Saturday, April 24, 2010

Pendukung Simon Hayon Bergembira


        Hari ini para pendukung paket calon bupati (cabup) dan calon wakil bupati (cawabup) Drs. Simon Hayon – Fransiskus Diaz Alffi (paket mondial) bersorak ria menyusul terkabulnya keberatan mereka oleh KPU Pusat yang mengoreksi keputusan KPU daerah (KPUD) sebelumnya terkait penetapan cabup dan cawabup yang bakal mengikuti pemilihan umum kepala daerah (pemilu kada) mendatang. Dengan demikian, jumlah paket cabup dan cawabup Flotim yang akan tampil pada pemilu kepala daerah (kada) mendatang menjadi 6 paket, berbeda dengan keputusan KPUD sebelumnya yang menetapkan hanya 5 paket.

         Suhu politik Flores Timur sebenarnya memanas pasca KPUD setempat mengeluarkan surat keputusan No. 043/Kpts/KPU-FLT/018.433980/2010 pada tanggal 15 April 2010 (Pos Kupang, 17/4) tentang penetapan 5 paket cabup. Berdasarkan surat tersebut, ditetapkanlah lima paket cabup dan cawabup, yaitu Yosep Yulis Diaz - Drs. Markus Amalebe Tokan; Felix Fernandez, SH, CN - M. Ismael Arkiang, SH, MH; Hironimus Semau Johny Odjan - H. Ludin Lega; Yosep Lagadoni Herin, S. Sos - Valentinus Tokan, S. AP, dan Dr. Yeremias Bunganaen, M.Sc, Ph.D – Drs. Kristoforus Keban. Sedangkan paket Mondial yang difavoritkan akan memenangkan pemilu kada periode mendatang tidak lolos seleksi KPUD karena terganjal urusan administrasi. Lantas, paket Mondial berkeberatan atas keputusan tersebut karena dinilai persyaratan administratif yang diminta KPUD tidak diatur di dalam peraturan terkait. 

         Hal tersebut dibantah oleh ketua KPUD Flores Timur, Bernardus Boro Tupen, S.Pd, yang dalam sebuah kesempatan mengatakan, “Dokumen yang harus dilengkapi adalah keputusan parpol/gabungan parpol yang mengatur mekanisme penjaringan bakal calon kepala daerah dan wakil kepala daerah yang dilengkapi berita acara proses penjaringan sebagaimana amanat peraturan KPU No. 68 Tahun 2009 pasal 13 ayat 2 huruf l.” Selanjutnya ia menambahkan, “Kami melihat secara totalitas. Kalau hanya surat pernyataan saja tidak cukup.”
  Pernyataan KPUD Flores Timur selanjutnya ditegaskan oleh Juru Bicara KPU Propinsi NTT, Drs. Djihon de Haan, “KPUD Flotim sudah mengingatkan kepada Paket Gewayan Tanah Lamaholot untuk melengkapi berita acara koalisi dan kesepakatan partai pendukung, tapi tidak direspon.” 

         Merasa berada pada posisi yang benar, KPUD Flotim lantas mengadakan penarikan nomor undian calon pada tanggal 21 April 2010, sesuai dengan jadwal yang telah diagendakan. Menurut rencana, penarikan nomor urut akan diadakan pada pkl. 10.00 Witeng. Oleh karena adanya aksi unjuk rasa massa pro Modial yang sudah menguasai kantor KPUD Flotim selama tiga hari, waktu penarikan undian nomor urut pun diulur sampai pukul 14.20 Witeng, setelah massa pro-Mondial membubarkan diri. 

         Kubu Mondial menganggap KPUD Flotim “keras kepala”. Sebelum KPUD membuka acara penarikan nomor undian secara resmi, pada pukul 13.00 witeng KPUD Flotim sebenarnya telah menerima salinan surat KPU Pusat No 98/UND/IV/2010 yang menginstruksikan KPUD agar menunda acara penarikan undian nomor urut calon. Akan tetapi KPUD bersikeras tetap melaksanakan acara tersebut pada pukul 14.20 Witeng. Diperkirakan, keputusan KPUD untuk melakukan penarikan undian nomor urut merupakan sebuah keputusan yang diambil di bawah pengaruh segelintir orang tertentu yang bermaksud menjegal gerak laju paket Mondial. Alhasil, pimpinan KPUD Flotim dipanggil ke Jakarta oleh KPU Pusat pada tanggal 22 April 2010 untuk menjelaskan keputusannya menggugurkan pasangan Mondial. 

         Negosiasi kubu Mondial dengan KPU Pusat berbuah manis bagi kubu Mondial. Pada tanggal 23 April 2010, KPU Pusat akhirnya meloloskan paket Mondial dan menambahkannya sebagai paket ke-6 peserta pemilu kada Flotim setelah diadakan rapat pleno antara KPU pusat, KPU NTT, dan KPUD Flotim untuk menafsirkan ketentuan tertentu dari UU No 68 tahun 2009. Informasi lolosnya paket Mondial segera disambut antusias oleh para pendukungnya. Penulis menerima sebuah kiriman pesan singkat (SMS) Simon Hayon yang dikirimkan oleh seorang pendukungnya demikian, “Go mayan mio, inak-amak, kakak-arik, melan-senaren wahankae, pai hama-hama tobo epu rebonet si bao puken. Tobo geka basa. Tun tuen ko’one hama, wulan balik ko’one tutu. KPU sudah tetapkan, LOLOS! Yang terakhir (6) akan menjadi yang terdahulu (9) seperti yang ada tertulis! No 6 adalah nomor yang tidak diundi, sedangkan mereka membuang undi di antara mereka.” 

         Tulisan ini sama sekali tidak berpretensi membangkitkan rasa takut bagi pihak tertentu. Yang penulis inginkan adalah supaya Flores Timur tercinta mendapatkan pemimpin yang arif dan bijaksana, siapa pun orangnya. Kekisruhan politik telah memecah belah masyarakat. Seorang politikus Golkar Flotim pernah men-sharing-kan pengalaman pahitnya tentang hidup di tengah sebuah keluarga besar dengan haluan politik yang berbeda. Perbedaan haluan politik tersebut sudah sedemikian parahnya, sehingga ada maksud dari anggota keluarga tertentu yang ingin menghabisi nyawanya. Kiranya bahan ini dapat menjadi bahan permenungan bagi kita semua yang membacanya.

Friday, April 2, 2010

Larantuka: Mutiara Iman dari Timur


Pengantar:

Jauh di ufuk timur Indonesia, tepatnya di Pulau Flores bagian timur, Provinsi Nusa Tenggara Timur, terdapat sebuah kota kecil bernama Larantuka yang memiliki nama yang besar di dalam sejarah kekristenan (Katolik) di tanah air. Sudah sekitar lima abad yang lalu, kota ini telah diinjili oleh para misionaris dari Portugis. Kekayaan iman yang pernah diterima dari para misionaris, khususnya ritual seputar Pekan Suci, tetap dipertahankan sampai saat ini, sekalipun mengalami sedikit degradasi makna manakala dibumbui oleh cita rasa komersialisme.

Catatan sejarah yang penting tentang Flores Timur berasal dari seorang pelayar Portugis bernama S.M. Cabot pada tahun 1544. Cabot, dalam pelayarannya ke ujung timur Pulau Flores, menjumpai sebuah bunga karang raksasa di Tanjung Bunga. Tempat di mana ia menemukan bunga karang tersebut dinamainya sebagai “Cabot de Flores”. 

Sebelum misi Katolik menyentuh wilayah Flores Timur, sebagian besar masyarakat hidup dalam kepercayaan lokal yang menghormati roh-roh nenek moyang dan mempercayai takhyul. Sosok Yang Ilahi disapanya sebagai “Lera Wulan Tanah Ekan” atau sang Ada yang menguasai matahari, bulan, dan bumi. Selain itu, kekuasaan mutlak raja tak dapat ditandingi pihak manapun. Rakyat dianggap tidak memiliki hak; mereka hanya berharap dari kemurahan hati sang raja. Setelah masuknya kekristenan, dapat dikatakan bahwa situasi ini mengalami perubahan yang sangat besar, terutama terhadap kehidupan iman umat.

Misi Katolik di Flores Timur:

a. Pusat Misi di Solor
Iman Katolik di Larantuka dan di daerah sekitarnya dibawa oleh para misionaris dari ordo OP (Ordo Praedicatorum), OFM (Ordo Fratrum Minorum), SJ (Societas Jesu), dan SVD (Societas Verbi Divini). Dalam pelayaran portugis untuk mencari rempah-rempah pada peralihan abad ke-5 dan abad ke-6 di Kepulauan Nusa Tenggara, ikut serta pula para misionaris yang mengantongi izin resmi dari Paus untuk mewartakan iman Katolik di tempat persinggahan kapal dagang Portugis.

