakkan supremasi hukum (the supreme law of state/rechtsstaat) di Hindia-Belanda. Dengan adanya kedua produk perundang-undangan ini, di satu sisi kekuasaan eksekutif di tanah jajahan semakin dibatasi, sedangkan di sisi lain, kebebasan masyarakat yang ada di tanah jajahan pun mendapatkan jaminan hukum. Grondwet 1848 pada asasnya mengatur bahwa peraturan-peraturan hukum yang diperlukan untuk pemerintahan daerah jajahan harus dibuat dalam bentuk undang-undang (wet); tidak mencukupi apabila peraturan-peraturan tersebut hanya diatur dalam bentuk Keputusan Raja (Koninklijk Besluit/KB). Regeringsreglement 1854 (selanjutnya disingkat RR) memiliki tiga pasal penting yang sangat menentukan arah perkembangan hukum di Hindia-Belanda, yaitu pasal 79, pasal 88, dan pasal 89. Pasal 79 RR mengandung asas trias-politica yang menghendaki agar kekuasaan peradilan diserahkan ke tangan hakim yang bebas; pasal 88 RR mengharuskan dilaksanakannya asas legalitas [3] dalam setiap proses pemidanaan; pasal 89 RR melarang pemidanaan yang menyebabkan seseorang kehilangan hak perdatanya. Ketiga pasal RR ini merupakan simbol normatif bagi perlawanan terhadap kesewenangan lembaga eksekutif di tanah jajahan.

 Persoalan unifikasi hukum sebagaimana yang dicita-citakan kaum liberal tidak dapat diterapkan dengan mudah. Situasi masyarakat yang majemuk dan pertimbangan besarnya biaya yang harus dikeluarkan pemerintah kolonial, menjadi rintangan pemberlakuan hukum kodifikasi Belanda di tanah jajahan. Dualisme hukum tetap hidup di masyarakat. Di satu sisi, hukum Belanda masih berlaku bagi golongan Eropa, sedangkan di sisi lain, sebagian besar masyarakat lokal masih tunduk terhadap hukumnya sendiri. Dualisme hukum yang berlaku di Hindia-Belanda tidak menyurutkan perjuangan politisi liberal untuk memperjuangkan unifikasi hukum.

 Selanjutnya, atas dasar Algemeene Bepalingen [4] (berkekuatan KB) pasal 9 jo. pasal 75 ayat 3 RR, diupayakanlah apa yang disebut dengan vrijwillige onderweping dan toepasselijk verklaring. Vrijwillige onderweping merupakan upaya hukum yang diberikan kepada golongan pribumi untuk menundukkan diri kepada hukum perundang-undangan yang berlaku untuk golongan Eropa. Sedangkan toepasselijk verklaring adalah kewenangan Gubernur Jenderal untuk menerapkan peraturan perundang-undangan Eropa tertentu (jika dianggap perlu) kepada golongan pribumi. Bagi politisi liberal, kemajuan dalam peraturan perundang-undangan merupakan berita gembira karena terwujudnya cita-cita unifikasi hukum sudah berada di depan mata. Namun, hal ini merupakan momok bagi hukum masyarakat pribumi karena kehancurannya sudah ada di depan mata.

 Perkembangan politik hukum kolonial pada kurun waktu 1860-1890 ditandai oleh dua hal, yaitu a) langkah konkret kaum liberal untuk memberlakukan hukum Eropa di Hindia-Belanda melalui produk perundang-undangan demi memajukan perekonomian Hindia-Belanda, dan b) permasalahan seputar konflik budaya (dan juga kehidupan hukum) antara golongan Eropa dan golongan pribumi sebagai akibat dari adanya perbedaan alam pikiran dalam berbagai segi kehidupan, khususnya ekonomi, pemerintahan, dan hukum.

 Asas-asas hukum yang telah dipositifkan melalui Grondwet 1848 dan RR 1854 diyakini banyak membantu kaum liberalis untuk segera mewujudkan proyek unifikasi hukum yang diusungnya. Kendatipun demikian dibutuhkan sekitar tiga dasawarsa sejak diundangkannya RR 1854 untuk dapat merealisasikan ide-ide tentang ketatanegaraan di tanah jajahan. Dalam upaya realisasi ide-ide ini, muncul seorang tokoh liberalis, yaitu Fransen Van de Putte, yang menekan pemerintah untuk segera menghentikan usaha-usaha perkebunan negara dan memberikan peluang sebesar-besarnya bagi usaha swasta untuk mengambil alih bidang tersebut. Tentu saja Van de Putte tidak menyetujui jika pemerintah terlibat langsung dalam dunia perdagangan. Van de Putte yang berhasil menduduki jabatan Menteri Koloni di dalam kabinet partai Liberal dengan Perdana Menteri Thorbecke, terus berupaya menyusun dan mengintroduksi sejumlah rancangan peraturan perundang-undangan tentang tata guna tanah (Cultuurwet) untuk memajukan perusahaan-perusahaan perkebunan.

 Rancangan Cultuurwet yang coba diwujudkan oleh Van de Putte mengundang banyak debat ketika dibawa ke sidang-sidang parlemen pada tahun 1865. Rancangan Cultuurwet sendiri berhadapan dengan masalah terkait bagaimana usaha-usaha swasta dapat memperoleh tanah. Solusi yang diberikan oleh rancangan Cultuurwet untuk mengatasi masalah tersebut adalah dengan a) memberikan hak eigendom [5] kepada rakyat pribumi, b) memberi kemungkinan kepada orang pribumi untuk menyewa tanahnya, dan c) tanah yang dikuasai negara dapat disewa oleh orang yang menghendakinya (disertai dengan hak erfpacht/hak usaha), dianggap tidak memadai. Van de Putte sendiri secara tidak langsung ditetang oleh Thorbecke melalui Poortman, yang menganggap Van de Putte terlalu luas menafsirkan pasal 75 RR 1854. Upaya Van de Putte gagal, setelah kabinet konservatif kembali berkuasa. Pada tanggal 19 April 1870, diundangkanlah Agrarisch Wet di dalam Ind. Stb. tahun 1870 No. 55.

 Dengan diundangkannya Agrarisch Wet, negara sebagai penguasa memiliki legitimasi untuk menguasai tanah-tanah kosong yang belum digarap (woeste groden). Agrarisch Wet memungkinkan negara untuk melepaskan haknya atas tanah dan memberikannya kepada pengusaha-pengusaha perkebunan yang mengajukan permohonan untuk menghakinya dengan hak erfpacht dalam jangka waktu sebanyak-banyaknya 75 tahun. Tanah-tanah yang dihaki oleh orang pribumi tidak boleh dialihkan oleh Gubernur Jenderal, kecuali dengan terlebih dahulu membayar ganti rugi. Orang pribumi diberi kesempatan untuk juga mengalihkan hak atas tanahnya (gebruitsrecht/bezitsrecht) menjadi hak eigendom menurut hukum Eropa. Kendatipun demikian, Agrarisch Wet melarang adanya pemindahan hak ke golongan rakyat yang lain (vervreemdingsverbod) yang tentu saja melindungi hak orang pribumi atas tanah yang dikuasainya. Tak lama setelah Agrarisch Wet diundangkan, diberlakukanlah Agrarisch Besluit (Stb. No.118) sebagai pengimplementasian dari Agrarisch Wet yang mengatur bahwa semua tanah yang atasnya dapat dibuktikan adanya hak eigendom adalah tanah yang berada di dalam penguasaan negara. Agrarisch Besluit, yang beberapa kali berubah tanpa kehilangan esensi normatifnya, mengatur juga tentang hak-hak atas tanah, dan soal pelepasan tanah.

 Para politisi yang berupaya mengegolkan Agrarisch Wet sebenarnya sudah memikirkan pula kebijakan-kebijakan hukum terkait dengan bidang ketenagakerjaan. Upaya hukum di bidang ketenagakerjaan bukannya tidak menemukan kesulitan. Masyakarat Jawa yang kebanyakan agraris, lebih memilih untuk menggarap tanah-tanah kosong daripada harus bekerja di perusahaan-perusahaan perkebunan asing. Dalam rangka merekrut tenaga kerja, perusahaan-perusahaan harus memilih orang yang pandai membujuk masyarakat pribumi.

 Sejak munculnya paham liberalisme di ranah politik negeri Belanda, pemerintah merasa perlu untuk mengintervensi kebijakan di bidang ketenagakerjaan. Dalam upaya ini, peran Van de Putte tidak dapat disangsikan. Kententuan tentang persyaratan kontrak antara golongan pribumi dan golongan non-pribumi sebagaimana diatur di dalam Ind. Stb. tahun 1819 No.10 Jo. Ind. Stb. tahun 1838 no.50, dianggapnya sebagai halangan bagi terwujudnya tanah bebas dan kerja bebas. Untuk itu, dalam kurun waktu antara tahun 1862-1863, ia mengupayakan untuk a) menghidupkan ketentuan mengenai keharusan pembuatan perjanjian secara individual, dan b) meniadakan ketentuan yang diatur di dalam Ind. Stb. tahun 1819 bahwa setiap kontrak yang dilakukan antara golongan pribumi dengan golongan non-pribumi harus didaftarkan ke residen setempat. Upaya ini berhasil dengan diberlakukannya peraturan yang termuat di dalam Ind. Stb. tahun 1863 No. 52, yang sedikit banyak memuat ketentuan mengenai larangan terhadap aparat pemerintah untuk turut campur tangan dalam perkara kontrak, dan mendorong pemberlakuan Burgerlijk Wetbook Eropa bagi golongan pribumi.

 Upaya Van de Putte untuk mencoba melepaskan pengaruh aparat pemerintah, termasuk kepala kampung untuk turut serta dalam perkara kontrak agaknya tidak berhasil. Pada tahun 1874, diberlakukanlah sebuah produk perundang-undangan yang berpihak kepada para pengusaha, yaitu Staatsreglemen voor Inlanders in Nederlandsch-Indie (Ind. Stb. tahun 1872 no.11) yang pada butir 72 pasal 2-nya mengatur adanya denda sebanyak antara 15-24 rupiah yang harus dibayarkan oleh pekerja yang meninggalkan tempat kerja tanpa izin dari atasannya. Setelah menimbulkan kontroversi yang besar, ketentuan ini ditarik, kemudian dimasukkan sebagai pasal 328 Wetbook van Straftrecht voor de Inlanders. Pada akhirnya, berdasarkan wewenang untuk melakukan toepasselijkverklaring yang diatur di dalam pasal 75 RR, Gubernur Jenderal memberlakukan ketentuan pasal-pasal 1601-1603 BW tentang perjanjian kerja kepada masyarakat pribumi.

