Monday, February 8, 2010

Independensi Bank Sentral



BAB I
P E N D A H U L U A N

1. Latar Belakang Masalah
Sekarang ini, pemikiran untuk menjadikan bank sentral sebagai bank yang independen berkembang luas di seluruh dunia. Jika sebelum periode tahun 1980-an bank sentral umumnya tidak independen, maka setelah periode tersebut hampir seluruh bank sentral di dunia menjadi bank sentral yang independen. Ada dua alasan pokok untuk menjadikan bank sentral sebagai bank yang independen, yaitu menjaga kesinambungan program ekonomi, dan menghindarkan bank sentral dari campur tangan politik. Resiko yang dapat terjadi seandainya bank sentral tidak independen, yaitu terputusnya mata rantai perkembangan program ekonomi oleh karena adanya interese politik tertentu yang bermaksud mengendalikan arah dan kebijakan bank sentral untuk kepentingan politik tersebut. Di sisi lain, bank sentral yang tidak independen akan dijadikan sebagai senjata yang ampuh oleh kelompok politik tertentu untuk menyerang kebijakan moneter dan finansial pemerintah yang dianggap tidak populer.

Bank Indonesia (selanjutnya disingkat BI) sebagai bank sentral dalam sejarahnya mengalami lika-liku perkembangan yang rumit, terutama terkait dengan independensinya. Menurut penulis, ada dua isu penting terkait dengan independensi BI, yaitu: 1) pola relasi antara BI dengan pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (selanjutnya disingkat DPR), 2) kedudukan BI sebagai badan hukum dan lembaga negara. Ketiga isu penting di atas tersarikan dari pokok-pokok penting beberapa Undang-undang yang mengatur tentang Bank Indonesia, dan fakta-fakta sejarah yang telah terjadi.

2. Perumusan Masalah
Sebagaimana diungkapkan di atas, independensi BI harus ditegakkan. Independensi BI dianggap perlu untuk menghindarkan BI dari campur tangan kelompok politik tertentu (termasuk pemerintah) yang dapat menghambat kesinambungan program moneter dan finansial BI. Selain itu independensi BI diperlukan agar BI sendiri tidak dijadikan sebagai amunisi bagi kelompok politik tertentu untuk menghancurkan pemerintah yang kebijakan moneter dan finansialnya dianggap tidak populer. Dalam rangka memperkuat kedudukan BI sebagai bank sentral yang independen , maka regulasi terkait BI harus diatur secara tegas dan jelas, di antaranya mengenai kedudukan BI dalam tata pemerintahan, dan status BI sebagai badan hukum dan sebagai lembaga negara. Dengan demikian, penulis memiliki dua pertanyaan pokok terkait isu independensi BI, antara lain:
1) Bagaimanakah seharusnya dibangun pola hubungan antara Bank Indonesia dengan Pemerintah dan DPR?
2) Bagaimanakah seharusnya kita memahami kedudukan Bank Indonesia sebagai badan hukum dan lembaga negara?


BAB II
A N A L I S I S M A S A L A H

1. Sejumlah Pendapat Para Ahli Mengenai Independensi Bank Sentral
Fakta mengenai semakin banyaknya bank sentral yang menjadi bank yang independen tidak lepas dari perkembangan pemikiran sejumlah ahli.

Menurut C.A.E. Goodhart, sebelum abad XX bank sentral dan pemerintah memiliki hubungan yang sangat erat dalam mendesain kebijakan makro (macro-policy) dalam bidang perekonomian dan keuangan, termasuk juga dalam mengatur nilai mata uang. Hubungan yang sedemikian erat ini membuat Goodhart berkesimpulan bahwa bank sentral adalah bagian yang tidak terpisahkan dari pemerintah, terutama dalam merumuskan kebijakan macro-economy. Menurut Goodhart, independensi bank sentral hanya terbatas pada apa yang disepakati oleh DPR dan pemerintah melalui undang-undang sebagai wewenang yang secara khusus dimiliki oleh bank sentral. Kendatipun demikian, secara politis bank sentral dan pemerintah bukanlah entitas yang terpisah satu sama lain. Keterpisahan tersebut hanya dalam hal fungsi, di mana bank sentral menjalani tugas khususnya dalam bidang moneter dan finansial di suatu negara, terlepas dari intervensi pemerintah. Goodhart cenderung melihat keterpisahan BI dari pemerintah dalam hal fungsi khusus yang diembannya merupakan sebuah pendelegasian kekuasaan.