Pada tahun 1556, P. Antonio Taveira OP, membaptis 5000 orang di Pulau Timor dan banyak orang lain di daerah Flores Timur. Sayangnya, pembaptisan ini tidak segera diikuti dengan upaya-upaya pembinaan iman lanjutan sehingga umat yang telah dibaptis kembali lagi ke keadaan sebelum dibaptis yang diwarnai dengan praktek-praktek kekafiran. Upaya misi yang lebih serius dilakukan pada tahun 1561, yang ditandai dengan kedatangan tiga misionaris dominikan asal Portugis di Lohayong, Pulau Solor, yaitu P. Antonio da Cruz OP, Simâo das Chagas dan Bruder Alexio. Para misionaris ini tinggal di tengah komunitas pedagang portugis yang terpisah dari komunitas masyarakat lokal. Hanya pada saat-saat tertentu saja, para misionaris tinggal bersama dengan umat lokal dan melayani kebutuhan iman mereka. Pada periode tahun 1560-an, setelah mendapatkan serangan dari armada Islam, para misionaris memelopori pendirian benteng pertahanan untuk melindungi kepentingan dagang Portugis dan masyarakat setempat.

Pada tahun 1613, sebuah armada dagang Belanda (VOC- Vereenigde Oost-Indische Compagnie) yang dipimpin oleh Apolonius Scotte menuntut pihak Portugis untuk menyerahkan benteng Lohayong, Solor. Setelah kehabisan amunisi dalam sebuah pertempuran sengit, akhirnya pihak Portugis menyerahkan Benteng Lohayong ke pihak Belanda pada tanggal 20 April 1613. Sebagian pedagang Portugis berangkat ke Malaka, dan sebagian lainnya berangkat ke Larantuka yang pada saat itu masih dikuasai Portugis. Pasca penyerahan benteng di Lohayong, Belanda menguasai pulau Adonara dan sebagian besar Pulau Solor, kecuali Lewolein dan Pamakayo.

b. Pusat Misi di Larantuka
Bersamaan dengan berpindahnya sebagian pedagang Portugis ke Larantuka, pusat misi di Solor kemudian dipindahkan ke Larantuka, Flores Timur. Pada tahun 1630, P. Michael Rangel OP, memperbaiki benteng di Solor yang telah ditinggalkan Belanda. Sementara itu Larantuka telah berkembang menjadi pusat misi yang baru. Pada tanggal 13 Desember 1633, P. Michael Rangel OP menuliskan sebuah laporan ke Portugal yang antara lain menyebutkan, “Masa gemilang agama Kristen sudah kembali lagi. Kurban misa dan perarakan diselenggarakan lagi, stasi-stasi misi didirikan, pertobatan orang kafir dan penghiburan kaum beriman telah berjalan kembali seperti dahulu.”

Misi Portugis di Larantuka rupanya terus didesak oleh pihak Belanda. Pada bulan Desember 1851, pihak Portugis dan Belanda mengadakan perjanjian pembagian wilayah Nusa Tenggara Timur. Beberapa kali perjanjian ini mengalami perubahan dan penegasan. Akhirnya, pada tanggal 20 April 1859, melalui sebuah perjanjian bersama, ditentukanlah bahwa Flores lepas dari pengaruh Portugis. Setelah perjanjian tersebut, perhatian para misionaris ke Pulau Flores menurun. Atas upaya kaum awam yang secara militan mempertahankan iman yang telah ditanamkan oleh para misionaris Portugis, iman Katolik dapat diwariskan. Kelompok Confreria Reinha Rosari Larantuka (kelompok religius awam) yang pernah didirikan oleh P. Lukas da Cruz pada tahun 1564, menjadi yang terdepan dalam mempertahankan tradisi-tradisi ke-Katolik-an yang telah diwariskan oleh para misionaris Portugis.

Setelah lepas dari pelayanan iman oleh misionaris Portugis, umat kemudian dilayani oleh para misionaris Belanda. Misi awal para misionaris Belanda ditandai oleh dua tantangan, yaitu a) kecurigaan umat terhadap bahaya protestanisasi, dan b) kualitas iman umat yang sangat merosot. Sebuah surat dari Fra Gregorio, seorang misionaris di Dili, kepada Raja Larantuka segera mengatasi kecurigaan umat terhadap bahaya protestanisasi pada saat itu. I.P.N. Sanders, misionaris pertama Belanda di Larantuka, menyaksikan kondisi iman umat yang sangat terbengkalai. Misionaris Belanda lain, yaitu Heynen, menuliskan, “Betapa banyak kebiasaan buruk telah masuk ke dalam hidup mereka. Takhyul tumbuh dengan subur bagaikan tanaman liar di ladang yang tak terurus. Animisme dilakukan dengan leluasa. Mabuk, dengan semua akibat yang tidak mengenal kesusilaan, balas dendam dan semua kekejaman tak berperikemanusiaan merajalela. Memang kita harus berjuang untuk melawan kepicikan dan kemalasan keagamaan di daerah ini”. Kedatangan Pater G. Metz SJ membuka daftar misionaris SJ di daerah Flores Timur. Beliau sangat berperan dalam memajukan bidang kesehatan dan pertanian. Pada tahun 1875, simbol kekafiran terakhir dihapuskan dengan dibubarkannya rumah adat kafir yang terakhir di wilayah tersebut. Lewat dukungan Raja Don Lorenzo DVG, Larantuka semakin mantap berkembang sebagai pusat misi Katolik.

Pada tahun 1913, para misionaris Serikat Sabda Allah (SVD) yang berpusat di Jerman, memasuki Gereja di Nusa Tenggara. Mereka mengambil kendali misi di Flores dari tangan misionaris SJ pada tahun 1914. Tempat pendidikan calon imam (seminari menengah) didirikan di Hokeng pada tahun 1950. Pada tahun 1958, sebuah tarekat suster lokal bernama Puteri Reinha Rosari (PRR) didirikan oleh Mgr. Gabriel Manek SVD. Para religius dan kaum awam yang mendapatkan warisan iman yang sama, terus bekerja sama memajukan iman yang pernah diterimanya.

Tradisi Pekan Suci (Semana Santa) di Larantuka:

Pekan suci adalah pekan terakhir dalam masa puasa dan pantang umat Katolik yang telah dibuka pada hari Rabu Abu (Ash Wednesday). Pekan ini disebut suci, karena umat secara khusus mengenangkan saat sengsara, wafat, dan kebangkitan Yesus Kristus. Pekan suci dibuka dengan Minggu Palma, saat untuk mengenangkan Yesus yang memasuki Kota Yerusalem untuk menderita dan wafat di salib. Selanjutnya diikuti dengan perayaan Kamis Putih, Jumat Agung, Sabtu Santo, dan diakhiri dengan Minggu Paskah.

Pada hari Senin dan Selasa dalam Pekan Suci, umat  Larantuka menjalankan kegiatan seperti biasa, tanpa ada perayaan religius tertentu. Hari Rabu, adalah hari untuk mengenangkan Tuhan yang terbelenggu (Tuan Trewa). Umat Katolik Larantuka berkumpul di Kapel Tuan Trewa untuk mendaraskan ratapan Nabi Yeremia (lamentasi). Saat-saat puncak Pekan Suci adalah Kamis Putih, Jumat Agung, Sabtu Santo, dan Minggu Paskah. Hari Kamis Putih, Jumat Agung dan Sabtu Santo sering disebut sebagai Tri Hari Suci.

a. Kamis Putih
Kamis Putih adalah hari peringatan perjamuan terakhir Yesus dengan para murid-Nya. Umumnya pada hari Kamis Putih pagi, diadakan misa Krisma yang dipimpin oleh uskup setempat untuk memberkati minyak yang dipakai untuk sakramen pembaptisan, krisma, pengurapan orang sakit, dan imamat. Pada sore harinya, imam mengadakan ekaristi, yang secara khusus dipersembahkan untuk mengenangkan perjamuan terakhir Yesus. Bagian integral dari perayaan ini adalah tindakan simbolis imam yang membasuh kaki 12 orang yang dipilih untuk mewakili 12 rasul Yesus. Biasanya, perayaan ekaristi ditutup dengan Adorasi/Penyembahan Sakramen Mahakudus (tubuh Kristus yang diletakkan di dalam monstrans) dan tuguran (doa bergilir di hadapan Sakramen Mahakudus).