2. Periode Tahun 1890-1910

  Perkembangan perekonomian Hindia-Belanda, melalui peraturan perundang-undangan yang dirintis secara baru oleh kaum liberalis berbuah pada peningkatan ekonomi Hindia-Belanda. Pada periode 1870-1880, ekspor perkebunan meningkat drastis baik dari segi jumlah, pun dari segi nilai. Akan tetapi kemajuan ini tidak diimbangi dengan peningkatan kualitas hidup masyarakat pribumi. Korporasi asing justeru mengeksploitasi masyarakat pribumi. Kesejahteraan masyarakat pribumi semakin terpuruk bersamaan dengan terpuruknya perekonomian Hindia-Belanda pada awal tahun 1890-an. Keterpurukan Hindia-Belanda menimbulkan simpati mendalam bagi sebagian besar masyarakat Belanda. Mereka terdorong untuk melakukan balas budi atas apa yang sebelumnya banyak disumbangkan oleh Hindia-Belanda bagi perkembangan dan kemajuan negeri Belanda. Dorongan untuk membantu meningkatkan taraf hidup masyarakat Hindia-Belanda sedikit banyak dipengaruhi oleh etika Kristiani. Dengan demikian, dapatlah kita katakan bahwa kebijakan kolonial pada kurun waktu 1900-1950 adalah kebijakan politik etik. Politik etik sendiri pada kurun waktu 1900-an diwarnai oleh upaya untuk meningkatkan perekonomian dan pendidikan masyarakat pribumi. Bersamaan dengan itu, dikenal sebuah kebijakan yang dinamakan sebagai voogdijk (perwalian/pengasuhan). Banyak anak-anak pribumi yang dibantu oleh masyarakat Belanda untuk dapat mencapai tingkat pendidikan dan kesejahteraan yang tinggi. Politik etik pada kurun waktu menjelang perang dunia II telah mempersiapkan kemungkinan bagi Hindia-Belanda untuk menjalankan pemerintahan sendiri (zelfbestuur).

 Kebijakan politik etik yang mewujud dalam kebijakan untuk memajukan sektor pendidikan dan kesejahteraan masyarakat pribumi, nyatanya menghasilkan kelompok elit pribumi yang disebut sebagai kaum intelektual nasionalis. Semula, pemerintah kolonial berharap agar golongan elit pribumi yang sudah dibekali dengan pendidikan Eropa ini dapat membantu kolonial dalam langkah-langkah politik yang ditempuhnya. Akan tetapi, kelompok elit pribumi ini lebih mengikuti cita-cita politiknya sendiri. Kenyataan ini mendorong pemerintah kolonial untuk meningkatkan kewaspadaan manakala terjadi gerakan-gerakan yang melenceng dari kebijakan politik kolonial.

 Langkah pemerintah kolonial selanjutnya justeru menunjukkan semangat konservatisme yang hendak melakukan proyek eropanisasi terhadap Hindia-Belanda. Langkah politik etik semacam ini tentu saja menimbulkan pertentangan, terutama dari golongan elit pribumi yang terpelajar, yang mempertanyakan kemurnian niat baik pemerintah kolonial untuk memajukan masyarakat pribumi di Hindia-Belanda. Para politisi kolonial sendiri sebenarnya terbelah antara mereka yang memandang perlu dilakukannya eropanisasi mengingat hukum Eropa adalah hukum yang sempurna dan dapat diberlakukan untuk Hindia-Belanda (golongan universalis), dan mereka yang memandang bahwa kemajuan dan peningkatan kesejahteraan penduduk pribumi tidak harus ditempuh melalui proyek eropanisasi.

 Pada tahun 1904, P.I. Idenburg yang menjabat sebagai Menteri Koloni mengajukan rancangan undang-undang yang memungkinkan pengkodifikasian hukum perdata materil untuk seluruh golongan penduduk di Indonesia. Upaya ini didukung oleh C. Th. van Deventer yang mengakui bahwa “sekalipun kenyataan-kenyataan setempat memang memerlukan keragaman hukum, akan tetapi sesungguhnya—demikian pendapatnya—keragaman seperti itu tidaklah seyogyanya dipertahankan demikian” [6]. Namun upaya ini segera ditantang oleh C. van Vollenhoven yang melihat realitas keberagaman/kebhinekaan yang di Hindia-Belanda sama sekali tidak memungkinkan dilakukannya kodifikasi dan unifikasi hukum di Hindia-Belanda. Upaya van Vollenhoven ini dapat dipandang sebagai upaya untuk mempertahankan hukum adat (adatrecht) yang dianut oleh sebagian besar masyarakat pribumi.

 Dalam upayanya mempertahankan hukum adat yang dipatuhi oleh sebagian besar masyarakat pribumi, van Vollenhoven memberikan argumentasinya bahwa sebelum pemerintah mengintervensi tatanan adat dan tata hukum adat, pemerintah semestinya melakukan pengkajian-pengkajian terlebih dahulu. Ia pun membantah dengan keras setiap pandangan yang menganggap bahwa masyarakat pribumi Hindia-Belanda tidak memiliki hukum. Pada tahun 1919, van Vollenhoven bereaksi, manakala pemerintah bersikeras mau mamasukkan semua penduduk Hindia-Belanda ke dalam yurisdiksi hukum Eropa sebagaimana yang disiapkan oleh Pleyte. Atas sejumlah kritik yang dilontarkan oleh van Vollenhoven, akhirnya RUU yang dipersiapkan oleh Pleyte akhirnya ditarik. Akan tetapi, amandemen yang pernah dipersiapkan oleh van Idsinga sebelumnya dinyatakan berlaku, untuk menyempurnakan pasal 75 RR yang menetapkan pemberlakuan hukum Eropa hanya kepada golongan Eropa, dan hukum adat, sejauh tidak bertentangan dengan asas kepatuhan dan keadilan, dinyatakan tetap berlaku bagi golongan pribumi. Keberhasilan pemberlakuan unifikasi Hukum Pidana pada tahun 1918, mendorong F.J.H. Cowan untuk menyiapkan Hukum Perdata bagi Hindia-Belanda yang dianggapnya layak untuk diunifikasi dengan alasan, a) hukum adat yang tidak tertulis menimbulkan ketidakpastian hukum, b) pemberlakuan berbagai macam hukum untuk berbagai macam golongan penduduk akan menimbulkan kebingungan di tengah masyarakat. Sekali lagi van Vollenhoven menunjukkan kegigihannya mempertahankan hukum adat dengan berargumentasi bahwa hukum yang hidup di tengah masyarakat tidak dapat dikelabui dengan cara menerbitkan suatu peraturan di dalam staatsblad. Perlawanan van Vollenhoven berhasil dengan ditariknya usulan rancangan perundang-undangan yang telah dipersiapkan oleh Cowan. Harus diakui pula bahwa sekalipun van Vollenhoven mengeritik segala bentuk upaya untuk mengunifikasi hukum Eropa, ia sebenarnya tidak menentangnya. Namun, ia sangat tidak menyetujui jika mayoritas penduduk pribumi harus ditundukkan di bawah hukum minoritas Eropa. Pemikiran van Vollenhoven berkecambah dan merembet kepada anak muridnya yang berasal dari golongan pribumi yang pernah belajar di Universitas Leiden. Pada kurun waktu sepanjang 1930 sampai dengan pecahnya Perang Pasifik pada tahun 1942, hukum adat berhasil dikukuhkan oleh ter Haar atas kekuatan preseden-preseden yang dikembangkan dalam yurisprudensi landraad (peradilan yang diadakan khusus untuk memeriksa perkara-perkara orang pribumi). Melalui yurisprudensi yang dihasilkan di landraad, hukum adat memperoleh bentuk formalnya. Di tangan ter Haar dan para muridnya, hukum adat memenuhi fungsinya sebagai hukum yang dapat dipakai di peradilan-peradilan negara modern. Pada masa ter Haar inilah, hukum adat mencapai kejayaannya. Dualisme hukum dengan demikian tidak lagi dipermasalahkan, bahkan memperoleh makna baru sebagaimana yang disebut John Ball sebagai the enlightened dualism, yang mengadung arti bahwa hukum adat dan hukum kodifikasi dihargai setara dengan konflik-konflik pilihan antara keduanya diselesaikan dengan ajaran-ajaran hukum intergentil/hukum antargolongan [7].

****

 Pasal 59 Grondwet 1848 (atau pasal 61 Grondwet 1887) menetapkan raja Belanda sebagai penguasa tertinggi atas seluruh daerah jajahan (termasuk Hindia-Belanda). Di Hindia-Belanda sendiri, kekuasaan eksekutif dijalankan oleh Gubernur Jenderal yang memerintah atas nama Raja berdasarkan ketentuan pasal 1 RR 1854. RR 1854 mengatur beberapa tugas pokok yang dimiliki oleh Gubernur Jenderal, antara lain: a) memegang kekuasaan legislatif di negeri kolonial (pasal 20, dst.), b) berkewenangan untuk melaksanakan peraturan-peraturan yang ada (pasal 27 dst.), c) berkewenangan mengangkat dan memberhentikan pejabat-pejabat tinggi di jajaran pemerintahan kolonial (pasal 49), d) berkedudukan sebagi panglima tertinggi Angkatan Darat dan Angkatan Laut Hindia-Belanda (pasal 41-42), dan berkewenangan untuk memberikan grasi (pasal 52) [8]. Untuk membantu menjalankan tugas-tugasnya Gubernur Jenderal dibantu oleh staf-stafnya yang mempunyai kekuasaan administratif baik di pemerintahan pusat, maupun di daerah-daerah yang dijalankan dengan penuh ketaatan berdasarkan pasal 64 dan 68 RR 1854. Setiap upaya reformasi di bidang pemerintahan pada saat itu selalu terhalang oleh tembok konservatisme yang masih kuat dipertahankan. Memasuki dasawarsa 1880-an, para pengusaha swasta Belanda yang menjalankan usahanya di Hindia-Belanda (Nederlandse Burgerij) merasa kurang diuntungkan dengan kebijakan cultuurstelsel. Mereka mempertanyakan kebijakan etatisme di bidang pertanian dan perdagangan serta menghendaki adanya hak berbicara (medezeggenschap) terutama dalam setiap kebijakan yang diambil oleh pemerintah.

