Sunday, March 27, 2011

Rahasia Bank dan Permasalahannya

BAB I
P E N D A H U L U A N

1.             LATAR BELAKANG MASALAH
Bank adalah bagian dari sistem keuangan dan sistem pembayaran suatu negara. Bahkan pada era globalisasi seperti sekarang ini, bank telah memainkan peran yang sangat penting dalam sistem keuangan dan sistem pembayaran internasional. Dengan demikian, setiap bank memikul tanggung jawab publik untuk tetap menjaga stabilitas sistem keuangan dan sistem pembayaran dimaksud.

Salah satu topik kontroversial dalam UU Perbankan Indonesia adalah ketentuan mengenai rahasia bank. Di satu sisi, bank sebagai pihak yang menyimpan dana dari nasabahnya dituntut untuk menjaga kepercayaan nasbahnya tersebut, antara lain dengan mematuhi ketentuan mengenai rahasia bank. Sedangkan  di sisi lain, ketentuan rahasia bank perlu dilonggarkan demi proses penegakkan hukum yang lebih baik untuk kepentingan banyak orang.

Masih segar dalam ingatan kita kasus Bank Century yang amat sensasional, sedemikian sehingga sebagian besar energi negara terkuras untuk menyelesaikannya. Dalam rangka pengungkapan fakta, Panitia Khusus (Pansus) Hak Angket Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pernah meminta data/keterangan tentang sejumlah besar mantan nasabah Bank Century kepada Bank Mutiara (nama baru Bank Century setelah diambil alih oleh pemerintah). Sayangnya, permintaan DPR ini tidak dapat dilayani Bank Mutiara karena bank ini tidak ingin melanggar ketentuan mengenai rahasia bank. DPR akhirnya meminta saran kepada Mahkamah Agung agar data yang diharapkan dapat diperolehnya. Pada akhirnya, data yang diharapkan diperoleh Pansus Angket Century melalui sebuah penetapan pengadilan. [1]

Contoh kasus Bank Century di atas memperlihatkan betapa sulitnya menerobos ketentuan mengenai rahasia bank. Bank Mutiara tidak dapat dipersalahkan atas dasar tindakan non-kooperatifnya yang tidak mau memberikan data yang diminta Pansus Angket Century, karena tindakan itu dilakukan atas dasar kepatuhannya kepada ketentuan mengenai rahasia bank. Padahal publik menghendaki adanya kejelasan tentang kasus Bank Century. Dengan demikian, pihak mana yang harus dipersalahkan? Solusi apakah yang diperlukan untuk memecahkan masalah ini dan mencegah terjadinya kasus serupa di kemudian hari?

Makalah ini merupakan sebuah kajian hukum terhadap ketentuan mengenai “Rahasia Bank” menurut UU Perbankan No. 7 tahun 1992, sebagaimana telah diubah dengan UU No. 10 tahun 1998. Penulis memusatkan perhatian secara khusus pada persoalan mengenai ruang lingkup ketentuan rahasia bank dan beberapa hal yang dapat mengecualikannya.

2.             PERUMUSAN MASALAH
Bank merupakan bagian integral dari sistem keuangan dan pembayaran nasional dan internasional. Dalam rangka memaksimalkan peran bank pada sistem-sistem tersebut, ketentuan mengenai rahasia bank perlu diatur melalui suatu produk perundang-undangan. Ketentuan mengenai rahasia bank di Indonesia telah diatur di dalam UU No. 7 tahun 1992 tentang Perbankan, sebagaimana telah diubah dengan UU No. 10 tahun 1998 tentang Perubahan Atas UU No. 7 tahun 1992 tentang Perbankan. Akan tetapi di dalam prakteknya, substansi peraturan perundang-undangan ini tidak sepenuhnya dapat meng-cover permasalahan terkait kerahasiaan bank. Untuk itu diperlukan adanya perubahan atas substansi perundang-undangan yang ada untuk dapat menjawab permasalahan kerahasiaan bank pada masa kini dan masa yang akan datang. Melalui makalah ini, penulis bermaksud memberikan beberapa solusi terhadap masalah ini dengan tuntunan sejumlah pertanyaan, sebagai berikut:
a.       Mengapa rahasia bank diperlukan?
b.      Mengapa ruang lingkup ketentuan mengenai rahasia bank dalam UU Perbankan Indonesia belum memadai?
c.       Mengapa hal-hal yang dikecualikan dari ketentuan mengenai rahasia bank dalam UU Perbankan Indonesia pun belum memadai?
d.      Langkah-langkah apakah yang diperlukan untuk mengatasi kekurangan dalam ketentuan mengenai rahasia bank?
BAB II
P E M B A H A S A N

