Monday, January 25, 2010

Ekoteologi Menurut Denis Edwards



BAB I
PENDAHULUAN

1. Latar Belakang Masalah 

 Di abad XXI ini, kerusakan lingkungan, baik lingkungan biotik maupun lingkungan abiotik, semakin marak terjadi. Beberapa dari kerusakan ekologis itu disebabkan oleh faktor alam. Namun, fakta memperlihatkan bahwa manusialah yang menjadi penyebab utama kerusakan itu. Sebagai gambaran mengenai keadaan lingkungan hidup kita, berikut ini saya memaparkan sebuah prediksi yang pernah dibuat oleh U.S. Worldwatch Institute pada tahun 1984. Menurut prediksi lembaga ini:
“Kalau kita tidak serius memperhatikan pencemaran lingkungan, maka pada tahun 1990 ada 10 spesies dalam sehari akan hilang. Pada tahun 2000, ada satu spesies hilang setiap jam. Sejak tahun 1950, kita kehilangan 5% per tahun lahan untuk bercocok tanam dan hutan tropis untuk menarik hujan. Setiap tahun kita kehilangan 20-25 juta ton humus melalui erosi, penggaraman, dan menjadi gurun. Setiap tahun, 20 milyard hektar hutan hilang” [1]
Seandainya prediksi mengenai kerusakan ekologis di atas benar-benar terjadi, maka manusia dan komunitas kehidupan lain akan mengalami krisis ekologis yang serius. Krisis ini tentunya akan semakin parah, jika manusia sebagai makhluk yang memiliki intelegensi dan kehendak bebas tidak melakukan upaya-upaya perbaikan dan pencegahan.
 Berhadapan dengan persoalan ekologis, berbagai bidang ilmu berupaya memberikan kontribusi positifnya dalam upaya perbaikan dan pencegahan kerusakan lingkungan hidup. Salah satu bidang ilmu yang dapat berkontribusi bagi “pertobatan ekologis” (ecological conversion) [2] adalah teologi. Teologi masing-masing agama tentunya memiliki jawaban sendiri atas persoalan ekologis. Tulisan ini secara khusus akan membahas pandangan kekristenan, khususnya Gereja Katolik, mengenai lingkungan hidup dan segala kompleksitasnya. Kajian teologis ini didasarkan atas gagasan teologis seorang imam Katolik dan teolog berkebangsaan Australia, yaitu Denis Edwards, yang termuat di dalam buku Ecology at The Heart of Faith-The Change of Heart that leads to A New Way of Living on Earth (selanjutnya disingkat EHF). Secara pribadi, penulis merasa bahwa gagasan teologis Denis Edwards tentang ekologi ini sangat relevan untuk diperhatikan dan dipertimbangkan sebagai cara alternatif untuk membebaskan manusia dari persoalan ekologis yang dihadapinya.


2. Tujuan Penulisan
 Karya tulis ini bertujuan untuk membantu insan beriman dan siapa saja yang memiliki kepedulian terhadap persoalan ekologis agar tetap mempertahankan keutuhan komunitas ciptaan Allah, dan menyadari betapa dirinya sangat dibutuhkan dalam upaya perbaikan dan pelestarian lingkungan hidup.


3. Metodologi Penulisan
 Penulisan karya tulis ini menggunakan metode penelitian pustaka. Buku yang menjadi sumber utama penulisan karya tulis ini adalah Ecology at The Heart of Faith-The Change of Heart that leads to A New Way of Living on Earth, karya Denis Edwards. Selain itu, penulis juga menggunakan beberapa sumber lain berupa buku, majalah, dan artikel dari berbagai sumber sebagai tambahan.

4. Sistematika Penulisan

 Penulisan karya tulis ini ditempuh dalam beberapa langkah sistematis dan terarah. Bab I merupakan bab pendahuluan yang mengantar pembaca untuk masuk ke dalam pokok-pokok bahasan yang dipaparkan pada bab-bab berikutnya. Bab II membahas genesis manusia dari sudut pandang ilmu pengetahuan. Pada bab ini juga dipaparkan gagasan mengenai manusia sebagai Citra Allah. Bab III memberikan penekanan khusus pada gagasan teologis mengenai Roh Pencipta dan Peristiwa-Kristus (Christ-event) serta relevansinya terhadap upaya pertobatan ekologis. Gagasan teologis mengenai Allah Trinitas, transformasi segala sesuatu di dalam Allah, dan praksis hidup yang berguna bagi pembentukan komunitas ciptaan yang harmonis akan dipaparkan pada bab IV. Bab V merupakan penutup tulisan, dalam mana penulis merangkum keseluruhan pembahasan pada bagian sebelumnya, memberikan sejumlah tanggapan terhadap gagasan teologis Edwards, dan melampirkan relevansi gagasan teologis tersebut dalam konteks ke-Indonesia-an.


BAB II
GENESIS MANUSIA


 Menurut Denis Edwards, salah satu isu kunci bagi teologi ekologis adalah pemahaman mengenai manusia sebagai bagian dari ciptaan Allah. Ia mengatakan:
“Teologi kontemporer manapun yang menyebut dirinya sebagai bersifat ekologis perlu menempatkan manusia di tengah komunitas kehidupan. Teologi itu haruslah merupakan teologi tentang manusia-dalam-relasinya-dengan-yang-lain.” [3]
 Kutipan di atas mengungkapkan pandangan Edwards mengenai teologi ekologis yang benar. Teologi ekologis tersebut haruslah sebuah teologi yang tidak human-centered atau yang menempatkan manusia “di atas” ciptaan Allah lainnya, melainkan teologi yang menempatkan manusia “di tengah-tengah” komunitas kehidupan.
 Edwards mengakui bahwa kosmologi ilmiah dan biologi evolusioner telah memberikan kontribusi berharga bagi pembentukan sebuah teologi ekologis dalam hubungannya dengan manusia. Kedua bidang ilmu ini menempatkan manusia dalam relasinya dengan sejarah alam semesta dan sejarah kehidupan di bumi. Edwards berargumentasi bahwa sebuah teologi mengenai manusia tidak dibangun semata-mata atas dasar ilmu pengetahuan, tetapi juga dibangun atas dasar sumber-sumber Tradisi Kristen, khususnya pandangannya mengenai tempat manusia di hadapan Allah. Edwards bermaksud membangun sebuah teologi yang merupakan perpaduan antara ilmu pengetahuan dan agama. Demi maksud ini, ia mulai menelusuri sejarah manusia dari sudut pandang ilmu pengetahuan. Edwards kemudian menggali lebih dalam ungkapan Tradisi Kristen mengenai manusia sebagai Citra Allah (Imago Dei).

1. Manusia Berasal dari Alam Semesta

 Berikut ini saya memaparkan kajian Denis Edwards mengenai genesis atau asal-usul manusia dari sudut pandang sains. Untuk menelusuri asal-usul manusia dari sudut pandang ilmu pengetahuan, Edwards menggunakan beberapa teori yang menjelaskan asal-usul manusia.


1.1. Manusia Dilahirkan Dari “Dentuman Besar” (Big Bang)
 Salah satu pencapaian besar di abad XX adalah gagasan yang menyatakan bahwa alam semesta kita tidak bersifat statis, melainkan secara dinamis terus berkembang dan meluas. Ketika alam semesta mengembang dan meluas, galaksi-galaksi saling menjauh satu sama lain secara cepat. Pada masa sekarang, para kosmologis berupaya menyelidiki alam semesta dengan cara kembali ke masa sekitar 1,5 miliar tahun yang lalu ketika alam semesta ini masih berbentuk sederhana, padat dan panas. Mereka menyebut teori mengenai asal mula alam semesta yang dihasilkan dari pecahan pertama (first fraction) dari detik pertama setelah terlahirnya alam semesta sebagai Big Bang (Dentuman Besar). Menurut teori-teori kosmologi berpengaruh, di dalam pecahan pertama pada detik pertama, alam semesta mengalami pengembangan (inflation) atau suatu ekspansi yang sangat cepat.
 Para ilmuwan semakin yakin untuk menggambarkan apa yang terjadi selanjutnya setelah detik pertama itu. Kosmolog seperti Martin Rees menekankan bahwa kosmologi dapat memberikan sebuah cacatan yang masuk akal mengenai alam semesta yang mengembang sejak akhir dari detik pertama. [4] Dalam kurun waktu ini, partikel-partikel biasa seperti proton, neutron dan elektron sudah ada. Ketika alam semesta berhenti berekspansi dan menjadi dingin, inti dari elemen yang paling sederhana seperti hidrogen dan sebagian helium mulai terbentuk. Hidrogen merupakan elemen pertama yang terbentuk, dan juga merupakan elemen yang mendominasi alam semesta. Pada tahap ini, masih terlalu panas bagi inti hidrogen dan helium untuk menjadi atom. Terdapat transformasi energi yang sangat cepat antara zat (matter) dan radiasi (radiation). Segera sesudahnya, partikel-partikel dan radiasi bergabung. Pada akhir tiga menit yang pertama, terbentuklah observable universe [5] sebagai bola api (fireball) yang terus berekspansi, kemudian menjadi dingin. Bola api ini terbentuk dari inti hidrogen dan helium.
 Ketika alam semesta kita berusia sekitar 400.000 tahun, sudah cukup dingin bagi inti (nuclei) untuk mengikat diri dengan elektron guna membentuk atom hidrogen dan helium. Pada proses ini, zat (matter) dipisahkan dari radiasi (radiation). Alam semesta menjadi transparan oleh karena besarnya radiasi yang melingkupinya. Radiasi ini adalah radiasi gelombang mikro kosmos (cosmic microwave radiation). Penyebab radiasi gelombang mikro kosmos ini ditemukan oleh Arno Penzias dan Martin Wilson pada tahun 1965, sekitar 13,5 miliar tahun setelah terjadinya radiasi gelombang mikro kosmos. Sekarang para ilmuwan yang mempelajari radiasi ini menemukan bahwa radiasi gelombang mikro kosmos memberikan sebuah gambaran tentang alam semesta awal kepada mereka. Radiasi ini merupakan sisa dari “bola api purba” (primordial fireball).
 Konsekuensi lebih jauh dari pandangan di atas adalah bahwa manusia merupakan sisa-sisa dari bola api purba. Manusia adalah warisan dari Dentuman Besar yang terjadi sekitar 15 miliar tahun yang lalu. Hidrogen merupakan elemen pokok bagi struktur sel segenap makhluk hidup; dan ketika digabungkan dengan oksigen, terbentuklah air yang mendukung dan mempertahankan kehidupan. Tak dapat dihindarkan bahwa kita terbentuk dari dan secara terus menerus tergantung pada hidrogen yang lahir dari peristiwa alam semesta awal. Sejarah alam semesta adalah sejarah kita. Dengan demikian maka kita adalah anak-anak alam semesta awal.
 Komunitas manusia di bumi dan spesies bumi lainnya berasal dari bola api purba. Di dalam bola api purba ini, terkandunglah potensi-potensi yang memungkinkan terjadinya alam semesta seperti yang terlihat sekarang ini. Di dalamnya, terkandung kemungkinan (possibility) semua yang pernah bertumbuh, antara lain, sistem tata surya kita (Galaksi Bima Sakti), bumi dan beragam ciptaan yang ada di dalamnya. Manusia, dan ciptaan lain di dalam komunitas kehidupan di bumi, adalah potensi yang terbuka yang sudah terkandung di dalam pancaran energi purba yang mahabesar.
 Edwards memiliki keyakinan bahwa alam semesta ini ada hanya karena ia diciptakan Allah secara terus menerus. Iman Kristiani memang tidak menyampaikan detil peristiwa pertumbuhan dan perkembangan alam semesta. Untuk menemukan jawabannya, teologi perlu berdialog dengan sains. Teologi semacam ini akan melihat Allah sebagai pemberi kekuatan bagi perkembangan alam semesta. Dengan kata lain, alam semesta yang terus berkembang ini berasal dari kejadian-kejadian purba yang diciptakan oleh Allah. Pandangan semacam ini, menurut Edwards, menuntun kita kepada suatu pemahaman mengenai sifat Allah yang mencipta secara evolusioner (evolutionary) dan terus berkembang (emergent). Dengan demikian maka manusia pun diciptakan Allah sebagai ciptaan yang terus berkembang.

1.2. Manusia Berasal Dari “Debu Bintang” (Stardust)
 Molekul tubuh manusia terdiri dari atom karbon, hidrogen, oksigen, nitrogen, dan sejumlah kecil elemen lainnya. Sementara atom Karbon terbentuk dari alam semesta awal; karbon, oksigen, dan nitrogen berasal dari bintang-bintang. Sejarah perkembangan bintang-bintang adalah bagian penting dari sejarah manusia.
 Ketika alam semesta berekspansi dan menjadi dingin, terdapat beberapa lokasi yang merupakan tempat terakumulasinya awan hidrogen dalam jumlah yang besar. Awan gas ini merupakan awal mula galaksi alam semesta kita. Di bawah pengaruh gravitasi, kantung-kantung gas (baca: tempat akumulasi hidrogen) menjadi sempit dan panas, sampai pada tingkat yang memungkinkan terjadinya reaksi fusi. Selanjutnya, terjadilah bintang-bintang awal yang menerangi alam semesta kita.
 Bintang merupakan tungku termonuklir yang menyebabkan perubahan hidrogen menjadi helium. Ketika hidrogen habis, reaksi nuklir selanjutnya mengubah helium menjadi elemen yang lebih berat, di antaranya: karbon, nitrogen, dan oksigen yang membentuk tubuh manusia. Bintang-bintang yang sangat besar berakhir dengan meledaknya supernova yang kemudian menghasilkan elemen-elemen yang lebih berat, yang berfungsi sebagai benih bagi pembentukan bintang-bintang baru dan planet-planetnya. John Barrow, seorang ahli bintang mengatakan bahwa dibutuhkan sekitar 10 miliar tahun pembakaran bintang untuk menghasilkan karbon dan elemen lain yang membentuk tubuh kita. [6] Setiap atom yang terkandung di dalam elemen-elemen yang ditemukan secara alami di bumi, selain hidrogen purba, berasal dari sebuah bintang.
 Dalam sebuah buku terbarunya, ahli bintang George Coyne dan Alessandro Omizzolo berbicara mengenai karakter “sosial” dari alam semesta.[7] Mereka tidak hanya menekankan bahwa limpahan elemen kimia di dalam tubuh kita berasal dari tiga generasi bintang, tetapi juga bahwa sejumlah kecil elemen mungkin berasal dari jutaan galaksi yang jauh. Secara radikal kita terhubungkan dengan alam semesta. Martin Rees berbicara tentang “ekologi galaktis” (galactic ecology) [8] dari galaksi kita, Galaksi Bima Sakti (Milky Way Galaxy). Galaksi ini merupakan gudang penyimpanan limpahan bahan mentah yang penting bagi kehidupan. Rees mengatakan bahwa sebuah atom karbon di dalam satu sel otak seorang manusia memiliki asal-usul (pedigree) yang ada sebelum kelahiran sistem tata surya pada 4,5 miliar tahun yang lalu. Atom-atom yang sekarang tergabung di dalam suatu hamparan DNA manusia, pada miliaran tahun yang lalu sudah terhampar secara luas di dalam bintang-bintang di dalam Galaksi Bima Sakti atau di dalam ruang antar bintang.
 Awan antar bintang yang ada di dalam Galaksi Bima Sakti mengandung molekul organis yang kompleks dan asam amino yang berperan penting bagi pembentukan kehidupan di bumi. John Gribbin menjelaskan bagaimana molekul organis yang kompleks dan asam amino mencapai bumi:
”Bahan-bahan mentah yang daripadanya molekul hidup pertama ada di permukaan bumi, dibawa ke permukaan bumi dalam bentuk biji-bijian kecil yang merupakan material antar planet. Bahan-bahan ini terlindung di dalam inti komet yang membeku, yang berasal dari puing awan molekul yang amat besar yang daripadanya terbentuklah Sistem Tata Surya.” [9]
 Kehidupan di bumi dapat dipahami hanya dalam relasinya dengan material organis yang berasal dari bintang, dan yang dibawa ke bumi melalui komet yang bertubrukan dengan planet yang sedang mengalami proses pembentukan.


1.3. Manusia Berkembang di Dalam Sejarah Evolusioner
 Bumi dan planet-planet lain terbentuk di sekitar matahari muda kurang lebih 4,5 miliar tahun yang lalu. Dalam kurun waktu sekitar satu miliar tahun, terbentuklah kehidupan di bumi dalam rupa sel-sel bakterial. Ini merupakan struktur ringkas tanpa sebuah nukleus/inti sel (prokariota). Munculnya kehidupan bakterial dan penggandaan diri DNA molekul merupakan suatu langkah penting di dalam sejarah kita. Rincian peristiwa ini tidak dapat dijelaskan oleh sains. Kemajuan selanjutnya terjadi ketika suatu organisme tunggal yang berinti mulai terbentuk (eukariota). Ahli Biologi bernama Ernst Mayr berargumentasi bahwa Eukariota (organisma dengan sel kompleks) terbentuk sekitar 2,7 miliar tahun yang lalu. [10]
 Berdasarkan perhitungan ahli biologi molekular, nenek moyang terakhir manusia dan simpanse modern hidup di antara kurun waktu tujuh sampai lima juta tahun yang lalu. Berbagai spesies manusia purba (hominid) berkembang antara empat sampai dua miliar tahun yang lalu. Beberapa spesies yang telah mengalami kemajuan dalam ukuran otak disebut sebagai homo, misalnya homo rudolphensis.
 Homo erectus yang memiliki ukuran otak yang besar dan tubuh yang atletis berkembang sekitar dua juta tahun yang lalu, mulai dari Afrika, lalu berpindah ke belahan bumi lainnya. Mereka dapat menggunakan api, alat-alat batu, dan dapat berlari seperti manusia modern. Tipe manusia purba lain adalah Neanderthalensis yang diperkirakan berkembang sekitar 250.000 hingga 30.000 tahun yang lalu. Bobotnya lebih ringan daripada Homo Erectus, tetapi memiliki kapasitas otak yang lebih besar. Sama seperti Homo erectus, mereka berkembang dari Afrika, lalu berpindah ke belahan bumi lainnya.
 Edwards mengungkapkan bahwa manusia modern memiliki sejarah yang sama dengan makluk hidup bumi lainnya. Sejarah manusia modern merupakan bagian dari kisah yang lebih besar mengenai alam semesta. Komunitas manusia terlahir dari dentuman besar, terbuat dari debu bintang, dan merupakan bagian dari sejarah kehidupan evolusioner di bumi. Kisah ini membentuk suatu dasar bagi sebuah teologi yang membahas tentang manusia. Edwards menambahkan bahwa dasar pokok lain bagi sebuah teologi Kristen mengenai manusia di tengah ciptaan lainnya adalah Tradisi Kristen itu sendiri.