 Kritik demi kritik tetap disuarakan di parlemen Belanda yang bermaksud untuk melakukan desentralisasi. Pada tahun 1880, salah saeorang parlemen Tweede Kamer yang bernama L.W.C. Keuchenius membuka kembali perdebatan dengan mengetengahkan keyakinannya agar di daerah-daerah dibentuk apa yang disebut gewestelijk raden. Gewestelijk Raad adalah suatu dewan di mana warga Eropa dapat berbicara untuk menyuarakan isi hatinya [9]. Keuchenius mendesak untuk segera dilakukan reformasi ketatanegaraan, terutama dengan mengamandemen beberapa pasal di dalam RR 1854 yang menjadi dasar hukum kekuasaan pemerintahan yang terpusat di tangan Gubernur Jenderal. Pada tahun 1881, usul Keuchenius segera didukung oleh W.K. Baron van Dedem (seorang politisi liberalis) yang menyuarakan pentingnya perubahan tata pemerintahan di Hindia-Belanda. Namun perubahan ini tidak memasuki ranah tata negara melainkan lebih kepada permasalahan anggaran biaya pemerintahan tanah jajahan (bersifat administratif). Menurutnya, Negeri Belanda sudah tidak akan lagi mungkin memperlakukan tanah jajahannya sebagai suatu wingewest yang lewat praktek kulturstelsel dapat menjamin diperolehnya batig slot dalam anggaran belanjanya. Dengan demikian, anggaran belanja Negeri Belanda dan Hindia-Belanda dipisahkan secara tegas. Konsekuensi yuridis yang terjadi apabila usul van Dedem disetujui adalah diperlukan amandemen tidak hanya terhadap RR 1854, tetapi juga terhadap De Indische Comptabliteits Wet (ICW) 1864. Apabila amandemen tersebut disetujui maka anggaran pendapatan dan belanja Hindia-Belanda tidak lagi disiapkan oleh eksekutif (melalui KB), melainkan melalui produk legislatif. Lebih lanjut digagas pula perlunya sebuah lembaga legislatif di Hindia Belanda untuk menjalankan fungsi budgeting tersebut. Isu mengenai desentralisasi yang muncul dari van Dadem kemudian ditentang oleh golongan konservatif. Permasalahan yang muncul adalah terkait dengan besarnya biaya yang harus ditanggung pemerintah Belanda.

 Pada tahun 1887, upaya van Dedem terkait financiele decentralisatie yang agaknya tidak lagi membuahkan hasil, diperjuangkan lagi oleh J. Th. Cremer (seorang anggota parlemen Tweede Kamer). Cremer mengatakan bahwa apa yang baik bagi kehidupan usaha di Hindia-Belanda akan berarti baik pula bagi kehidupan seluruh penduduk negeri ini [10]. Pada bulan April 1888, Keuchenius yang pernah menjabat sebagai anggota Tweede Kamer yang membuka perdebatan tentang perlunya Gewestelijke Raden dalam rangka desentralisasi tata pemerintahan Hindia-Belanda diangkat menjadi Menteri Koloni. Setahun kemudian, ia menyurati Gubernur Jenderal C. Pijnacker Hordijk untuk mempersiapkan segala hal demi terbentuknya gewestelijke raden di tanah jajahan (anggotanya hanya berasal dari golongan Eropa). Setelah dua tahun mempersiapkan apa yang diminta oleh van Dedem, Hordijk kemudian melaporkan bahwa ia melihat adanya perkembangan kebutuhan masyarakat Eropa untuk ikut memberikan arahan pada jalannya pemerintahan. Oleh sebab itu, ia bersedia untuk dengan hati-hati dan bijak memasukkan unsur-unsur dari kalangan nonpejabat pemerintahan ke dalam geweatelijke raden di setiap keresidenan dan gemente raden di kota-kota besar. Ia pun mengusulkan agar di tingkat pusat pun dibentuk pula koloniale raad.

 Dalam kurun waktu 1891-1893, surat Pijnacker Hordijck tidak mendapatkan tanggapan dari parlemen Belanda. Kendatipun demikian, perjuangan untuk mewujudkan desentralisasi di Hindia-Belanda terus berjalan. Para menteri koloni dan para gubernur jenderal pasca van Dedem dan Pijnacker Hordijck adalah tokoh-tokoh yang terbilang prodesentralisasi. Pada tahun 1897, van Der Wijk yang menjabat sebagai Gubernur Jenderal mengirimkan naskah terakhir usulannya tentang reorganisasi struktur pemerintahan di daerah-daerah keresidenan kepada menteri koloni yang dijabat oleh J. Th. Cremer. Cremer dikenal sebagai seorang tokoh antidesentralisasi yang tetap bersikukuh pada pendapatnya bahwa sentralisasi dalam pemerintahan Hindia-Belanda benar-benar merupakan sisi gelap dalam pengelolaan tanah Hindia. Kendatipun demikian, pada tahun 1901, Cremer yang mendapatkan bantuan dari Cohen Stuart menyerahkan rancangan undang-undang desentralisasi kepada Tweede Kamer untuk diperdebatkan di parlemen. Banyak kritik menimpa rancangan undang-undang ini dari berbagai arah. Pada akhirnya rancangan undang-undang ini pun ditarik pada tahun 1901. Kendatipun demikian, upaya untuk mengegolkan rancangan undang-undang desentralisasi terus terus diperjuangkan oleh beberapa menteri koloni selanjutnya, mula-mula oleh T.A.J. van Asch van Wijk dan kemudian oleh A.W.F. Idenburg. Menurut substansinya, rancangan undang-undang yang dipersiapkan oleh Idenburg tidak memiliki perbedaan mendasar dengan rancangan undang-undang yang diusulkan oleh Cremer. Namun, rancangan undang-undang ini tidak mengundang perdebatan yang seru di parlemen. Akhirnya, pada tanggal 23 Juli 1903 diundangkanlah undang-undang desentralisasi yang bernama De Wet Houdende Decentralisatie van Het Bestuur in Nederlands-Indie di dalam Staatblad van Het Koninkrijk Der Nederlanden tahun 1903 No. 219. Pada dasarnya undang-undang desentralisasi (Desentralisatie Wet 1903) membuka kemungkinan bagi terwujudnya pemerintahan lokal di daerah-daerah tertentu (gewesten), atau di bagian satuan daerah tertentu (gedeelten van gewesten) yang dapat melaksanakan urusannya sendiri (zelfbestuur). Pengundangan Desentralisatie Wet 1903 segera diikuti dengan Desentralisatie Besluit 1904 dan Locale Ordonamtie 1905 yang kemudian membuka kesadaran masyarakat Belanda bahwa raad yang akan dibentuk bukan lagi de koloniale raad yang akan berbicara dengan kewenangan desentralisasinya mengenai anggaran bagi seluruh negeri. Raad sebagaimana yang coba dibentuk berdasarkan Desentralisatie Wet 1903 meliputi Volksraad, Gedecentraliceerde Gewesten, dan Gedeelten van Gewesten.

3. Periode 1940-1990

 Perkembangan hukum Indonesia sepanjang 1940-1990 dapat dibagi ke dalam tiga tahap perkembangan, yaitu, a) masa transisi (1940-1950), b) masa revolusi Soekarno (1950-1966), dan masa Orde Baru (1966-1990).

a. Masa Transisi (1940-1990)

 Sampai dengan pecahnya Perang Pasifik, usaha untuk mengunifikasi Hukum Perdata untuk seluruh golongan penduduk belum dapat dilaksanakan. Uapaya yang telah dirintis oleh Scholten van Oud-Harleem dan Wischers pada tahun 1840-an sampai dicoba terakhir kalinya oleh Cowan pada tahun 1920-an ternyata tak kunjung berhasil. Keberatan-keberatan awal disebabkan oleh karena pertimbangan-pertimbangan pemerintah kolonial terhadap besarnya biaya yang harus dikeluarkan untuk menjalankan upaya unifikasi tersebut. Bahkan sampai dengan runtuhnya kekuasaan kolonial unifikasi hukum privat dan unifikasi lembaga-lembaga peradilan belumlah terwujud. Dualisme hukum tetap dibiarkan hidup. Demikianlah kenyataannya, sampai dengan tahun 1942, penduduk Hindia-Belanda tetap dibedakan menjadi 3 golongan (berdasarkan pembagian yang dilakukan pada tahun 1854 menurut pasal 109 RR 1854 jo. Pasal 109 Indische Staatregering 1925) yaitu, golongan Eropa, golongan pribumi, dan golongan Timur Asing. Pasal 131 ayat 1 IS 1925 menyatakan pemberlakuan hukum perdata, hukum dagang, hukum pidana, dan hukum acara (perdata maupun pidana) diatur dengan ordonansi. Selanjutnya pasal 3 ayat 3 IS menuliskan ketentuan bahwa hukum acara perdata dan hukum acara pidana yang diordonansikan secara khusus untuk orang-orang dari golongan Eropa harus tetap menganut asas konkordansi. Pengecualian atasnya hanya dimungkinkan apabila terasa ada keperluan untuk membuat perubahan-perubahan sehubungan dengan adanya keadaan-keadaan khusus yang terjadi di Hindia-Belanda. Pemberlakuan hukum adat atas golongan pribumi diatur melalui pasal 131 ayat 2 huruf b IS. Dari sisi lembaga peradilan, terkesan adanya pluralisme yang mewarnai tata hukum Indonesia yang terbilang kompleks.