1.      PENTINGNYA PENGATURAN TERHADAP KERAHASIAAN BANK
Bank merupakan bagian integral dari sistem keuangan dan pembayaran nasional dan internasional. Terganggunya kinerja suatu bank dapat mengganggu kinerja bank lain (domino effect), bahkan pada tingkat yang paling mencemaskan, dapat mengganggu fungsi sistem keuangan dan sistem pembayaran suatu negara. Oleh karena itu, masyarakat amat berkepentingan untuk menjaga stabilitas dan eksistensi sistem perbankan.

Eksistensi suatu bank sangat dipengaruhi secara mutlak oleh tingkat kepercayaan masyarakat (=nasbah) karena bank merupakan suatu bentuk usaha yang dijalankan atas dasar kepercayaan (agent of trust). Masyarakat yang tidak lagi mempercayai suatu bank dapat melarikan dananya (rush) ke bank lain, bahkan melarikan dananya ke luar negeri, seandainya sistem perbankan di negaranya tidak lagi dipercayainya. Oleh karena itu bank memikul kewajiban untuk menjaga kepercayaan nasabahnya (fiduciary obligation).[2] Beberapa faktor yang mempengaruhi tingkat kepercayaan masyarakat terhadap suatu bank, antara lain: a) integritas pengurus, b) pengetahuan dan kemampuan manajerial dan teknis pengurus dalam bidang perbankan, c) kesehatan bank yang bersangkutan, dan d) kepatuhan bank terhadap ketentuan kerahasiaan bank. [3]

Ketentuan mengenai kerahasiaan bank telah ada sejak 4000 tahun yang lalu di masa Babylonia sebagai sebuah kelaziman sebagaimana tercantum di dalam Code of Hamourabi. Kekaisaran Romawi Kuno juga memiliki pengaturan khusus mengenai hubungan antara nasabah dan bank, termasuk persoalan mengenai rahasia bank. Pada tahun 1593, terdapat ketentuan di dalam Banco Ambrosiano, Milano-Italia, bahwa izin usaha suatu bank akan dicabut apabila melanggar ketentuan rahasia bank. Eropa modern saat ini umumnya berpendapat bahwa praktek dan aturan mengenai rahasia bank merupakan suatu kelaziman yang selalu melekat pada industri perbankan. [4]

Salah satu kasus rahasia bank yang seringkali dijadikan sebagai leading case law di negara-negara penganut common law system (spt. Inggris dan Amerika Serikat), adalah kasus Tournier v. National Provincial and Union Bank of England pada tahun 1929.[5] Kasus ini menggambarkan betapa pentingnya perlindungan hukum terhadap hak nasabah bank. Bank memikul tugas untuk merahasiakan (duty of secrecy) untuk keperluan nasabahnya. Kendatipun demikian, Bankes L.J., salah seorang hakim yang memeriksa kasus Tournier v. National Provincial and Union Bank of England menguraikan adanya pengecualian terhadap duty of secrecy, yaitu: a) apabila diatur dalam suatu undang-undang, b) apabila terdapat kepentingan umum; c) apabila kepentingan bank memang memerlukan; dan d) apabila terdapat persetujuan  dari nasabah.

Sifat mengikat ketentuan rahasia bank pada negara-negara yang memiliki ketentuan tentang rahasia bank berbeda satu dengan yang lainnya. Ada sejumlah negara yang menganggap ketentuan  rahasia bank sebagai persoalan perdata yang lahir dari hubungan kontraktual antara bank dan nasabahnya (misalnya Belgia, Australia, Austria, Amerika Serikat, dan Kanada). Dan ada pula negara-negara yang menganggap rahasia bank sebagai pelanggaran pidana (misalnya Indonesia, Denmark, Finlandia, Yunani, Israel, dan Luxembourg). Jika rahasia bank dianggap sebagai persoalan perdata, maka nasabah yang dirugikan hanya dapat menggugat bank dengan alasan cidera janji atau perbuatan melawan hukum. Sedangkan jika ketentuan rahasia bank dianggap sebagai persoalan pidana, maka pelanggaran atas ketentuan ini akan dikenakan sanksi pidana, baik berupa hukuman badan atau denda.