2. Manusia Sebagai Citra Allah
 Menurut Edwards, salah satu warisan penting dari Tradisi Judeo-Kristen adalah gagasan mengenai manusia, laki-laki dan perempuan, sebagai ciptaan Allah yang diciptakan menurut “Citra Allah” (Imago Dei) sendiri (bdk. Kej. 1:27). Gagasan ini memberikan landasan bagi kekristenan mengenai nilai pokok manusia di hadapan Allah. Ia merupakan dasar bagi komitmen segenap jemaat Kristiani dalam perjuangannya untuk membangun kemitraan dan kesetaraan antara laki-laki dan perempuan, menimbang persoalan ekonomi dan sosial, dan memperjuangkan resolusi damai terhadap konflik-konflik internasional. Edwards berargumentasi bahwa sebuah teologi ekologis seharusnya menjadi teologi tentang keadilan antar manusia.
 Selain melihat adanya sisi positif dari gagasan mengenai manusia sebagai Imago Dei, Edwards juga melihat sisi negatif dari gagasan tersebut. Menurutnya:
“Konsep mengenai manusia sebagai Citra Allah menjadi sangat berbahaya ketika ia digunakan untuk menempatkan manusia di atas ciptaan lainnya, terutama sekali ketika ia mengusulkan bahwa manusia memiliki hak yang mutlak dan tak terbatas atas spesies-spesies lain.” [11]
Bagi Edwards, sebuah teologi ekologis yang kritis harus menghindari penggunaan Imago Dei yang mengarah kepada kehancuran. Sebuah teologi ekologis kritis yang menggunakan pandangan biblis mengenai manusia sebagai Imago Dei harus menempatkan manusia dalam relasinya dengan ciptaan lain, dan memahami bahwa ciptaan lain pun, dengan caranya yang unik, menampakkan dirinya sebagai Citra Allah.
 Edwards menggunakan beberapa kutipan Kitab Suci Perjanjian Baru (KSPB) untuk menegaskan identitas Yesus Kristus sebagai Citra Allah (Icon, Yun.). Paulus menyatakan bahwa Yesus adalah Citra Allah (bdk. 2 Kor. 4:4) dan melihat bahwa yang lain, oleh karena Rahmat, berpartisipasi di dalam Citra ini (bdk. Rom. 8:29; 1 Kor. 15:49; 2 Kor. 3:18). Surat Paulus kepada jemaat di Kolose mengidungkan Yesus Kristus sebagai “gambar Allah yang tak kelihatan” (bdk. Kol. 1:15). Yesus, Gambar Allah yang sesungguhnya, merupakan yang sulung dari segala ciptaan. Konsep Imago Dei melampaui manusia. Ia terarah pada Yesus yang bangkit, sebagai Gambar Allah yang sesungguhnya, yang di dalam Dia segenap ciptaan menemukan penyelamatan dan hidup baru. Yesus Kristus bukanlah Gambar Allah bagi manusia saja tetapi juga bagi semua ciptaan. Di dalam Dia, dimulailah rekonsiliasi segala sesuatu.
 Selain mengungkapkan universalitas peran Kristus sebagai Gambar Allah, komunitas Kristen selalu menggunakan bahasa gambar (image language) [12] untuk mengungkapkan keunikan manusia di hadapan Allah. Berkaitan dengan hal ini, Edwards mengutip pandangan beberapa teolog Gereja perdana, misalnya Ireneaus, yang membedakan konsep tentang “gambar” (image) dan “kemiripan” (likeness). Bagi para teolog ini, “gambar” menunjukkan kemanusiaan (humanity) yang dibentuk oleh Allah, sedangkan “kemiripan” menunjuk sesuatu yang bakal terjadi manakala manusia dipersatukan dengan Kristus melalui rahmat. Teolog lain, misalnya Athanasius, berbicara mengenai Yesus sebagai satu-satunya “gambar”, sedangkan yang lain, atas dasar rahmat, tergantung pada Yesus Kristus.
 Berkaitan dengan konsep tentang manusia sebagai Citra Allah, Edwards bertanya: “Apakah manusia sehingga ia disebut sebagai Gambar Allah?” [13] Ia melihat adanya kecenderungan di antara kelompok Kristen yang menempatkan gagasan Citra Allah pada kekhasan manusiawi yang tidak dimiliki makhluk lain. Dengan kata lain, oleh karena manusia memiliki akal budi dan kehendak bebas maka ia layak disebut sebagai Citra Allah. Dengan demikian, ia lebih berkualitas daripada makhluk hidup lain. Edwards sendiri mengakui bahwa dirinya terpengaruh oleh konsep Karl Rahner mengenai manusia sebagai ciptaan Allah yang mampu sampai pada kesadaran diri (self consciousness), yang memungkinkan dia memberikan tanggapan terhadap Penciptanya di dalam kebebasan dan cinta. Kemampuan ini secara nyata merupakan kekhasan manusia dan salah satu hal yang membedakan manusia dari ciptaan Allah lainnya. Kendatipun demikian, Edwards melihat bahwa pandangan yang semata-mata terfokus kepada kesadaran diri pun mengadung bahaya. Menurutnya, jika kesadaran diri dijadikan sebagai patokan untuk mendefinisikan manusia di hadapan Allah, maka mereka yang mengalami gangguan psikologis sama sekali tidak memiliki unsur kemanusiaan. Jika demikian, apa yang membuat manusia unik di hadapan Allah?
 Untuk menjawab pertanyaan di atas, Edwards mengatakan bahwa keunikan manusia tidak ditentukan oleh kemampuan tertentu yang dimilikinya. Setiap manusia diciptakan sebagai pribadi yang unik dan diharapkan mampu menjalin relasi yang baik dengan pribadi lain (interpersonal). Allah tentunya merangkul mereka yang kemampuannya terbatas oleh karena sakit atau cacat. Edwards mengutip pandangan seorang ahli biologi, Claus Watermann [14], yang menafsirkan konsep “Imago Dei” di dalam Perjanjian Lama sebagai konsep yang menjelaskan manusia sebagai ciptaan yang dengannya Allah dapat berelasi secara pribadi (bdk. Kej. 1:28, 29-30).
 Menurut Edwards, relasi antar pribadi antara Allah dan manusia berkaitan dengan ciptaan lainnya. Teologi penciptaan Kristen memahami bahwa Allah, manakala berhubungan dengan ciptaan-Nya, memperhatikan keunikan, integritas, dan otonomi segenap ciptaan-Nya. Sebagai Citra Allah, manusia dituntut untuk mencintai ciptaan lain di dalam segala keunikan, integritas, dan otonominya. Masuk ke dalam relasi dengan Allah yang hidup berarti masuk ke dalam dunia penuh rahmat yang di dalamnya Allah hadir kepada segenap ciptaan dengan penuh cinta. Semua orang memiliki kemungkinan untuk menanggapi penganugerahan diri Allah. Menurut Tradisi Kristen, sejarah manusia adalah sejarah rahmat, tetapi juga sekaligus sejarah dosa, yaitu ketika manusia, dengan kebebasan yang dimilikinya, menolak Allah. Dengan kebebasan yang dimilikinya, manusia dapat mendominasi dan mengeksploitasi ciptaan lainnya. Segala “penindasan” manusia atas alam semesta membutuhkan penyembuhan, pembebasan, dan pengampunan, yang di dalam komunitas Kristen, ditemukan di dalam Yesus Kristus.
 Di dalam ulasannya mengenai manusia sebagai Citra Allah, Edwards memberikan tekanan khusus pada hubungan antara manusia dan ciptaan Allah lainnya. Bagi Edwards, kitab Kejadian memberikan informasi penting tentang apa yang mesti dilakukan manusia terhadap ciptaan Allah lainnya. Di dalam Kej. 1:31dikatakan bahwa pada hari keenam setelah Allah menciptakan manusia, Allah melihat bahwa apa yang sudah diciptakan-Nya itu baik adanya. Lebih lanjut di dalam Kej. 2:15, Allah memberikan tugas kepada manusia yang baru saja diciptakan-Nya untuk mengusahakan dan memelihara apa yang sudah diberikan-Nya. Teks-teks Kitab Suci ini menunjukkan sebuah visi tentang realitas yang teosentris, bukan antroposentris.
 Secara pribadi, Edwards melihat adanya kecenderungan di antara orang Kristen tertentu yang merasa dirinya diberi hak penuh oleh Allah untuk “memanfaatkan” alam sesukanya. Orang-orang ini menggunakan Kitab Suci untuk melegitimasi tindakan pendominasian dan pengerukan alam (bdk. Kej 1:28). Oleh karena adanya ayat-ayat Kitab Suci yang agaknya pro-eksploitasi ini, pada tahun 1967, Lynn White menuduh kekristenan sebagai pihak yang paling bertanggungjawab terhadap kerusakan ekologis. Bagi White, etika Kristen yang terlalu menekankan superioritas manusia atas alam memiliki dampak destruktif terhadap ekologi. [15] Edwards secara pribadi tidak menafikan adanya sikap orang Kristen yang tidak respek terhadap alam, dan ketidakkritisan mereka terhadap pengerusakan alam. Namun, ia menegaskan bahwa kerusakan alam tidak semata-mata merupakan ulah orang Kristen. Penyebab kerusakan lingkungan lain yang disebutkan Edwards antara lain: adanya pandangan Pencerahan (aufklärung) yang melihat alam semata-mata sebagai “alat” pemenuhan kebutuhan manusia, bangkitnya kapitalisme, revolusi industri, dan ketamakan manusia yang tak terkontrol. Edwards sangat menentang konsep mengenai dominasi atas alam. Baginya, panggilan manusia sebagai Citra Allah adalah menjaga dan merawat ciptaan Allah lainnya (bdk.Kej. 2:15).

BAB III
MAKNA TEOLOGIS ROH PENCIPTA DAN PERISTIWA-KRISTUS
BAGI KEPEDULIAN EKOLOGIS
 Bab ketiga dari tulisan ini memaparkan pandangan Denis Edwards mengenai makna teologis Roh Pencipta dan Peristiwa-Kristus (Christ-Event) serta relevansi kedua gagasan tersebut dengan persoalan ekologis yang kita hadapi saat ini. Edwards merasa perlu memberikan penekanan khusus terhadap kedua gagasan teologis tersebut sebab kekayaan makna teologis kedua gagasan tersebut, khususnya keterkaitannya dengan persoalan ekologis, belum mendapatkan perhatian yang cukup. Berikut ini penulis akan menjabarkan gagasan-gagasan teologis Edwards di atas dalam suatu susunan yang sistematis.



1. Makna Teologis Roh Pencipta
 Dalam buku EHF, Edwards memaparkan pandangan teologisnya mengenai Roh Pencipta dalam empat bagian besar. Berikut ini adalah pemaparan penulis mengenai keempat bagian dimaksud.


1. 1. Roh Kudus Sebagai Nafas Allah
Menurut Edwards, di samping gambaran biblis mengenai Roh Kudus sebagai “Roh Allah”, terdapat juga gambaran mengenai “Nafas Allah.” [16] Untuk memperjelas konsep mengenai Nafas Allah, Edwards mengutip beberapa dasar biblis yang diambil baik dari Kitab Suci Perjanjian Lama (KSPL) maupun dari Kitab Suci Perjanjian Baru (KSPB).
Di dalam KSPL terdapat beberapa dasar biblis yang berhubungan dengan Nafas Allah. Kejadian 2:7 mengatakan bahwa setelah Allah menciptakan manusia dari debu tanah, Ia menghembusinya dengan “nafas kehidupan” yang menjadikan manusia tersebut sebagai “makhluk yang hidup.” Dalam kisah mengenai air bah, dikatakan bahwa “dari segala yang hidup dan bernyawa datanglah sepasang mendapatkan Nuh ke dalam bahtera itu” (bdk. Kej. 7:15). Selain itu di dalam Kitab Ayub, Elihu Berkata: “Roh Allah telah membuat aku, dan nafas Yang Mahakuasa membuat aku hidup” (bdk. Ayub 33:4). Nafas Allah, sebagaimana yang digambarkan di dalam Kitab Yehezkiel, berdaya menghidupkan: “Bernubuatlah kepada nafas hidup itu, bernubuatlah, hai anak manusia, dan katakanlah kepada nafas hidup itu: Beginilah firman Tuhan ALLAH: Hai nafas hidup, datanglah dari keempat penjuru angin, dan berembuslah ke dalam orang-orang yang terbunuh ini, supaya mereka hidup kembali” (bdk. Yeh. 37:9). Di dalam Kitab Mazmur ada sebuah kidung yang mengungkapkan: “Apabila Engkau menyembunyikan wajah-Mu, mereka terkejut; apabila Engkau mengambil roh mereka, mereka mati binasa dan kembali menjadi debu. Apabila Engkau mengirim Roh-Mu, mereka tercipta, dan Engkau membaharui muka bumi” (bdk. Mzm 104: 29-30). Berdasarkan tradisi biblis, khususnya KSPL, gambaran mengenai “nafas” berkaitan erat dengan “sabda”. Kisah penciptaan dipahami sebagai Sabda Allah yang berdaya cipta dan Nafas-Nya yang mampu memberikan kehidupan. Mazmur 33 menyatakan: “Oleh firman TUHAN langit telah dijadikan, oleh nafas dari mulut-Nya segala tentaranya” (ayt. 6). Paralelisme teks di atas dapat ditemukan dalam Yudit 16:14: “Kepada-Mu mengabdilah segala ciptaan, sebab Engkau berfirman, maka semuanya terjadi; Kau kirimkan Roh-Mu yang lalu membangun dan tiada sesuatu pun yang melawan suara-Mu.”
 Di dalam KSPB ditemukan ayat yang memuat gambaran mengenai Nafas Allah. Bagi komunitas Kristen Perdana, Roh Kudus yang sama, yaitu Nafas Kehidupan, menaungi Maria ketika ia mengandung Yesus (bdk. Mat. 1:18), mengurapi Yesus pada saat pembaptisan-Nya (bdk. Mark. 1:10), dan dicurahkan kepada para murid pada hari pentekosta (bdk. Kis. 2:4). Di dalam Injil Yohanes dikatakan bahwa “Aku akan minta kepada Bapa, dan Ia akan memberikan kepadamu seorang Penolong yang lain, supaya Ia menyertai kamu selama-lamanya, yaitu Roh Kebenaran” (bdk.Yoh. 14:16).
 Antara KSPL dan KSPB, terdapat pergeseran pandangan mengenai Roh Kudus. Di dalam KSPL, terdapat banyak kisah dan kutipan Kitab Suci yang menampilkan Roh Allah sebagai “pemberi kehidupan.” Tulisan-tulisan jemaat Kristen awal memuat pengertian yang baru mengenai Roh Allah, yaitu sebagai “pembawa kebangkitan hidup”: ”Dan jika Roh Dia, yang telah membangkitkan Yesus dari antara orang mati, diam di dalam kamu, maka Ia, yang telah membangkitkan Kristus Yesus dari antara orang mati, akan menghidupkan juga tubuhmu yang fana itu oleh Roh-Nya, yang diam di dalam kamu” (bdk. Rom. 8:11). Rasul Paulus menyebut Yesus sebagai Adam baru yang “menjadi Roh pemberi hidup” (bdk. 1 Kor. 15:45).
 Baik di dalam penciptaan pertama maupun penciptaan baru di dalam Kristus, Roh Allah adalah pemberi hidup. Teolog Timur terkemuka seperti Ireneaus, Athanasius, dan Basilius melihat bahwa Sabda Allah dan Roh Allah “bersama-sama” berkarya di dalam penciptaan dan penebusan. Sedangkan teolog Barat, seperti Ambrosius dari Milan mengembangkan teologi “Roh Pencipta” untuk memberikan gambaran bahwa Roh Kudus pun menjadikan segala sesuatu harmonis dan indah.