 Semenjak masuknya penjajahan Jepang, dimaklumatkanlah melalui undang-undang bala tentara Jepang (Osamu Sirei) tahun 1942 no. 1 bahwa seluruh wewenang badan-badan pemerintahan dan semua hukum dan peraturan yang selama ini berlaku tetap dinyatakan berlaku, kecuali bertentangan dengan UU bala tentara Jepang tersebut. Dengan berlakunya maklumat tersebut, maka hukum perdata yang semula berlaku untuk golongan Eropa dinyatakan berlaku untuk golongan Cina, sedangkan hukum adat tetap dinyatakan berlaku untuk golongan masyarakat pribumi. Pemerintah militer Jepang membagi daerah yang didudukinya menjadi tiga wilayah komando, yaitu a) Jawa dan Madura, b) Sumatera, dan c) Indonesia bagian timur. Salah satu kontribusi positif dengan masuknya pemerintahan kolonial Jepang adalah berhasil dihapusnya dualisme dalam tata peradilan. Dengan demikian, cuma ada satu peradilan untuk seluruh golongan penduduk yaitu Hoogerechtshof (saiko hoin), Raad van Justitie (koto hoin), Landraad (Tiho Hoin), Landgerecht (Kaezai Hoin), dan Regentschapgerecht (Ken Hoin), dan Districtgerecht (Gun Hoin). Kendatipun segala upaya telah ditempuh oleh kolonial Jepang, masalah-masalah terkait aspek substansi, struktur, dan kultur, tetap menjadi momok bagi implementasi hukum selanjutnya. Dalam masa perjuangan fisik pun (1945-1950), kesulitan tetap terasa. Permasalahan utama yang dihadapi adalah persoalan mengenai dualisme hukum yang berkembang dan hidup di masyarakat. Maka dipertahankanlah tatanan hukum kolonial bagi keberlangsungan RI yang diberlakukan dengan asas konkordansi. Melalui Maklumat Presiden tahun 1945 No. 2 bertanggal 10 Oktober 1945, yang kecuali mengulang apa yang dinyatakan dalam pasal II peraturan peralihan UUD 1945 bahwa hanya hukum yang tidak bertentangan dengan UUD 1945 sajalah yang akan berlaku bagi seluruh rakyat RI.

b. Masa Revolusi Soekarno (1950-1966 )

 Berakhirnya Republik Indonesia Serikat (RIS) pada tanggal 17 Agustus 1950 menyebabkan Undang-undang RIS hanya berfungsi tak lebih dari 8 bulan. Konstitusi RIS segera diganti dengan konstitusi yang baru yaitu Undang-undang Dasar Sementara RI (diumumkan sebagai undang-undang No. 7 tahun 1957 pada tanggal 15 Agustus 1950 dalam Lembaran Negara tahun 1950 No. 56). Pasal 142 UUDS menyebutkan bahwa “peraturan-peraturan perundang-undangan dan ketentuan tata usaha yang sudah ada pada tanggan 17 Agustus 1950 tetap berlaku dengan tidak berubah sebagai peraturan-peraturan dan ketentuan-ketentuan Republik Indonesia sendiri selama dan sekedar peraturan-peraturan dan ketentuan-ketentuan itu tidak dicabut, ditambah, atau diubah oleh undang-undang dan ketentuan-ketentuan tata usaha atas kuasa Undang-undang Dasar (yang baru) ini.” Dengan demikian kevakuman hukum yang mungkin akan mengundang suasana ketidakpastian dapat dicegah, dan persaingan politik (antara kelompok nasionalis pendukung hukum adat dan kelompok muslim pendukung hukum Islam?) untuk memperebutkan ruang vakum guna diisi dengan sistem hukum yang baru akan dapat dicegah atau setidak-tidaknya ditunda.

 Fakta memperlihatkan bahwa dalam masa pemerintahan Soekarno hukum dianggap sebagai penghalang bagi terwujudnya revolusi yang dicita-citakannya. Keinginan Soekarno untuk menciptakan tata hukum yang khas Indonesia, yang tentu saja dijauhkan dari segala bentuk warisan kolonial ternyata tidak dengan segera dapat diimplementasikan. Sekiranya perombakan secara besar-besaran dilakukan terhadap peraturan perundang-undangan warisan Belanda, maka akan terjadi banyak kekosongan hukum. Perubahan yang coba dilakukan melalui pembentukan UUDS 1950, ternyata dianggap gagal mencerminkan kekhasan citarasa hukum Indonesia. UUD 1945 kemudian dinyatakan berlaku lagi melalui Dekrit Presiden 1959.

c. Masa Orde Baru (1966-1990)

 Perkembangan substansi hukum masa Soeharto tidak mengalami perubahan yang berarti. Peraturan perundang-undangan yang diberlakukan selalu berpatokan pada apa yang digariskan di dalam UUD 1945. Kendatipun demikian, dalam rangka mewujudkan program-program pembangunan yang dicanangkannya (di antaranya melalui Rencana Pembangunan Lima Tahun/REPELITA), Soeharto acapkali menggunakan kekuatan senjata untuk menundukkan para penentang kebijakan politiknya. Meskipun demikian, pembangunan yang gencar dilakukan oleh Soeharto tetap harus diapresiasi, kendatipun peraturan perundang-undangan takkan pernah bisa membatasinya.

Bagian 3. Kata Akhir

 Sejarah perkembangan sosial politik Indonesia yang dikemas dalam sebuah tulisan mengenai kronologis perkembangan hukum sejak masa kolonial sampai dengan masa Orde Baru ini masih jauh dari kesempurnaan sebagaimana yang diharapkan. Seandainya ada hal yang dirasakan kurang lengkap di dalam pemaparan ini, kiranya hal itu dapat dilengkapi oleh pembaca budiman di dalam tulisan yang lain. Semoga semangat untuk mencintai sejarah tetap hidup dan berkembang di sanubari setiap warga negara Indonesia, khususnya kaum muda yang cenderung melupakan sejarah dan tidak mempedulikannya.


Endnote:
[1]Soetandyo Wignjosoebroto, Dari Hukum Kolonial ke Hukum Nasional-Suatu Kajian Tentang Dinamika Sosial Politik dalam Perkembangan Hukum Selama Satu Setengah Abad di Indonesia (1840-1990, PT Raja Grafindo Persada: Jakarta, 1994, hal. 1-16.
[2]Codes Napoleon terdiri atas beberapa kitab, antara lain, Codes Civil (Hukum Perdata), Codes Commerce (Hukum Dagang), Codes Penal (Hukum Pidana). Ibid.,hlm. 40.
[3]Vide, KUHP Pasal 1 ayat 1: ”Suatu perbuatan tidak dapat dipidana kecuali berdasarkan kekuatan ketentuan perundang-undangan pidana yang telah ada.” Asas legalitas menegaskan bahwa seseorang dapat diproses secara hukum atas suatu tindakan melawan hukum, apabila tindakan yang melawan hukum tersebut telah diatur dalam suatu peraturan perundang-undangan.
[4]Ada tiga pasal penting Algemeene Bepalingen yang relevan dengan upaya unifikasi, yaitu a) pasal 5, membagi penduduk Hindia-Belanda menjadi Golongan Eropa dan Golongan Pribumi, b) pasal 9, menegaskan pemberlakuan Hukum Perdata dan Hukum Barat Belanda hanya kepada golongan Eropa dan yang dipersamakan dengannya, dan c) pasal 11, memberi kewenangan kepada hakim untuk menentukan pemberlakuan hukum agama, dan pranata-pranata dan kebiasaan kepada orang pribumi sejauh itu tidak bertentangan dengan asas kepantasan dan keadilan yang berlaku umum; terhadap orang pribumi yang telah menundukkan diri kepada hukum Eropa, maka berlakulah hukum Eropa atasnya. Soetandyo Wignjosoebroto, Op. Cit., hlm. 54.
[5]Hak Eigendom dalam konteks ini dapat diartikan sebagai hak milik atas tanah.
[6]Soetandyo Wignjosoebroto, Op. Cit., hlm. 124.
[7]Ibid., hlm. 137.
[8]Soetandjo Wignjosoebroto, Desentralisasi Dalam Tata Pemerintahan Kolonial—Kebijakan dan Upaya Sepanjang Babak Akhir Kekuasaan Kolonial di Indonesia (1900-1940), Bayumedia Publishing: Malang, 2004, hlm. 2.
[9]Ibid., hlm. 5.
[10]Ibid., hlm. 9.

Daftar Pustaka :
Wignjosoebroto, Soetandyo.1994. Dari Hukum Kolonial ke Hukum Nasional-Suatu Kajian Tentang Dinamika Sosial Politik dalam Perkembangan Hukum Selama Satu Setengah Abad di Indonesia (1840-1990). PT Raja Grafindo Persada: Jakarta.
____________________. 2004. Desentralisasi Dalam Tata Pemerintahan Kolonial Hindia Belanda (Kebijakan dan Upaya Sepanjang Babak Akhir Kekuasaan Kolonial di Indonesia ‘1900-1940’). Bayumedia Publishing: Malang.

Tuesday, February 23, 2010

“MENELAAH SEPAK TERJANG BAPEPAM DALAM MEMBERANTAS KEJAHATAN KERAH PUTIH DI PASAR MODAL”


BAB I
PENDAHULUAN

1. Latar Belakang Masalah

Pasar modal (acapkali disebut dengan bursa efek) merupakan salah satu instrumen ekonomi yang sangat penting bagi masyarakat dalam hal investasi, sekaligus juga merupakan sumber pembiayaan bagi perusahan-perusahaan di Indonesia. Pasar modal dapat pula menjadi alat ukur bagi perkembangan perekonomian di tanah air dan cerminan tingkat kepercayaan investor domestik maupun internasional terhadap perangkat hukum dan kinerja pemerintah dalam dunia perekonomian.

 Sebagai instrumen ekonomi, pasar modal tidak luput dari penyalahgunaan oleh pihak-pihak tertentu untuk memperkaya dirinya secara melawan hukum. Kejahatan di bidang pasar modal tergolong rumit dan sulit dibuktikan, apalagi diperkarakan di hadapan pengadilan—mengingat sifat pasar yang sangat sensitif terhadap fakta materil (baca:pemberitaan terkait jalannya proses peradilan) berupa informasi terkait pasar modal. Umumnya kejahatan yang terjadi di pasar modal dilakukan secara profesional oleh penjahat “kerah putih” [1] (white colar criminal), sedemikian sehingga para korbannya tidak merasa dirugikan oleh tindak kejahatan tersebut. Beberapa kejahatan yang terkait dengan pasar modal antara lain, perdagangan orang dalam (insider trading), penipuan (fraud in the market), dan manipulasi pasar (market manipulation).

 Mengingat pentingnya peranan pasar modal terhadap perekonomian Indonesia, diperlukan perangkat hukum yang tegas dan jelas untuk mengaturnya. Saat ini Indonesia memiliki Undang-undang khusus yang mengatur tentang pasar modal, yaitu UU No. 8 Tahun 1995 Tentang Pasar Modal. Dalam rangka upaya pembinaan, pengaturan, dan pengawasan pasar modal, dibentuklah Badan Pengawas Pasar Modal (Bapepam) yang keberadaan, tugas, dan wewenangnya diatur di dalam pasal 3, pasal 4, dan pasal 5 UU No.8 Tahun 1995. Dengan adanya Bapepam beserta kewenangannya untuk memeriksa, menyidik, dan menjatuhkan sanksi administratif, diharapkan agar kejahatan yang terjadi dalam lingkup pasar modal dapat diberantas, atau sekurang-kurangnya dapat dicegah.