Pada Kamis Putih pagi, umat Larantuka membuat pagar bambu (pasang turo) sebagai tempat lilin untuk prosesi yang diadakan pada hari Jumat Agung. Turo dipasang sepanjang jalur prosesi. Selain memasang pagar bambu, umat pun membuat Armida, yaitu tempat persinggahan Tuan Ma (arca Bunda Maria) dan Tuan Ana (peti yang berisi arca Yesus) yang diarak keliling kota dalam prosesi Jumat Agung. Selain itu, para petugas dari kelompok Confreria membersihkan arca Mater Dolorosa. Pada hari Kamis sore, kapel Tuan Ma dan Tuan Ana dibuka oleh keturunan Raja Larantuka.
Setelah misa Kamis Putih, dipersiapkanlah empat orang yang secara khusus melakukan promesa  (intensi) Lakademu. Para Lakademu melakukan Jalan Kure, untuk mengecek jalur prosesi dan kesiapan armida. Artefak-artefak religius peninggalan Portugis, yang akan ditempatkan di armida prosesi, dibersihkan pada hari Kamis Putih.
Sebagian besar umat yang tidak secara langsung bersentuhan dengan persiapan prosesi Jumat Agung mengisi waktunya dengan berziarah ke makam sanak keluarga yang telah meninggal dunia.

b. Jumat Agung
Jumat Agung adalah hari khusus untuk mengenangkan sengsara dan wafat Yesus Kristus. Umumnya umat Katolik berpuasa dan berpantang makan daging. Liturgi Gereja diisi dengan ibadat penyembahan Salib Yesus.
Bagi umat Larantuka, Jumat Agung adalah hari yang penting dan istimewa, karena pada hari ini umat mengadakan Prosesi Jumat Agung untuk mengenangkan Bunda Maria yang meratapi Puteranya yang menderita dan wafat di kayu salib. Prosesi ini sangat populer di kalangan umat, tidak hanya yang ada di Larantuka, tetapi juga yang ada di luarnya. Pada hari Jumat Agung, Larantuka bagaikan kota mati yang tak berpenghuni. Masyarakat menjalankan aktivitasnya tanpa menimbulkan keramaian yang amat mencolok.

Pada pagi hari, sekitar jam 10.00 WITENG, diadakan prosesi laut untuk mengarak patung Tuan Meninu (bayi Yesus). Perarakan ini berakhir di depan istana raja, dan selanjutnya di arak menuju armida Tuan Meninu. Perarakan diiringi dengan doa dan nyanyian dalam bahasa Portugis dan Indonesia.
Pada pukul 15.00 WITENG, bertepatan dengan jam wafatnya Yesus Kristus, arca Tuan Ma dan Tuan Ana diarak menuju ke Gereja Katedral Larantuka. Adapun urutan perarakan, antara lain: pemukul genda do (genderang), anggota Confreria, pembawa salib dan lilin, arca Tuan Ma, arca Tuan Ana, dan para petugas yang membawa simbol-simbol penghinaan terhadap Yesus, antara lain, palu dan paku besar, 30 keping uang perak, mahkota duri, tongkat, bunga karang, lembing. Perarakan itu diiringi dengan doa dan nyanyian.

Sebelum prosesi Jumat Agung diadakan, umat mengunjungi pemakaman terdekat untuk mendoakan arwah umat yang telah meninggal, sambil berharap agar mereka bangkit bersama dengan Yesus yang bangkit. Sementara umat berdoa, para Lakademu berjalan mengelilingi pekuburan dan kembali lagi ke Katedral untuk mempersiapkan diri mengikuti prosesi.

Prosesi adalah saat yang paling ditunggu-tunggu oleh umat. Panjang prosesi mencapai 5 kilometer. Setelah doa pembukaan oleh uskup, seorang wanita tampil dan menyanyikan lagu ratapan “O Vos Omnes” (bdk. Rat. 1:12). Setelah prosesi berjalan, doa dan nyanyian dipandu oleh kelompok Confreria. Urutan perarakan prosesi, antara lain, barisan para pemukul genderang perkabungan, panji konfreria, anak–anak yang membawa simbol–simbol penghinaan Yesus, biarawan/wati, Lakademu pengusung Tuan Ma, para promesa, Tuan Ana, umat dan para peziarah. Semua orang yang mengikuti prosesi harus memegang lilin yang bernyala sepanjang jalan prosesi. Pada malam prosesi ini, Larantukan bagaikan lautan cahaya lilin.

Perjalanan prosesi menyinggahi delapan armida:
1. Armida Misericordiae. Di armida ini, umat disuguhkan bacaan Injil, doa-doa, dan nyanyian yang menghantar dan mengingatkan umat akan kedatangan Yesus Kristus.
2. Armida Tuan Meninu. Di sini, umat diajak untuk mensyukuri kasih Allah yang telah memenuhi janji-Nya untuk mengutus Putra-Nya ke dunia.
3. Armida Balela. Di armida ini, umat diajak untuk meneladani Yesus yang setia melaksanakan tugas perutusan-Nya
4. Armida Tuan Trewa (Tuan Terbelenggu). Umat diajak untuk merenungkan sikap dan teladan Yesus yang rela berkorban untuk menebus manusia dari perhambaan dosa.
5. Armida Pante Kebis. Umat diajak untuk merenungkan kesetiaan dan ketabahan Bunda Maria dalam mengikuti Yesus dari rumah Pilatus sampai puncak Kalvari.
6. Armida Pohon Sirih. Umat diajak untuk merenungkan cinta dan ketaatan Yesus kepada kehendak Bapa dengan mengorbankan diri-Nya di kayu salib.
7. Armida Kuce. Di armida ini, umat diajak untuk merenungkan penderitaan Yesus dan wafat-Nya di kayu salib.
8. Armida Tuan Ana. Di armida ini umat diajak untuk merenungkan Yesus yang diturunkan dari salib dan dimakamkan.
Arak-arakan prosesi berakhir di Gereja Katedral. Di depan gereja telah berdiri dua petugas untuk menerima sisa lilin dari umat (punto dama). Sisa lilin biasanya diolah kembali oleh kelompok Confreria untuk keperluan ibadat sepanjang tahun.

c. Sabtu Santo/Sabtu Halleluya
Sabtu Santo merupakan perayaan malam Paskah. Perayaan liturgi malam Paskah dibagi menjadi empat bagian utama, yaitu a. Upacaya Cahaya yang melambangkan Kristus yang menghalau segala kegelapan, b. Liturgi Sabda untuk merenungkan karya penyelamatan Tuhan (7 bacaan dari Perjanjian Lama dan 2 bacaan dari Perjanjian Baru), c. Liturgi Baptis untuk memperbaharui janji baptis umat, d. Perayaan Ekaristi.
Pada hari ini, umat Katolik Larantuka menghantar Tuan Ma dan Tuan Ana kembali ke kapelnya masing-masing. Tuan Ana dan semua simbol penghinaan Yesus dihantar ke kapel Tuan Ana di Kelurahan Lohayong. Tuan Ma diarak menuju ke kapelnya di Pante Kebis. Pada hari ini pula, kota Larantuka disibukkan dengan arus kendaraan para peziarah yang kembali lagi ke tempatnya masing-masing. 

d. Minggu Paskah
Perayaan ekaristi minggu Paskah diwarnai dengan sukacita karena “Tuhan telah bangkit”. Pada hari ini, para anggota Confreria mengevaluasi kegiatan selama Pekan Suci dan memeriksa kembali semua perlengkapan yang dipakai selama prosesi.

Catatan Akhir:
Adalah sebuah kebanggaan bagi masyarakat Flores Timur, khususnya masyarakat Larantuka bahwa mereka dapat mempertahankan warisan iman yang telah mereka terima dari para misionaris asing pada sekitar lima abad lampau. Di tengah perkembangan zaman yang semakin mengancam nilai-nilai keagamaan, tradisi iman tetap berdiri teguh.
Salah satu tradisi keagamaan di Larantuka yang paling populer adalah prosesi Jumat Agung. Prosesi iman yang berintikan Maria yang meratapi nasib anaknya yang menderita dan wafat di salib ini, telah menyedot perhatian ribuan orang dari dalam dan luar negeri. Salah satu daya tarik prosesi ini adalah lamanya ia dipertahankan, dan otentisitas ritualnya yang tetap terjaga. Menurut penulis, kedua faktor inilah yang menyebabkan prosesi Larantuka menjadi pilihan umat Katolik untuk melewatkan masa-masa puasa dan tobatnya. Larantuka bagaikan mutiara berharga yang sangat dicari oleh orang-orang yang haus akan kasih, kebaikan, dan mujizat ilahi.
Keberlangsungan suatu tradisi sangat tergantung dari generasi yang mewarisinya. Adalah sebuah tugas yang berat bagi orang muda Katolik di Larantuka untuk mewarisi warisan iman yang sangat berharga ini. Untuk itu, penulis berharap agar orang muda Katolik Larantuka tetap berpegang teguh pada iman dan merasa bangga sebagai orang muda Katolik Larantuka. Viva Larantuka......

Sumber Acuan:
Tukan, Bernard. 2006. Bara Kagum Menjadi api. Larantuka: Komisi Kerasulan Awam Keuskupan Larantuka.
___________. 2007. Menjadi Semakin Serani. Larantuka: Komisi Kerasulan Awam Keuskupan Larantuka.
Cornelissen, Frans. 1974. Sejarah Gereja Katolik Indonesia (Jilid I). Ende: Dokumentasi–Penerangan Kantor Waligereja Indonesia.
Fernandes, Felix dan Johan Suban Tukan. 1997. Ziarah Iman Bersama Ibu Maria Berduka Cita - Semana Santa di Larantuka. Jakarta: PT. Benza Noia dan Yayasan Putra – Putri Maria.