1.2. Kisah Besar Mengenai Roh Kudus
 Denis Edwards melihat adanya ketimpangan dalam pemahaman mengenai Roh Kudus. Menurutnya:
“Banyak orang Kristen berpikir bahwa Roh Kudus hanya datang pada saat pentekosta saja, sehingga perhatian terhadap karya Roh Kudus di dalam penciptaan, rahmat, dan inkarnasi menjadi sangat sedikit. Perhatian yang berlebihan terhadap pentekosta membuat kisah Roh Kudus di dalam peristiwa lainnya terlupakan.” [17]
 Edwards menyadari kekurangan tersebut di atas dan berusaha mengisahkan kembali Roh Kudus dalam kisah yang lebih besar dan lengkap. Dia menyebutkan empat episode penting keterlibatan Roh Kudus di dalam dunia, antara lain: penciptaan, rahmat, peristiwa-Kristus, dan pentekosta. Berikut ini penulis memaparkan garis besar pemikiran Edwards mengenai keempat episode kisah keterlibatan Roh Kudus di dunia.
 Pertama, berkaitan dengan “penciptaan”, Edwards mengungkapkan bahwa peran Roh Kudus menjangkau kisah terbentuknya alam semesta pada sekitar 15 miliar tahun yang lalu. Dengan kata lain, karya Roh Kudus sudah berlangsung jauh sebelum pentekosta, jauh sebelum Musa membebaskan Israel dari perbudakan Mesir, jauh sebelum Abraham dan Sarai meninggalkan Ur-Kasdim ke tempat yang ditunjukkan Allah kepada mereka, dan jauh sebelum manusia purba muncul pertama kali di Afrika.
 Edwards sangat tertarik dengan pertanyaan yang diberikan Stephen Hawkings di dalam bukunya Brief History of Time, yang mempertanyakan penyebab munculnya alam semesta dan yang memberikan bentuk terhadapnya. [18] Terhadap pertanyaan tersebut, Edwards menyatakan bahwa Roh Pencipta, Sang Nafas Kehidupanlah yang menyebabkan munculnya alam semesta dan memberi bentuk terhadapnya. Dalam pandangan teologis ini, Roh Kudus yang sama memiliki andil dalam peristiwa munculnya bintang awal yang menyinari alam semesta sekitar 13 miliar tahun yang lalu, dan pembentukan sistem Tata Surya kita pada sekitar 4, 5 miliar tahun yang lalu. Ia memberikan kekuatan bagi terbentuknya alam semesta sebelum adanya kehidupan di muka bumi. Lebih daripada itu, Roh Kudus pun berperan “menghembuskan kehidupan” bagi bakteri, eukariota, organisme multisel, binatang, tumbuhan, manusia purba, dan manusia modern.
 Kedua, menurut Edwards, Roh Pencipta yang menghembuskan kehidupan kepada segenap ciptaan juga merupakan “pembawa rahmat” (bringer of grace). Edwards memahami rahmat dalam pengertian bahwa Allah secara cuma-cuma “menawarkan diri-Nya” dalam cinta kepada manusia. Dengan demikian maka Allah adalah rahmat. Menerima tawaran ini berarti dirangkul di dalam cinta ilahi. Dirangkul dalam Allah berarti dimerdekakan, diubah, dan menjadi partisipan dalam kehidupan Allah yang sesungguhnya.
 Dalam Tradisi Kristen, rahmat Allah diberikan secara cuma-cuma kepada manusia melalui hidup, wafat, dan kebangkitan Kristus. Kendati demikian, Edwards mempertanyakan makna Rahmat Allah bagi orang-orang non-Kristen. Tetapi ia akhirnya mengikuti pandangan Gereja, misalnya ajaran Konsili Vatikan II yang menegaskan bahwa rahmat Allah yang menyelamatkan tidak hanya ditentukan bagi Gereja (Katolik) saja, tetapi juga melalui Roh Kudus, menjangkau semua orang.
 Edwards juga menegaskan bahwa keberadaan manusia selalu merupakan sejarah rahmat—sekurang-kurangnya dalam pengertian bahwa rahmat itu selalu ditawarkan. Sekalipun Roh Kudus, dalam cinta, ada di dalam diri manusia, tidak dapat dipungkiri bahwa kebebasan manusia memungkinkan dirinya menolak rahmat. Sekalipun dilahirkan di dalam dunia yang penuh rahmat, manusia juga didorong kepada kekurangcintaan (lovelessness), kekejaman (ruthlessness), dan kekerasan (violence). Dalam dunia semacam ini, Roh Kudus hadir dan menawarkan pembebasan dan penyelamatan yang menjadi nyata dalam peristiwa-Kristus (Christ-event).
 Ketiga, Edwards menegaskan adanya intimitas mendalam antara Yesus Kristus dan Roh Kudus. Menurutnya:
“Di dalam Peristiwa Yesus, Roh Kudus yang sama menyebabkan inkarnasi, menguduskan dan mengubah kemanusiaan Yesus, sehingga Ia dapat disebut sebagai Sabda Allah; wajah manusiawi Allah di tengah ciptaan-Nya.[19]
Di dalam Kitab Suci, khususnya KSPB terdapat banyak kisah yang mengungkapkan intimitas Yesus dan Roh Kudus. Injil Markus memulai kisahnya dengan peristiwa pembabtisan Yesus. Dalam peristiwa itu, Roh Kudus mengurapi Yesus, lalu terdengarlah suara dari surga “Engkaulah Anak-Ku yang Kukasihi, kepada-Mulah Aku berkenan ” (bdk. Mark. 1: 11). Di dalam Injil Matius, ada dua ayat yang menyebutkan bahwa Maria ibu Yesus: “mengandung dari Roh Kudus” (bdk. Mat. 1:18, 20). Di dalam Injil Lukas, malaikat berkata kepada Maria: ”Roh Kudus akan turun atasmu dan kuasa Allah Yang Mahatinggi akan menaungi engkau; sebab itu anak yang akan kaulahirkan itu akan disebut kudus, Anak Allah” (bdk. Luk. 1:35). Selain itu, ungkapan iman Gereja Perdana menempatkan peran Roh Kudus dalam peristiwa inkarnasi. Di dalam Syahadat Para Rasul terdapat kalimat yang berbunyi: “Dia dikandung dari Roh Kudus dan dilahirkan oleh Perawan Maria.” Syahadat Nikea-Konstantinopel menyatakan: ”Ia menjadi daging dengan kuasa Roh Kudus.”
 Edwards menyadari bahwa sekalipun peran Roh Kudus di dalam peristiwa-Kristus begitu jelas, teologi Kristen belum memberikan perhatian yang cukup terhadapnya. Usaha untuk menghidupkan kembali teologi yang memberikan perhatian khusus pada peran Roh Kudus di dalam diri Yesus baru muncul lagi belakangan ini, setelah Ambrosius yang pada abad IV mengajarkan bahwa Roh Kudus adalah “The Author of the Lord’s incarnation”. Walter Casper [20], misalnya, melihat Roh Kudus sebagai sosok yang menguduskan kemanusiaan Yesus dan membuat-Nya layak disebut sebagai pribadi yang melalui-Nya Allah mengkomunikasikan diri-Nya dalam cinta. Peran Roh Kudus yang begitu besar di dalam diri Yesus antara lain diungkapkan juga oleh Yves Congar. Menurut Congar [21], kisah yang benar mengenai Roh Kudus dapat ditemukan di dalam kehidupan Yesus. Roh Kudus senantiasa menyertai Yesus dalam peristiwa salib. Roh Kudus ini mengubah derita salib menjadi kasih yang penuh penebusan. Kristus yang telah bangkit ini kemudian menganugerahkan Roh Kudus kepada Gereja pada peristiwa Pentekosta.
 Keempat, dalam pembahasannya mengenai pentekosta, Edwards mengikuti gagasan Yves Congar yang melihat bahwa Kristus dan Roh Kudus sebagai pembentuk Gereja. [22] Roh Kudus yang dicurahkan kepada para murid Yesus, mempersatukan umat-Nya itu sebagai jemaat Yesus Kristus. Sebagaimana Yesus yang senantiasa dibimbing oleh Roh Kudus, demikian pula Gereja harus senantiasa dibimbing oleh Roh Kudus. Melalui Roh Kudus, Gereja dapat membuka diri terhadap hal-hal baru yang ada di luar dirinya.
 Yves Congar mengungkapkan bahwa Allah memberikan “kharisma” kepada setiap anggota Gereja. Kepenuhan Roh Kudus diterima Gereja hanya jika ia berada di dalam totalitas kharisma yang diberikan oleh semua anggotanya. [23] Dengan memaksimalkan peran anggota Gereja di dalam kehidupan menggereja, karya Roh Kudus menjadi semakin besar dan semakin nyata.

1.3. Roh Kudus di Dalam Dunia Evolusioner Yang Terus Berkembang

 Edwards sangat bersimpati terhadap pentingnya peran Roh Kudus dalam sejarah alam semesta yang terus berkembang ini. Jika sains dapat memberikan penjelasan mengenai munculnya alam semesta pada tataran empiris, maka teologi pun memiliki perannya sendiri. Menurut Edwards peran teologi dalam hal ini yaitu bertanya tentang Allah dan peran-Nya dalam penciptaan dunia yang evolusioner dan terus berkembang.
 Untuk menjawab pertanyaan mengenai bagaimana alam semesta ini diciptakan, Edwards sangat terinspirasi oleh pandangan Karl Rahner mengenai transendensi diri ciptaan. [24] Menurut Rahner, Allah telah memberikan kemampuan kepada setiap ciptaan-Nya untuk “melampaui dirinya” dan senantiasa menjadi ciptaan yang baru. Di dalam transendensi diri ciptaan inilah, karya penciptaan Allah menjadi kelihatan.
 Berkaitan dengan transendensi diri, Edwards menyatakan pandangannya mengenai Roh Pencipta. Baginya, Roh Pencipta merupakan kehadiran Allah di tengah-tengah ciptaan-Nya yang memperkuat proses transendensi-diri ciptaan dan menyebabkan munculnya alam semesta yang memuat kehidupan. [25] Roh Kudus merupakan kehadiran Allah secara dinamis kepada ciptaan-Nya, yang memungkinkan segenap ciptaan-Nya untuk ada, dan berkembang di dalam relasinya dengan persekutuan ilahi, dan mengarahkan ciptaan-Nya ini kepada masa depannya di dalam Allah. Roh Kudus memungkinkan segenap ciptaan untuk mentransendensi dirinya menjadi sesuatu atau seseorang yang benar-benar baru.


1.4. Roh Kudus di Tengah Ciptaan Yang Menderita
 Sejarah alam semesta tidak semata-mata dipenuhi dengan kebaikan dan keindahan, tetapi juga kerusakan dan ketidakharmonisan. Menurut Edwards, kerusakan dan ketidakharmonisan ini juga merupakan akibat dari evolusi yang berlangsung di alam semesta. Bagi orang-orang yang percaya akan adanya sosok Pencipta (Creator), kesimpulannya jelas, yaitu bahwa Allah telah memilih untuk menciptakan alam semesta yang terus berkembang dan senantiasa baru dengan segala resiko baik dan buruk yang dihasilkannya. Kendatipun demikian, muncul sebuah pertanyaan: “Jika Allah itu baik dan mahakuasa, mengapa Allah menciptakan dengan cara demikian?” Harusnya, jika Allah adalah mahakuasa maka Ia tidak akan membiarkan penderitaan melingkupi bumi. Edwards mengakui bahwa teologi tidak dapat memberikan jawaban yang memuaskan atas pertanyaan ini. Teologi hanya berusaha untuk mengartikulasikan apa yang dapat dikatakannya tentang Allah. Kendatipun teologi pada umumnya tidak memberikan jawaban yang memuaskan, teologi Kristen mengimani bahwa Allah yang melampaui pemahaman manusia telah hadir ke dunia dalam diri Yesus. Melihat hidup dan karya Yesus berarti melihat Allah yang penuh cinta dan melalui salib, masuk dan mengalami dunia yang menderita dan memberikan jaminan akan adanya hidup kekal.
 Edwards memiliki argumentasi sendiri mengenai peran yang dimainkan Roh Kudus di dalam dunia yang menderita. Berkaitan dengan hal ini, Edwards memberikan penegasan pada beberapa hal.
Edwards menyatakan bahwa kekuatan ilahi merupakan “kekuatan-dalam-cinta.” [26] Jika Roh Kudus diyakini sebagai kekuatan Allah, maka kekuatan Allah ini harus dijelaskan secara tepat, sebab bagi bagi banyak orang, gambaran Allah sebagai “Yang Mahakuasa” serta merta menampilkan sosok seorang tiran yang memerintah secara sewenang-wenang. Lantas, Edwards menjadikan peristiwa-Kristus sebagai rujukan untuk mengenal kekuasaan Allah. Kekuatan Allah yang ditampilkan Yesus justru merupakan sebuah kekuatan yang menentang praktek tirani. Satu-satunya kekuatan yang diperbolehkan Yesus dalam komunitas-Nya, yaitu saling melayani dan saling mencintai, yang nyata dalam peristiwa salib dan kebangkitan (bdk. Mrk. 10:42-44; Mat. 20:24-28; Luk. 22:24-27; Yoh. 13:1-15). Cinta yang ditampilkan Yesus dalam peristiwa salib secara manusiawi tampak sebagai sebuah kebodohan dan kesia-siaan. Tetapi peristiwa salib bukanlah akhir bagi Allah. Justru dari peristiwa ini, lahirlah kehidupan melalui peristiwa kebangkitan. Salib dan kebangkitan mengungkapkan hakekat kekuatan ilahi. Kedua peristiwa ini memperlihatkan kekuatan yang luar biasa dari cinta Allah, yaitu cinta yang memberikan diri (self-giving love), cinta yang tidak membuat takut, dan cinta yang membawa kehidupan. Edwards pun menegaskan bahwa kekuatan ilahi sebagai kekuatan dalam cinta ini bersifat relasional. Artinya, kekuatan ilahi memungkinkan pihak yang dikuasai berkembang dalam segala integritasnya. Kekuatan ilahi tidak mendominasi, melainkan memberikan ruang bagi “yang lain”-nya.
 Bagi Edwards, peran Roh Kudus dalam penciptaan alam semesta tidak dapat disingkirkan. Ia menegaskan bahwa segala sesuatu yang berwujud dan yang ada di dunia ini ada, hanya karena ia dirangkul oleh Roh Pencipta, dan rangkulan ini adalah sebuah tindakan cinta. [27] Roh Kudus merupakan kekuatan Allah yang memungkinkan munculnya kehidupan. Oleh karena Allah mencintai ciptaan-Nya, Roh-Nya yang kudus senantiasa tinggal di dalam ciptaan-Nya, menempatkannya di dalam komunitas ciptaan, dan menghantarnya kepada masa depan yang cerah di dalam Allah. Masa depan inilah yang oleh Paulus disebut sebagai “pemuliaan anak-anak Allah” (bdk. Rom. 8:19-23). Edwards juga mengikuti pandangan Ruth Page yang mengatakan:
”Jika Allah mengetahui dan peduli dengan pengalaman ciptaan, maka Allah juga mengetahui dan peduli dengan habitat masing-masing ciptaan.” [28]
Dengan demikian, tindakan manusia yang menghancurkan habitatnya sendiri akan menjadi “dukacita bagi Roh Kudus” (bdk. Ef. 4:30).


2. Makna Teologis Peristiwa-Kristus (Christ-Event)
Edwards menekankan betapa pentingnya menghubungkan peristiwa-Kristus dengan persoalan ekologis yang sedang dihadapi komunitas global. Bahkan, menghubungkan komitmen ekologis dengan Yesus dari Nazaret merupakan salah satu inti dari teologi ekologis Kristen. [29] Menurutnya, hubungan antara peristiwa-Kristus dengan tindakan ekologis tidak semata-mata merupakan alasan etis, melainkan merupakan hakekat kekristenan.
 Kitab Suci memberikan gambaran bahwa pribadi, perkataan, dan tindakan Yesus adalah perwujudan cinta kasih Allah. Cinta kasih ini tidak berbatas, bahkan menjangkau apa yang kita tidak sukai dan apa yang kita musuhi. Cinta Kasih Allah dalam diri Yesus mencapai puncaknya di dalam kematian-Nya yang mencekam dan kebangkitan-Nya yang mulia. Dalam perjumpaannya dengan Yesus yang sudah bangkit, para murid menemukan bahwa cinta kasih Allah yang tampak dalam diri Yesus tidak “terkunci” dalam kubur, tetapi “keluar” sebagai kekuatan pembebasan dan harapan yang dasyat. Cinta kasih ini tidak hanya terbatas pada manusia saja, melainkan menjangkau semua ciptaan “sebab semua makhluk menantikan dengan rindu penebusannya di dalam Kristus” (Bdk. Rom. 8:19-24).


2. 1. Ciptaan di Dalam Hidup dan Karya Yesus
Dalam ingatan Gereja Perdana, sebelum kisah mengenai Yesus dibukukan, selain bahwa Yesus dikenal sebagai “Mesias, Putera Allah,” Ia juga dikenal sebagai “Nabi Agung” dan “Guru Kebijaksanaan.” Sebagai pengajar kebijaksanaan, Ia menggambarkan Allah dan kemahakuasaan-Nya dengan menggunakan perumpamaan berupa gambar dan cerita yang biasa digunakan masyarakat di sekitarnya untuk menggambarkan kemahakuasaan Allah. Perumpamaan menampakkan sebuah pengamatan yang dekat mengenai dunia sebagai tempat Allah. Sebagaimana dikatakan C. H. Dodd, demikian pula Edwards:
”Perumpamaan –perumpamaan mengungkapkan bahwa bagi Yesus ada kelekatan dari dalam antara keteraturan alam dengan keteraturan spiritual.” [30]
Perumpamaan Yesus mengenai Kerajaan Allah merupakan “produk” yang dihasilkan oleh seseorang yang memandang ciptaan sebagai pemberian Allah dan tempat kehadiran Allah.
Tindakan Yesus berdoa dalam keheningan di tempat-tempat sunyi, misalnya padang gurun, bukit Galilea, dan taman Getsemani menggambarkan kedekatan Yesus dengan alam. Di tempat-tempat seperti inilah Yesus berkomunikasi dengan Bapa-Nya. Markus menggambarkan bahwa Yesus bangun pagi-pagi, pergi ke tempat yang sunyi dan berdoa (bdk.Mark 1:35). Lukas, di dalam referensinya mengenai kehidupan doa Yesus, mengisahkan bahwa Yesus pergi ke sebuah bukit, dan semalam-malaman Ia berdoa di sana (bdk. Luk. 6:12). Dalam sebuah pewartaan-Nya, Yesus menyatakan bahwa Allah memberikan makanan dan pakaian kepada burung udara dan bunga bakung di ladang (Bdk. Mat 6:28; Luk 12:27). Kasih Yesus kepada semua ciptaan sangat besar, sampai-sampai “rambut di kepalamu pun terhitung semuanya” (bdk. Mat. 10:30).