Berbeda dengan Goodhart, Laurence H. Meyer sangat menggelisahkan hubungan erat antara bank sentral dan pemerintah. Menurutnya, independensi bank sentral diperlukan untuk menghindarkan bank sentral dari tekanan politik tertentu yang bermaksud menjatuhkan pemerintah yang kebijakan ekonomi dan keuangannya tidak populer di mata masyarakat. Tekanan politik ini sebenarnya dimaksudkan untuk mendongkrak popularitas kelompok politik bersangkutan.

Adalah N.W. Barber yang mencoba melihat independensi bank sentral dalam konteks trias-politica atau pemisahan kekuasaan. Menurutnya, keragaman pemikiran mengenai trias-politica adalah hal yang wajar, tetapi hal itu tidak harus melulu dilihat dari konteks teori politik. Kita dapat perlu melihat konsep trias politica secara pragmatis. Barber melihat independensi bank sentral sebagai sesuatu yang penting dengan maksud agar bank sentral menjadi efektif dan efisien karena tidak didikte oleh lembaga eksekutif, legislatif, dan yudisial. Kendatipun demikian, Barber menegaskan bahwa independensi bank sentral sama sekali bukan berarti bahwa bank sentral merupakan entitas yang terlepas dari ketiga lembaga negara di atas. Ia adalah bagian dari lembaga eksekutif, yang independen dalam menjalankan tugas khususnya di bidang moneter dan finansial. Dari argumentasi ini kita menyimak bahwa Goodhart dan Barber sepakat dengan independensi bank sentral. Tetapi independensi itu hanya dalam fungsi khususnya dalam bidang moneter dan finansial. Secara politis bank sentral dan pemerintah tidak dapat dipisahkan.

Fabian Amtenbrink menyatakan bahwa independensi bank sentral meliputi kelembagaan, pelaksanaan tugas, personalia, dan anggaran. Konstitusi perlu menggarisbawahi pentingnya independensi bank sentral sebagai pengakuan negara atas prinsip keadilan sosial dan negara kesejahteraan.

Di tengah polemik seputar independensi BI, Yusril Ihza Mahendra berpendapat bahwa jika BI menjadi lembaga tinggi negara setingkat DPR, maka hal ini berdampak pada berkurangnya akuntabilitas BI. DPR sewaktu-waktu tidak dapat memanggil BI, kecuali dalam rangka rapat koordinasi.

Dari sejumlah argumen di atas, independensi bank sentral adalah sesuatu yang sangat dibutuhkan. Kendati demikian, independensi bank sentral harus dirumuskan secara tepat agar bank sentral dapat menjalankan tugasnya secara maksimal demi kesejahteraan seluruh lapisan masyarakat.

2. Independensi Bank Indonesia Dalam Sejarah Perkembangan Peraturan Perundangan Yang Berkaitan Dengan Bank Indonesia

Dalam sejarah perkembangan Bank Indonesia, terdapat beberapa regulasi yang mengatur tentang kelembagaan, tugas, fungsi, dan wewenang BI. Perkembangan regulasi ini sangat diwarnai dengan keunikan pola relasi antara bank sentral dan pemerintah. Berikut ini penulis menggambarkan secara ringkas perkembangan peraturan perundang-undangan terkait dengan bank sentral serta pola relasi yang terbentuk antara bank sentral dan pemerintah yang berkuasa.

2.1. De Javasche Bank Dan Hubungannya Dengan Pemerintah Kolonial Belanda
BI merupakan perkembangan lebih lanjut dari De Javasche Bank yang tidak lain merupakan Perseroan Terbatas yang didirikan pada tanggal 29 Desember 1826 berdasarkan Surat Perintah Raja Willem I. Pada tahun 1828, De Javasche Bank diberikan Hak Octrooi sebagai Bank Sirkulasi. Kedudukan De Javasche Bank sebagai badan hukum tidak menjamin bahwa pemerintah kolonial tidak akan turut campur di dalamnya. Fakta justru memperlihatkan sebaliknya. Perihal pengangkatan, pemberhentian, dan penentuan gaji pegawai harus dengan persetujuan Gubernur Jenderal. Pemerintah kolonial pun memiliki hak prerogatif untuk mengadakan supervisi terhadap bank. Bahkan komisaris bank tidak lain adalah utusan pemerintah yang mewakili kepentingan pemerintah. Du Bus, seorang kapitalis Belgia yang memiliki saham mayoritas di De Javasche Bank mendapatkan modal dari pemerintah Belanda dan Nederlandsche Handel Maatschappij (N.H.M.), sebuah perusahaan dagang yang mayoritas sahamnya dipegang raja Belanda. Dari gambaran ini kita dapat menyimpulkan bahwa independensi De Javasche Bank pada masa pemerintah kolonial sangat rapuh.
2.2. Bank Indonesia Pada Masa Orde Lama