Peningkatan angka kejahatan di bidang keuangan (misalnya money laundering) yang berpotensi mengganggu stabilitas ekonomi suatu bangsa, khususnya stabilitas moneter, menuntut dilakukannya pelonggaran terhadap kententuan rahasia bank. Dalam hal ini, apabila kepentingan negara, bangsa, dan masyarakat umum harus didahulukan daripada kepentingan nasabah secara pribadi, maka kewajiban bank untuk merahasiakan identitas nasabahnya dapat dikesampingkan. Akan tetapi harus diperhatikan pula bahwa kentetuan rahasia bank tidak semestinya diperlonggar sedemikian rupa sehingga identitas nasabah suatu bank “dibocorkan” dengan alasan kepentingan umum. Hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap bank dapat berakibat pada tersendatnya pembangunan nasional karena dana masyarakat di bank tidak cukup untuk membiayai kegiatan dimaksud.[6]
2.      Ketentuan Rahasia Bank menurut Undang-undang Perbankan Indonesia dan permasalahan di sekitarnya
Pengertian rahasia bank diatur di dalam pasal 1 angka 28 UU No. 10 tahun 1998 tentang Perubahan Atas UU No. 7 tahun 1992 tentang Perbankan. Menurut ketentuan ini, “Rahasia bank adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan keterangan mengenai nasabah penyimpan dan simpanannya.”[7] Selain itu terdapat sejumlah pasal yang mengatur tentang pengecualian terhadap ketentuan rahasia bank, yaitu pasal 41, pasal 41A, pasal 42, pasal 43, pasal 44, dan pasal 44A. Delik/ketentuan pidana rahasia bank diatur di dalam pasal 40 ayat 1 UU Perbankan, yaitu bahwa “Bank wajib merahasiakan keterangan mengenai nasabah penyimpan dan simpanannya, kecuali dalam hal sebagaimana dimaksud Pasal 41, Pasal 41A, Pasal 42, Pasal 43, Pasal 44, dan pasal 44A.”. [8] Pihak-pihak yang melakukan pelanggaran terhadap ketentuan ini akan dikenakan sanksi pidana berupa penjara sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun dan paling lama 4 (empat) tahun dan denda sekurang-kurangnya Rp4.000.000.000.- (empat miliar rupiah) dan paling banyak Rp8.000.000.000.- (delapan miliar rupiah).[9] Berikut ini adalah pemaparan penulis terhadap sejumlah persoalan yang ada di sekitar ruang lingkup ketentuan rahasia bank dan hal-hal yang dapat mengecualikannya.

2.1.Ruang Lingkup Ketentuan Rahasia Bank dan Permasalahannya
a.       Ruang Lingkup Rahasia Bank
Lingkup rahasia bank merupakan suatu bagian yang penting dari ketentuan rahasia bank. Persoalan ini terkait erat dengan substansi ketentuan rahasia bank, yaitu mengenai hal-hal yang perlu dirahasiakan. Berikut ini adalah beberapa legal issue terkait ruang lingkup ketentuan rahasia bank, antara lain: apakah ketentuan rahasia bank hanya terkait dengan passiva bank  saja (=dana nasabah yang disimpan di bank), atau juga terkait dengan aktiva bank (=kredit yang diberikan bank kepada nasabahnya)? Apakah rahasia bank juga mencakup pihak-pihak yang hanya menggunakan jasa bank untuk sementara waktu (walk-in customer)? Apakah rahasia bank hanya terkait dengan “keadaan keuangan” nasabah, atau juga “identitas” nasabah.
      Terhadap sejumlah pertanyaan di atas, Prof. Dr. Sutan Remy Sjahdeini, S.H. menyatakan bahwa lingkup rahasia bank sebaiknya meliputi hal-hal, sebagai berikut:[10] a) sisi liabilities/pasiva bank saja. Sisi asset/aktiva bank tidak perlu dirahasiakan; b)  keadaan keuangan nasabah bukan penyimpan dana yang menggunakan jasa bank sesaat (walk-in customer), yang jasa bank itu menimbulkan kewajiban bagi bank untuk membayarkan dana kepada pihak tersebut atau pihak yang ditunjuk oleh yang bersangkutan (antara lain berupa pengiriman uang) yang dana itu berasal dari setoran nasabah; c)  identitas nasabah.
b.      Kewajiban Merahasiakan bagi Pegawai Bank
Menurut UU Perbankan No. 10 tahun 1998 pasal 47 ayat 2, pihak-pihak yang berkewajiban untuk memegang teguh ketentuan rahasia bank adalah: a) anggota dewan komisaris bank, b) anggota direksi bank, c) pegawai bank, dan d) pihak-pihak terafiliasi lainnya. Pada bagian penjelasan dari pasal ini, yang dimaksudkan sebagai pegawai bank adalah “semua pejabat dan  karyawan bank”. Dengan demikian, siapa pun yang bekerja sebagai pegawai bank, sekalipun tidak memiliki akses terhadap data yang dirahasiakan (menyangkut nasabah penyimpan dan simpanannya), tetap wajib memegang teguh ketentuan mengenai rahasia bank. Pasal ini agak berlebihan, karena juru ketik di urusan logistik, cleaning service, sopir, dan satpam yang bekerja pada bank, terhitung sebagai pihak yang terkena ketentuan rahasia bank.
c.       Kewajiban Merahasiakan bagi Mantan Pegawai Bank
Seorang pegawai bank tidak selamanya menjadi pegawai pada bank bersangkutan. Yang bersangkutan a) akan menjalani masa pensiun bila waktunya tiba, b) berhenti akan kemauan sendiri, dan c) diberhentikan oleh bank yang mempekerjakannya. Dalam hal seseorang telah menjadi “mantan pegawai bank”, apakah ia harus memegang teguh rahasia bank sebagaimana ketika ia masih aktif bekerja sebagai pegawai bank? 