2. Perumusan Masalah
 Pasar modal perlu diproteksi, mengingat perannya yang sangat signifikan bagi perekonomian tanah air dan kerentanannya terhadap berbagai bentuk kejahatan kerah putih (white colar crime). Dalam rangka menjaga kredibilitas dan melindungi kepentingan masyarakat pemodal, diperlukan landasan hukum yang jelas dan penegakkan hukum yang tegas. Untuk itu, dibentuklah UU No.8 Tahun 1995 Tentang Pasar Modal, yang memberikan tugas kepada Bapepam untuk membina, mengatur, dan mengawasi pasar modal, serta mengambil tindakan hukum yang tegas terhadap setiap pelaku kejahatan di pasar modal. Berkaitan dengan hal ini, penulis memiliki beberapa pertanyaan:

a. Apa sajakah bentuk-bentuk kejahatan yang terhadi di pasar modal?
b. Apa tugas dan wewenang Bapepam?
c. Sejauh mana Bapepam menjalankan tugas dan wewenangnya?


3. Metodologi dan Sistematika Penulisan
 Makalah ini disusun dengan menggunakan metode legal-formal. Melalui metode ini, penulis mendasarkan diri pada peraturan perundang-undangan, khususnya UU No. 8 Tahun 1995 Tentang Pasar Modal dan penjelasannya. Untuk memperjelas pokok-pokok tetentu, yang kiranya kurang dijelaskan di dalam peraturan perundang-undangan, penulis menggunakan sumber lain sebagai tambahan.
 Makalah ini terbagi ke dalam tiga bagian besar. Bab I adalah Pengantar. Di dalam bab ini, penulis memaparkan latar belakang, perumusan masalah, metode serta sistematika penulisan yang dimaksudkan agar pembaca dapat dihantar masuk ke dalam pokok permasalahan yang dibahas. Bab II adalah Pembahasan. Pada bab ini penulis memaparkan sejarah singkat pasar modal; sejumlah kejahatan di pasar modal; tugas dan wewenang Bapepam; dan analisis penulis atas sepak terjang Bapepam dalam memberantas kejahatan yang terjadi di pasar modal. Bab III adalah Penutup. Pada bagian ini, penulis merangkum pembahasan pada bagian-bagian sebelumnya, dan memberikan sejumlah saran terkait efektivitas peran Bapepam dalam memberantas kejahatan di pasar modal.

BAB II
PEMBAHASAN


1. Sejarah Singkat Pasar Modal [2]
 Untuk mendapatkan gambaran besar mengenai kondisi pasar modal Indonesia, penulis mengganggap perlu untuk memaparkan secara kronologis, sekelumit kisah mengenai sejarah pasar modal Indonesia.

 Pasar modal di bumi nusantara (tepatnya di Batavia) pertama kali dibentuk pada tanggal 14 Desember 1912 di bawah pemerintahan kolonial Belanda. Meletusnya perang dunia I di Eropa pada tahun 1914, menyebabkan pasar modal di Batavia ditutup. Pada kurun waktu antara tahun 1925-1942, pasar modal di Batavia diaktifkan lagi, dan dibentuk pula dua pasar modal yang lain, masing-masing di Semarang dan di Surabaya. Namun, peristiwa politik berupa perang dunia II menyebabkan pasar modal di Semarang dan di Surabaya ditutup pada tahun 1939. Tidak lama setelah itu, pasar modal di Batavia pun di tutup sepanjang tahun 1942-1945.

 Setelah proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia pada tahun 1945, pasar modal di Indonesia (tepatnya di Jakarta) diaktifkan lagi pada tahun 1952 berdasarkan UU No. 15 Tahun 1952 Tentang Penetapan Undang-undang Darurat Tentang Bursa, yang dikeluarkan oleh Menteri Kehakiman (Lukman Wiradinata) dan Menteri Keuangan (Prof. Dr. Soemitro Djojohadikusumo). Instrumen yang diperdagangkan pada waktu itu hanya berupa obligasi pemerintah RI. Sejalan dengan upaya nasionalisasi perusahaan Belanda yang dimulai pada tahun 1956, pasar modal semakin tidak aktif, bahkan vakum sampai dengan tahun 1977.

 Pada tanggal 10 Agustus 1977, pasar modal di Jakarta diresmikan kembali oleh Presiden Soeharto, yang pelaksanaannya diserahkan kepada Bapepam (Badan Pelaksana Pasar Modal). Pengaktifan kembali pasar modal ini ditandai dengan go public-nya PT Semen Cibinong sebagai emiten pertama. Tanggal 10 Agustus kemudian diperingati sebagai Hari Ulang Tahun Pasar Modal Indonesia.

 Hingga tahun 1987, perkembangan pasar modal Indonesia tergolong sangat lamban dengan hanya 24 emiten yang tercatat, dan rata-rata nilai transaksi harian berada di bawah Rp100 juta. Memperhatikan lesunya geliat perdagangan di pasar modal, pemerintah kemudian meluncurkan Paket Desember 1987 (PAKDES ‘87) yang memberikan kemudahan untuk melakukan penawaran umum bagi perusahaan, dan kemudahan berinvestasi bagi investor asing. Pada tahun 1988, pemerintah meluncurkan Paket Desember 1988 (PAKDES ’88) yang memberikan kemudahan kepada perusahaan untuk melakukan go public, yang segera diikuti dengan peningkatan transaksi di pasar modal. Pada tanggal 2 Juni 1988, didirikanlah Bursa Paralel Indonesia (BPI) yang dikelola oleh Persatuan Perdagangan Uang dan Efek (PPUE) yang terdiri atas broker dan dealer. Pada tanggal 16 Juni 1989, Bursa Efek Surabaya (BES) mulai beroperasi dan dikelola oleh PT Bursa Efek Surabaya.

 Semakin berkembangnya perdagangan di pasar modal dengan jumlah transaksi dan nilai transaksi yang kian meningkat, pada akhirnya membuat pemerintah berkeputusan untuk melakukan swastanisasi terhadap pasar modal di Jakarta. Pada akhir tahun 1991, didirikanlah PT Bursa Efek Jakarta, yang kemudian diresmikan oleh Menteri Keuangan pada tanggal 13 Juli 1992. Badan Pelaksana Pasar Modal kemudian berganti nama menjadi Badan Pengawas Pasar Modal. Tanggal 13 Juli kemudian diperingati sebagai HUT Bursa Efek Jakarta (BEJ). Sejak 22 Mei 1995, otomasi perdagangan dilakukan di BEJ dengan sistem komputer JATS (Jakarta Automated Trading Systems). Pada tanggal 10 November 1995, pemerintah mengeluarkan UU No. 8 Tahun 1995 Tentang Pasar Modal, yang mulai berlaku pada Januari 1996. Pada tahun 1995, BPI merger dengan BES. Akhirnya pada tanggal 3 Desember 2007, BES dan BEJ merger dan berganti nama menjadi Bursa Efek Indonesia (BEI) yang dikelola oleh PT Bursa Efek Indonesia. Pada semester I tahun 1998 (sebelum terjadi krisis sub-prime di Amerika Serikat), rata-rata nilai transaksi mencapai Rp5,6 trilyun per hari, dengan jumlah emiten mencapai 396 emiten.

2. Beragam Kejahatan di Pasar Modal
 Perkembangan pasar modal Indonesia yang signifikan dengan volume transaksi dan nilai transaksi yang terus meningkat, menyebabkan pasar modal menjadi ladang subur bagi bertumbuhnya tingkat kejahatan di bidang korporasi. Pada bagian pembahasan ini, penulis membatasi diri untuk hanya membahas kejahatan-kejahatan di bidang pasar modal sebagaimana yang diatur di dalam pasal 90 (penipuan), pasal 91 s.d. pasal 93 (manipulasi pasar), dan pasal 95 s.d. pasal 99 (perdagangan orang dalam) UU No. 8 Tahun 1995. Berikut penjelasan penulis tentang kejahatan-kejahatan dimaksud.

2.1. Perdagangan Orang Dalam (Insider Trading)
 Perdagangan orang dalam dapat dikatakan sebagai kejahatan yang khas pada pasar modal. Tindak kejahatan ini tidak kita temukan padanannya dengan tindak pidana umum sebagaimana yang diatur di dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). Larangan terhadap perdagangan orang dalam untuk pertama kali diintrodusir dengan diberlakukannya Keputusan Menteri Keuangan No.1548/KMK.013/1990 Tentang Pasar Modal. Keputusan Menteri Keuangan ini dapat disebut sebagai suplemen bagi UU No.15 Tahun 1952 Tentang Bursa yang memang tidak mengatur secara spesifik tentang kejahatan-kejahatan di pasar modal. Karena pengaturan tentang pasar modal dirasakan tidak memadai lagi diatur dengan keputusan menteri, lagipula UU Pasar Modal 1952 dirasakan sudah ketinggalan zaman, maka dibentuklah UU Pasar Modal yang baru yaitu UU No. 8 Tahun 1995 Tentang Pasar Modal.

 Ketentuan pokok pasal 95 UU No.8 Tahun 1995 mengatur bahwa setiap orang dalam dari emiten atau perusahaan publik yang mempunyai informasi orang dalam dilarang melakukan transaksi atas efek emiten atau perusahaan publik tersebut, atau perusahaan lain yang melakukan transaksi dengan emiten atau perusahaan publik bersangkutan. [3] Dari klausul pasal 95 ini, ada beberapa bagian pokok yang harus dijelaskan, yaitu mengenai orang dalam, informasi orang dalam, dan solusi yang dapat dipakai untuk mengatasi masalah ini.
 Bagian penjelasan pasal 95 UU No. 8 Tahun 1995 mengatur bahwa yang dimaksudkan sebagai “orang dalam” (insiders) [4] adalah:
a. Komisaris, direktur, atau pegawai emiten atau perusahaan publik;
b. Pemegang saham utama;
c. Orang perseorangan yang karena kedudukan dan profesinya atau karena hubungan usahanya dengan emiten atau perusahaan publik memungkinkan orang tersebut memperoleh informasi orang dalam.