Pasca proklamasi kemerdekaan tahun 1945, dibentuklah Bank Indonesia berdasarkan UU No. 11 Tahun 1953. Melalui UU BI inilah, bank sentral Indonesia yang merupakan perkembangan lebih lanjut dari De Javasche Bank disebut sebagai Bank Indonesia. Bank Indonesia secara resmi terbentuk pada tanggal 1 Juli 1953. Undang-undang No.11 Tahun 1953 mengatur bahwa kekuasaan untuk menetapkan kebijakan moneter adalah Dewan Moneter yang beranggotakan menteri keuangan, menteri ekonomi, dan gubernur BI. Direksi Bank Indonesia bertugas menyelenggarakan apa yang sudah ditetapkan oleh Dewan Moneter. Dengan penentuan semacam ini, dapat kita ketahui bahwa hubungan antara BI dan pemerintah menjadi tidak jelas karena pimpinan tertinggi BI adalah Dewan Moneter, bukan direksi BI. Undang-undang No.11 Tahun 1953 tidak mengatur secara tegas tentang independensi BI. Hanya ada sedikit keterangan bahwa BI adalah badan hukum milik negara yang melakukan tugasnya berdasarkan UU No. 11 Tahun 1953.

2.3. Bank Indonesia Pada Masa Orde Baru
Pada masa Orde Baru, dibentuklah UU BI yang baru yaitu UU No. 13 Tahun 1968. Secara keseluruhan dapat ditangkap bahwa UU BI ini tidak membawa sesuatu yang baru dalam hal independensi BI. Undang-undang BI ini menegaskan posisi dominan Dewan Moneter di dalam kelembagaan Bank Indonesia. Dewan moneter adalah alat pemerintah dan pembantu presiden dalam memikirkan, merencanakan, dan menetapkan kebijakan moneter. Mengingat pentingnya kedudukan Menteri Keuangan sebagai penanggungjawab bidang keuangan, dan faktor penting pelaksanaan kebijakan moneter maka posisi ketua Dewan Moneter diduduki oleh Menteri Keuangan, yang sudah pasti merupakan unsur yang berasal dari pemerintah. Hubungan antara BI dan pemerintah bahkan secara jelas diatur di dalam pasal 8 UU No. 13 Tahun 1968Dari posisi yang demikian, wajar saja jika kita berkesimpulan bahwa independensi BI masih jauh dari harapan.

Rencana perubahan secara besar-besaran terhadap BI dilakukan setelah ada Letter of Intent (LOI) II antara pemerintah dan International Monetary Fund (IMF) yang ditandatangani 15 Januari 1998. Salah satu hasil dari LOI adalah rencana pemberian otonomi kepada BI untuk merumuskan dan melaksanakan kebijakan moneter. Kesepakatan ini kemudian diikuti dengan dikeluarkannya Keppres No. 23 Tahun 1998, yang menegaskan bahwa “Bank Indonesia merumuskan dan melaksanakan kebijakan moneter.” Namun Keppres ini belum dapat langsung dilaksanakan karena bertentangan dengan UU No. 13 Tahun 1968. Dengan demikian dipersiapkanlah segala sesuatu yang perlu untuk merumuskan sebuah UU BI yang baru.

2.4. Bank Indonesia Pada Masa Reformasi Sampai Sekarang
Rencana pembentukan suatu Undang-undang Bank Indonesia yang baru, tercapai pada tahun 1999. Atas dasar amanat Pasal 23 D Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disingkat UUD NRI 1945), ditegaskanlah BI sebagai lembaga negara yang independen dan berbentuk badan hukum. Melalui UU No. 23 Tahun 1999 yang kemudian diperbaharui dengan UU No. 3 Tahun 2004, BI tidak hanya independen dari lembaga eksekutif, tetapi juga independen dari lembaga legislatif.

3. Menelaah Isu-isu Penting Terkait Independensi Bank Indonesia
Sebagaimana yang telah dipaparkan pada bagian perumusan masalah, penulis merumuskan dua isu penting terkait dengan independensi BI, yaitu a) perihal hubungan antara BI dengan pemerintah dan DPR, b) kedudukan BI sebagai badan hukum dan lembaga negara. Berikut ini adalah garis besar penelaahan tiga isu tersebut.