UU Perbankan Indonesia belum mengatur tentang kewajiban merahasiakan bagi mantan pegawai bank. Oleh karena, di satu sisi rahasia bank perlu diatur, sedangkan di sisi lain, ketentuan rahasia bank belum mencakup mantan pegawai bank, maka seyogyanya perubahan dalam hal ini perlu dilakukan. UU Perbankan harus mengatur bahwa kerahasiaan bank juga wajib dipegang teguh oleh mantan pegawai bank untuk suatu jangka waktu tertentu (mis. untuk jangka waktu sepuluh tahun) sejak ia tidak lagi bekerja pada bank bersangkutan.
d.      Kewajiban Merahasiakan bagi Bank Terhadap Mantan Nasabahnya
Dalam praktek perbankan sehari-hari, seorang nasabah dapat berganti atau berpindah dari bank yang satu ke bank yang lain, atau menjadi nasabah pada beberapa bank pada waktu yang bersamaan. Berhadapan dengan fakta seperti ini, apakah bank masih terikat kewajiban merahasiakan dalam hal seorang nasabah tidak lagi menjadi nasabah pada bank tersebut? Persoalan ini ternyata tidak diatur di dalam UU Perbankan. Dengan demikian, seyogyanya perlu diatur di dalam UU Perbankan bahwa bank masih terikat kewajiban merahasiakan keterangan mantan nasabahnya selama kurun waktu tertentu (mis. lima tahun).
e.       Kewajiban Merahasiakan bagi Bank yang Telah Dicabut izin Usahanya
Menurut pasal 37 ayat 2 Undang-undang Perbankan, Bank Indonesia berwenang mencabut izin usaha suatu bank. Dalam hal izin usaha suatu bank telah dicabut oleh BI, apakah pegawai bank tersebut masih terikat dengan ketentuan rahasia bank? Persoalan ini berhubungan dengan persepsi yuridis, yaitu apakah suatu bank yang telah dicabut izin usahanya oleh BI, secara yuridis masih dikategorikan sebagai bank atau tidak. Jika bank yang telah dicabut izin usahanya tersebut secara yuridis masih dikategorikan sebagai bank, maka ketentuan rahasia bank masih berlaku bagi bank tersebut; jika secara yuridis tidak dikategorikan sebagai bank, maka ketentuan rahasia bank tidak berlaku atasnya. Supaya tidak masuk ke dalam perdebatan hukum  yang lebih jauh, maka sudah seharusnya hal ini diatur secara tegas di dalam Undang-undang Perbankan.