2. 2. Yesus Kristus Sebagai Kebijaksanaan Allah
 Peristiwa kebangkitan Yesus bagi jemaat Kristen awal merupakan suatu kekuatan istimewa, sebab dengan peristiwa iman ini mereka diyakinkan bahwa peristiwa salib bukanlah akhir dari segala sesuatu. Mereka merefleksikan bahwa sosok yang sangat istimewa itu adalah sungguh-sungguh Allah. Bagi jemaat Kristen awal, peristiwa-Kristus memiliki makna universal, maka Ia layak untuk diperkenalkan kepada masyarakat luas. Mereka mewartakan bahwa Yesus Kristus adalah “Allah Beserta Kita” (Mat. 1:23).
 Bagi Rasul Paulus, Yesus memiliki peran kosmis: “namun bagi kita hanya ada satu Allah saja, yaitu Bapa, yang daripada-Nya berasal segala sesuatu dan yang untuk Dia kita hidup, dan satu Tuhan saja, yaitu Yesus Kristus, yang oleh-Nya segala sesuatu telah dijadikan dan yang karena Dia kita hidup” (bdk. 1 Kor 8:6). Jelaslah bagi Paulus bahwa “segala sesuatu” yang ada di alam semesta ini mendapatkan esksistensinya melalui Yesus. Jika dikatakan bahwa Yesus memiliki peran kosmis, muncul pertanyaan: ”darimanakah peran kosmis yang dimiliki Yesus ini muncul?”
 Untuk menjawab pertanyaan di atas, Edwards mengatakan bahwa salah satu faktor yang turut melahirkan anggapan bahwa Yesus memiliki peran kosmis, lahir dari sebuah teologi mengenai “Kebijaksanaan Allah.” Dalam surat-surat Kebijaksanaan yang ditemukan di dalam Kitab Suci, komunikasi Allah dipersonifikasikan sebagai “Perempuan Kebijaksanaan.” [31] Menurut Edwards ada dua karakteristik pokok dari istilah perempuan kebijaksanaan. Pertama, “dia terlibat secara intim dengan segenap ciptaan.” Pernyataan ini memberi arti bahwa perempuan kebijaksanaan itu adalah co-creator Allah; ada bersama Allah dalam peristiwa penciptaan pertama (bdk. Amsal 8:22-31; Sir. 24:3-7). Kebijaksanaan ini adalah “pohon kehidupan” (bdk. Amsal 3:18), dengannya “Allah telah meletakkan dasar bumi, dengan pengertian ditetapkan-Nya langit, dengan pengetahuan-Nya air samudera raya berpencaran dan awan menitikkan embun” (bdk. Amsal 3:19-20). Kedua, “dia datang untuk tinggal di tengah-tengah kita.” Pernyataan tersebut menampakkan bahwa perempuan kebijaksanaan itu seumpama orang yang tinggal di tengah kita, mengadakan perjamuan dengan kita, dan mengundang orang miskin dan yang membutuhkan untuk makan dan minum, menikmati apa yang sudah dipersiapkannya (bdk. Amsal 9:1-6; Sir. 24:8-22). Kebijaksanaan ini adalah sosok yang di dalamnya kita semua diciptakan. Sekarang ini ia ada dan tinggal di antara kita.
 Berbeda dengan orang Yahudi yang menganggap Torah sebagai Kebijaksanaan Allah, jemaat Kristen Awal menjadikan Yesus Kristus sebagai Kebijaksanaan Allah. Sebagai Kebijaksanaan Allah, Yesus adalah Sang Sabda yang menjadi daging (bdk. Yoh. 1:1-18) yang membawa penyembuhan dan pembebasan: “Marilah kepada-Ku, semua yang letih lesu dan berbeban berat, Aku akan memberi kelegaan kepadamu” (bdk. Mat. 11:28). Ia ditampilkan sebagai orang yang mengundang kaum miskin dan yang membutuhkan untuk datang ke meja perjamuan yang telah disiapkan-Nya dan memberikan diri-Nya sebagai “Roti Kehidupan” (bdk. Yoh. 6).
 Di dalam beberapa teks KSPB, ditampilkanlah peran kosmis yang dimiliki Yesus Sang Kebijaksanaan Allah. Di dalam sebuah pujian singkat di dalam surat kepada jemaat Ibrani, Yesus ditampilkan sebagai sosok yang melalui-Nya Allah menciptakan segala sesuatu (bdk. Ibr. 1:2). Lebih lanjut dikatakan bahwa Kristus itulah: “cahaya kemuliaan Allah dan gambar wujud Allah dan menopang ‘segala sesuatu’ dengan firman-Nya yang penuh kekuasaan” (Ibr. 1:3). Penggambaran Yesus sebagai “Gambar Wujud Allah” sejajar dengan pernyataan Kitab Kebijaksanaan yang mengungkapkan Sophia sebagai “Gambar Allah” (bdk. Keb. Sal. 7:26).
Pada bagian awal Injil Yohanes, Yesus lebih ditampilkan sebagai Sabda Allah daripada sebagai Kebijaksanaan Allah:
“Pada mulanya adalah Firman; Firman itu bersama-sama dengan Allah dan Firman itu adalah Allah. Ia pada mulanya bersama-sama dengan Allah. Segala sesuatu dijadikan oleh Dia dan tanpa Dia tidak ada suatupun yang telah jadi dari segala yang telah dijadikan. Dalam Dia ada hidup dan hidup itu adalah terang manusia. Terang itu bercahaya di dalam kegelapan dan kegelapan itu tidak menguasainya (bdk. Yoh. 1:1-5).
 Dari kutipan Injil di atas, terungkaplah bahwa kisah mengenai Sabda tidak dimulai dengan hidup Yesus. Sabda itu ada bersama Allah sejak awal mula dan memiliki peran aktif dalam penciptaan “segala sesuatu.” Sang Sabda yang berdaya mencipta ini kemudian menjadi daging di dalam diri Yesus.
 Edwards juga mengutip kata-kata Kebijaksanaan dari Surat Paulus kepada jemaat di Kolose untuk menggambarkan peran kosmis Yesus:
“Kristus adalah gambar yang nyata dari diri Allah yang tidak kelihatan; Kristus adalah anak yang sulung, lebih utama dari segala yang diciptakan. Sebab melalui Dialah Allah menciptakan segala sesuatu di surga dan di atas bumi, segala sesuatu yang kelihatan dan yang tidak kelihatan, termasuk juga segala roh yang berkuasa dan yang memerintah. Seluruh alam ini diciptakan melalui Kristus dan untuk Kristus. Ia ada terlebih dahulu dari segala sesuatu dan segala sesuatu ada di dalam Dia.” (bdk. Kol 1:15-17).
 Menurut Edwards, kutipan di atas mengandung arti bahwa Kristus kosmis dirayakan sebagai sumber dan tujuan segenap ciptaan. Selain itu pujian Kolose di atas menekankan bahwa di dalam Kristus dan salib-Nya, Allah telah mendamaikan segala sesuatu ke dalam diri-Nya. Segala ciptaan diciptakan di dalam Kristus, didukung oleh-Nya, dan diperdamaikan di dalam Dia. Pujian di atas memberikan gambaran bahwa kematian dan kebangkitan Yesus merupakan permulaan transformasi segala ciptaan. Ia adalah Alpha dan Omega (bdk. Why. 22:13).
Edwards mengungkapkan bahwa akhir-akhir ini, banyak kaum feminis memperjuangkan pembentukan teologi baru mengenai Yesus sebagai Kebijaksanaan Allah. Elisabeth Johson [32] misalnya, membangun suatu Kristologi mengenai Yesus sebagai kebijaksanaan Allah. Di dalam gagasan teologis ini, Yesus disimbolisasikan sebagai wanita Kebijaksanaan (sophia) yang menginspirasi kaum perempuan untuk berjuang memperoleh kesejajaran haknya dengan kaum pria. Terhadap pandangan teologis ini, Edwards mempertegas posisinya bahwa Yesus sang Kebijaksanaan Allah secara inklusif meliputi baik wanita dan pria, baik manusia maupun bukan manusia. Edwards menambahkan pula bahwa Sang Kebijaksanaan ilahi mengekspresikan diri-Nya tidak hanya dalam sosok manusiawi. Ekspresi-Nya menjangkau segenap ciptaan.
Untuk memperkuat argumen di atas, Edwards mempergunakan pemikiran dua teolog. Teolog pertama adalah Neil Darragh, seorang teolog Selandia Baru. Neil Darragh berujar demikian:
“Mengatakan bahwa Allah menjadi daging tidak semata-mata hanya mengatakan bahwa Allah menjadi manusia saja, tetapi juga mengatakan bahwa Allah menjadi sosok “Ada” yang peduli; menjadi “Ada” yang hidup (bersama dengan “ada”yang hidup lainnya); menjadi unit mineral dan cairan bumi yang kompleks; menjadi suatu unsur di dalam siklus karbon dan nitrogen.” [33]
Teolog kedua adalah Niels Gregersen, seorang teolog Denmark yang memperkenalkan istilah Deep Incarnation. [34] Deep Incarnation menegaskan bahwa penjelmaan Allah menjangkau setiap ciptaan dalam untung dan malangnya. Makna inkarnasi (=menjadi daging) tidak terbatas pada manusia. Ia meliputi semua yang terhubungkan dengan kehidupan kedagingan. Dengan kata lain, inkarnasi menjangkau seluruh alam semesta yang memungkinkan daging dapat berelasi dan bergantung. Dengan konsep deep incarnation ini, ditegaskanlah bahwa manusia selalu berada di dalam relasi yang mutlak dengan ciptaan lainnya. Ia tidak dapat dipisahkan dari keseluruhan ciptaan Allah.


2. 3. Yesus Kristus di Dalam Dunia Yang Terus Berubah
 Untuk menemukan relasi antara peristiwa-Kristus dengan dunia yang terus berubah, Edwards mengikuti pandangan Karl Rahner. Rahner bergerak dari gagasan mengenai kesatuan ciptaan. Kesatuan ini pertama-pertama ditemukan dalam kenyataan bahwa segala sesuatu “mengalir’ dari satu Pencipta. Selanjutnya, segenap ciptaan dipersatukan dalam suatu dunia yang mutlak relasional. Selain itu, segenap ciptaan akan dipersatukan di dalam Allah. Persatuan ini sudah merupakan tujuan Allah untuk menciptakan sebuah dunia bagi semua ciptaan-Nya. Tujuan ini dijelaskan Rahner dengan konsep “penganugerahan diri Allah” (God’s self-bestowal). Penganugerahan diri Allah ini telah dinikmati manusia melalui peristiwa Yesus dan penganugerahan Roh Kudus. Penganugerahan diri ini tidak semata-mata tertuju kepada manusia, melainkan kepada semua ciptaan.
 Pandangan Rahner mengenai inkarnasi dipengaruhi oleh pandangan teolog Fransiskan seperti Raymond Lull dan Duns Scotus. Sejajar dengan kedua teolog itu, Rahner menyatakan bahwa inkarnasi merupakan rencana Allah sejak semula. Alam semesta ini diciptakan karena Allah berkehendak memberikan diri-Nya dalam cinta kepada segenap ciptaan-Nya. Inkarnasi tidak terjadi karena ada dosa, tetapi karena Allah sudah merencanakannya sejak semula.
 Rahner memandang bahwa muculnya kehidupan merupakan bagian yang sangat penting dari sejarah umat manusia. Tentunya ilmu pengetahuan memiliki jawaban tertentu mengenai bagaimana kehidupan ini muncul. Kendatipun demikian teologi memiliki peran khusus, yaitu mencatat peristiwa ini sebagai tindakan penciptaan yang dilakukan oleh Allah. Allah dimengerti sebagai sosok yang memberikan kekuatan sedemikian rupa sehingga kebaruan (novelty) dapat terjadi. Kapasitas ciptaan untuk tumbuh dan berkembang oleh Rahner disebut sebagai kapasitas untuk men-transendensi diri. Karena kekuatan Allah, zat (matter) dapat berubah menjadi hidup (life); hidup men-transendensi dirinya menjadi manusia yang sadar; manusia men-transendensi dirinya sedemikian sehingga, melalui rahmat, ia dapat bersatu dengan Allah; dan melalui Yesus semua proses evolusioner akan men-transendensi diri, dan menjadi satu dengan Allah.
 Rahner menyatakan bahwa Yesus dapat dilihat dari dua sudut pandang. Dari sudut pandang Allah, Ia adalah komunikasi diri Allah dengan ciptaan. Sedangkan dari sudut pandang manusia, Yesus adalah jawaban “ya” ciptaan kepada Allah. Akhirnya Edwards menyimpulkan bahwa Yesus Kristus adalah penganugerahan diri Allah yang berlangsung dalam sejarah kehidupan planet kita. Di dalam kebangkitan terdapat sebuah janji bahwa sejarah evolusioner dan segenap ciptaan ditentukan untuk dipersatukan dengan Allah, dan menemukan kesempurnaan penyembuhan dan pengilahiannya dalam Allah.


BAB IV
MAKNA TRINITAS, MASA DEPAN CIPTAAN DI DALAM ALLAH, DAN PRAKSIS HIDUP KRISTIANI DALAM RANGKA PEMBANGUNAN RUMAH BERSAMA SEMUA CIPTAAN


Kerusakan yang terjadi atas ligkungan hidup selama ini telah menarik perhatian banyak orang. Bagi para penganut paham monotheistik seperti kaum Yahudi, Kristen, dan Islam, upaya perbaikan lingkungan hidup dirasa kian mendesak untuk segera diupayakan. Mereka beranggapan bahwa keanekaragaman yang ada di alam berakar pada Allah yang Esa. Allah adalah peletak dasar kehidupan dan sosok yang memungkinkan kehidupan itu berkembang dalam kesuburan dan kelimpahannya (bdk. Kej. 1:20-31). Oleh karena segenap ciptaan adalah karya Tuhan, maka pengerusakan dan pemunahan spesies dan habitatnya adalah dosa berat melawan Allah.
 Pada bab ini penulis akan mengupas pembahasan teologis Denis Edwards dalam tiga bagian besar, antara lain: 1) Allah sebagai persekutuan, 2) Masa depan ciptaan di dalam Allah, dan 3) Penyembahan dan praksis hidup yang berwawasan lingkungan.

1. Allah Sebagai Persekutuan

Konsep mengenai “Trinitas” muncul pada sekitar akhir abad II. Kendatipun demikian, keyakinan orang Kristen awal sudah bersifat triniter. Di dalam diri Yesus mereka mengalami penyembuhan, pembebasan, dan penyelamatan Allah. Yesus diyakini sebagai sosok yang berasal dari Allah, diutus oleh Allah bagi manusia, dan merupakan Allah-beserta-kita (God-with-us). Yesus adalah utusan Allah yang penuh dengan Roh Kudus. Ia adalah sesosok manusia yang sudah wafat namun dibangkitkan Allah. Setelah kebangkitan-Nya, Ia mengirimkan Roh Kudus kepada para murid-Nya. Roh Kudus ini dialami sebagai kehadiran Allah yang membawa hidup dan kekuatan. Kehadiran-Nya memungkinkan para murid Yesus menyatukan diri sebagai Gereja Yesus Kristus yang terus mewartakan karya Allah yang nyata di dalam Kristus yang sudah dibangkitkan-Nya.
 Jemaat Kristen awal sudah meyakini bahwa Yesus Kristus dan Roh Kudus sungguh-sungguh berasal dari satu Allah, yang Yesus sebut sebagai abba (bdk. Gal. 4:6). Sang Sabda dan Roh Kudus berasal dari Sang Pengasal Segala Sesuatu. Jemaat Kristen ini mengalami bahwa seluruh pengalaman hidupnya merupakan tindakan penyelamatan Allah. Penyelamatan yang dialami jemaat ini bersifat triniter karena berasal dari Allah melalui Yesus Kristus dan Roh Kudus Pemberi Hidup. Keyakinan ini bukannya tidak menimbulkan kontroversi. Banyak pertanyaan diarahkan terhadap sosok ilahi yang mereka yakini, misalnya: jika Yesus adalah anak Allah, apakah Ia sungguh-sungguh ilahi dan kekal, atau hanya ciptaan belaka? Atau, apakah Roh Kudus yang dicurahkan kepada manusia sungguh-sungguh ilahi, atau hanya ciptaan Allah saja? Jika dikatakan bahwa Yesus dan Roh Kudus memiliki unsur keilahian, lantas bagaimanakah hal itu dapat diperdamaikan dengan monotheisme yang terdapat di dalam Kitab Suci? Berhadapan dengan pertanyaan-pertanyaan ini, jemaat Kristen awal tetap berpegang pada kepercayaan Allah (God’s fidelity). Mereka yakin bahwa pewahyuan diri Allah di dalam Yesus Kristus dan pengalaman mereka akan Roh Kudus sungguh-sungguh menampakkan realitas Allah yang sebenarnya. Keyakinan ini telah menjadi titik tolak mereka manakala berhadapan dengan persoalan-persoalan Kristologis. Tidak mengherankan, ketika muncul Arius yang mempertanyakan keilahian dan kekekalan Yesus Kristus dan Roh Kudus, komunitas Kristen menanggapinya dengan menekankan keilahian Yesus Kristus pada Konsili Nikea (325) [35] dan keilahian Roh Kudus pada Konsili Konstantinopel (381).
 Untuk memperjelas pemahaman mengenai Trinitas, Edwards merasa perlu menjelaskan gagasan teologis ini dari sudut pandang Tradisi Kekristenan Timur dan Tradisi Kekristenan Barat.


1. 1. Trinitas Dalam Tradisi Kekristenan Timur
 Dari dunia kekristenan timur, gagasan teologis mengenai Roh Kudus dan Trinitas dikembangkan oleh tiga uskup Kapadokia, yaitu Basilius dari Caesarea (330-379), Gregorius dari Nyssa (330-395), dan Gregorius Nazianzus (330-389). Para uskup ini mengembangkan lebih jauh apa yang sudah pernah dibahas oleh Athanasius (296-377), patriark Aleksandria, di dalam teologi keselamatannya yang mengungkapkan bahwa di dalam Yesus, manusia diilahikan. Melalui rahmat, manusia ditransformasi dan dimungkinkan untuk mengambil bagian di dalam kehidupan Allah. [36] Dari ketiga Bapa Kapadokia, Edwards mengambil pemikiran Basilius untuk menggambarkan garis besar pemikiran dunia kekristenan timur mengenai Trinitas.
 Basilius pernah menggunakan rumusan khusus di dalam doa pujian/doxologi yang berbunyi: ”kemuliaan kepada Bapa dengan (with) Putera, bersama dengan (together with) Roh Kudus.” Rumusan doa Basilius ini mengundang kontroversi. Pokok persoalannya terletak pada gagasan bahwa Putera dan Roh Kudus “ada bersama” dengan Bapa sebab rumusan “ada bersama” mengungkapkan kesetaraan (equality) dan kesalingan (mutuality) Sang Putera dan Roh Kudus dengan Bapa. Bagi Basilius, Sabda dan Roh Kudus secara kekal berasal dari Allah dan ketiganya berada di dalam kesatuan yang mendalam sedemikian sehingga tidak terdapat subordinasi di antara ketiganya. Rumusan “ada dengan” dipertahankan Basilius karena mengandung dua makna penting yaitu, 1) ketiga pribadi ilahi itu berbeda satu sama lain, tetapi 2) berada di dalam suatu persekutuan (communion) yang mendalam dan tak terpisahkan.
 Basilius dan para Bapa Gereja Kapadokia berusaha merumuskan apa yang khas pada masing-masing pribadi ilahi. Pada tahap ini, baik pada Gereja Latin maupun Gereja Yunani, belum ditemukan kata yang tepat untuk menyebut kata Pribadi (person) bagi ketiga Pribadi Ilahi. Kata Yunani yang tersedia untuk menyebut person adalah prosophon (=Ind. “topeng”). Para Bapa Kapadokia ingin mengungkapkan sesuatu yang lebih mendalam sebab prosophon hanya menggambarkan peran yang dimainkan seseorang, maka digunakanlah kata hypostasis [37] (menunjuk pada perwujudan konkret, individual). Pribadi triniter selalu merupakan Pribadi-dalam-persekutuan (persons-in-communion). Melalui pemikiran teolog seperti Basilius, dibayangkanlah bahwa ketiga pribadi ilahi ada di dalam sebuah persekutuan yang penuh dengan kesalingan (mutuality), kesamaan (equality) dan kesatuan (unity). Dengan demikian Allah adalah Allah yang relasional secara radikal, dan “Ada”-Nya adalah “Ada-dalam-relasi-kesalingan” (being-in-mutual-relations).