Steenbrink, Karel. 2006. Orang – Orang Katolik di Indonesia 1808 – 1942 (Jilid I). (Alihbahasa: Yosef Maria Florisan). Maumere: Ledalero.

Thursday, April 1, 2010

“MENELAAH 150 TAHUN PERKEMBANGAN DINAMIKA SOSIAL-POLITIK DI INDONESIA DALAM KONTEKS SEJARAH HUKUM (PERIODE 1840-1990)”


Bagian 1. Pengantar Singkat

 Tulisan pendek ini merupakan kilas balik perkembangan dinamika sosial politik di Indonesia yang dikemas dalam sebuah perjalanan sejarah hukum selama kurun waktu satu setengah abad. Pembabakan sejarah ini dimulai dari tahun 1840 yang ditandai dengan berkembangnya faham liberalisme di ranah politik negeri Belanda, berikut desakan untuk memberlakukan hukum Eropa (Belanda) di tanah jajahan (Hindia-Belanda), sampai dengan tahun 1990 yang ditandai dengan pengaplikasian hukum kodifikasi Belanda yang diberlakukan melalui asas konkordansi bagi pembangunan nasional pada masa Orde Baru.

 Untuk lebih memudahkan penjelasan pada bagian selanjutnya, penulis mengikuti pembabakan sejarah perkembangan dinamika sosial politik di Indonesia dalam konteks sejarah hukum yang dilakukan oleh Prof. Soetandyo Wignjosoebroto [1]. Pembabakan sejarah tersebut antara lain: a) periode tahun 1940-1890, b) periode tahun 1890-1940, dan c) periode tahun 1940-1990. Berikut adalah penjelasan fakta sejarah berdasarkan periodisasi yang telah dilakukan di atas.

Bagian 2. Menyimak Historisitas Perkembangan Dinamika Sosial Politik di Indonesia dalam Konteks Sejarah Hukum

1. Periode Tahun 1840-1890

 Tahun 1840-1860 adalah kurun waktu yang penting, yang menandai berubahnya kebijakan pemerintah kolonial terhadap daerah jajahan di Hindia-Belanda. Eksploitasi daerah jajahan yang tidak dilandasi rasa kemanusiaan—mula-mula dilakukan oleh serikat dagang yang bernama Vereenigde Oost-Indische Compagnie (VOC), kemudian oleh pemerintah kolonial melalui proyek Cultuurstelsel—melahirkan kesadaran baru di ranah politik di negeri Belanda. Kesadaran baru tersebut mewujud di dalam diri kaum liberal yang mengupayakan sebuah penataan hukum kolonial secara sadar yang dilandasi asas kebebasan (liberté), kesamaan (egalité), dan persaudaraan (fraternité) sebagaimana yang diperjuangkan di dalam Revolusi Perancis (1889).

 Dalam sejarahnya, sistem hukum Prancis (Codes Napoleon) [2] pernah berlaku di negeri Belanda. Karena dipandang tidak mencerminkan citarasa kebangsaan Belanda, sistem hukum ini kemudian diganti dengan sistem hukum baru. Pada tanggal 15 Juli 1830, diundangkanlah Kitab Undang-undang Hukum Perdata dengan sebah Koninklijk Besluit. Pada waktu yang bersamaan, diundangkan pula Kitab Undang-undang Hukum Dagang, Kitab Undang-undang Hukum Acara Perdata, dan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana. Pada saat itu Kitab Undang-undang Hukum Pidana belum dapat dibentuk, sehingga Code Penal warisan Napoleon masih di berlakukan di Belanda. Kitab-kitab ini dipersiapkan sejak lama oleh Panitia Kemper, dan baru dinyatakan berlaku pada tahun 1838 ketika penduduk bagian selatan memerdekakan diri dan menjadi negara baru yang bernama Belgia. Kendati sudah ada hukum baru yang berlaku di negeri Belanda, hukum yang berlaku bagi orang Eropa di Hindia Belanda masih berupa ordonansi-ordinansi, intruksi-instruksi eksekutif, dan maklumat-maklumat yang diundangkan secara lepas.

 Upaya kodifikasi hukum di Hindia-Belanda bagi penduduk Eropa tetap diupayakan. Dalam rangka ini, raja Belanda mengutus beberapa ahli hukum untuk menjajaki kemungkinan pemberlakuan sistem hukum Eropa di Hindia-Belanda, misalnya G.C. Hageman, Scholten van Oud-Harleem, dan H.L. Wichers. Pada tanggal 30 April 1847, diundangkanlah KUHPer dan KUHD di dalam Stb. 1847 No. 23. Para puak Liberal mendorong agar Kitab Undang-undang ini diberlakukan juga bagi golongan pribumi.

 Lahirnya Grondwet 1848 (konstitusi negeri Belanda) dan Regeringsreglement 1854 (konstitusi bagi Hindia-Belanda) semakin memuluskan perjuangan kelompok liberal untuk menegakkan supremasi hukum (the supreme law of state/rechtsstaat) di Hindia-Belanda. Dengan adanya kedua produk perundang-undangan ini, di satu sisi kekuasaan eksekutif di tanah jajahan semakin dibatasi, sedangkan di sisi lain, kebebasan masyarakat yang ada di tanah jajahan pun mendapatkan jaminan hukum. Grondwet 1848 pada asasnya mengatur bahwa peraturan-peraturan hukum yang diperlukan untuk pemerintahan daerah jajahan harus dibuat dalam bentuk undang-undang (wet); tidak mencukupi apabila peraturan-peraturan tersebut hanya diatur dalam bentuk Keputusan Raja (Koninklijk Besluit/KB). Regeringsreglement 1854 (selanjutnya disingkat RR) memiliki tiga pasal penting yang sangat menentukan arah perkembangan hukum di Hindia-Belanda, yaitu pasal 79, pasal 88, dan pasal 89. Pasal 79 RR mengandung asas trias-politica yang menghendaki agar kekuasaan peradilan diserahkan ke tangan hakim yang bebas; pasal 88 RR mengharuskan dilaksanakannya asas legalitas [3] dalam setiap proses pemidanaan; pasal 89 RR melarang pemidanaan yang menyebabkan seseorang kehilangan hak perdatanya. Ketiga pasal RR ini merupakan simbol normatif bagi perlawanan terhadap kesewenangan lembaga eksekutif di tanah jajahan.

 Persoalan unifikasi hukum sebagaimana yang dicita-citakan kaum liberal tidak dapat diterapkan dengan mudah. Situasi masyarakat yang majemuk dan pertimbangan besarnya biaya yang harus dikeluarkan pemerintah kolonial, menjadi rintangan pemberlakuan hukum kodifikasi Belanda di tanah jajahan. Dualisme hukum tetap hidup di masyarakat. Di satu sisi, hukum Belanda masih berlaku bagi golongan Eropa, sedangkan di sisi lain, sebagian besar masyarakat lokal masih tunduk terhadap hukumnya sendiri. Dualisme hukum yang berlaku di Hindia-Belanda tidak menyurutkan perjuangan politisi liberal untuk memperjuangkan unifikasi hukum.

 Selanjutnya, atas dasar Algemeene Bepalingen [4] (berkekuatan KB) pasal 9 jo. pasal 75 ayat 3 RR, diupayakanlah apa yang disebut dengan vrijwillige onderweping dan toepasselijk verklaring. Vrijwillige onderweping merupakan upaya hukum yang diberikan kepada golongan pribumi untuk menundukkan diri kepada hukum perundang-undangan yang berlaku untuk golongan Eropa. Sedangkan toepasselijk verklaring adalah kewenangan Gubernur Jenderal untuk menerapkan peraturan perundang-undangan Eropa tertentu (jika dianggap perlu) kepada golongan pribumi. Bagi politisi liberal, kemajuan dalam peraturan perundang-undangan merupakan berita gembira karena terwujudnya cita-cita unifikasi hukum sudah berada di depan mata. Namun, hal ini merupakan momok bagi hukum masyarakat pribumi karena kehancurannya sudah ada di depan mata.

 Perkembangan politik hukum kolonial pada kurun waktu 1860-1890 ditandai oleh dua hal, yaitu a) langkah konkret kaum liberal untuk memberlakukan hukum Eropa di Hindia-Belanda melalui produk perundang-undangan demi memajukan perekonomian Hindia-Belanda, dan b) permasalahan seputar konflik budaya (dan juga kehidupan hukum) antara golongan Eropa dan golongan pribumi sebagai akibat dari adanya perbedaan alam pikiran dalam berbagai segi kehidupan, khususnya ekonomi, pemerintahan, dan hukum.