 Jika kita berpatok pada penjelasan pasal 95 UU Pasar Modal di atas, maka cakupan orang dalam menjadi sangat terbatas. Padahal, siapa saja yang mendapatkan informasi yang dikategorikan sebagai informasi orang dalam, dapat disebut sebagai orang dalam. Untuk memahami maksud penulis, berikut penulis memaparkan sebuah contoh kasus fiktif tentang orang dalam. Misalnya, Si A adalah anak seorang direktur di Perusahaan X yang bergerak di pertambangan emas. Pada sebuah kesempatan bermain sepak bola, Si A menceritakan kepada Si B, bahwa menurut ayahnya, perusahaan X telah menemukan sebuah sumber emas yang terbukti bermutu tinggi di suatu tempat. Beberapa waktu belakangan, harga saham perusahaan X di bursa cederung stabil. Si B kebetulan juga anak seorang pemegang saham pada PT Y yang sama sekali tidak memiliki hubungan usaha dengan perusahaan X. Cerita Si A diteruskan oleh Si B kepada ayahnya. Ayah Si B ternyata menganggap serius informasi tersebut karena ia yakin bahwa informasi tersebut secara tidak langsung berasal dari mulut ayah Si A. Sebelum informasi mengenai penemuan sumber emas diumumkan di bursa, ayah Si B telah membeli sebagian besar saham milik perusahaan X. Setelah itu, harga saham PT X naik drastis setelah pengumuman, dan ayah Si B benar-benar diuntungkan dengan informasi tersebut. Dari contoh di atas dapat kita katakan bahwa a) pengertian tentang orang dalam tidak hanya terkait dengan pihak-pihak yang memiliki hubungan usaha dengan emiten atau perusahaan publik tertentu, tetapi siapa saja yang mendapatkan informasi orang dalam, b) informasi orang dalam dapat dipakai untuk berinvestasi oleh orang dalam perusahaan lain yang tidak memiliki hubungan usaha dengan emiten atau perusahaan publik tersebut. Dengan demikian, pelarangan orang dalam tidak hanya berlaku bagi mereka yang adalah “orang dalam”, tetapi juga berlaku bagi orang-orang di luar “orang dalam” perusahaan, terutama dilandasi oleh prinsip bahwa “orang-orang luar” (karena hubungannya dengan emiten atau perusahaan publik), memang berkewajiban untuk tidak menggunakan informasi tersebut untuk kepentingan perdagangan efek/saham emiten. Dengan demikian ada semacam fiduciary duty yang dibebankan kepada orang luar yang mempunyai hubungan dengan orang dalam atau secara kebetulan memiliki informasi orang dalam. [5]

 Informasi merupakan instrumen yang sangat penting dalam investasi di pasar modal karena sangat berpengaruh terhadap keputusan investor untuk membeli/tidak membeli dan menjual/tidak menjual efek suatu emiten atau perusahaan publik. Yang dimaksud dengan informasi orang dalam adalah informasi material yang dimiliki orang dalam, yang belum tersedia untuk umum. Penggunaan informasi orang dalam untuk melakukan transaksi efek menyebabkan pihak yang memiliki informasi tersebut diuntungkan, sedangkan pihak lain dirugikan. Kejahatan pasar modal ini menutup kemungkinan bagi investor untuk mendapatkan/membeli efek dengan harga yang murah atau melepaskan/menjual efek tersebut dengan harga yang tinggi.

 Solusi yang dibutuhkan untuk menyelesaikan atau sekurang-kurangnya meredam kasus perdagangan orang dalam adalah melalui kewajiban pelaporan dan keterbukaan informasi (disclosure of information). Lembaga-lembaga yang memperoleh izin usaha dari Bapepam wajib membuat laporan periodik kepada Bapepam. [6] Selain itu emiten yang pernyataan pendaftarannya telah menjadi efektif atau perusahaan publik wajib: a) menyampaikan laporan secara berkala kepada Bapepam dan mengumumkannya kepada publik, dan b) menyampaikan laporan kepada Bapepam dan mengumumkan kepada masyarakat tentang peristiwa materil yang dapat mempengaruhi harga efek, selambat-lambatnya pada akhir hari kerja kedua setelah terjadi peristiwa tersebut. [7]

 Larangan perdagangan orang dalam pada dasarnya dimaksudkan agar informasi yang keluar dari perusahaan dapat sampai kepada semua orang (pemodal dan calon pemodal) secara bersamaan dan merata. Di sinilah letak perlakuan yang adil dan setara atas semua pihak yang terlibat di pasar modal.

2.2. Penipuan (Fraud In The Market)
 Tindak penipuan di pasar modal secara tegas diatur di dalam pasal 90 UU No. 8 Tahun 1995, [8] yaitu bahwa dalam melaksanakan perdagangan efek, setiap pihak dilarang secara langsung atau tidak langsung:
1. menipu atau mengelabui pihak lain dengan menggunakan sarana dan/atau cara apa pun;
2. turut serta menipu atau mengelabui pihak lain;
3. membuat pernyataan tidak benar mengenai fakta yang material atau tidak mengungkapkan fakta yang materil agar pernyataan yang dibuat tidak menyesatkan mengenai keadaan yang terjadi pada saat pernyataan dibuat dengan maksud untuk menguntungkan atau menghindarkan kerugian untuk diri sendiri atau pihak lain atau dengan tujuan mempengaruhi pihak lain untuk membeli atau menjual efek.

 Penipuan dalam bidang pasar modal sebenarnya dapat dianggap sama dengan penipuan dalam tindak pidana umum (sebagaimana diatur di dalam pasal 378, pasal 390, pasal 391, dan pasal 392 KUHP). Namun, penipuan di bidang pasar modal perlu diperlakukan secara khusus mengingat potensi kekacauan ekonomi dan hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap perekonomian suatu negara yang dapat ditimbulkannya. Dengan demikian UU Pasar Modal memberikan hukuman yang lebih tinggi terhadap jenis kejahatan ini, yaitu maksimal 10 tahun penjara dan denda sebanyak-banyaknya Rp15 miliar.[9] Penipuan di bidang pasar modal meliputi penipuan yang dilakukan melalui prospektus atau dalam kegiatan perdagangan efek di bursa. Selain itu penipuan dapat dilakukan baik atas efek yang tercatat (listed) maupun efek yang diperdagangkan di luar bursa (over the counter). Pasal 90 ayat 3 UU Pasar Modal berupaya memberikan jaminan bahwa setiap informasi dan fakta materil yang disampaikan memang benar dan tidak menyesatkan. [10]

 Untuk mendapatkan gambaran mengenai salah satu bentuk penipuan di bidang pasar modal, penulis memaparkan sebuah contoh, s.b.b. Bre-X adalah sebuah perusahaan tambang emas dari Kanada yang beroperasi di Kalimantan. Manajemen Bre-X melakukan penipuan dengan melebih-lebihkan jumlah cadangan emas yang ada di daerah kuasa pertambangannya di Kalimantan. Manajemen Bre-X pada waktu itu mengelabui investor dengan memberikan sample tanah untuk pemeriksaan laboratorium mengenai cadangan emasnya dengan terlebih dahulu menambahkan butiran-butiran emas ke dalam sample tersebut. Latas diperkirakan bahwa cadangan emas di dalam tambang tersebut mencapai 200 juta pon. Berita tidak benar tersebut menyebabkan harga saham Bre-X naik beberapa kali lipat. Namun, ketika penipuan ini mulai terbongkar, harga saham Bre-X langsung turun pada tingkat yang sangat rendah.[11] Dari contoh ini kita menemukan bahwa kejahatan penipuan di pasar modal tidak hanya dilakukan melalui pengelabuan prospektus atau dalam perdagangan efek di bursa, tetapi juga melalui motif penipuan yang semakin beragam.

2.3. Manipulasi Pasar (Market Manipulation)
 Ketentuan tindak kejahatan manipulasi pasar diatur di dalam pasal 91 s.d. pasal 93 UU Pasar Modal. Berbeda dengan perdagangan orang dalam yang pengaturannya dilakukan secara umum, manipulasi pasar merupakan tindak pidana yang pengaturannya hanya berlaku bagi kegiatan di bursa efek saja, khususnya terkait perdagangan efek/saham terdaftar di bursa efek. Publikasi yang selalu dilakukan atas harga efek dan keadaan pasar dimaksudkan agar masyarakat mendapatkan gambaran yang real dan objektif tentang pasar, bukan merupakan sesuatu yang direkayasa. Manipulasi pasar dapat berbentuk manipulasi terhadap perdagangan efek dan manipulasi terhadap harga efek. Tindakan manipulasi pasar dan manipulasi harga merupakan tindakan yang dilakukan dengan perantaraan anggota bursa, baik secara sendiri maupun secara bersama-sama, yang dapat memberikan gambaran bahwa transaksi efek atau harga efek yang terjadi adalah sesuai dengan kekuatan pasar.
 Gabaran semu dan menyesatkan dalam transaksi dapat dilakukan oleh anggota bursa dengan cara melakukan transaksi efek tanpa mengakibatkan perubahan kepemilikan atas efek tersebut (wash sales), atau melakukan penawaran (jual-beli efek) pada harga tertentu yang sudah disepakati sebelumnya. Transaksi semu ini dapat dilakukan dengan atau tanpa barang sama sekali. Dengan demikian dalam kasus ini, penjual tidak menyerahkan saham kepada pembeli, dan pembelinya pun tidak menerima saham yang dijual. Transaksi ini dimaksudkan untuk menciptakan “a misleading appearence of active trading”.[12]

 Tindakan manipulasi pasar sudah semestinya dilarang, karena yang diinginkan oleh masyarakat adalah gambaran real tentang pasar, yang dapat menjadi pertimbangan bagi masyarakat bersangkutan dalam berinvestasi. Dengan kata lain, investor ingin agar apa yang terjadi di pasar memang merupakan cerminan dari kekuatan penawaran dan permintaan, bukan sesuatu yang dibuat-buat, seolah-olah cerminan kekuatan pasar tersebut adalah gambaran yang nyata dan benar tentang pasar.

3. Tugas dan Wewenang Bapepam di Pasar Modal [13]
 Kegiatan perdagangan di pasar modal sehari-hari dibina, diatur, dan diawasi oleh Badan Pengawas Pasar Modal (Bapepam). Sejak Pasar Modal di-swasta-kan oleh pemerintah, Bapepam tidak lagi menjadi badan pelaksana pasar modal, tetapi menjadi badan pengawas pasar modal. Eksistensi, tugas, dan wewenang Bapepam diatur di dalam pasal 3, pasal 4, dan pasal 5 UU Pasar Modal. Bapepam berada di bawah dan bertanggungjawab kepada Menteri Keuangan. Berikut penulis memaparkan tugas dan wewenang Bapepam yang disarikan dari UU Pasar Modal.