3.1. Hubungan Bank Indonesia Dengan Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat
Pada bagian 2 (dua) dari makalah ini, penulis telah memaparkan garis besar pola hubungan antara BI dan pemerintah dalam perkembangan hukum dalam rezim pemerintahan tertentu. Dapat dikatakan bahwa sebelum UU No. 23 Tahun 1999 jo. UU No. 3 Tahun 2004 diberlakukan, BI masih berada di dalam “genggaman” pemerintah. Sejak masa kolonial, sampai dengan periode Orde Baru, BI berada di dalam kontrol pemerintah. Angin pembaharuan terhadap BI berhembus bersamaan dengan lahirnya gerakan yang dinamakan sebagai gerakan “Reformasi” sejak tahun 1998 yang ditandai dengan lengsernya tampuk kekuasaan Orde Baru. Amandemen UUD NRI 1945 yang dimulai sejak tahun 1999 semakin membuka peluang bagi penegakkan independensi BI yang kemudian ditegaskan di dalam UU No. 23 Tahun 1999 jo. UU No. 3 Tahun 2004.

Pasal 4 ayat 2 UU No. 23 Tahun 1999 jo. UU No. 3 Tahun 2004 menegaskan independensi BI. Independensi ini memuat makna yang mendalam, sekaligus merupakan sebuah terobosan yang sangat menentukan kiprah BI selanjutnya, terutama dalam upayanya mencapai tujuan BI sebagaimana diatur oleh UU ini. Independensi BI menjadi pertanda bahwa pemerintah dan DPR tidak dapat seenaknya mengintervensi kebijakan yang diambil BI, kecuali untuk hal-hal yang secara tegas diatur di dalam UU BI ini. Hal yang dicemaskan jika BI menjadi lembaga negara yang independen adalah berkurangnya akuntabilitas BI. DPR sewaktu-waktu tidak dapat memanggil BI, kecuali dalam sebuah rapat koordinasi. Dengan demikian, dibentuklah Badan Supervisi berdasarkan amanat Pasal 58 A UU No. 23 Tahun 1999 jo. UU No. 3 Tahun 2004. Badan supervisi bertugas membantu DPR dalam melaksanakan fungsi pengawasan di bidang tertentu terhadap BI dalam rangka meningkatkan akuntabilitas, independensi, transparasi, dan kredibilitas BI. Anggota Badan Supervisi dipilih oleh DPR dan diangkat oleh Presiden. Kecemasan lain yang dapat muncul adalah jika Badan Supervisi ini berasal dari satu partai yang menguasai baik lembaga legislatif dan lembaga eksekutif, maka BI rentan untuk disalahgunakan.

3.2. Bank Indonesia Sebagai Badan Hukum Dan Lembaga Negara
Posisi BI sebagai badan hukum sangat penting dalam rangka independensinya. Sebagai badan hukum, BI memiliki hak, kewajiban, dan berwenang membuat keputusan yang mengikat para pihak di dalam ruang lingkupnya. Sebagai badan hukum, BI adalah badan yang terpisah dari pemerintah dan DPR, dan diberikan kewenangan untuk mengelola kekayaannya sendiri terlepas dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Ketentuan tentang BI sebagai badan hukum diatur di dalam Pasal 4 ayat 3 UU No. 23 Tahun 1999 jo. UU No. 3 Tahun 2004. Sekalipun UU BI sebelumnya telah menegaskan posisi BI sebagai badan hukum, implementasinya tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. UU BI yang berlaku sekarang ini bahkan memberikan kekebalan terhadap Gubernur Bank Indonesia, yaitu bahwa kesalahan yang dilakukan Gubernur BI, sejauh itu sejalan dengan tugas dan wewenangnya, serta dilakukan dengan itikad baik, maka hal itu dapat dibenarkan secara hukum. Adapun pengangkatan Gubernur, Deputi Gubernur Senior, dan Deputi Gubernur dilakukan oleh presiden dengan persetujuan DPR.