Permasalahan hukum yang hampir sama terjadi juga pada bank dalam likuidasi. Likuidasi suatu bank dapat terjadi karena dua hal, a) karena masa berlakunya perusahaan telah berakhir (sebagaimana diatur di dalam anggaran dasar perusahaan tersebut), b) karena diputus pailit oleh pengadilan. Bagi bank yang diputus pailit, padahal izin usahanya tidak dicabut oleh BI, ketentuan rahasia bank masih berlaku atasnya. Namun jika suatu bank dibubarkan oleh para pemegang sahamnya melalui sebuah Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS), kententuan rahasia bank masih berlaku selama proses likuidasinya belum selesai. Demi kepastian hukum, UU Perbankan harus secara tegas mengatur tentang permasalahan ini.
2.2.Ketentuan Pengecualian Rahasia Bank dan Permasalahannya
a.       Tujuh Ketentuan Pengecualian Menurut Undang-undang Perbankan
UU Perbankan Indonesia mengatur tentang 7 (tujuh) hal yang dapat mengecualikan ketentuan rahasia bank. Tujuh pengecualian tersebut diatur di dalam pasal 41, pasal 41A, pasal 42, pasal 43, pasal 44, dan pasal 44A, yaitu:
a.       Untuk kepentingan perpajakan dapat diberikan pengecualian kepada pejabat pajak berdasarkan perintah pimpinan Bank Indonesia dan Menteri Keuangan (pasal 41).
b.      Untuk urusan penyelesaian piutang bank yang sudah diserahkan kepada Badan Urusan Piutang dan Lelang Negara/Panitia Urusan Piutang Negara dapat diberikan pengecualian kepada pejabat Badan Urusan Piutang dan Lelang Negara/Panitia Urusan Piutang Negara atas izin pimpinan Bank Indonesia (pasal 41A).
c.       Untuk kepentingan peradilan dalam perkara pidana, dapat diberikan pengecualian kepada polisi, jaksa, dan hakim atas izin pimpinan Bank Indonesia (pasal 43).
d.      Untuk perkara perdata antara bank dengan nasabahnya dapat diberikan pengecualian tanpa harus memperoleh izin dari pimpinan Bank Indonesia (pasal 43).
e.       Dalam rangka tukar menukar informasi di antara bank kepada bank lain dapat diberikan pengecualian tanpa harus memperoleh izin dari pimpinan Bank Indonesia (pasal 44).
f.       Atas persetujuan, permintaan atau kuasa dari nasabah penyimpan secara tertulis dapat diberikan pengecualian tanpa harus memperoleh izin pimpinan Bank Indonesia (pasal 44A ayat 1).
g.      Ahli waris yang sah dari nasabah penyimpan dalam hal nasabah penyimpan telah meninggal dunia (pasal 44A ayat 2).

Ketentuan-ketentuan pengecualian sebagaimana diuraikan di atas merupakan ketentuan-ketentuan yang sangat limitatif. Berpatok pada ketentuan ini, maka jelaslah bahwa anggota Pansus Angket Bank Century (sebagaimana diuraikan pada bagian terdahulu) “tidak dapat” memperoleh data tentang beberapa mantan nasabah Bank Century sebagaimana yang diharapkannya.[11] Tidak hanya itu, lembaga-lembaga negara lainnya yang menjalankan tugasnya demi kepentingan umum (kecuali lembaga-lembaga yang telah dikecualikan), sejauh ia membutuhkan keterangan tentang nasabah penyimpan dan simpanannya pada suatu bank, tidak dapat memperoleh data yang diharapkan dengan dalil apa pun.
b.      Rahasia Bank dalam Perkara Perdata antara Bank dan Pihak Ketiga Bukan Nasabah yang Menyangkut Simpanan Nasabah[12]
Dalam sejumlah kasus, sebuah bank tidak hanya bersengketa dengan nasabahnya, tetapi juga bersengketa dengan pihak ketiga yang bukan nasabahnya. Kasus ini memuat dua kemungkinan: a) pihak ketiga menggugat nasabah bank sebagai tergugat I dan bank sebagai tergugat II, dan b) pihak ketiga telah menggugat nasabah bank dan memohon kepada pengadilan untuk melakukan sita jaminan, termasuk pemblokiran simpanan nasabah bank. Berhadapan dengan kasus pertama, isu hukumnya adalah bank tidak dapat membuka rahasia nasabahnya untuk membela dirinya terhadap pihak ketiga, sekalipun dengan izin pimpinan Bank Indonesia, karena UU Perbankan tidak mengaturnya. Satu-satunya jalan adalah dengan meminta izin dari nasabahnya, tetapi persoalan ini akan menjadi rumit manakala nasabah bank tidak mau memberikan izin yang dimohonkan. Sedangkan pada kasus kedua, bank tidak dapat mengabulkan permohonan peletakkan sita jaminan oleh juru sita pengadilan, karena dengan melakukan hal demikian maka bank telah melakukan pelanggaran terhadap ketentuan rahasia bank.
c.       Rahasia Bank Terhadap Hakim dalam Perkara Pidana