3.1. Tugas Bapepam
 Secara umum, tugas Bapepam adalah membina, mengatur, dan mengawasi pasar modal. Tugas membina, mengatur, dan mengawasi pasar modal tersebut meliputi:

a. Bidang Yang Berkaitan Dengan Evaluasi Keuangan Perusahaan (Corporate Finance)
 Pihak-pihak yang melakukan kegiatan di pasar modal memiliki beberapa kewajiban, salah satu di antaranya adalah kewajiban untuk menyampaikan laporan keuangan secara berkala kepada Bapepam. Laporan keuangan ini dimaksudkan untuk memenuhi asas keterbukaan (disclosure) di dalam pasar modal. Laporan keuangan yang wajib dilaporkan kepada Bapepam tersebut meliputi neraca, laporan laba-rugi, laporan saldo kas, laporan arus kas, catatan atas laporan keuangan, dan laporan lain serta materi penjelasan yang merupakan bagian integral dari laporan keuangan.

 Selain kewajiban penyampaian laporan keuangan secara berkala oleh emiten dan perusahaan publik kepada Bapepam, beberapa kewajiban penyampaian laporan terkait keuangan perusahaann pun harus dilaksanakan, antara lain:
a. Laporan realisasi penggunaan dana hasil penawaran umum oleh emiten;
b. Laporan keuangan tengah tahunan dan laporan keuangan tahunan oleh bursa efek;
c. Laporan realisasi rencana anggaran serta penggunaan laba oleh Lembaga Kliring dan Penjaminan (LKP) dan Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian (LPP).

b. Bidang Yang Berkaitan Dengan Pengawasan Transaksi dan Lembaga Bursa (Market Regulation)
 Transaksi efek di bursa melibatkan beberapa lembaga, antara lain Bursa Efek, LKP, LPP, dan Perusahaan Efek. Untuk menjamin adanya transaksi bursa yang teratur, wajar, dan efisien, Bapepam perlu mengatur beberapa regulasi terkait transaksi di bursa, antara lain:

a. Peraturan-peraturan terkait bursa efek.
 Peraturan ini terkait dengan kewajiban bursa efek untuk menyediakan sistem dan sarana perdagangan yang baik, dan melakukan pengawasan terhadap kegiatan setiap anggota bursa. Bursa efek pun wajib menyusun rencana anggaran tahunan dan penggunaan laba dalam rangka mempermudah pengawasan Bapepam terhadap bursa efek.

b. Peraturan-peraturan yang berkaitan dengan Lembaga Kliring dan Penjaminan
 LKP adalah lembaga yang didirikan untuk menyelenggarakan kliring dan penjaminan. LKP sebagai lembaga yang krusial di dalam perdagangan efek diharapkan dapat menjamin kelancaran penyelesaian transaksi di bursa, sehingga hak dan kewajiban peserta kliring berupa penyerahan/penerimaan efek dan/dana dapat dipenuhi dengan baik. Untuk menjamin teraturnya kegiatan LKP, Bapepam mengeluarkan beberapa regulasi, di antaranya terkait dengan tata cara pembuatan peraturan oleh LKP.

c. Peraturan-peraturan yang berkaitan dengan Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian
 LPP adalah lembaga yang menyediakan jasa kustodian. LPP wajib melindungi kepentingan para pemakai jasanya. LPP harus dapat menciptakan sistem yang dapat mengurangi biaya transaksi, menekan resiko, dan menurunkan biaya kustodian. Jika sistem yang disediakan LPP kurang baik, kemungkinan besar kelumpuhan pasar modal dan perekonomian nasional dapat terjadi. Untuk itu, peran Bapepam melalui regulasi yang dikeluarkannya sangat diperlukan.

d. Peraturan-peraturan yang berkaitan dengan Perusahaan Efek
 Perusahaan efek adalah salah satu lembaga penunjang pasar modal yang penting. Melalui para broker yang bekerja di perusahaan efeklah, pembeli dan penjual efek dipertemukan. Selain itu perusahaan efek dapat juga bertindak sebagai penjamin emisi efek dan manajemen investasi. Agar perusahaan efek dapat menjalankan tugasnya dengan aman, dibutuhkanlah sistem pengendalian intern yang memadai. Dalam rangka ini, Bapepam mengeluarkan peraturan-peraturan yang berkaitan dengan aspek pengendalian intern dan metoda akuntansi yang wajib diikuti oleh perusahaan efek.

c. Bidang Yang Berkaitan Dengan Manajemen Investasi (Investmen Manegement)
 Manajemen Investasi berkaitan erat dengan reksa dana, pengelolaan investasi yang dilakukan oleh manejer investasi pada reksa dana berbentuk Kontrak Investasi Kolektif (KIK). Reksa dana sebagai salah satu cara berinvestasi, lebih ditujukan kepada para investor dengan kemampuan dana yang terbatas. Dengan demikian, Bapepam perlu mengatur hal-hal terkait Reksa Dana dan Manejer Investasi.

d. Bidang Yang Berkaitan Dengan Pembuatan Peraturan (Rule Making)
 Dalam rangka menciptakan pasar yang teratur, wajar, dan efisien diperlukan suatu kerangka hukum yang kokoh. Selain UU No. 8 Tahun 1995 Tetang Pasar Modal, dan Keputusan Menteri, Bapepam juga diberi kewenangan untuk membuat peraturan-peraturan yang mendukung terciptanya pasar yang teratur, wajar, dan efisien.

3.2. Wewenang Bapepam
 Dalam melaksanakan pembinaan, pengaturan, dan pengawasan terhadap aktivitas pasar modal, Bapepam diberi beberapa kewenangan, antara lain:

a. Memberikan izin usaha kepada Bursa Efek, LKP, LPP, Reksa Dana, Perusahaan Efek, Penasehat Investasi, dan Biro Administrasi Efek;

b. Memberikan izin perseorangan bagi Wakil Penjamin Emisi Efek, Wakil Perantara Pedangang Efek, dan Wakil Manejer Investasi;

c. Memberikan persetujuan bagi bank kustodian;

d. Mewajibkan pendaftaran bagi Profesi Penunjang Pasar Modal dan Wali Amanat;

e. Menetapkan persyaratan dan tata cara pencalonan dan memberhentikan untuk sementara waktu komisaris atau direktur serta menunjuk manajemen sementara Bursa Efek, LKP, dan LPP sampai dengan dipilihnya komisaris atau direktur baru;

f. Menetapkan persyaratan serta tata cara Pernyataan Pendaftaran serta menyatakan menunda atau membatalkan efektifnya Pernyataan Sementara;

g. Mengadakan pemeriksaan dan penyidikan terhadap setiap pihak yang diduga melakukan pelanggaran terhadap Undang-undang dan peraturan pelaksanaannya;

h. Mewajibkan setiap pihak untuk menghentikan atau memperbaiki iklan atau promosi yang berhubungan dengan kegiatan di pasar modal;

i. Mewaibkan setiap pihak untuk mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk mengatasi akibat yang timbul dari iklan atau promosi tersebut;

j. Melakukan pemeriksaan terhadap emiten atau perusahaan publik yang telah atau diwajibkan menyampaikan pendaftaran pendaftaran kepada Bapepam;

k. Melakukan pemeriksaan terhadap pihak yang dipersyaratkan memiliki izin usaha, izin perseorangan, persetujuan atau pendaftaran profesi berdasarkan UU Pasar Modal;

l. Menunjuk pihak lain untuk melakukan pemeriksaan tetentu dalam rangka pelaksanaan wewenang Bapepam;
m. Mengumumkan hasil-hasil pemeriksaan yang dilakukan oleh Bapepam atau pihak lain yang ditunjuk oleh Bapepam;

n. Membekukan atau membatalkan pencatatan suatu efek pada bursa efek atau menghentikan transaksi-transaksi bursa atas efek tertentu untuk melindungi pemodal;

o. Menghentikan kegiatan perdagangan di bursa efek untuk jangka waktu tertentu dalam hal keadaan darurat;

p. Memeriksa keberatan yang diajukan oleh pihak yang dikenakan sanksi oleh bursa, LKP atau LPP, serta memberikan keputusan membatalkan atau menguatkan pengenaan sanksi tersebut;

q. Menetapkan biaya perizinan, persetujuan , pendaftaran, pemeriksaan, dan penelitian serta biaya lain dalam rangka kegiatan pasar modal;

r. Melakukan tindakan yang diperlukan untuk mencegah kerugian masyarakat sebagai akibat ketentuan di bidang pasar modal;

s. Memberikan penjelasan lebih lanjut yang bersifat teknis atas UU Pasar Modal dan peraturan pelaksanaannya;

t. Menetapkan instrumen lain sebagai efek selain surat pengakuan utang, surat berharga komersial, saham, obligasi, tanda bukti utang, unit penyertaan kontrak investasi kolektif, kontrak berjangka atas efek, dan setiap derivatif dari efek.

4. Menelaah Peran Bapepam Dalam Pemberantasan Kejahatan di Pasar Modal 

 Salah satu kewenangan yang diberikan kepada Bapepam oleh UU Pasar Modal adalah mengadakan pemeriksaan dan penyidikan terhadap setiap pihak dalam hal terjadi peristiwa yang diduga merupakan pelanggaran terhadap Undang-undang Pasar Modal dan atau peraturan pelaksanaannya. [14] Wewenang Bapepam untuk melakukan pemeriksaan dan penyidikan dijabarkan lebih lanjut di dalam pasal 100 dan pasal 101 UU Pasar Modal. Bahkan, berdasarkan pasal 102 UU Pasar Modal, Bapepam diberikan kewenangan untuk menjatuhkan sanksi administratif kepada pihak yang melanggar UU Pasar Modal dan peraturan pelaksanaannya. Dari kewenangan yang dimiliki oleh Bapepam, dapatlah kita katakan bahwa Bapepam adalah polisi khusus bagi pasar modal. Kendatipun demikian, dapatkah wewenang ini dijalankan secara maksimal oleh Bapepam?