 Asas-asas hukum yang telah dipositifkan melalui Grondwet 1848 dan RR 1854 diyakini banyak membantu kaum liberalis untuk segera mewujudkan proyek unifikasi hukum yang diusungnya. Kendatipun demikian dibutuhkan sekitar tiga dasawarsa sejak diundangkannya RR 1854 untuk dapat merealisasikan ide-ide tentang ketatanegaraan di tanah jajahan. Dalam upaya realisasi ide-ide ini, muncul seorang tokoh liberalis, yaitu Fransen Van de Putte, yang menekan pemerintah untuk segera menghentikan usaha-usaha perkebunan negara dan memberikan peluang sebesar-besarnya bagi usaha swasta untuk mengambil alih bidang tersebut. Tentu saja Van de Putte tidak menyetujui jika pemerintah terlibat langsung dalam dunia perdagangan. Van de Putte yang berhasil menduduki jabatan Menteri Koloni di dalam kabinet partai Liberal dengan Perdana Menteri Thorbecke, terus berupaya menyusun dan mengintroduksi sejumlah rancangan peraturan perundang-undangan tentang tata guna tanah (Cultuurwet) untuk memajukan perusahaan-perusahaan perkebunan.

 Rancangan Cultuurwet yang coba diwujudkan oleh Van de Putte mengundang banyak debat ketika dibawa ke sidang-sidang parlemen pada tahun 1865. Rancangan Cultuurwet sendiri berhadapan dengan masalah terkait bagaimana usaha-usaha swasta dapat memperoleh tanah. Solusi yang diberikan oleh rancangan Cultuurwet untuk mengatasi masalah tersebut adalah dengan a) memberikan hak eigendom [5] kepada rakyat pribumi, b) memberi kemungkinan kepada orang pribumi untuk menyewa tanahnya, dan c) tanah yang dikuasai negara dapat disewa oleh orang yang menghendakinya (disertai dengan hak erfpacht/hak usaha), dianggap tidak memadai. Van de Putte sendiri secara tidak langsung ditetang oleh Thorbecke melalui Poortman, yang menganggap Van de Putte terlalu luas menafsirkan pasal 75 RR 1854. Upaya Van de Putte gagal, setelah kabinet konservatif kembali berkuasa. Pada tanggal 19 April 1870, diundangkanlah Agrarisch Wet di dalam Ind. Stb. tahun 1870 No. 55.

 Dengan diundangkannya Agrarisch Wet, negara sebagai penguasa memiliki legitimasi untuk menguasai tanah-tanah kosong yang belum digarap (woeste groden). Agrarisch Wet memungkinkan negara untuk melepaskan haknya atas tanah dan memberikannya kepada pengusaha-pengusaha perkebunan yang mengajukan permohonan untuk menghakinya dengan hak erfpacht dalam jangka waktu sebanyak-banyaknya 75 tahun. Tanah-tanah yang dihaki oleh orang pribumi tidak boleh dialihkan oleh Gubernur Jenderal, kecuali dengan terlebih dahulu membayar ganti rugi. Orang pribumi diberi kesempatan untuk juga mengalihkan hak atas tanahnya (gebruitsrecht/bezitsrecht) menjadi hak eigendom menurut hukum Eropa. Kendatipun demikian, Agrarisch Wet melarang adanya pemindahan hak ke golongan rakyat yang lain (vervreemdingsverbod) yang tentu saja melindungi hak orang pribumi atas tanah yang dikuasainya. Tak lama setelah Agrarisch Wet diundangkan, diberlakukanlah Agrarisch Besluit (Stb. No.118) sebagai pengimplementasian dari Agrarisch Wet yang mengatur bahwa semua tanah yang atasnya dapat dibuktikan adanya hak eigendom adalah tanah yang berada di dalam penguasaan negara. Agrarisch Besluit, yang beberapa kali berubah tanpa kehilangan esensi normatifnya, mengatur juga tentang hak-hak atas tanah, dan soal pelepasan tanah.

 Para politisi yang berupaya mengegolkan Agrarisch Wet sebenarnya sudah memikirkan pula kebijakan-kebijakan hukum terkait dengan bidang ketenagakerjaan. Upaya hukum di bidang ketenagakerjaan bukannya tidak menemukan kesulitan. Masyakarat Jawa yang kebanyakan agraris, lebih memilih untuk menggarap tanah-tanah kosong daripada harus bekerja di perusahaan-perusahaan perkebunan asing. Dalam rangka merekrut tenaga kerja, perusahaan-perusahaan harus memilih orang yang pandai membujuk masyarakat pribumi.

 Sejak munculnya paham liberalisme di ranah politik negeri Belanda, pemerintah merasa perlu untuk mengintervensi kebijakan di bidang ketenagakerjaan. Dalam upaya ini, peran Van de Putte tidak dapat disangsikan. Kententuan tentang persyaratan kontrak antara golongan pribumi dan golongan non-pribumi sebagaimana diatur di dalam Ind. Stb. tahun 1819 No.10 Jo. Ind. Stb. tahun 1838 no.50, dianggapnya sebagai halangan bagi terwujudnya tanah bebas dan kerja bebas. Untuk itu, dalam kurun waktu antara tahun 1862-1863, ia mengupayakan untuk a) menghidupkan ketentuan mengenai keharusan pembuatan perjanjian secara individual, dan b) meniadakan ketentuan yang diatur di dalam Ind. Stb. tahun 1819 bahwa setiap kontrak yang dilakukan antara golongan pribumi dengan golongan non-pribumi harus didaftarkan ke residen setempat. Upaya ini berhasil dengan diberlakukannya peraturan yang termuat di dalam Ind. Stb. tahun 1863 No. 52, yang sedikit banyak memuat ketentuan mengenai larangan terhadap aparat pemerintah untuk turut campur tangan dalam perkara kontrak, dan mendorong pemberlakuan Burgerlijk Wetbook Eropa bagi golongan pribumi.

 Upaya Van de Putte untuk mencoba melepaskan pengaruh aparat pemerintah, termasuk kepala kampung untuk turut serta dalam perkara kontrak agaknya tidak berhasil. Pada tahun 1874, diberlakukanlah sebuah produk perundang-undangan yang berpihak kepada para pengusaha, yaitu Staatsreglemen voor Inlanders in Nederlandsch-Indie (Ind. Stb. tahun 1872 no.11) yang pada butir 72 pasal 2-nya mengatur adanya denda sebanyak antara 15-24 rupiah yang harus dibayarkan oleh pekerja yang meninggalkan tempat kerja tanpa izin dari atasannya. Setelah menimbulkan kontroversi yang besar, ketentuan ini ditarik, kemudian dimasukkan sebagai pasal 328 Wetbook van Straftrecht voor de Inlanders. Pada akhirnya, berdasarkan wewenang untuk melakukan toepasselijkverklaring yang diatur di dalam pasal 75 RR, Gubernur Jenderal memberlakukan ketentuan pasal-pasal 1601-1603 BW tentang perjanjian kerja kepada masyarakat pribumi.

2. Periode Tahun 1890-1910

  Perkembangan perekonomian Hindia-Belanda, melalui peraturan perundang-undangan yang dirintis secara baru oleh kaum liberalis berbuah pada peningkatan ekonomi Hindia-Belanda. Pada periode 1870-1880, ekspor perkebunan meningkat drastis baik dari segi jumlah, pun dari segi nilai. Akan tetapi kemajuan ini tidak diimbangi dengan peningkatan kualitas hidup masyarakat pribumi. Korporasi asing justeru mengeksploitasi masyarakat pribumi. Kesejahteraan masyarakat pribumi semakin terpuruk bersamaan dengan terpuruknya perekonomian Hindia-Belanda pada awal tahun 1890-an. Keterpurukan Hindia-Belanda menimbulkan simpati mendalam bagi sebagian besar masyarakat Belanda. Mereka terdorong untuk melakukan balas budi atas apa yang sebelumnya banyak disumbangkan oleh Hindia-Belanda bagi perkembangan dan kemajuan negeri Belanda. Dorongan untuk membantu meningkatkan taraf hidup masyarakat Hindia-Belanda sedikit banyak dipengaruhi oleh etika Kristiani. Dengan demikian, dapatlah kita katakan bahwa kebijakan kolonial pada kurun waktu 1900-1950 adalah kebijakan politik etik. Politik etik sendiri pada kurun waktu 1900-an diwarnai oleh upaya untuk meningkatkan perekonomian dan pendidikan masyarakat pribumi. Bersamaan dengan itu, dikenal sebuah kebijakan yang dinamakan sebagai voogdijk (perwalian/pengasuhan). Banyak anak-anak pribumi yang dibantu oleh masyarakat Belanda untuk dapat mencapai tingkat pendidikan dan kesejahteraan yang tinggi. Politik etik pada kurun waktu menjelang perang dunia II telah mempersiapkan kemungkinan bagi Hindia-Belanda untuk menjalankan pemerintahan sendiri (zelfbestuur).