Kedudukan BI sebagai “lembaga negara” yang independen diatur di dalam Pasal 4 ayat 2 UU No. 23 Tahun 1999 jo. UU No. 3 Tahun 2004. Kedudukan BI sebagai lembaga negara adalah suatu isu yang penting, mengingat kedudukan BI sebagai lembaga negara tidak diatur di dalam UUD NRI Tahun 1945. Bahkan UUD yang pernah berlaku di RI tidak pernah mengatur tentang kedudukan BI sebagai lembaga negara. Pasal 1 ayat 2 TAP MPR No. 3/MPR/1978 hanya mengatur bahwa yang merupakan lembaga tertinggi negara adalah MPR, sedangkan lembaga tinggi negara adalah presiden, Dewan Pertimbangan Agung, Dewan Perwakilan Rakyat, Badan Pemeriksa Keuangan, dan Mahkama Agung. Penyebutan BI sebagai “lembaga negara” di dalam Pasal 4 ayat 2 UU No. 23 Tahun 1999 jo. UU No. 3 Tahun 2004 menimbulkan bias pengertian. Di satu sisi BI dapat disejajarkan dengan lembaga negara yang lainnya. Sebagaimana Mahkama Agung sebagai lembaga negara yang menjalankan fungsinya dalam bidang peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan; demikian pula BI sebagai lembaga negara menjalankan fungsinya di bidang ekonomi dan perbankan untuk mencapai dan menjaga kestabilan nilai rupiah. Tetapi di sisi lain, Gubernur BI diperlakukan sebagai pejabat tinggi negara yang disamakan dengan menteri. Melihat fakta ini, maka, dapat kita simpulkan bahwa BI adalah lembaga negara yang independen dalam hal fungsinya saja, sedangkan secara struktural, BI masih merupakan bagian dari pemerintah.

BAB III
P E N U T U P

1. Kesimpulan
Independensi bank sentral adalah salah satu isu penting yang semakin mendapatkan perhatian dari banyak kalangan di dunia. Independensi ini diperlukan dalam rangka peningkatan kualitas kerja bank sentral yang ditandai dengan terjaganya kesinambungan program BI, dan terhindarnya BI dari segala bentuk intervensi dari pihak manapun, termasuk lembaga eksekutif dan lembaga legislatif.

Bank Indonesia adalah bank sentral Republik Indonesia. Sebutan Bank Indonesia mulai dikenal secara legal sejak disahkannya UU No. 11 Tahun 1953 tentang Bank Indonesia pada masa Orde Lama. Pemerintah Orde Lama acapkali menggunakan BI sebagai alat politik untuk mencapi tujuan revolusi politik yang dicanangkannya. Pada masa Orde Baru disahkanlah UU No. 13 Tahun 1968 yang mencoba melepaskan BI dari kegiatannya di sektor komersil. Akan tetapi kedua produk perundang-undangan yang berlaku pada kedua rezim yang berbeda ini tidak menjamin independensi BI. Intervensi pemerintah terhadap BI dirasakan terlalu dalam, yang menyebabkan terbatasnya ruang gerak pejabat BI. Perubahan dalam hal independensi BI terjadi bersamaan dengan tuntutan gerakan yang acapkali dinamakan sebagai gerakan “Reformasi” yang dimulai sejak tumbangnya rezim Orde Baru. Dengan disahkannya UU No. 23 Tahun 1999, yang kemudian diperbaharui dengan UU No. 3 Tahun 2004, BI menjadi badan hukum dan lembaga negara yang independen.

Terkait dengan independensi BI terdapat dua isu penting yang semestinya diperhatikan untuk dibenahi, yaitu persoalan mengenai hubungan antara BI dengan pemerintah dan DPR, dan kedudukan BI sebagai badan hukum dan lembaga negara. Isu pertama berkutat pada persoalan tentang pentingnya BI sebagai bagian dari pemerintah yang menjalankan fungsi khususnya di bidang moneter dan finansial secara independen. Jika BI adalah bagian dari pemerintah, maka DPR sewaktu-waktu dapat meminta pertanggungjawaban BI. Tetapi jika independensi BI dipahami secara utuh, maka kemungkinan besar pemerintah tidak dapat mengintervensi BI. DPR pun tidak dapat meminta pertanggungjawaban BI, kecuali dalam sebuah rapat koordinasi.

Isu lain terkait dengan independensi BI adalah kedudukan BI sebagai badan hukum dan sebagai lembaga negara. Sebagai badan hukum, BI adalah badan yang terlepas dari pemerintah, yang memiliki hak dan kewajibannya sendiri, serta dapat memberlakukan kebijakan yang memuat sanksi dalam batas-batas kewenangannya. Sedangkan kedudukan BI sebagai lembaga negara sebagaimana yang termuat di dalam Pasal 4 ayat 2 UU No. 23 Tahun 1999 jo. UU No. 3 Tahun 2004 dianggap inkonstitusonal karena tidak disebutkan di dalam UUD NRI Tahun 1945. Jika BI dianggap sebagai lembaga negara, maka kedudukannya setara dengan lembaga tinggi negara yang lainnya, yang kewenangannya diberikan oleh Konstitusi negara. Padahal dalam kenyataannya Gubernur BI diangkat sebagai pejabat negara yang disamakan dengan menteri.