 Kewenangan yang dimiliki oleh Bapepam, cukup untuk menjadikannya sebagai lembaga yang efektif untuk memberantas kejahatan-kejahatan yang terjadi di pasar modal. Terhadap beberapa kasus, Bapepam berhasil membuktikan pelanggaran pihak-pihak tertentu terhadap UU Pasar Modal dan peraturan-peraturan pelaksanaannya serta menjatuhkan sanksi administratif bagi pihak-pihak tersebut. Salah satu contohnya adalah keberhasilan Bapepam membuktikan dugaan penipuan berupa penggelembungan keuntungan (overstated) yang dilakukan PT Kimia Farma Tbk terhadap laporan keuangan pada semester I tahun 2002.[15] Bapepam lalu menjatuhkan hukuman berupa denda sebesar Rp500 juta kepada direksi yang menjabat pada saat itu, dan memerintahkan PT Kimia Farma Tbk untuk:

a. Segera membenahi dan menyusun sistem pengendalian internal dan sistem akuntansi perusahaan yang harus diselesaikan selambat-lambatnya pada akhir semester I tahun buku 2005 dan menyampaikan laporannya kepada Bapepam.

b. Menunjuk akuntan publik yang terdaftar di Bapepam untuk melakukan audit khusus untuk melakukan penilaian atas sistem pengendalian internal dan sistem akuntansi tersebut apabila perusahaan telah selesai melakukan pembenahan dan atau penyusunan sistem pengendalian internal dan sistem akuntansi perusahaan. Hasil audit khusus tersebut wajib disampaikan kepada Bapepam.

 Bapepam juga pernah membuktikan pelanggaran yang dilakukan PT Myohdotcom Indonesia Tbk terhadap Peraturan Bapepam No. IX.E.2 Tentang Transaksi Material dan Perubahan Kegiatan Usaha Utama.[16] Kasus ini bermula ketika PT Myohdotcom Indonesia Tbk mengeluarkan surat pemberitahuan mengenai rencana perseroan untuk melakukan pembelian saham dan mengadakan Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa (RUPSLB). Berdasarkan pemeriksaan atas data/dokumen dan pihak-pihak terkait dalam kasus tersebut, ditemukan hal-hal sbb:

a. PT Myohdotcom Indonesia Tbk telah melakukan RUPSLB pada tanggal 30 April 2001 dengan hasil menyetujui transaksi akuisisi terhadap tiga perusahaan afiliasi, yaitu PT Celicom Indonesia, PT Asiamaya Dotcom Indonesia, dan PT DC Java Indonesia.

b. PT Myohdotcom Indonesia Tbk telah memenuhi prosedur yang ada kecuali dokumen berupa laporan penilai independen atas nilai saham yang akan dibeli secara lengkap yang belum disampaikan kepada Bapepam. Dokumen tersebut baru disampaikan kepada Bapepam pada tanggal 27 Maret 2002.
 Bapepam kemudian mengenakan sanksi administratif berupa denda sebesar Rp358 juta atas 358 hari keterlambatan penyampaian dokumen berupa laporan penilai independen terhitung mulai tanggal 3 April 2001 sampai dengan tanggal 27 Maret 2002.

 Ada beberapa contoh lain yang menggambarkan keberhasilan Bapepam dalam usahanya memberantas, atau sekurang-kurangnya mencegah terjadinya kejahatan yang dilakukan dalam ruang lingkup pasar modal. Kendatipun demikian, harus diakui pula bahwa sisi pembuktian kejahatan adalah salah satu kendala tersendiri yang dihadapi oleh Bapepam. Salah satu faktor penghambat pembuktian adalah otomatisasi transaksi perdagangan di pasar modal. Hukum yang sekarang ini berlaku di Indonesia, belum secara penuh mengakomodir pembuktian secara elektronis. Penuntutan terhadap kejahatan di pasar modal pun dirasakan sulit untuk dilakukan. Pelaku kejahatan umumnya bersembunyi di balik institusi atau di balik rekening efek yang mereka buka. Kenyataan ini tentu sangat menyedihkan karena selama sepuluh tahun, terhitung sejak UU Pasar Modal diberlakukan, belum ada satu tindakan kejahatan pun yang dibawa ke pengadilan. Fakta semacam ini tentu saja mematikan niat investor untuk melakukan investasi di Indonesia yang melihat lemahnya penegakan hukum di Indonesia, khususnya di bidang pasar modal.

BAB III
P E N UT U P

1. Kesimpulan

 Pasar modal adalah wahana untuk mempertemukan pihak penjual dan pembeli yang bermaksud melakukan investasi jangka menengah dan jangka panjang. Pasar modal pun dapat menjadi sumber pembiayaan yang tepat bagi perusahaan-perusahaan yang ingin memperluas jangkauan bisnisnya. Peran pasar modal dalam perekonomian di tanah air pun tidak dapat diragukan lagi. Dengan menjadikan pasar modal sebagai indikatornya, investor domestik maupun asing dapat mengukur kekuatan pasar di Indonesia, dan seberapa besar keterlibatan pemerintah dalam penegakan hukum di bidang perekonomian.
 Perkembangan pasar modal Indonesia yang sedemikian pesat, terutama sejak swastanisasi BEJ yang berlaku sejak 13 Juli 1992 turut mengembangkan jumlah dan ragam kejahatan yang terjadi pasar modal. Dari sekian banyak kejahatan yang terjadi di pasar modal, insider trading, fraud in the market, dan market manipulation adalah kejahatan-kejahatan yang paling sering terjadi di pasar modal. Kejahatan-kejahatan yang terjadi pasar modal umumnya sangat sulit dibuktikan sehingga sulit juga dibawa ke meja hijau. Di satu sisi, kejahatan ini sulit dibuktikan karena memang dilakukan secara profesional oleh penjahat-penjahat kerah putih (white colar criminal) yang bersembunyi di balik korporasi dan rekening efek yang mereka buka. Di sisi lain, kesulitan diakibatkan oleh karena alat bukti elektronis yang sulit diterima oleh sistem hukum Indonesia. Selain itu, niat Bapepam sebagai polisi di bidang pasar modal untuk membuktikan dan menuntut pelaku kejahatan dinilai kurang memadai. Dalam rangka mencegah terjadinya lebih banyak kejahatan dan rupa-rupa kejahatan yang terjadi di pasar modal, pada bagian selanjutnya, penulis memberikan beberapa saran yang kiranya berguna bagi efektivitas pemberantasan kejahatan di pasar modal.

2. Saran

  Berdasarkan hasil kajian penulis atas topik yang telah dibahas pada bagian-bagian sebelumnya, berikut ini penulis memaparkan sejumlah saran, sbb:

a. Terhadap sulitnya pembuktian kejahatan-kejahatan yang terjadi di pasar modal, Bapepam dapat menggunakan data, informasi, bahan dan/atau keterangan lain yang dipakainya untuk menjatuhkan sanksi administratif kepada pihak yang melanggar UU Pasar Modal dan peraturan-peraturan pelaksanaannya sebagai bukti awal dalam tahap penyidikan. Hal ini tidak berarti bahwa tindakan penyidikan harus didahului oleh tindakan pemeriksaan. Apabila Bapepam berpendapat bahwa suatu kegiatan yang dilakukan oleh suatu pihak merupakan pelanggaran terhadap UU Pasar Modal dan/atau membahayakan kepentingan pemodal dan masyarakat luas, maka tindakan penyidikan dapat dimulai atau dilaksanakan.[17] Selain itu Bapepam pun harus dapat memberanikan diri untuk menyelidiki dan menuntut setiap pelanggaran terhadap pasar modal, kendatipun di sisi lain, informasi terkait kasus tersebut berpotensi mengganggu aktivitas perdagangan di pasar modal. Penulis berkeyakinan, sejauh Bapepam konsisten terhadap penegakan hukum terhadap pasar modal, tingkat kepercayaan investor (domestik dan asing) terhadap pasar modal Indonesia semakin bertumbuh.

b. Bapepam harus konsisten dalam menegakan prinsip-prinsip yang berlaku di pasar modal, di antaranya mengenai keterbukaan informasi. Bapepam harus tegas menindak para pihak (khususnya emiten dan perusahaan publik) yang melanggar prinsip ini.

Daftar Pustaka

a. Sumber Buku

Balfas, Hamud M. 2006. Hukum Pasar Modal Indonesia. PT Tatanusa: Jakarta
Tunggal, Imam Sjahputra. 2008. Aspek Hukum Pasar Modal di Indonesia (Konsep dan Kasus). Harvarindo: Jakarta.

b. Peraturan Perundang-undangan
Indonesia. Undang-undang Tentang Pasar Modal. UU No. 8 Tahun 1995 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 64)

Indonesia. Penjelasan Atas Undang-undang No. 8 Tahun 1995 Tentang Pasar Modal. (Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3608)

c. Sumber Lain

Sejarah Bursa Efek Indonesia, diakses dari http://www.idx.com, pada tanggal 10 Januari 2010

Endnote:
[1]Sutherland (1949), seorang kriminolog Amerika Serikat yang meneliti dan menulis tentang “White Colar Criminality” mendefinisikan kejahatan ini sebagai “a crime committed by a person of respectability and high social status in the course of his occupation”. Bahkan ia menyatakan bahwa jenis akibat dari kejahatan yang dilakukan oleh sekelompok orang ini jauh lebih lebih besar daripada kejahatan yang dilakukan oleh orang-orang dari golongan ekonomi lemah. Vide, Hamud M. Balfas, Hukum Pasar Modal Indonesia, PT. Tatanusa:Jakarta, 2006, hlm. 432.
[2]Data mengenai sejarah Bursa Efek Indonesia ini diakses dari http://www.idx.com, pada tanggal 10 Januari 2010.
[3]Vide, Indonesia, Pasal 95 UU No. 8 Tahun 1995 Tentang Pasar Modal.
[4]Vide, Indonesia, Penjelasan Pasal 95 UU No. 8 Tahun 1995 Tentang Pasar Modal.
[5]Hamud M. Balfas, Op.Cit., hlm 445-446.
[6]Vide, Indonesia, pasal 85 UU No.8 Tahun 1995 Tentang Pasar Modal.
[7]Vide, Indonesia, pasal 86 UU No.8 Tahun 1995 Tentang Pasar Modal.
[8]Vide, Indonesia, Pasal 90 UU No.8 Tahun 1995 Tentang Pasar Modal.
[9]Vide, Indonesia, Pasal 104 UU No.8 Tahun 1995 Tentang Pasar Modal.
[10]Hamud M. Balfas, Op.Cit., hlm 460.
[11]Ibid., hlm. 469-470.
[12]Ibid., hlm. 472.
[13]Vide, Imam Sjahputra Tunggal, Aspek Hukum Pasar Modal di Indonesia (Konsep dan Kasus), Harvarindo: Jakarta, 2008, hlm. 25-38.
[14]Vide, Indonesia, Pasal 5 ayat 5 UU No.8 Tahun 1995 Tentang Pasar Modal.
[15]Hamud M. Balfas, Op.Cit., hlm. 467.
[16]Ibid., hlm. 479-480.
[17]Vide, Indonesia, Penjelasan Pasal 100 ayat 2 UU No.8 Tahun 1995 Tentang Pasar Modal.