 Kebijakan politik etik yang mewujud dalam kebijakan untuk memajukan sektor pendidikan dan kesejahteraan masyarakat pribumi, nyatanya menghasilkan kelompok elit pribumi yang disebut sebagai kaum intelektual nasionalis. Semula, pemerintah kolonial berharap agar golongan elit pribumi yang sudah dibekali dengan pendidikan Eropa ini dapat membantu kolonial dalam langkah-langkah politik yang ditempuhnya. Akan tetapi, kelompok elit pribumi ini lebih mengikuti cita-cita politiknya sendiri. Kenyataan ini mendorong pemerintah kolonial untuk meningkatkan kewaspadaan manakala terjadi gerakan-gerakan yang melenceng dari kebijakan politik kolonial.

 Langkah pemerintah kolonial selanjutnya justeru menunjukkan semangat konservatisme yang hendak melakukan proyek eropanisasi terhadap Hindia-Belanda. Langkah politik etik semacam ini tentu saja menimbulkan pertentangan, terutama dari golongan elit pribumi yang terpelajar, yang mempertanyakan kemurnian niat baik pemerintah kolonial untuk memajukan masyarakat pribumi di Hindia-Belanda. Para politisi kolonial sendiri sebenarnya terbelah antara mereka yang memandang perlu dilakukannya eropanisasi mengingat hukum Eropa adalah hukum yang sempurna dan dapat diberlakukan untuk Hindia-Belanda (golongan universalis), dan mereka yang memandang bahwa kemajuan dan peningkatan kesejahteraan penduduk pribumi tidak harus ditempuh melalui proyek eropanisasi.

 Pada tahun 1904, P.I. Idenburg yang menjabat sebagai Menteri Koloni mengajukan rancangan undang-undang yang memungkinkan pengkodifikasian hukum perdata materil untuk seluruh golongan penduduk di Indonesia. Upaya ini didukung oleh C. Th. van Deventer yang mengakui bahwa “sekalipun kenyataan-kenyataan setempat memang memerlukan keragaman hukum, akan tetapi sesungguhnya—demikian pendapatnya—keragaman seperti itu tidaklah seyogyanya dipertahankan demikian” [6]. Namun upaya ini segera ditantang oleh C. van Vollenhoven yang melihat realitas keberagaman/kebhinekaan yang di Hindia-Belanda sama sekali tidak memungkinkan dilakukannya kodifikasi dan unifikasi hukum di Hindia-Belanda. Upaya van Vollenhoven ini dapat dipandang sebagai upaya untuk mempertahankan hukum adat (adatrecht) yang dianut oleh sebagian besar masyarakat pribumi.

 Dalam upayanya mempertahankan hukum adat yang dipatuhi oleh sebagian besar masyarakat pribumi, van Vollenhoven memberikan argumentasinya bahwa sebelum pemerintah mengintervensi tatanan adat dan tata hukum adat, pemerintah semestinya melakukan pengkajian-pengkajian terlebih dahulu. Ia pun membantah dengan keras setiap pandangan yang menganggap bahwa masyarakat pribumi Hindia-Belanda tidak memiliki hukum. Pada tahun 1919, van Vollenhoven bereaksi, manakala pemerintah bersikeras mau mamasukkan semua penduduk Hindia-Belanda ke dalam yurisdiksi hukum Eropa sebagaimana yang disiapkan oleh Pleyte. Atas sejumlah kritik yang dilontarkan oleh van Vollenhoven, akhirnya RUU yang dipersiapkan oleh Pleyte akhirnya ditarik. Akan tetapi, amandemen yang pernah dipersiapkan oleh van Idsinga sebelumnya dinyatakan berlaku, untuk menyempurnakan pasal 75 RR yang menetapkan pemberlakuan hukum Eropa hanya kepada golongan Eropa, dan hukum adat, sejauh tidak bertentangan dengan asas kepatuhan dan keadilan, dinyatakan tetap berlaku bagi golongan pribumi. Keberhasilan pemberlakuan unifikasi Hukum Pidana pada tahun 1918, mendorong F.J.H. Cowan untuk menyiapkan Hukum Perdata bagi Hindia-Belanda yang dianggapnya layak untuk diunifikasi dengan alasan, a) hukum adat yang tidak tertulis menimbulkan ketidakpastian hukum, b) pemberlakuan berbagai macam hukum untuk berbagai macam golongan penduduk akan menimbulkan kebingungan di tengah masyarakat. Sekali lagi van Vollenhoven menunjukkan kegigihannya mempertahankan hukum adat dengan berargumentasi bahwa hukum yang hidup di tengah masyarakat tidak dapat dikelabui dengan cara menerbitkan suatu peraturan di dalam staatsblad. Perlawanan van Vollenhoven berhasil dengan ditariknya usulan rancangan perundang-undangan yang telah dipersiapkan oleh Cowan. Harus diakui pula bahwa sekalipun van Vollenhoven mengeritik segala bentuk upaya untuk mengunifikasi hukum Eropa, ia sebenarnya tidak menentangnya. Namun, ia sangat tidak menyetujui jika mayoritas penduduk pribumi harus ditundukkan di bawah hukum minoritas Eropa. Pemikiran van Vollenhoven berkecambah dan merembet kepada anak muridnya yang berasal dari golongan pribumi yang pernah belajar di Universitas Leiden. Pada kurun waktu sepanjang 1930 sampai dengan pecahnya Perang Pasifik pada tahun 1942, hukum adat berhasil dikukuhkan oleh ter Haar atas kekuatan preseden-preseden yang dikembangkan dalam yurisprudensi landraad (peradilan yang diadakan khusus untuk memeriksa perkara-perkara orang pribumi). Melalui yurisprudensi yang dihasilkan di landraad, hukum adat memperoleh bentuk formalnya. Di tangan ter Haar dan para muridnya, hukum adat memenuhi fungsinya sebagai hukum yang dapat dipakai di peradilan-peradilan negara modern. Pada masa ter Haar inilah, hukum adat mencapai kejayaannya. Dualisme hukum dengan demikian tidak lagi dipermasalahkan, bahkan memperoleh makna baru sebagaimana yang disebut John Ball sebagai the enlightened dualism, yang mengadung arti bahwa hukum adat dan hukum kodifikasi dihargai setara dengan konflik-konflik pilihan antara keduanya diselesaikan dengan ajaran-ajaran hukum intergentil/hukum antargolongan [7].

****

 Pasal 59 Grondwet 1848 (atau pasal 61 Grondwet 1887) menetapkan raja Belanda sebagai penguasa tertinggi atas seluruh daerah jajahan (termasuk Hindia-Belanda). Di Hindia-Belanda sendiri, kekuasaan eksekutif dijalankan oleh Gubernur Jenderal yang memerintah atas nama Raja berdasarkan ketentuan pasal 1 RR 1854. RR 1854 mengatur beberapa tugas pokok yang dimiliki oleh Gubernur Jenderal, antara lain: a) memegang kekuasaan legislatif di negeri kolonial (pasal 20, dst.), b) berkewenangan untuk melaksanakan peraturan-peraturan yang ada (pasal 27 dst.), c) berkewenangan mengangkat dan memberhentikan pejabat-pejabat tinggi di jajaran pemerintahan kolonial (pasal 49), d) berkedudukan sebagi panglima tertinggi Angkatan Darat dan Angkatan Laut Hindia-Belanda (pasal 41-42), dan berkewenangan untuk memberikan grasi (pasal 52) [8]. Untuk membantu menjalankan tugas-tugasnya Gubernur Jenderal dibantu oleh staf-stafnya yang mempunyai kekuasaan administratif baik di pemerintahan pusat, maupun di daerah-daerah yang dijalankan dengan penuh ketaatan berdasarkan pasal 64 dan 68 RR 1854. Setiap upaya reformasi di bidang pemerintahan pada saat itu selalu terhalang oleh tembok konservatisme yang masih kuat dipertahankan. Memasuki dasawarsa 1880-an, para pengusaha swasta Belanda yang menjalankan usahanya di Hindia-Belanda (Nederlandse Burgerij) merasa kurang diuntungkan dengan kebijakan cultuurstelsel. Mereka mempertanyakan kebijakan etatisme di bidang pertanian dan perdagangan serta menghendaki adanya hak berbicara (medezeggenschap) terutama dalam setiap kebijakan yang diambil oleh pemerintah.