1.2. Trinitas Dalam Tradisi Kekristenan Barat
 Dalam Tradisi kekristenan Barat, gagasan mengenai Trinitas dikembangkan oleh Agustinus (354-430) melalui karyanya yang berjudul De Trinitate. Dia berusaha menemukan tempat seseorang di dalam Allah dan Allah di dalam diri seseorang. Kitab Suci dan sejarah keselamatan menjadi titik tolak pencariannya, kemudian ia mulai merefleksikan Allah di dalam diri manusia, yang tidak lain, merupakan citra Allah. Agustinus memberikan gambaran mengenai pencinta, yang dicinta, dan cinta di antara keduanya. Kendati demikian dia tidak memberikan penjelasan lebih lanjut terhadap ketiga gambaran tersebut. Dalam pencariannya akan Allah dia lebih memperhatikan usaha batin manusia untuk menemukan Allah, Allah yang tercermin di dalam tindakan batin (inner self/mens), yaitu ketika batin mengenangkan dirinya, memahami dirinya, dan mencintai dirinya. Gambaran pokok Agustinus mengenai Trinitas adalah batin yang mengenangkan, memahami, dan mencintai Allah.
 Gagasan Agustinus mengenai Trinitas dikembangkan lebih lanjut oleh Thomas Aquinas (1225-1274). Melalui Aquinas, Trinitas yang oleh Agustinus ditemukan di kedalaman diri manusia (human interiority) dibawa ke tataran metafisis. Menurut Aquinas, ada dua aktivitas pikiran manusia yaitu mengetahui dan mencintai. “Ada” (being) Allah adalah tindakan murni (pure action), yang mencakup tindakan mengetahui (knowing) dan mencintai (loving). “Ada” Allah yang mengekspresikan diri, melahirkan Sang Sabda yang selalu ada dalam relasi dengan-Nya. Cinta kedua-Nya membentuk pribadi ketiga di dalam Allah, yaitu Roh Kudus, yang selalu ada di dalam kedua pribadi lainnya sebagai pribadi yang utuh.
 Dalam pemahaman Edwards, hubungan sirkuler antara tiga pribadi Allah berkaitan erat dengan ciptaan. Hubungan yang diletakkan Edwards ini didasarkan pada pandangannya bahwa Allah adalah tindakan komunikasi diri dan kebebasan yang dinamis. Lingkaran kehidupan Allah merupakan lingkaran yang terbuka, dalam mana segala sesuatu diciptakan dalam Allah dan dipersatukan oleh Roh Kudus. Edwards memperhatikan bahwa Aquinas mengambil posisi yang berbeda dengan pandangan Gereja Timur, khususnya mengenai radikalitas relasi Allah Trinitas. Perbedaan relasi di dalam Allah tidak bersifat ekstrinsik. Hubungan di dalam Allah identik dengan sifat ilahi (divine nature), yang disebut Aquinas sebagai relasi “subsisten” karena merupakan bagian dari Substansi Allah. Relasi tersebut merupakan bagian dari “Ada” Allah yang sesungguhnya. Relasi itulah Allah.
 Edwards juga memaparkan pandangan Bonaventura (1221-1274), biarawan Fransiskan, mengenai teologi Trinitas. Bonaventura mengambil pandangan tradisi kekristenan Timur mengenai kepenuhan dinamis dari kebaikan ilahi (fruitfulness of divine goodness) untuk memaparkan pandangannya mengenai Trinitas. Menurutnya, kesuburan (fecundity) ciptaan berasal dari kelimpahan Sang Sumber Kepenuhan yang tak terbatas (fontalis plenitudo), yang tidak lain adalah Allah Trinitas. Contoh (exemplar) dari fontalis plenitudo adalah Sang Sabda Kebijaksanaan Allah yang kekal (eternal Word of Wisdom of God). Ketika Allah mencipta, kepenuhan kehidupan Trinitas mendapatkan ekspresi kepenuhannya di dalam keberagaman ciptaan. Setiap ciptaan merupakan refleksi dan gambar Sang Sabda yang kekal.
 1. 3. Perichoresis
 Untuk mendukung penjelasannya mengenai Trinitas, Edwards merasa perlu memaparkan pandangannya mengenai “kesatuan hidup” (mutual indwelling). Gagasan mengenai kesatuan hidup dalam konteks pembicaraan teologis mengenai Trinitas, sudah berakar di dalam Kitab Suci, antara lain di dalam Injil Yohanes. Yesus pernah mengatakan: “Aku di dalam Bapa-Ku, dan Bapa-Ku di dalam aku” (bdk. ayt. 10-11). Selain itu Yesus menjanjikan para murid-Nya sosok Roh Kudus Pembela (Advocate Spirit) yang akan tinggal selamanya bersama mereka (bdk. ayt. 15-17). Yesus bahkan memberikan jaminan bahwa Bapa pun akan tinggal di dalam diri manusia tetapi dengan syarat bahwa manusia tersebut harus menuruti Firman Bapa dan Putera, serta mengasihi keduanya. Di bagian Injil Yohanes lainnya, Yesus berdoa kepada Bapa-Nya demikian:”Supaya mereka semua menjadi satu, sama seperti Engkau, ya Bapa, di dalam Aku dan Aku di dalam Engkau, agar mereka juga di dalam Kita, supaya dunia percaya, bahwa Engkaulah yang telah mengutus Aku” (bdk. 17-21).
 Dalam pembahasan mengenai Trinitas, konsep “ada-bersama-satu-sama-lain” (perichoresis) [38] merupakan konsep yang sangat penting karena konsep ini: 1) menjaga perbedaan dan keunikan ketiga pribadi ilahi, dan 2) menjaga agar Trinitas tidak disalahartikan sebagai kumpulan individu yang terpisah-pisah, tiga Allah (triteisme). “Ada-bersama-satu-sama-lain” merupakan gagasan yang terbuka, mencakup dunia ciptaan (world of creatures). Gagasan ini menekankan persatuan di dalam perbedaan. Persatuan dan perbedaan bukanlah konsep yang saling bertentangan. Perichoresis mengungkapkan intimitas ketiga pribadi ilahi dalam keunikan (distinctiveness) dan kebebasan (freedom) tertinggi. Tipe kesatuan ini mengungkapkan bahwa masing-masing pribadi dimungkinkan untuk berkembang, pertama-tama hanya jika masing-masingnya berada dalam persatuan dengan yang lainnya.
 Teologi Trinitas dari tradisi kekristenan Timur dan Barat memahami bahwa Allah bersifat relasional. Keduanya menekankan bahwa perbedaan ciptaan mengalir dari kelimpahan perichoresis ilahi. Di dalam teologi Timur, Bapa adalah “Sumber Segala Sesuatu”, dan persatuan di dalam Trinitas bukanlah hasil dari suatu proses melainkan, secara primordial, demikian adanya. Sedangkan di dalam teologi Barat, hakekat Trinitas bersifat relasional. Konsep mengenai perichoresis dibawa ke konsep Latin (Lat. Circumincessio: tinggal di dalam atau di sekitar yang lain) melalui bantuan Bonaventura dan beberapa teolog lainnya.
Memasuki abad XXI, tuntutan untuk menerima perbedaan dirasakan semakin besar. Sebuah kesatuan yang menafikan perbedaan segera akan terjatuh ke dalam totalitarisme yang ditandai dengan superioritas kehendak dan paham tertentu atas kehendak dan paham lain. Dalam konteks ini, Trinitas memberi ruang bagi adanya perbedaan di dalam kesatuan.
 Edwards merasa perlu untuk menegaskan bahwa doktrin teologis mengenai Trinitas bukanlah sebuah doktrin yang kaku dan tertutup, melainkan sebuah doktrin yang memiliki dampak praktis. Ia mengungkapkan bahwa gagasan mengenai “Ada” Allah menyediakan sebuah pandangan mengenai kesalingberhubungan (interelational) dan ketergantungan (interdependent) yang berlaku di alam semesta. Teologi Trinitas mengungkapkan bahwa keanekaragaman yang ada di alam semesta mengalir dari keanekaragaman dan kelimpahan Allah. Hal ini dipertegas lagi oleh ilmu pengetahuan yang menyatakan bahwa relasi menandai setiap tahap perkembangan alam semesta kita, termasuk perkembangan makhluk hidup. Munculnya entitas-entitas baru dimungkinkan karena adanya entitas lain yang mendahuluinya atau yang mendukungnya. Entitas baru ini ada, hanya jika ia berada di dalam suatu komunitas tertentu yang mendukungnya.


2. Transformasi segala Sesuatu Dalam Allah 
Menurut Edwards, kekristenan memiliki visi eskatologisnya sendiri, sebab ia merupakan agama janji dan pengharapan. Para penganutnya diarahkan kepada masa depannya di dalam Allah. [39] Kendatipun demikian, Edwards memperhatikan adanya kecenderungan yang berlebihan di antara orang Kristen dalam melihat masa depannya di dalam Allah. Bagi orang-orang ini, kehidupan lain setelah kehidupan di dunia ini jauh lebih baik. Edwards menegaskan bahwa meninggalkan dunia ini dan semata-mata hanya memikirkan surga merupakan degradasi nilai bagi dunia sebab tindakan spiritual hanyalah langkah kecil menuju Tujuan Tertinggi (Ultimate Goal). Pandangan yang terlalu melebih-lebihkan surga acapkali sangat berbahaya, sebab pesona surga telah melemahkan usaha manusia di dunia. Jika cara pandang semacam ini tetap dipertahankan maka akan ada banyak orang yang mencemooh agama, misalnya seperti Karl Marx yang menyebut agama sebagai “candu” masyarakat. Orang di-“ninaboboh”-kan oleh masa depan yang penuh kebahagiaan.
 Jemaat Kristiani menyadari bahwa Allah yang menjelma menjadi daging telah menjanjikan masa depan bagi manusia, terutama kepada segala sesuatu melalui kebangkitan Yesus. Dalam memberikan penjelasan mengenai masa depan manusia dan alam semesta di dalam Allah, Edwards mempergunakan pemikiran dua teolog ternama, yaitu: Pierre Teilhard de Chardin dan Karl Rahner. Berikut penulis memaparkan pemahaman Edwards dan komentarnya terhadap pandangan kedua teolog tersebut.


2 .1 Kritus Sang Omega: Pierre Teilhard de Chardin [40] (1881-1955)
 Teilhard de Chardin, sebagai seorang teolog dan paleontolog, berusaha menghubungkan sejarah evolusioner dengan iman kristiani terhadap Yesus. Menurutnya, materi yang ada di alam semesta dapat memberikan kehidupan kepada manusia. Ia juga memprediksikan adanya sebuah tahap dalam evolusi kosmis, dalam mana manusia akan masuk ke dalam suatu persatuan kesadaran yang baru (a new unity of consciousness). Persatuan ini merupakan persatuan atas dasar kasih dan berpusat pada Yesus Kristus. Berdasarkan teks-teks biblis dari Surat-surat Paulus kepada jemaat di Roma, Kolose, Efesus, dan juga Injil Yohanes, Teilhard de Chardin melihat Yesus yang bangkit sebagai “Kristus Kosmos”. Dengan gagasan ini maka Kristus merupakan tujuan dan pemenuhan seluruh proses. Kristus, Sang Omega, memancarkan cinta-Nya sedemikian sehingga semua energi alam semesta teraktualisasi dan bergerak menuju masa depannya di dalam Allah.
 Pemikiran teologis Teilhard de Chardin termuat di dalam dua bukunya, yaitu The Divine Milieu dan The Human Phenomenon. Yang dimaksudkan Teilhard de Chardin dengan milieu di dalam buku pertama adalah ungkapan kehadiran dan tindakan Allah pada setiap realitas tercipta (created reality). Melalui buku ini Teilhard de Chardin menyatakan bahwa Allah adalah pusat transformasi segala sesuatu dan sekaligus tempat berlangsungnya transformasi ini. Ia menegaskan bahwa melalui penjelmaan dan kebangkitan, Yesus yang bangkit hadir kepada segala sesuatu. Karena penjelmaan, kehadiran universal Allah “sudah mentransformasi dirinya bagi kita ke dalam kristifikasi yang berlangsung di mana-mana (the omnipresence of christification). The Divine Milieu merupakan refleksi lebih lanjut terhadap kehidupan spiritual (interior life). Dalam buku ini Edwards menyinggung hal-hal yang berkaitan dengan apa yang disebutnya sebagai “aktivitas” dan “pasifitas”; di dalam keduanya kita dipersatukan dan diilahikan di dalam Allah. Allah itu hadir di dalam kebahagiaan dan penderitaan kita, serta membentuk dan mentransformasi kita di dalam Kristus. Segala sesuatu yang kita lakukan dan yang kita tanggung dalam iman, termasuk setiap derita dan kematian, memiliki makna yang abadi di hadapan Allah.
 Di dalam buku The Human Phenomenon, Teilhard de Chardin melacak kembali pergerakan evolusi dari atom sampai terbentuknya manusia. Pelacakkan ini merupakan sebuah pergerakan kompleksitas yang terus berkembang (a movement of increasing complexity). Kompleksitas yang terus berkembang ini diikuti dengan perkembangan interiorisasi (interiorization) pada tataran kesadaran. Di dalam perkembangan kompleksitas ini, Teilhard de Chardin menemukan bukti-bukti bagi sejarah evolusioner. Tipe perkembangan yang selalu menuju kompleksitas, bagi Teilhard, merupakan hukum universal (universal law). Hukum ini disebutnya sebagai hukum kompleksitas-kesadaran (the law of complexity-consciousness). Menurut Teilhard de Chardin, perkembangan kompleksitas pada akhirnya sampai pada tataran interaksi pikiran manusia (Yun. Noos) dan perkembangan kebudayaannya. Dia menamakan evolusi yang terjadi di dalam interaksi sosial di antara manusia sebagai noosphere (lapisan pikiran). Teilhard de Chardin lantas membuat beberapa lapis perkembangan alam semesta, yaitu lapisan zat (geosphere), lapisan kehidupan (biospehere), dan lapisan pikiran (noosphere). Di dalam lapisan pikiran inilah terdapat masa depan evolusi.
 Ada banyak kritik yang diarahkan kepada pandangan teologis Teilhard de Chardin. Kebanyakan kritikus ini adalah pakar ilmu alam yang merasa terusik dengan pandangannya mengenai masa depan evolusi. Ia dikritik karena mencampuradukkan sains dan keyakinan agama. Dalam konteks abad XXI, jelas terlihat bahwa Teilhard de Chardin tidak merefleksikan krisis ekologis. Meskipun demikian, bagi Edwards, “komitmennya terhadap dunia, khususnya perihal zat (matter), memiliki kata penting bagi zaman yang sedang berjuang mendapatkan pandangan yang tepat mengenai realitas.” [41] Usaha untuk mempertemukan iman kristiani akan Yesus Kristus dan masa depan alam material selanjutnya diusahakan oleh Karl Rahner.