Menurut penulis, isu independensi BI pantas mengundang pertentangan oleh karena beberapa sebab. Pertama, rumusan peraturan perundang-undangan tentang BI belum lengkap sebagaimana diharapkan. Misalnya, penyebutan BI sebagai “lembaga negara” di dalam UU BI, ternyata tidak diatur di dalam UUD NRI Tahun 1945. Kedua, pemerintah berkepentingan untuk menenpatkan BI secara struktural sebagai bagian integralnya dalam rangka kesinambungan antara program ekonomi pemerintah dan kebijakan moneter dan finansial BI. Ketiga, belajar dari pengalaman sejarah, ruang gerak BI sangat dibatasi oleh karena adanya intervensi pemerintah. Maka, sudah sepantasnya BI merasa perlu untuk menegakkan independensinya dalam rangka menjaga dan meningkatkan kinerjanya berdasarkan tujuan yang diamanatkan oleh UU BI.

2. Saran
Berdasarkan pembahasan pada bab dan sub-bab sebelumnya, maka penulis memaparkan beberapa saran, s.b.b.

a. Badan Supervisi yang mewakili DPR untuk mengadakan pengawasan terhadap BI perlu diberikan wewenang yang lebih luas, tidak hanya mengawasi kinerja BI saja, tetapi juga memberikan penilaian terhadap kebijakan yang diambil BI. Mengingat adanya kemungkinan bahwa baik DPR maupun pemerintah, pada saat yang sama dikuasai oleh hanya satu partai, maka mekanisme penilaian kinerja BI oleh Badan Supervisi harus diatur secara tegas, dan laporannya pun harus disampaikan secara transparan kepada masyarakat.

b. Jika dimungkinkan adanya amandemen UUD NRI Tahun 1945 yang berikutnya, maka klausul pasal 23 D UUD Tahun 1945 perlu menegaskan kedudukan BI sebagai lembaga negara yang berada di luar pemerintahan. Dengan demikian, menjadi jelaslah bahwa BI adalah salah satu dari beberapa lembaga negara lainnya yang kewenangannya diberikan oleh UUD NRI Tahun 1945.

c. Untuk menghilangkan adanya multitafsir terhadap kedudukan BI sebagai lembaga negara, mengingat pasal 23 D UUD NRI Tahun 1945 hanya menyebutnya sebagai “bank sentral”, maka penyebutan BI sebagai “lembaga negara” di dalam Pasal4 ayat 2 UU No. 23 Tahun 1999 jo. UU No. 3 Tahun 2004 sebaiknya dihilangkan. Akan menjadi jelas kalau klausul pasal tersebut hanya menyebut BI sebagai bank sentral, sesuai dengan UUD NRI Tahun 1945.
Penulis sangat berharap semoga pihak yang paling berkepentingan dengan Bank Indonesia (khususnya lembaga eksekutif, legislatif, yudisial, dan BI sendiri), dengan adanya kritik dan masukan dari berbagai pihak, dapat membenahi segala sesuatu yang dibutuhkan demi tegaknya indepensi Bank Indonesia yang kokoh.



Daftar Pustaka

a. Buku dan Artikel

Beng To, Oey. 1991. Sejarah Kebijakan Moneter Indonesia. Jilid I (1945-1948). Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia: Jakarta.

Husein, Yunus. 2008. Independensi Bank Sentral. Diposting tanggal 18 Maret 2008, dalam http://www.legalitas.org. Diunduh pada tanggal 08 Januari 2010.

Ismail, Maqdir. 2007. Independensi Bank Sentral Dalam Undang-undang dan Praktik di Indonesia, diposting pada tanggal 14 Oktober 2007, dalam http://www.legalitas.org. Diunduh pada tanggal 08 Januari 2010.

b. Peraturan Perundang-undangan

Undang-undang No.11 Tahun 1953

Undang-undang No. 13 Tahun 1968

Undang –undang No. 23 Tahun 1999

Undang-undang No. 3 Tahun 2004

Keputusan Presiden No. 23 Tahun 1998

No comments:

Post a Comment