 Kritik demi kritik tetap disuarakan di parlemen Belanda yang bermaksud untuk melakukan desentralisasi. Pada tahun 1880, salah saeorang parlemen Tweede Kamer yang bernama L.W.C. Keuchenius membuka kembali perdebatan dengan mengetengahkan keyakinannya agar di daerah-daerah dibentuk apa yang disebut gewestelijk raden. Gewestelijk Raad adalah suatu dewan di mana warga Eropa dapat berbicara untuk menyuarakan isi hatinya [9]. Keuchenius mendesak untuk segera dilakukan reformasi ketatanegaraan, terutama dengan mengamandemen beberapa pasal di dalam RR 1854 yang menjadi dasar hukum kekuasaan pemerintahan yang terpusat di tangan Gubernur Jenderal. Pada tahun 1881, usul Keuchenius segera didukung oleh W.K. Baron van Dedem (seorang politisi liberalis) yang menyuarakan pentingnya perubahan tata pemerintahan di Hindia-Belanda. Namun perubahan ini tidak memasuki ranah tata negara melainkan lebih kepada permasalahan anggaran biaya pemerintahan tanah jajahan (bersifat administratif). Menurutnya, Negeri Belanda sudah tidak akan lagi mungkin memperlakukan tanah jajahannya sebagai suatu wingewest yang lewat praktek kulturstelsel dapat menjamin diperolehnya batig slot dalam anggaran belanjanya. Dengan demikian, anggaran belanja Negeri Belanda dan Hindia-Belanda dipisahkan secara tegas. Konsekuensi yuridis yang terjadi apabila usul van Dedem disetujui adalah diperlukan amandemen tidak hanya terhadap RR 1854, tetapi juga terhadap De Indische Comptabliteits Wet (ICW) 1864. Apabila amandemen tersebut disetujui maka anggaran pendapatan dan belanja Hindia-Belanda tidak lagi disiapkan oleh eksekutif (melalui KB), melainkan melalui produk legislatif. Lebih lanjut digagas pula perlunya sebuah lembaga legislatif di Hindia Belanda untuk menjalankan fungsi budgeting tersebut. Isu mengenai desentralisasi yang muncul dari van Dadem kemudian ditentang oleh golongan konservatif. Permasalahan yang muncul adalah terkait dengan besarnya biaya yang harus ditanggung pemerintah Belanda.

 Pada tahun 1887, upaya van Dedem terkait financiele decentralisatie yang agaknya tidak lagi membuahkan hasil, diperjuangkan lagi oleh J. Th. Cremer (seorang anggota parlemen Tweede Kamer). Cremer mengatakan bahwa apa yang baik bagi kehidupan usaha di Hindia-Belanda akan berarti baik pula bagi kehidupan seluruh penduduk negeri ini [10]. Pada bulan April 1888, Keuchenius yang pernah menjabat sebagai anggota Tweede Kamer yang membuka perdebatan tentang perlunya Gewestelijke Raden dalam rangka desentralisasi tata pemerintahan Hindia-Belanda diangkat menjadi Menteri Koloni. Setahun kemudian, ia menyurati Gubernur Jenderal C. Pijnacker Hordijk untuk mempersiapkan segala hal demi terbentuknya gewestelijke raden di tanah jajahan (anggotanya hanya berasal dari golongan Eropa). Setelah dua tahun mempersiapkan apa yang diminta oleh van Dedem, Hordijk kemudian melaporkan bahwa ia melihat adanya perkembangan kebutuhan masyarakat Eropa untuk ikut memberikan arahan pada jalannya pemerintahan. Oleh sebab itu, ia bersedia untuk dengan hati-hati dan bijak memasukkan unsur-unsur dari kalangan nonpejabat pemerintahan ke dalam geweatelijke raden di setiap keresidenan dan gemente raden di kota-kota besar. Ia pun mengusulkan agar di tingkat pusat pun dibentuk pula koloniale raad.

 Dalam kurun waktu 1891-1893, surat Pijnacker Hordijck tidak mendapatkan tanggapan dari parlemen Belanda. Kendatipun demikian, perjuangan untuk mewujudkan desentralisasi di Hindia-Belanda terus berjalan. Para menteri koloni dan para gubernur jenderal pasca van Dedem dan Pijnacker Hordijck adalah tokoh-tokoh yang terbilang prodesentralisasi. Pada tahun 1897, van Der Wijk yang menjabat sebagai Gubernur Jenderal mengirimkan naskah terakhir usulannya tentang reorganisasi struktur pemerintahan di daerah-daerah keresidenan kepada menteri koloni yang dijabat oleh J. Th. Cremer. Cremer dikenal sebagai seorang tokoh antidesentralisasi yang tetap bersikukuh pada pendapatnya bahwa sentralisasi dalam pemerintahan Hindia-Belanda benar-benar merupakan sisi gelap dalam pengelolaan tanah Hindia. Kendatipun demikian, pada tahun 1901, Cremer yang mendapatkan bantuan dari Cohen Stuart menyerahkan rancangan undang-undang desentralisasi kepada Tweede Kamer untuk diperdebatkan di parlemen. Banyak kritik menimpa rancangan undang-undang ini dari berbagai arah. Pada akhirnya rancangan undang-undang ini pun ditarik pada tahun 1901. Kendatipun demikian, upaya untuk mengegolkan rancangan undang-undang desentralisasi terus terus diperjuangkan oleh beberapa menteri koloni selanjutnya, mula-mula oleh T.A.J. van Asch van Wijk dan kemudian oleh A.W.F. Idenburg. Menurut substansinya, rancangan undang-undang yang dipersiapkan oleh Idenburg tidak memiliki perbedaan mendasar dengan rancangan undang-undang yang diusulkan oleh Cremer. Namun, rancangan undang-undang ini tidak mengundang perdebatan yang seru di parlemen. Akhirnya, pada tanggal 23 Juli 1903 diundangkanlah undang-undang desentralisasi yang bernama De Wet Houdende Decentralisatie van Het Bestuur in Nederlands-Indie di dalam Staatblad van Het Koninkrijk Der Nederlanden tahun 1903 No. 219. Pada dasarnya undang-undang desentralisasi (Desentralisatie Wet 1903) membuka kemungkinan bagi terwujudnya pemerintahan lokal di daerah-daerah tertentu (gewesten), atau di bagian satuan daerah tertentu (gedeelten van gewesten) yang dapat melaksanakan urusannya sendiri (zelfbestuur). Pengundangan Desentralisatie Wet 1903 segera diikuti dengan Desentralisatie Besluit 1904 dan Locale Ordonamtie 1905 yang kemudian membuka kesadaran masyarakat Belanda bahwa raad yang akan dibentuk bukan lagi de koloniale raad yang akan berbicara dengan kewenangan desentralisasinya mengenai anggaran bagi seluruh negeri. Raad sebagaimana yang coba dibentuk berdasarkan Desentralisatie Wet 1903 meliputi Volksraad, Gedecentraliceerde Gewesten, dan Gedeelten van Gewesten.

3. Periode 1940-1990

 Perkembangan hukum Indonesia sepanjang 1940-1990 dapat dibagi ke dalam tiga tahap perkembangan, yaitu, a) masa transisi (1940-1950), b) masa revolusi Soekarno (1950-1966), dan masa Orde Baru (1966-1990).

a. Masa Transisi (1940-1990)

 Sampai dengan pecahnya Perang Pasifik, usaha untuk mengunifikasi Hukum Perdata untuk seluruh golongan penduduk belum dapat dilaksanakan. Uapaya yang telah dirintis oleh Scholten van Oud-Harleem dan Wischers pada tahun 1840-an sampai dicoba terakhir kalinya oleh Cowan pada tahun 1920-an ternyata tak kunjung berhasil. Keberatan-keberatan awal disebabkan oleh karena pertimbangan-pertimbangan pemerintah kolonial terhadap besarnya biaya yang harus dikeluarkan untuk menjalankan upaya unifikasi tersebut. Bahkan sampai dengan runtuhnya kekuasaan kolonial unifikasi hukum privat dan unifikasi lembaga-lembaga peradilan belumlah terwujud. Dualisme hukum tetap dibiarkan hidup. Demikianlah kenyataannya, sampai dengan tahun 1942, penduduk Hindia-Belanda tetap dibedakan menjadi 3 golongan (berdasarkan pembagian yang dilakukan pada tahun 1854 menurut pasal 109 RR 1854 jo. Pasal 109 Indische Staatregering 1925) yaitu, golongan Eropa, golongan pribumi, dan golongan Timur Asing. Pasal 131 ayat 1 IS 1925 menyatakan pemberlakuan hukum perdata, hukum dagang, hukum pidana, dan hukum acara (perdata maupun pidana) diatur dengan ordonansi. Selanjutnya pasal 3 ayat 3 IS menuliskan ketentuan bahwa hukum acara perdata dan hukum acara pidana yang diordonansikan secara khusus untuk orang-orang dari golongan Eropa harus tetap menganut asas konkordansi. Pengecualian atasnya hanya dimungkinkan apabila terasa ada keperluan untuk membuat perubahan-perubahan sehubungan dengan adanya keadaan-keadaan khusus yang terjadi di Hindia-Belanda. Pemberlakuan hukum adat atas golongan pribumi diatur melalui pasal 131 ayat 2 huruf b IS. Dari sisi lembaga peradilan, terkesan adanya pluralisme yang mewarnai tata hukum Indonesia yang terbilang kompleks.