2. 2 Transformasi Alam Semesta: Karl Rahner [42] (1904-1984)
 Rahner mengangkat kembali gagasan yang sudah dirintis oleh Teilhard de Chardin mengenai masa depan alam semesta di dalam Allah, dan membahasnya dalam perspektifnya sendiri. Ia sangat dipengaruhi oleh tradisi kekristenan Timur yang memandang inkarnasi, kematian, dan kebangkitan Kristus sebagai kejadian yang transformatif di dalam sejarah alam semesta. Rahner sangat tertarik dengan peristiwa kebangkitan Yesus. Baginya kebangkitan merupakan dasar terdalam bagi segala entitas di alam semesta. Ia menyebut kebangkitan sebagai “perubahan ontologis” (ontological change) atau perubahan pada level “ada”. Kebangkitan Yesus bukan semata-mata peristiwa yang terjadi setelah kematian-Nya. Lebih dari itu, kebangkitan memberikan makna bahwa realitas kebertubuhan Yesus diangkat kepada Allah. Rahner menyebut kebangkitan sebagai permulaan pengilahian seluruh realitas dalam Allah.
 Menurut Rahner, dalam segala hal Yesus adalah jalan, sebagaimana tampak dalam kutipan berikut:
”Sifat (nature) dasar manusia yang terciptakan ini merupakan pintu gerbang yang tetap dan tak tergantikan; segala sesuatu yang terciptakan harus melalui-Nya jika ingin menemukan penyempurnaan kebenaran abadinya di hadapan Allah.” [43]
Melalui Yesus yang bangkit, Rahmat Allah dan tanggapan manusia atasnya dapat termediasikan. Realitas manusiawi Yesus sangat berarti bagi kehidupan kekal manusia di dalam Allah dan bagi transformasi akhir segala ciptaan.
 Rahner memang sangat yakin dengan transformasi ciptaan yang terjadi melalui kebangkitan Yesus. Kendatipun demikian, ia tidak dapat memastikan bagaimana persisnya bentuk dari ciptaan yang sudah ditransformasi ini (transformated creation). Sebagaimana Allah adalah realitas yang tak dapat kita dipahami (incomprehensible reality), demikian pula janji akan masa depan manusia dan alam semesta di dalam diri-Nya juga melampaui pemahaman dan imajinasi kita. Dengan kata lain, masa depan kita dan masa depan alam semesta di dalam Allah mengambil bagian di dalam ke-tak-ter-paham-an Allah (incomprehensibility of God). Rahner menyadari adanya keragu-raguan di kalangan umat kristiani terhadap masa depan ini. Tetapi ia menegaskan kepada kita bahwa “yang cukup” bagi kita adalah keyakinan yang kuat akan pemenuhan diri kita di dalam misteri cinta kasih Allah.
 Dari teks-teks biblis, kita tidak menemukan gambaran spesifik mengenai masa depan alam semesta di dalam Allah. Menurut Rahner, melalui pengalaman iman terhadap Yesus dan Roh Kuduslah masa depan ini dapat kita ketahui. [44] Menurut Rahner, salah satu tugas teologi adalah membiarkan pertanyaan mengenai masa depan tetap terbuka. Dengan demikian mereka yang menolak berbicara mengenai masa depan dan mereka yang secara berlebihan mengklaim pengetahuan mengenai masa depan dapat dipertemukan.
 Rahner melihat bahwa alam semesta kita sejak semula disokong oleh semacam rangsangan yang berdaya cipta (creative impulse), yang memungkinkan alam semesta ini mentransformasi diri. Rangsangan ini sesungguhnya berasal dari cinta Allah yang memberikan diri. Rangsangan ini sejak semula sudah memuat inkarnasi Sang Sabda. Allah senantiasa bermaksud merangkul dunia material ke dalam inkarnasi dan mengantarnya kepada pemenuhannya di dalam Kristus. Dunia material tidak bisa dipisahkan dari perjalanan Roh. [45] Orang Kristen tidak bisa memisahkan dirinya dari dunia material karena Roh Kudus, Sang Sabda yang menjadi daging, dan kebangkitan Kristus memiliki arti yang mendalam bagi dunia material.
 Edwards memberikan sejumlah penilaian terhadap teologi Rahner. Menurutnya, teologi Rahner mengenai transformasi segala sesuatu di dalam Kristus berhasil membawa alam material ke pusat eskatologis Kristen. Kendatipun demikian, gagasan ini ditentang dari sudut pandang sains, khususnya kosmologi. Gagasan Rahner yang mengatakan bahwa alam semesta pada akhirnya berakhir di dalam Allah, sulit diperdamaikan dengan gagasan sains mengenai kontinuitas mutlak ekspansi alam semesta. Kendati demikian, Edwards tidak memberikan perhatian serius pada persoalan ini, sebab yang menjadi pusat perhatiannya adalah masa depan makhluk hidup non-insani di dalam Allah.
 Menurut Edwards, pandangan teologis Teilhard dan Rahner memberikan dasar bagi teologi ekologis mengenai pemenuhan ciptaan (fulfillment of creation). Kedua teolog ini tertarik untuk membahas relasi antara zat (matter) dan Allah. Kendati demikian, menurut Edwards, keduanya cenderung kurang memperhatikan relasi makhluk hidup non-insani dengan Allah. Ada beberapa pertanyaan yang diajukan berkaitan dengan masa depan organisme non-insani di dalam Allah, antara lain: Apakah organisme ini juga ditebus oleh Allah melalui Yesus? Apakah mereka juga secara kekal mengambil bagian di dalam kehidupan Allah? Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan ini tidak secara lugas dan tegas dinyatakan oleh Teilhard dan Rahner. Kendati demikian, Edwards justru sepakat dengan argumen Rahner bahwa kita memang sama sekali tidak mengetahui masa depan kita dan masa depan ciptaan lainnya di dalam Allah. Tetapi sebagai orang Kristen, kita memliki “kebangkitan” sebagai janji dan jaminan bahwa Allah senantiasa mencintai kita dan pada saatnya akan mempersatukan kita dan segenap ciptaan di dalam Kristus.
 Edwards memiliki kepedulian yang tinggi terhadap nasib makhluk hidup non-human, khususnya masa depannya di dalam Allah. Dengan beberapa argumennya, ia berusaha memberikan tempat yang layak bagi makhluk non-insani di dalam Allah.
 Edwards menegaskan bahwa Allah tidak dikhususkan bagi manusia saja, melainkan juga bagi makhluk-makhluk non-insani. Roh Kudus merupakan kehadiran Allah kepada setiap ciptaan-Nya, dalam suka maupun duka, dalam hidup maupun matinya. Allah Mahapengasih yang nyata di dalam diri Yesus adalah Allah yang memperhatikan setiap ciptaan-Nya dalam keadaan apa pun.
 Edwards menyatakan bahwa melalui Roh Kudus, kebangkitan hidup dibawa kepada manusia (bdk. Rom. 8:11). Roh Kudus yang sama bekerja pula di dalam ciptaan lain yang sedang menderita dan yang sedang menantikan dengan rindu pemenuhannya di dalam Allah (bdk. Rom. 8:19-23). Edwards berpendapat, oleh karena Roh Kudus adalah kekuatan dari dalam yang mendekati ciptaan dengan cinta dan menyalurkan kekuatan kebangkitan hidup, maka dapat dikatakan bahwa melalui Roh Kudus pulalah, semua ciptaan “tertulis” (inscribed) di dalam Allah. [46]
 Pada akhirnya Edwards menegaskan dengan penuh keyakinan bahwa setiap binatang dan burung akan dibawa kepada kehidupan ilahi yang kekal. Allah Sumber Kebangkitan Hidup adalah Allah yang dengan caranya sendiri memungkinkan setiap ciptaan turut serta di dalam persekutuan hidup ilahi yang dinamis dan kekal. Edwards menegaskan sekali lagi bahwa cara yang memungkinkan setiap ciptaan dapat bersatu dengan Allah sama sekali melampaui pencerapan inderawi manusia.


3. Penyembahan dan Praksis Hidup Yang Pro-Ekologi
Penyembahan dan praksis hidup merupakan dua hal yang ditekankan secara khusus oleh Edwards pada bagian akhir buku EHF. Berikut ini penulis akan memaparkan penjabaran Edwards mengenai dua pokok ini secara sistematis.
3. 1. Penyembahan
Berkaitan dengan penyembahan, Edwards memusatkan refleksi teologisnya pada ekaristi yang dianggapnya sebagai pemberi motivasi bagi pembentukan ethos dan budaya hidup ekologis.
3. 1. 1. Makna Ekaristi
Bagi Edwards, ekaristi memiliki beberapa makna penting, antara lain:
 Pertama, ekaristi sebagai “pengangkatan” (lifting up/anaphora) segenap ciptaan kepada Allah. Berkaitan dengan topik ini, Edwards mengikuti pemikiran teologis John Zizioulas, seorang Patriark Ekumenis Gereja Ortodoks. Bagi Zizioulas, ethos liturgis (liturgical ethos), tepatnya spiritualitas yang ekaristis, merupakan dasar bagi sebuah ethos ekologis. Asumsi teologis Ziziolas adalah bahwa setiap orang yang sudah dibaptis merupakan pribadi (person) yang utuh. Pribadi-pribadi ini adalah pribadi yang ek-stasis; keluar dari dirinya sendiri, dan terbuka bagi orang lain. Kepenuhan kepribadian (personhood) hanya bisa dicapai kalau ia berada di dalam persekutuan dengan yang lain.
Zizioulas menegaskan bahwa manusia adalah “imam ciptaan” (priests of creation). Di dalam ekaristi, khususnya pada persembahan (offering) dan ucapan syukur (thanksgiving), ciptaan diangkat kepada Allah. Persembahan yang dibawa oleh ciptaan, “diangkat” kepada Allah, dan Roh Kudus dimohonkan untuk mentransformasi persembahan dan komunitas yang berkumpul ke dalam tubuh Kristus. Anaphora tidak semata-mata merupakan tindakan liturgis. Lebih daripada itu, ia berlangsung dalam seluruh hidup manusia. Anaphora merupakan cinta tulus manusia terhadap ciptaan lainnya. Zizioulas menegaskan bahwa ekaristi memang tidak memberikan petunjuk praktis bagi penanggulangan persoalan ekologis, tetapi ia menawarkan sebuah motivasi dan ethos yang sungguh-sungguh ekologis.
Kedua, ekaristi sebagai kenangan yang hidup (anamnesis) terhadap penciptaan dan penebusan. Menurut Edwards, di dalam ekaristi kita mengenangkan peristiwa penyelamatan Allah di dalam diri Yesus yang dihadirkan “di sini dan sekarang” (hic et nunc). Kenangan ini tidak hanya dihadirkan kembali, tetapi juga terarah kepada masa depan Allah, manakala segala sesuatu dipersatukan dengan Kristus. Ekaristi bukan semata-mata kenangan akan wafat dan kebangkitan Yesus, tetapi juga kenangan akan penciptaan dan penebusan yang telah dikerjakan Allah. Mengikuti pendapat Zizioulas, Edwards mengatakan bahwa semua perayaan ekaristi kuno dimulai dengan ungkapan syukur terhadap karya penciptaan, dilanjutkan dengan syukur atas penebusan di dalam Kristus, dan berpuncak pada pengangkatan persembahan segenap ciptaan kepada pencipta-Nya. Urut-urutan ini, menurut Edwards, masih dapat ditemukan di dalam teks liturgis sekarang ini. Setiap kali menghadiri ekaristi, manusia membawa serta bumi dan alam semesta beserta segala persoalan yang dihadapinya ke hadapan Allah. Semuanya dipersatukan dengan misteri Kristus yang dirayakan di dalam ekaristi.
Ketiga, visi teologis Edwards menyatakan bahwa ketika kita mengenangkan wafat Kristus, kita mengenangkan sesosok ciptaan, yang juga merupakan bagian dari alam semesta kita, merelakan seluruh jiwa dan raga-Nya demi misteri cinta kasih Allah. Dengan mengenangkan kebangkitan, kita mengenangkan sesosok ciptaan yang diangkat kepada Allah melalui Roh Kudus. Ekaristi merupakan sakramen Kristus kosmos (cosmic Christ). Menurut penghayatan iman Kristiani, apa yang disimbolisasikan di dalam ekaristi, secara luar biasa, menjadi benar-benar nyata pada saat ini (present). Sesungguhnya yang dihadirkan secara nyata di dalam perayaan ekaristi adalah kekuatan kebangkitan Kristus yang tidak hanya merupakan janji, tetapi juga merupakan permulaan transformasi segala sesuatu. Dia yang dijumpai secara sakramental di dalam perayaan ekaristi adalah sosok yang di dalam-Nya kita dan segala sesuatu diciptakan dan diubah (transfigure).
 Keempat, ekaristi merupakan keiikutsertaan semua ciptaan Allah di dalam Persekutuan Trinitas. Menurut Edwards, setiap ekaristi yang dirayakan merupakan peristiwa eskatologis dan triniter. [47] Persekutuan kita dengan Kristus di dalam ekaristi merupakan keikutsertaan dan keterlibatan kita di dalam persekutuan Trinitas yang kudus, dalam mana segala sesuatu akan mendapatkan makna akhir (eternal meaning) dan “tempat tinggal” terakhirnya. Dengan mengikuti ekaristi, kita mengantisipasi pemenuhan akhir segala sesuatu di dalam persekutuan Trinitas yang kudus. Selain itu, Edwards juga sependapat dengan Tony Kelly [48] yang menyebut ekaristi sebagai saat terpenting dalam perjumpaan kita dengan Allah dan ciptaan lainnya. Ekaristi memberikan pemahaman kepada hati dan budi kita bahwa manusia dan ciptaan lainnya terhubung secara erat di dalam Kristus.
Kelima, ekaristi sebagai solidaritas terhadap korban. Konsep dasar yang diletakkan oleh Edwards adalah bahwa ekaristi merupakan kenangan terhadap salib. Dengannya, ciptaan yang menderita dibawa kepada pusat iman Kristiani. Ekaristi sebagai ingatan yang hidup terhadap mereka yang menderita mendorong komunitas Kristiani ke dalam solidaritas baru terhadap komunitas kehidupan yang hancur dan terancam. Solidaritas ini meliputi komitmen pribadi dan politik untuk mengantisipasi, mencegah dan meminimalisir kerusakan lingkungan hidup.
3. 1. 2. Jalan Kebijaksanaan 
Selain memaparkan pandangan teologisnya mengenai makna ekaristi, Edwards juga memaparkan sebuah pandangan teologis mengenai “Jalan Kebijaksanaan” (The Way of Wisdom). Edwards melihat bahwa semua tradisi keagamaan memiliki kekayaan rohani yang berguna bagi pertobatan ekologis (ecological conversion). Dari Tradisi iman Kristiani, Edwards menemukan Yesus Sang Kebijaksanaan Allah sebagai inspirator bagi pertobatan ekologis.
 Bagi orang Kristen, Yesus tidak hanya dilihat sebagai sosok manusia yang mewartakan cinta kasih Allah dan kedatangan kerajaan Allah, tetapi juga sebagai Kebijaksanaan Allah. Edwards menegaskan bahwa makna kemuridan Yesus (descipleship of Jesus) bagi para pengikutnya berarti mengikuti jalan kebijaksanaan Allah, termasuk menghargai segenap ciptaan Allah. Mengikuti kebijaksanaan Yesus berarti memandang bahwa semua organisme hidup diperhatikan dan dicintai oleh Allah. Tinggal di dalam kebijaksanaan berarti melihat bahwa segala ciptaan berasal dari kelimpahan Allah Trinitas. Menurut rasul Paulus, selain bahwa Yesus adalah Sang Kebijaksanaan Allah yang benar (bdk. 1 Kor. 1:24,30), manusia yang berpartisipasi di dalam Sang Kebijaksanaan itu akhirnya menemukan kebijaksanaan Allah yang tersembunyi, meskipun sejak semula telah disediakan Allah bagi kemuliaan manusia (bdk. 1 Kor. 2:7-10). Di dalam Surat Paulus kepada jemaat di Efesus, terdapat ayat yang berbunyi demikian:
“Sebab di dalam Dia dan oleh darah-Nya kita beroleh penebusan, yaitu pengampunan dosa, menurut kekayaan kasih karunia-Nya, yang dilimpahkan-Nya kepada kita dalam segala hikmat dan pengertian. Sebab Ia telah menyatakan rahasia kehendak-Nya kepada kita, sesuai dengan rencana kerelaan-Nya, yaitu rencana kerelaan yang dari semula telah ditetapkan-Nya di dalam Kristus sebagai persiapan kegenapan waktu untuk mempersatukan di dalam Kristus sebagai Kepala segala sesuatu, baik yang di sorga maupun yang di bumi” (bdk. Ef. 3:9-10).
 Edwards mengumpamakan Kebijaksanaan sebagai “mata penuh kasih” (loving eye) yang diambilnya dari perikop Kitab Suci: “Mata adalah pelita tubuh. Jika matamu baik, teranglah seluruh tubuhmu; jika matamu jahat, gelaplah seluruh tubuhmu” (bdk. Mat. 6:22-23).” Mata penuh kasih dipertentangkan dengan mata penuh kesombongan. Mata penuh kasih (=kebijaksanaan) tidak didapatkan secara otomatis, melainkan diperoleh melalui latihan dan disiplin yang ketat. Mata penuh kasih perlu “lepas dari diri sendiri” sehingga ia dapat melihat perbedaan dan keunikan yang ada pada orang lain. Dengan demikian gambaran yang didapat bagi diri sendiri bukanlah gambar hasil rekayasa, melainkan gambar yang dihasilkan dari sebuah pengamatan objektif mengenai pihak lain. Pada akhirnya, hal yang penting bagi kita adalah belajar untuk mencintai yang lain, baik yang insani maupun yang non-insani dengan penuh cinta, tanpa pengecualian. Inilah yang dinamakan sebagai jalan Kebijaksanaan, jalan yang melihat segala sesuatu sebagai berhubungan dengan Allah dan dirangkul oleh-Nya di dalam inkarnasi, serta ditentukan untuk mengambil bagian dalam penebusan segala sesuatu di dalam Allah.
3. 2. Praksis Hidup Yang Pro-Ekologi
 Menurut Edwards, upaya pertobatan ekologis tidak dapat berhenti pada gagasan semata, melainkan harus nyata dalam tindakan. Pandangan Edwards dapat disimak di dalam kutipan berikut:
”Pertobatan terhadap bumi, solidaritas terhadap ciptaan yang membentuk komunitas planet kita, harus nyata dalam tindakan. Tindakan ini bukan semata-mata merupakan reorientasi pikiran secara menyeluruh; bukan pula penemuan sebuah kemampuan baru untuk berbela rasa dengan ciptaan non-insani. Tindakan ini merupakan tindakan personal, politis, dan eklesial.” [49]
 Bagi umat Kristiani, mengikuti Yesus berarti membiarkan diri dipimpin oleh Roh Allah dalam setiap tahapan hidup yang dilalui. Di abad XXI ini, mengikuti Yesus berarti masuk ke dalam sebuah masa transisi dari zaman pengerukan bumi oleh manusia kepada suatu masa di mana manusia mengedepankan sikap saling menguntungkan terhadap alam semesta. Transisi ini meliputi tindakan manusia untuk memperluas ruang lingkup moralnya (moral community) yang tidak semata-mata terbatas pada sesama manusia saja, tetapi juga makhluk hidup lainnya. Edwards sependapat dengan David Toolan [50] bahwa komunitas manusia tidak dapat hanya menyadari bahwa dirinya merupakan bagian dari alam semesta ini, tetapi juga harus menerima tanggung jawab terhadap masa depan planet kita.
 Sebagaimana telah dipaparkan pada bagian sebelumnya, bagi Rahner, tindakan ekologis Kristen didasarkan atas perayaan, khususnya ekaristi. Kendatipun demikian, perayaan tersebut harus dapat terwujud di dalam tindakan manusia, antara lain: dengan memberikan kesaksian di tempat kerja, masyarakat sekitar, rumah, dan kadang-kadang di kalangan politis dan aktivis. Edwards memiliki keyakinan bahwa dengan daya Roh Kudus, para penganut Kristen akan semakin peduli dan terlibat di dalam perjuangan politik demi perbaikan lingkungan hidup, antara lain dengan menjadi aktivis lingkungan atau menjadi anggota kelompok lobi (lobbying Groups) yang berupaya mempengaruhi para elit politik untuk lebih memperhatikan lingkungan hidup dan segala persoalannya. Akibat lanjutannya, orang-orang yang peduli dengan upaya perbaikan kerusakan lingkungan hidup akan menentang gaya hidup konsumtif yang berlebihan, sebagaimana, menurut Edwards, dipraktekkan oleh sebagian besar penduduk Eropa. Gaya hidup ini jelas tidak dapat dipertahankan karena apabila dipertahankan maka masa depan generasi mendatang akan terancam, dan banyak spesies makhluk hidup pun turut musnah. Dengan demikian, dukungan baik personal maupun politis terhadap upaya praktis pertobatan ekologis mendapatkan dukungan yang luas.
  Menurut Edwards, membangun persahabatan dengan segenap ciptaan di atas bumi dan bertanggungjawab atasnya dapat menjadi pengalaman yang menyenangkan dan membebaskan. Namun, upaya pelestarian lingkungan hidup tidak selamanya berjalan mulus, misalnya ketika kekuatan ekonomi dan politik menghalalkan segala cara untuk mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya dari alam tanpa memperhitungkan dampak destruktifnya secara ekologis atau sosial. Sekalipun kekuatan destruktif tetap ada, hal itu tidak harus mematikan segala usaha kita untuk melestarikan lingkungan hidup. Yang memotivasi kita sebagai orang beriman adalah Allah yang telah menjanjikan masa depan semua ciptaan di dalam diri-Nya.
Edwards menambahkan bahwa kita dapat menjadi “mistikus”, yaitu dengan mengalami Allah di dalam kehidupan sehari-hari. Pengalaman akan Allah misalnya dapat ditemukan dalam hati yang sangat merindu (deep unquenchable longing of the heart), dalam upaya pencarian jawaban atas suatu pertanyaan yang justru menimbulkan semakin banyak pertanyaan lain, dan dalam kesediaan memikul beban yang berat. Dalam pengalaman-pengalaman ini terdapat keterbukaan (openness) terhadap apa yang disebut orang Kristen sebagai pengalaman akan rahmat (experience of grace). Di dalam pengalaman-pengalaman di atas, terdapat Roh Kudus yang berkarya secara unik. Hal inilah yang disebut Edwards sebagai kehidupan mistik sehari-hari.
Menurut Edwards yang dibutuhkan di abad XXI ini adalah ke-mistik-an tindakan ekologis (mysticism of ecological praxis). Mengutip pandangan Edward Schillebeeckx, Edwards mengungkapkan demikian:
 “Kehidupan mistis macam ini mutlak terwujud di dalam praksis pembebasan… di dalamnya, disadari bahwa Allah muncul sebagai misteri, hati dan jiwa terdalam dari pembebasan manusia yang sesungguhnya.” [51]
Untuk mempermudah pengenalan terhadap ke-mistik-an tindakan ekologis, Edwards memaparkan beberapa pengalaman, antara lain [52]:
a. Pengalaman ketika kita benar-benar tertarik dengan keindahan alam, dan berlanjut pada rasa kagum dan kebahagiaan yang tiada tara.
b. Pengalaman bahwa kita adalah bagian dari 14 miliar tahun sejarah alam semesta, 3, 8 miliar tahun evolusi kehidupan di dunia, dan mengetahui bahwa semuanya ini terarah kepada penganugerahan diri Allah dalam cinta.
c. Pengalaman merasa terpukau dengan kekuatan-kekuatan alam semesta, ukuran dan usia alam semesta, mengenal dunia alamiah sebagai “yang lain” atau “yang asing, dan dalam hal ini, orang melampaui zona kenyamanannya dan masuk ke dalam misteri.
d. Pengalaman ketika dipanggil kepada solidaritas dengan ciptaan dunia, dipanggil kepada konversi ekologis, dipanggil untuk memandang ciptaan lain sebagai saudara, dan mengetahui bahwa semuanya ini adalah karunia Roh Allah.
e. Pengalaman ketika berhadapan dengan kompleksitas dan keberagaman persoalan lingkungan hidup dan menyerahkan semua persoalan ini ke hadirat Allah.
f. Pengalaman tentang perubahan dari cara hidup konsumtif dan individualistis kepada cara hidup yang sederhana, sekalipun hidup di dalam kelimpahan.
g. Pengalaman akan komitmen yang begitu besar terhadap ciptaan sedemikian sehingga kita mampu melampaui kecenderungan kita untuk selalu membenarkan diri dan memuaskan diri sendiri.