 Semenjak masuknya penjajahan Jepang, dimaklumatkanlah melalui undang-undang bala tentara Jepang (Osamu Sirei) tahun 1942 no. 1 bahwa seluruh wewenang badan-badan pemerintahan dan semua hukum dan peraturan yang selama ini berlaku tetap dinyatakan berlaku, kecuali bertentangan dengan UU bala tentara Jepang tersebut. Dengan berlakunya maklumat tersebut, maka hukum perdata yang semula berlaku untuk golongan Eropa dinyatakan berlaku untuk golongan Cina, sedangkan hukum adat tetap dinyatakan berlaku untuk golongan masyarakat pribumi. Pemerintah militer Jepang membagi daerah yang didudukinya menjadi tiga wilayah komando, yaitu a) Jawa dan Madura, b) Sumatera, dan c) Indonesia bagian timur. Salah satu kontribusi positif dengan masuknya pemerintahan kolonial Jepang adalah berhasil dihapusnya dualisme dalam tata peradilan. Dengan demikian, cuma ada satu peradilan untuk seluruh golongan penduduk yaitu Hoogerechtshof (saiko hoin), Raad van Justitie (koto hoin), Landraad (Tiho Hoin), Landgerecht (Kaezai Hoin), dan Regentschapgerecht (Ken Hoin), dan Districtgerecht (Gun Hoin). Kendatipun segala upaya telah ditempuh oleh kolonial Jepang, masalah-masalah terkait aspek substansi, struktur, dan kultur, tetap menjadi momok bagi implementasi hukum selanjutnya. Dalam masa perjuangan fisik pun (1945-1950), kesulitan tetap terasa. Permasalahan utama yang dihadapi adalah persoalan mengenai dualisme hukum yang berkembang dan hidup di masyarakat. Maka dipertahankanlah tatanan hukum kolonial bagi keberlangsungan RI yang diberlakukan dengan asas konkordansi. Melalui Maklumat Presiden tahun 1945 No. 2 bertanggal 10 Oktober 1945, yang kecuali mengulang apa yang dinyatakan dalam pasal II peraturan peralihan UUD 1945 bahwa hanya hukum yang tidak bertentangan dengan UUD 1945 sajalah yang akan berlaku bagi seluruh rakyat RI.

b. Masa Revolusi Soekarno (1950-1966 )

 Berakhirnya Republik Indonesia Serikat (RIS) pada tanggal 17 Agustus 1950 menyebabkan Undang-undang RIS hanya berfungsi tak lebih dari 8 bulan. Konstitusi RIS segera diganti dengan konstitusi yang baru yaitu Undang-undang Dasar Sementara RI (diumumkan sebagai undang-undang No. 7 tahun 1957 pada tanggal 15 Agustus 1950 dalam Lembaran Negara tahun 1950 No. 56). Pasal 142 UUDS menyebutkan bahwa “peraturan-peraturan perundang-undangan dan ketentuan tata usaha yang sudah ada pada tanggan 17 Agustus 1950 tetap berlaku dengan tidak berubah sebagai peraturan-peraturan dan ketentuan-ketentuan Republik Indonesia sendiri selama dan sekedar peraturan-peraturan dan ketentuan-ketentuan itu tidak dicabut, ditambah, atau diubah oleh undang-undang dan ketentuan-ketentuan tata usaha atas kuasa Undang-undang Dasar (yang baru) ini.” Dengan demikian kevakuman hukum yang mungkin akan mengundang suasana ketidakpastian dapat dicegah, dan persaingan politik (antara kelompok nasionalis pendukung hukum adat dan kelompok muslim pendukung hukum Islam?) untuk memperebutkan ruang vakum guna diisi dengan sistem hukum yang baru akan dapat dicegah atau setidak-tidaknya ditunda.

 Fakta memperlihatkan bahwa dalam masa pemerintahan Soekarno hukum dianggap sebagai penghalang bagi terwujudnya revolusi yang dicita-citakannya. Keinginan Soekarno untuk menciptakan tata hukum yang khas Indonesia, yang tentu saja dijauhkan dari segala bentuk warisan kolonial ternyata tidak dengan segera dapat diimplementasikan. Sekiranya perombakan secara besar-besaran dilakukan terhadap peraturan perundang-undangan warisan Belanda, maka akan terjadi banyak kekosongan hukum. Perubahan yang coba dilakukan melalui pembentukan UUDS 1950, ternyata dianggap gagal mencerminkan kekhasan citarasa hukum Indonesia. UUD 1945 kemudian dinyatakan berlaku lagi melalui Dekrit Presiden 1959.

c. Masa Orde Baru (1966-1990)

 Perkembangan substansi hukum masa Soeharto tidak mengalami perubahan yang berarti. Peraturan perundang-undangan yang diberlakukan selalu berpatokan pada apa yang digariskan di dalam UUD 1945. Kendatipun demikian, dalam rangka mewujudkan program-program pembangunan yang dicanangkannya (di antaranya melalui Rencana Pembangunan Lima Tahun/REPELITA), Soeharto acapkali menggunakan kekuatan senjata untuk menundukkan para penentang kebijakan politiknya. Meskipun demikian, pembangunan yang gencar dilakukan oleh Soeharto tetap harus diapresiasi, kendatipun peraturan perundang-undangan takkan pernah bisa membatasinya.

Bagian 3. Kata Akhir

 Sejarah perkembangan sosial politik Indonesia yang dikemas dalam sebuah tulisan mengenai kronologis perkembangan hukum sejak masa kolonial sampai dengan masa Orde Baru ini masih jauh dari kesempurnaan sebagaimana yang diharapkan. Seandainya ada hal yang dirasakan kurang lengkap di dalam pemaparan ini, kiranya hal itu dapat dilengkapi oleh pembaca budiman di dalam tulisan yang lain. Semoga semangat untuk mencintai sejarah tetap hidup dan berkembang di sanubari setiap warga negara Indonesia, khususnya kaum muda yang cenderung melupakan sejarah dan tidak mempedulikannya.


Endnote:
[1]Soetandyo Wignjosoebroto, Dari Hukum Kolonial ke Hukum Nasional-Suatu Kajian Tentang Dinamika Sosial Politik dalam Perkembangan Hukum Selama Satu Setengah Abad di Indonesia (1840-1990, PT Raja Grafindo Persada: Jakarta, 1994, hal. 1-16.
[2]Codes Napoleon terdiri atas beberapa kitab, antara lain, Codes Civil (Hukum Perdata), Codes Commerce (Hukum Dagang), Codes Penal (Hukum Pidana). Ibid.,hlm. 40.
[3]Vide, KUHP Pasal 1 ayat 1: ”Suatu perbuatan tidak dapat dipidana kecuali berdasarkan kekuatan ketentuan perundang-undangan pidana yang telah ada.” Asas legalitas menegaskan bahwa seseorang dapat diproses secara hukum atas suatu tindakan melawan hukum, apabila tindakan yang melawan hukum tersebut telah diatur dalam suatu peraturan perundang-undangan.
[4]Ada tiga pasal penting Algemeene Bepalingen yang relevan dengan upaya unifikasi, yaitu a) pasal 5, membagi penduduk Hindia-Belanda menjadi Golongan Eropa dan Golongan Pribumi, b) pasal 9, menegaskan pemberlakuan Hukum Perdata dan Hukum Barat Belanda hanya kepada golongan Eropa dan yang dipersamakan dengannya, dan c) pasal 11, memberi kewenangan kepada hakim untuk menentukan pemberlakuan hukum agama, dan pranata-pranata dan kebiasaan kepada orang pribumi sejauh itu tidak bertentangan dengan asas kepantasan dan keadilan yang berlaku umum; terhadap orang pribumi yang telah menundukkan diri kepada hukum Eropa, maka berlakulah hukum Eropa atasnya. Soetandyo Wignjosoebroto, Op. Cit., hlm. 54.
[5]Hak Eigendom dalam konteks ini dapat diartikan sebagai hak milik atas tanah.
[6]Soetandyo Wignjosoebroto, Op. Cit., hlm. 124.
[7]Ibid., hlm. 137.
[8]Soetandjo Wignjosoebroto, Desentralisasi Dalam Tata Pemerintahan Kolonial—Kebijakan dan Upaya Sepanjang Babak Akhir Kekuasaan Kolonial di Indonesia (1900-1940), Bayumedia Publishing: Malang, 2004, hlm. 2.
[9]Ibid., hlm. 5.
[10]Ibid., hlm. 9.

Daftar Pustaka :
Wignjosoebroto, Soetandyo.1994. Dari Hukum Kolonial ke Hukum Nasional-Suatu Kajian Tentang Dinamika Sosial Politik dalam Perkembangan Hukum Selama Satu Setengah Abad di Indonesia (1840-1990). PT Raja Grafindo Persada: Jakarta.
____________________. 2004. Desentralisasi Dalam Tata Pemerintahan Kolonial Hindia Belanda (Kebijakan dan Upaya Sepanjang Babak Akhir Kekuasaan Kolonial di Indonesia ‘1900-1940’). Bayumedia Publishing: Malang.