BAB V
P E N U T U P
Kerusakan ekologis merupakan suatu krisis berat yang sedang dihadapi umat manusia saat ini. Eksploitasi dan kesewenangan manusia atas alam, pada akhirnya berdampak langsung kepada keberlangsungan hidup manusia sendiri. Resiko-resiko kehidupan (penderitaan, kemiskinan, kematian, d.l.l.) mendesak manusia untuk segera melakukan “pertobatan ekologis” (ecological conversion).
 Denis Edwards adalah salah satu dari sekian banyak orang yang memberikan dukungan nyata bagi “pertobatan ekologis” tersebut. Sebagai seorang imam dan teolog Katolik, ia bermaksud memperlihatkan bahwa persoalan ekologis adalah juga persoalan teologis. Ia mengungkapkan demikian:
 “Kepercayaan keagamaan memiliki sumbangan penting bagi gerakan ekologis. Ia dapat memberikan makna dan motivasi, membentuk ethos ekologis, dan memberikan kontribusi bagi pembentukan etika lingkungan hidup.” [53]
  Atas keyakinan ini, Edwards membentuk sebuah teologi yang berwawasan lingkungan. Dengannya, diharapkan agar segenap ciptaan Allah dapat hidup dalam persaudaraan (kinship) satu sama lain di dalam bumi, yang tidak lain merupakan rumah bersama (shared room) bagi segenap ciptaan. Lebih daripada itu, teologi ini diharapkan dapat merehabilitasi nama baik agama (Kristen) atas tuduhan orang-orang tertentu yang menyebut agama (Kristen) sebagai biang kerusakan ekologis. Berikut penulis akan memaparkan garis besar pemikiran Edwards yang termuat di dalam buku EHF.

1. Teologi Ekologis Denis Edwards Selayang Pandang
Secara garis besar, gagasan teologis Denis Edwards mengenai ekologi dapat diklasifikasikan menjadi tiga bagian besar: 1) Manusia di tengah komunitas ciptaan, 2) sumbangan pemikiran kristiani bagi pertobatan ekologis, dan 3) praksis hidup yang berwawasan lingkungan.

1.1. Manusia di Tengah Komunitas Ciptaan
 Dalam visi teologis Edwards, manusia harus berada di tengah-tengah komunitas ciptaan, sejajar dengan ciptaan Allah lainnya. Cara pandang ekologis yang antroposentris atau yang mengunggulkan manusia di atas ciptaan Allah lain, telah menyumbang cukup banyak bagi kerusakan lingkungan. Dengan cara pandang seperti ini, manusia merasa dirinya paling unggul di dalam komunitas ciptaan dan dapat “memanfaatkan” apa saja yang ada di dunia ini demi kepentingannya. Oleh karena banyaknya kerugian yang diakibatkan oleh pandangan antroposentris ini, sudah saatnya pandangan ini diganti dengan suatu pandangan baru, yaitu persaudaraan semua ciptaan. Dengan gagasan ini, manusia merasa dirinya sangat tergantung pada ciptaan lain, baik yang biotik maupun yang abiotik. Kesadaran akan relasi interdependensi antara manusia dengan ciptaan lain mengarahkan manusia untuk melakukan pertobatan ekologis, dari dominasi terhadap alam kepada perawatan, dari eksploitasi yang berlebihan ke respek yang memadai.
 Dalam upayanya untuk menempatkan manusia kembali ke tengah-tengah komunitas ciptaan, Edwards memaparkan beberapa teori sains tentang asal-usul alam semesta dan manusia, di antaranya teori Dentuman Besar (Big Bang) dan Debu Bintang (Stardust). Teori-teori ini memperlihatkan bahwa sesungguhnya manusia dan komunitas kehidupan lain di dunia ini berasal dari satu sumber yang sama, yaitu unsur-unsur yang terhempas ke seluruh semesta oleh peristiwa alam purba. Edwards menambahkan bahwa semua proses alam yang memungkinkan munculnya kehidupan di dunia terjadi karena adanya campur tangan Allah. Teologi ekologis yang memiliki cara pandang semacam ini, akan dengan mudah menempatkan manusia di tengah-tengah komunitas ciptaan.
 Bagi Edwards, gagasan mengenai manusia sebagai Citra Allah (bdk. Kej. 1:27) memiliki makna yang mendalam. Kendatipun demikian, ia mengakui adanya kesalahpahaman mengenai gagasan ini, yaitu ketika gagasan ini diartikan sebagai legitimasi yang diberikan Allah kepada manusia untuk mengeksploitasi alam di sekitarnya. Padahal, Manusia yang diciptakan Allah menurut gambar-Nya sendiri, dan diberi kemampuan khusus berupa akal budi dan kehendak bebas, sudah semestinya “menjaga dan melestarikan” ciptaan Allah lainnya (bdk. Kej. 2:15).

1.2. Sumbangan Pemikiran Kristiani Bagi Pertobatan Ekologis
 Berkaitan dengan sumbangan teologi Kristen terhadap pertobatan ekologis, Edwards memberikan penekanan pada tiga hal, yaitu makna Roh Pencipta, Peristiwa Yesus, dan Trinitas.
 Menurut Edwards, Roh Kudus memiliki peran sentral di dalam kehidupan kristiani. Bagi orang Kristen, Roh Kudus adalah nafas Allah yang memberikan kehidupan kepada ciptaan-Nya, termasuk manusia (bdk. Kej. 2:7). Selain itu Roh Kudus juga merupakan pembawa ramat, yang tidak lain merupakan tawaran diri Allah dalam cinta kepada manusia. Edwards memiliki keyakinan bahwa Allah mengambil bagian secara aktif dalam perkembangan dunia evolusioner. Berkaitan dengan hal ini, Roh Kudus merupakan kehadiran Allah secara dinamis kepada ciptaan-Nya, yang memungkinkan segenap ciptaan-Nya untuk ada dan berkembang di dalam relasinya dengan persekutuan ilahi, dan mengarahkan ciptaan-Nya ini kepada masa depannya di dalam Allah.
 Dalam pemahaman Edwards, peristiwa-Kristus (Christ-event) memiliki sumbangan yang berharga bagi pertobatan ekologis. Jemaat Kristen awal tidak hanya mengenal dan meyakini Yesus sebagai “Mesias, Anak Allah”, tetapi juga sebagai “Pengajar Kebijaksanaan.” Dalam pewartaan Kabar Gembira, Yesus menggunakan gambar dan simbol yang dekat dengan masyarakat di sekitarnya. Tindakan Yesus ini memperlihatkan bahwa ciptaan adalah tempat kehadiran Allah. Kedekatan Yesus dengan alam juga dapat dilihat dalam kehidupan doa Yesus. KSPB menggambarkan bahwa acapkali Yesus menjauh dari keramaian dan masuk ke “alam” (mis. Padang Gurun, Taman, dan bukit) untuk berjumpa dengan Bapa-Nya dalam doa. Bagi jemaat kristiani, Yesus adalah Kebijaksanaan Allah. Sebagai Kebijaksanaan Allah, Ia membawa penyembuhan dan pembebasan (bdk. Mat. 11-28). Pada bagian awal Injil Yohanes diungkapkan bahwa Yesus ‘Sang Sabda yang menjadi daging’, telah ada sejak awal mula di dalam penciptaan. Di dalam Kolose 1:15-20, diungkapkan bahwa Kristus kosmis dirayakan sebagai sumber dan tujuan segenap ciptaan.
 Salah satu ide pokok yang dipaparkan Edwards di dalam gagasan teologisnya adalah persekutuan Allah (The Communion of God). Dalam sejarah kekristenan, konsep mengenai persekutuan Allah tidak lepas dari kontroversi. Terlepas dari kontroversi itu, gagasan mengenai persatuan dalam keberagaman di dalam diri Allah (perichoresis) memberikan inspirasi bagi pembangunan komunitas ciptaan, dalam mana semua ciptaan dapat hidup berdampingan secara damai.
1.3. Praksis Hidup Yang Berwawasan Lingkungan
 Menurut Edwards, konversi terhadap bumi, dan solidaritas terhadap ciptaan yang membentuk planet kita harus nyata dalam tindakan. Tindakan yang dimaksudkan Edwards adalah tindakan yang mencakup tindakan personal, politis, dan eklesial. Mengikuti Yesus di abad XXI berarti masuk dalam sebuah transisi di mana manusia bergerak dari masa penghancuran ekologis ke masa kepedulian ekologis. Salah satu hal yang dituntut dari manusia adalah perlunya memperluas ruang lingkup moralnya. Selama ini, bidang moral hanya ditentukan bagi manusia sehingga keberadaan ciptaan lain selain manusia semata-mata diperuntukkan bagi manusia. Edwards menegaskan bahwa manusia harus dapat menerima tanggungjawab terhadap masa depan planet kita.
 Edwards melihat bahwa Ekaristi memainkan peran penting bagi tindakan ekologis Kristen. Perayaan ini harus dinyatakan dalam tindakan, misalnya lewat kesaksian yang diberikan di lingkungan masyarakat dan lingkungan kerja. Tindakan politis juga dapat ditempuh, misalnya dengan membentuk kelompok lobi (lobbying groups) untuk mempengaruhi para elit politik dalam mengambil sikap dan kebijakan yang pro-ekologis.
 Hal lain yang dibutuhkan dalam praksis ekologis adalah kehidupan mistik praksis ekologis (the mysticism of ecological praxis). Politik dan mistik harus berjalan bersama. Orang Kristen yang terlibat di dalam praksis ekologis haruslah mistis, dalam artian bahwa pengalaman akan Allah tidak hanya didapat dalam kekaguman atas keindahan alam yang luar biasa, tetapi juga dalam penderitaan, kegagalan, dan kekalahan. Sekalipun demikian, berkomitmen secara tetap terhadap bumi dan segala isinya adalah prinsip yang tak tergantikan.


2. Sejumlah Tanggapan Kritis
 Setelah membaca, memahami, dan meresapi teologi ekologis Denis Edwards yang dipaparkannya di dalam buku EHF, selanjutnya penulis akan memberikan sejumlah catatan kritis terhadap bagian-bagian tertentu dari gagasan teologis Denis Edwards.

2. 1. Kristianitas Adalah Biang Kerusakan Ekologis: Benarkah?
 Di dalam buku EHF, Edwards melampirkan adanya tuduhan seorang sejarahwan bernama Lynn White (pada tahun 1967) bahwa yang menjadi biang dari krisis lingkungan yang menimpa bumi adalah kekristenan. [54] Etika Kristen yang terlalu menekankan superioritas manusia atas alam memiliki dampak destruktif terhadap ekologi. Menurut Penulis, tanggapan Edwards terhadap tuduhan Lynn White adalah tepat. Pertama, ia menerima tuduhan itu sebab fakta memperlihatkan bahwa sebagian kelompok Kristen yang bermodalkan kekeliruan penafsiran teks biblis tertentu (mis. Kej. 1:26-28), menganggap dirinya legitim untuk mengeksploitasi alam. Kendatipun demikian, harus ditegaskan bahwa kekeliruan penafsiran seperti ini bukan merupakan sikap Gereja secara menyeluruh. Selanjutnya, Edwards merasa terdorong untuk meluruskan apa yang dituduhkan White terhadap kekristenan. Berhubungan dengan hal ini, Edwards berupaya memberikan penjelasan yang benar mengenai konsep “berkuasa” di dalam Kej. 1:26-28.
 Menurut Edwards, model penguasaan pada dasarnya bersifat destruktif dan salah, sehingga harus disingkirkan dari teologi ekologis mengenai relasi antara manusia dan ciptaan lainnya. “Berkuasa” dalam konteks Kej. 1:26-28 harus dipahami secara berbeda. Dalam konteks penulisan teks biblis ini, bangsa Yahudi memiliki cara pandang mengenai manusia yang sangat berbeda dengan bangsa-bangsa di sekitarnya. Bangsa-bangsa tetangga kaum Yahudi melihat alam sebagai “makhluk asing” yang menakutkan bagi manusia yang lemah dan sederhana. Di hadapan alam, manusia tidak dapat berbuat apa-apa. Selain itu, bangsa-bangsa ini meyakini bahwa manusia sesungguhnya merupakan budak Allah. Berlawanan dengan konsep di atas, Kitab Kejadian menampilkan manusia sebagai pribadi yang “bermartabat raja” (‘kingly’ one) yang melalui pengetahuan dan keberaniannya, memiliki kemampuan untuk mengelolah bumi, serta memungkinkan ia untuk berternak dan menanam. Dalam dunia ke-Yahudi-an, martabat raja ini dipahami sebagai tindakan penggembalaan, cinta, dan penghiburan Allah atas ciptaan. “Berkuasa” dalam konteks Kej. 1:26-28, tidak semestinya dipahami sebagai penaklukkan (domination) melainkan sebagai perawatan (stewardship). Dengan kemampuan khusus yang diberikan kepadanya, yaitu kreativitas, intelektualitas, dan kebijksanaan, manusia dipanggil untuk “menjaga dan merawat ciptaan Allah” (bdk. Kej.2:15).
 Selain berusaha untuk meluruskan pandangan mengenai “berkuasa” di dalam Kej. 2:15, Edwards juga menyatakan bahwa tuduhan Lynn White itu sangat berlebihan. Menurut Edwards sebenarnya terdapat beberapa hal lain yang merupakan penyebab utama kerusakan ekologis, yaitu pandangan Pencerahan (aufkärung) mengenai alam sebagai “alat” bagi manusia, perkembangan kapitalisme, dan lahirnya revolusi industri. Memang tanggapan Edwards ini terkesan meloloskan kekristenan dari tuduhan yang sudah dialamatkan kepadanya. Dengan kata lain, Edwards seolah-olah mencari sebab kehancuran ekologis lain sebagai “kambing hitam”, agar kekristenan terbebaskan dari tuduhan itu. Tetapi menurut penulis, sebaiknya Lynn White terlebih dahulu mencari sampai menemukan pemahaman yang benar tentang maksud dari doktrin dan ajaran Kristen mengenai lingkungan hidup, sebelum menjatuhkan tuduhan “miring” terhadap doktrin-doktrin itu. Kendatipun demikian, Gereja harus menunjukkan secara tegas ajaran moral dan sikapnya terhadap lingkungan hidup, dan berusaha untuk secara konsisten menghidupi pola hidup yang selaras dengan prinsip yang sudah dipegangnya itu.

2.2. Memperluas Ruang Lingkup Moral
Salah satu konsep penting yang mesti dipegang setiap orang adalah bahwa persoalan ekologis merupakan persoalan moral. [55] Moral (Lat. Mos: kebiasaan) yang dipahami di sini adalah tindakan yang sebaiknya dilakukan manusia sebagai manusia. Etika lingkungan selama ini tidak menjadikan alam atau lingkungan hidup sebagai bagian dari ruang lingkup moralitas manusia. Akibatnya, manusia bebas melakukan apa saja terhadap alam karena alam bukan subjek moral yang harus dihormatinya. Dengan demikian, dalam kaca mata moral, pengerusakan alam tidak bernilai sama sekali.
Perkembangan baru di dalam etika lingkungan hidup menuntut perluasan cara pandang dan perilaku manusia dengan memasukkan lingkungan atau alam semesta sebagai bagian dari komunitas moral manusia. Dengan kata lain, makhluk bukan manusia, kendati bukan pelaku moral (moral agents) perlu dipandang sebagai subjek moral (moral subjects), sehingga pantas menjadi perhatian moral manusia. [56] Dengan pandangan ini, manusia tidak lebih superior dari ciptaan lain. Sebaliknya, manusia adalah bagian dari alam semesta. Edwards memang tidak memberikan perhatian yang besar terhadap persoalan mengenai moralitas ini. Di dalam EHF, Edwards memaparkan sebanyak satu kali, gagasan mengenai pentingnya perluasan ruang lingkup moral manusia dalam sebuah transisi waktu, yaitu dari zaman penghancuran alam ke zaman hidup berdampingan dengan alam. Menurut penulis, langkah Edwards ini merupakan sebuah langkah maju, sebab konversi ekologis dalam konteks teologis tidak hanya berurusan dengan penafsiran ulang kesalahan doktrin lama yang destruktif, tetapi juga mengenai pengubahan cara pandang mengenai alam dari sudut moralitas.

3. Relevansi Gagasan Teologis Denis Edwards Bagi Konteks Ke-Indonesia-an
 Berkaitan dengan relevansi gagasan teologis Edwards dalam konteks ke-Indonesia-an, penulis membuat dua pembagian, yaitu relevansi gagasan teologis Edwards terhadap Indonesia secara umum, dan relevansi gagasan teologis Edwards bagi kehidupan menggereja di Indonesia.

3.1. Relevansi Gagasan Teologis Denis Edwards Dalam Konteks Ke-Indonesia-an Secara Umum
 Persoalan ekologis adalah persoalan yang relevan untuk dibicarakan di Indonesia. Sebagai bagian dari komunitas dunia, Indonesia tidak lepas dari persoalan ekologis yang sedang melilit dunia. Perubahan ekologis di Indonesia memiliki warna tersendiri. Salah satu persoalan ekologis di Indonesia yang sangat mengkhawatirkan adalah tindakan penebangan hutan secara liar (illegal-logging). Saat ini kerusakan hutan karena praktek illegal-logging telah mencapai angka enam puluh juta hektare. Departemen Kehutanan memperkirakan jumlah lahan hutan yang rusak di seluruh Indonesia akibat illegal-logging ini mencapai 2,8 juta hektare per tahun. Laporan Green Peace menyatakan bahwa kerusakan hutan di Indonesia adalah kerusakan hutan tertinggi di dunia. Green Peace juga menyebutkan bahwa 72 persen hutan Indonesia telah musnah. Konon kerusakan hutan di Indonesia tercatat dalam Guinnes Book of World Records sebagai negara dengan kerusakan hutan tercepat di dunia. [57] Kerusakan hutan, selain disebabkan oleh ketamakan pribadi atau sekelompok orang tertentu, pemerintah juga dituding sebagai biang kerusakan hutan di Indonesia. Pemerintah dinilai lemah dalam upaya penegakkan hukum, khususnya yang berhubungan dengan konservasi hutan. Keterbatasan sumber devisa negara, pada gilirannya mendesak pemerintah untuk menumpukan industrinya pada bidang sumber daya alam, khususnya hutan. Hutang luar negeri yang besar juga berpengaruh pada kebijakan pemerintah untuk “memanfaatkan” hutan secara berlebihan untuk membayar hutang tersebut. Menurut kajian beberapa Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), sekitar 70 persen kebutuhan kayu dalam negeri dipasok dari penebangan liar. Industri berbasis kayu juga menyumbang 6,1 miliar sampai 9 miliar dolar AS dalam total ekspor Indonesia dan menempati urutan ketiga komoditi ekspor non-migas sebagai sumber devisa.
Bencana alam seakan menjadi cerita yang dekat dengan Indonesia. Banjir, tanah longsor, dan gempa bumi turut memperparah keadaan ekologis Indonesia. Kerusakan ekologis Indonesia menuntut upaya perbaikan dari setiap warga negara, baik secara pribadi maupun secara kelompok, baik melalui lembaga pemerintahan maupun lembaga swadaya untuk segera memikirkan solusi jangka pendek dan panjang yang berguna bagi “pertobatan ekologis.” Pemerintah sebagai lembaga tinggi negara, lewat berbagai macam cara, diharapkan dapat mengambil kebijakan yang memperhatikan kelestarian lingkungan hidup, serta mendorong warga negaranya kepada suatu pola hidup yang berwawasan lingkungan. Pada akhirnya, masa depan ekologis Indonesia ditentukan oleh setiap warga negaranya.

3.2. Relevansi Gagasan Teologis Denis Edwards Bagi Kehidupan Menggereja di Indonesia
Persoalan ekoteologis yang diangkat Edwards sangat relevan dengan kehidupan menggereja di Indonesia. Gereja-gereja di Indonesia sebagai bagian dari negara, turut memikul tanggungjawab ekologis untuk segera mengupayakan perubahan ekologis dan menciptakan dunia sebagai rumah bersama (shared room) yang layak dihuni setiap ciptaan. Berhadapan dengan persoalan ekologis Indonesia yang sedang dihadapi, Gereja dituntut untuk memainkan peran profetisnya. Peran macam apakah yang dapat dimainkan Gereja?
Menurut penulis, Gereja dapat melakukan beberapa langkah konkret berkaitan dengan upaya pelestarian lingkungan hidup. Langkah konkret dimaksud, antara lain:
a. Sebagai kekuatan moral, Gereja dapat menghimbau umat, mis. melalui khotbah dan surat gembala, untuk peduli terhadap lingkungan hidup.
b. Membentuk seksi-seksi, baik di tingkat keuskupan maupun paroki, yang secara khusus memberikan perhatian khusus terhadap masalah lingkungan.
c. Menghimbau setiap tarekat religius untuk mempersiapkan personelnya, yang secara khusus memperhatikan persoalan ekologis.
d. Bersama pemerintah, mendukung program pelestarian lingkungan hidup.
e. Memberikan dukungan kepada masyarakat lokal yang hidupnya masih tergantung pada irama alam dalam upaya pelestarian habitatnya.
Melalui berbagai upaya pelestarian lingkungan hidup, Gereja Indonesia diharapkan semakin menampakkan hakekat Allah Trinitas sebagai Allah yang relasional, Allah yang tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lain.
Sebagai kata akhir dari tulisan ini saya ingin menyatakan bahwa kita adalah bagian dari bumi, maka kita harus bertanggungjawab atas kelestariannya dan menjaganya agar semakin layak dihuni. Kalau bukan kita, siapa lagi, kalau tidak sekarang, kapan lagi; kalau tidak di tempat kita, dimana lagi?




Daftar Pustaka

Dister, Nico Syukur. 2003. Teologi Sistematika-Allah Penyelamat (jilid III). Kanisius: Yogyakarta.
Edwards, Denis. 2006. Ecology at The Heart of Faith (The Change of Heart That Leads to A New Way of Living on Earth). Orbis Books: Maryknoll, New York.
Fenomena (Jurnal Mahasiswa Teologi Universitas Sanata Dharma), Edisi XII/Oktober 2003.
Keraf, Sonny. 2002. Etika Lingkungan. Kompas: Jakarta.
Observable Universe, dalam http://en.wikipedia.org/wiki/Observable_universe (diakses tanggal 10 Maret 2009)
Sunarko, A. et. al. (Ed). 2008. Menyapa Bumi Menyembah Hyang Ilahi. Kanisius: Yogyakarta.
Wahyudi, Sri. 2008. Kita, Hutan, dan Tuhan; Sebuah Kajian Ekologis-Teologis Dalam Usaha Pelestarian Hutan, pada www.kabarindonesia.com edisi 1 November 2008 (diakses tanggal 11 Maret 2009).

Endnote:
[1] Data ini dikutip dari artikel Mateus Mali, Ekologi dan Moral, dalam A. Sunarko et. al. (ed.), Menyapa Bumi Menyembah Hyang Ilahi, Kanisius: Yogyakarta, 2008, hlm. 139.
[2] Dalam audiensi umum pada tanggal 17 Januari 2001, Paus Yohanes Paulus II mengungkapkan gagasan mengenai “pertobatan ekologis.” Paus menekankan bahwa hormat kepada keutuhan ciptaan merupakan persoalan moral., bdk. Denis Edwards, Ecology at The Heart of Faith (The Change of Heart That Leads to A New Way of Living on Earth), Orbis Books: Maryknoll, New York, 2006, hlm. 3.
[3] Any contemporary theology of the human, above all one that claim to be ecological, will need to situate the human within the community of life. It will need to be a theology of the human-in-relation-to-the-other, ibid. hlm. 7.
[4] Ibid., hlm. 8.
[5] Observable Universe merupakan sebuah ruang di luar angkasa yang secara teoretis, mungkin bagi kita untuk melihatnya. Ruang ini memancarkan cahaya dari jarak terjauhnya yang sudah dapat dilihat dari bumi sejak terjadinya Dentuman Besar. Diameter Observable universe mencapai 92,94 miliar tahun cahaya, dan berpusat pada bumi. Data ini diakses dari situs http://en.wikipedia.org/wiki/Observable_universe, pada tanggal 10 Maret 2009.
[6] Denis Edwards, Op. Cit., hlm. 10-11.
[7] Ibid., hlm. 11.
[8] Ibid., hlm. 11.
[9] The raw materials from which the first living molucules were assembled on earth in tiny grains of interplanetary material, preserved I the frozen heart of comets from the interstellar debris of giant molecular cloud from which the solar system formed., Ibid., hlm. 11.
[10] Ibid., hlm. 12.
[11] This concept of human as image of God becomes dangerous when it is used to set human up in opposition to other creatures, above all when it is used to suggest that human have absolute and unlimited rights over other species., Ibid. hlm. 14.
[12] Ibid., hlm. 15.
[13] What is it about the human that is in the divine image?, Ibid. hlm. 15.
[14] Ibid. hlm. 16.
[15] Dalam sebuah artikel yang ditulisnya di majalah Science pada tahun 1967, Lynn White berujar: “Kitab Suci dan Tradisi Kristen mengadakan sebuah distingsi tajam antara transendensi Allah dan imanensi alam. Kategori sejarah sebagai suatu realisme perjumpaan Allah dengan manusia dan alam sebagai sebuah realisme pemenuhan kebutuhan manusia memberikan wilayah kekuasaan yang berlawanan (Allah berkuasa atas manusia tetapi tidak atas alam dan manusia berkuasa atas alam).” Kutipan pernyataan Lynn white ini diambil dari: Kristoforus Tara, Berteologi Ekologi:Menuju Soteriologi Berperspektif Kosmik-Universal, dalam Fenomena edisi XII/ Oktober 2003, hlm. 2.

[16] Secara etimologis, kata “roh” berasal dari kata Bahasa Ibrani, yaitu rûah, dan kata Bahasa Yunani, yaitu pneuma. Kedua kata ini memiliki arti yang sama, yaitu “nafas” dan “angin.” Bdk. Denis Edwards, Op. Cit., hlm. 27.
[17] Many Christians think of the Spirit as coming at pentecost, with little sense of the Spirit’s work in creation, grace, and incarnation. The focus is so much on the great event of pentecost that the rest of the story of the spirit is forgotten., Ibid., hlm. 30.
[18] Dalam kutipan bahasa Inggris, pertanyaan Hawkings berbunyi: ”what is it that ‘breathes fire’ into the equations and makes a universe for them to describe?” Menurut penafsiran penulis, kata “api” di dalam pertanyaan di atas diandaikan sebagai media yang berdaya membentuk (creative). Misalnya, api dapat melelehkan emas. Emas yang leleh oleh karena api tersebut jika ditempatkan di dalam suatu wadah berbentuk tertentu, maka setelah lelehan itu menjadi dingin dan padat, maka bentuk emas tersebut menyerupai wadah yang ditempatinya. Roh Kudus dianalogikan dengan api, yaitu sebagai sosok ilahi yang berperan “membentuk” sesuatu atau seseorang., Ibid., hlm. 31.
[19] In The Christ-event, this same Spirit brings about the incarnation, sanctifying and transforming the humanity of Jesus, so that he can be Word of God, the human face of God in our midst., Ibid., hlm. 33.
[20] Ibid., hlm. 34.
[21] Ibid., hlm. 34.
[22] The Church exists from both the risen Christ and from the Spirit. Word and Spirit coinstitute the Church., Ibid., hlm. 34.
[23] Ibid. hlm. 35.
[24] Ibid., hlm. 36.
[25] The immanent presence of God who empowers the process of self-transendence and the emergence of a life-bearing universe., Ibid., hlm. 37.
[26] Ibid. hlm. 40.
[27] Each entity in the universe exists only because it is embraced by the Crator Spirit ….. this creative embrace is an act of love., Ibid. hlm. 42.
[28] If God knows and cares about each creature’s experience, God also knows and cares about each creature’s habitat., Ibid. 43.
[29] Making the connection between ecological commitment and Jesus of Nazareth is at the center of a Christian ecological theology., Ibid. hlm. 48.
[30] The parables reveal that for Jesus there is an inward affinity between the natural order and the spiritual order., Ibid. hlm. 51.
[31] Secara etimologis, istilah Wisdom Woman berasal dari kata bahasa Ibrani hokhmâ, dan kata bahasa Yunani sophia. Kedua kata ini bergenus feminim. Bagi Edwards, Kebijaksanaan Allah yang dipersonifikasikan dengan Wisdom Woman mengandung arti bahwa “ia terlibat secara intim dengan ciptaan” dan “tinggal di tengah-tengah ciptaan.” Ibid., hlm. 53.
[32] Ibid., hlm. 57.
[33] To say that God became flesh is not only to say that God became human, but to say also that God became a sentient being, that God became a living being (in common with all other living beings), that God became a complex earth unit of minerals and fluids, that God became an item in the carbon and nitrogen cycles., Ibid., hlm. 58-59.
[34] Ibid. hlm. 59.
[35] Kami percaya akan satu Allah, Bapa Yang Mahakuasa, Pencipta segala sesuatu yang kelihatan yang tak kelihatan. Dan akan satu Tuhan Yesus Kristus, lahir dari Bapa, lahir-tunggal, yaitu dari hakikat Bapa, Allah dari Allah, terang dari terang, Allah benar dari Allah benar, dilahirkan bukan dijadikan, sehakekat dengan Bapa, segala sesuatu dijadikan oleh-Nya, baik yang di surga maupun yang di bumi, Ia turun untuk kita dan untuk keselamatan kita, dan Ia menjadi daging dan menjadi manusia, wafat, [kesengsaraan], dan bangkit pada hari yang ketiga, naik ke surga dan akan datang untuk mengadili orang hidup dan orang mati. Kutipan syahadat ini berasal dari karya tulis Dr. Nico Syukur Dister, Teologi Sistematika-Allah Penyelamat, Jilid I, Kanisius: Jogjakarta, 2003, hlm. 143-144.
[36] Menurut pemikiran Athanasius, “Only if Jesus is truly God can our humanity be understood as deified in Christ. And since it is the Holy spirit who makes us partakers in the divine life, this Spirit who sanctifies us and deifies us cannot be a creature but must be divine, sharing the one divine nature.” Denis Edwards, Op. Cit., hlm. 68.
[37] Pada masa sebelum ketiga Bapa Kapadokia, pemakaian kata ousia (dalam arti hakikat, substansi) dan hypostasis (dalam arti zat, kodrat) dicampuraduk begitu saja. Lewat ketiga Bapa Kapadokia, ousia menjadi istilah teknis bagi Ketuhanan, sedangkan istilah hypostasis menunjukkan eksistensi pribadi yang dimiliki masing-masing Diri Ilahi. Bdk., Dr. Nico Syukur Dister, Op. Cit., hlm. 150.
[38] “Ada-bersama-satu-sama-lain” merupakan “ada” (being) Trinitas. Yohanes Damascene (675-749) menyebutnya sebagai perichoresis. Gagasan ini menggambarkan intimasi yang radikal, kehadiran bersama di dalam cinta. Bdk., Denis Edwards. Op. Cit., hlm. 73.
[39] Christianity is a religion of promise and hope. It is directed toward a future in God, Ibid. hlm. 82.
[40] Ibid. hlm. 83-86.
[41] “Yet his radical commitment to this world, to matter, has an important word to speak to an age struggling toward an ecological view of reality”, Ibid. hlm. 86.
[42] Ibid. hlm. 86-94.
[43] This created human nature is the indispensable and permanent gateway through which everything created must pass if it is to find the perfection of its eternal validity before God. Kutipan ini diambil Edwards dari tulisan Rahner yang berjudul The Eternal Significance of the Humanity of Jesus for Our Salvation di dalam Theological Investigations vol. 3, Ibid. hlm. 88
[44] We know about this future on the basis of what we already experience in Jesus and in the Spirit. Our hope in the future is based on the experience we already have of God’s self-bestowing love., Ibid. hlm. 90.
[45] Ibid. hlm. 91.
[46] Edwards mengenal adanya konsep mengenai “buku kehidupan” yang dasar biblisnya ditemukan, antara lain di dalam Kel. 32:32; Mzm. 56:8; 69:28; 139:16; Ayb. 19:23; Mal.3:16-18; Fil.4:3; dan Why.20:12-14;-21-27. Dengan buku kehidupan dimaksudkan bahwa melalui Roh Kudus setiap ciptaan, baik yang insani maupun yang bukan insani, dibawa kepada Allah. Ibid., hlm. 95.
[47] Ibid. hlm. 105.
[48] Ibid. hlm. 105.
[49] Conversion to the earth, to solidarity with the creatures that make up our planetary community, must involve action. It is not the radical reorientation of thought, and it is not only the discovery of a new capacity for feeling for nonhuman creation. It is both of these issuing forth in personal, political, and ecclesial action., Ibid. hlm. 112.
[50] Ibid. hlm. 112.
[51] Authentic faith, or the mystical, seems in modern times ‘to be nurtured above all in and through the praxis of liberation.’ In this experience there grows the awareness that God is revealed as the ‘deepest mystery, the heart and the soul of any trully human liberation.’ Ibid., hlm. 117.
[52] Ibid. , hlm 118.
[53] Ibid. hlm. 2.
[54] Ibid. hlm. 20.
[55] Pernyataan ini dikutip Edwards dari audiensi umum mendiang Paus Yohanes Paulus II, pada tanggal 17 Januari 2001: “I wish to repeat that ecological crisis is a moral issue.” Ibid. hlm. 3.
[56] Sonny Keraf, “Etika Lingkungan”, Kompas: Jakarta, 2002, hlm. 26.
[57] Data ini diambil dari www.kabarindonesia.com tanggal 1 November 2008, diakses pada tanggal 11 Maret 2009.

4 comments:

  1. sungguh bagus, KTI anda dalam memperluas pengetahuan ekoteologi bagi saya. Andaikan hal ini dapat digunakan dan dilaksanakan oleh pemuda saat ini tentunya akan jauh lebih berguna lagi. terima kasih. bahan ini akan saya jadikan referensi artikel saya

    ReplyDelete
  2. Thanks atas masukan Anda, pastinya hal ini sangat membantu perkembangan daya nalar saya. Salam Sehati Sejiwa. God Bless.

    ReplyDelete
  3. tulisan ini sangat membantu saya, karena saya ini saya sedang mendalami pemikiran Denis Edwards dalam bukuny ayang berjul" PArtaking of God: Trinity Evolution dan Ecology..
    salam

    ReplyDelete
  4. This comment has been removed by a blog administrator.

    ReplyDelete