Negara dan Gereja Katolik soal Perceraian


Anggota Gereja Katolik di Indonesia, pada saat yang sama, juga merupakan Warga Negara Indonesia (WNI). Sebagai warga negara, anggota Gereja terkena kewajiban untuk mematuhi undang-undang dan kebijakan hukum yang diberlakukan negara. Dalam hal perkawinan, baik Gereja maupun negara memiliki hukumnya sendiri. Di antara hukum Gereja dan hukum negara yang berbicara tentang perkawinan, terdapat kesamaan dan perbedaan. Dalam beberapa hal, kedua hukum ini saling melengkapi, misalnya mengenai hak asuh anak dan harta gono gini, Kitab Hukum Kanonik (KHK) mengacu kepada hukum perkawinan sipil (UU Perkawinan No. 1 Tahun 1974).  Acapkali perbedaan yang sulit diperdamaikan di antara hukum perkawinan sipil dan KHK, membawa institusi negara dan Gereja ke dalam polemik yang sulit ditemukan solusinya. 

Bagian II: PANDANGAN UU PERKAWINAN NO.1 TAHUN 1974 
TENTANG PERCERAIAN

UU Perkawinan No.1 Tahun 1974 merupakan kebijakan hukum yang mengatur perkawinan setiap WNI. UU Perkawinan No.1 Tahun 1974 memuat beberapa bagian pokok perkawinan yang penting dan relevan dengan kehidupan WNI, antara lain: Dasar Perkawinan, Syarat-syarat Perkawinan, Pencegahan Perkawinan, Batalnya Perkawinan, Perjanjian Perkawinan, Hak dan Kewajiban Suami Isteri, Harta Benda Dalam Perkawinan, Putusnya Perkawinan Serta Akibatnya, Kedudukan Anak, Hak dan Kewajiban Orangtua dan Anak, Perwakilan, dan beberapa ketentuan tambahan.

Perihal perceraian, secara khusus dipaparkan di dalam UU Perkawinan No.1 Tahun 1974 bab VIII tentang Putusnya Perkawinan Serta Akibatnya. Dalam UU perkawinan sipil, perceraian adalah salah satu bentuk putusnya perkawinan, di samping karena kematian dan keputusan pegadilan. Perceraian sipil mengandaikan adanya cukup alasan yang tidak memungkinkan lagi pasangan suami dan isteri yang mengajukan perceraian untuk hidup bersama secara harmonis. Perceraian sipil hanya dapat diputuskan melalui sidang pengadilan.

Putusnya ikatan perkawinan karena perceraian, menurut UU perkawina  sipil, menimbulkan beberapa akibat, antara lain:
1)      Bekas suami atau isteri yang sudah bercerai, berkewajiban memenuhi kebutuhan anak yang telah dihasilkan dari perkawinan yang gagal tersebut. Jika terjadi perselisihan mengenai hak asuh anak, maka penyelesaian atas persoalan tersebut ditempuh melalui pengadilan.
2)      Biaya pemeliharaan dan pendidikan anak hasil perceraian dibebankan kepada bekas suami. Jika bekas suami ternyata tidak dapat menjalankan tugas ini, maka pengadilan  dapat menentukan bahwa bekas isteri pun turut memikul tanggungjawab yang sama.
3)      Pengadilan dapat mewajibkan bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dan/ atau menentukan suatu kewajiban bagi bekas isteri.


Bagian III: faktor-faktor penyebab perceraian menurut UU Perkawinan No.1 Tahun 1974

Faktor penyebab perceraian menurut UU Perkawinan No.1 1974 terdapat dalam pasal 38 dan 39. Undang-undang perkawinan ini juga menentukan alasan-alasan yang dapat dijadikan dasar untuk perceraian. Di dalam bagian penjelasan pasal 39, dipaparkan bahwa perceraian  dapat terjadi jika:
a. Salah satu pihak berbuat zina, atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi, dan lain
    sebagainya, serta sukar disembuhkan.
b. Salah satu pihak meninggalkan yang lain selama 2 (dua) tahun berturtu-turut tanpa ijin
    pihak yang lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar kemauannya.
c. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara selama 5 (lima) tahun atau hukuman yang
    lebih berat setelah perkawinan berlangsung.
d. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan
    terhadap pihak yang lain.
e. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit yang mengakibatkan tidak dapat
    menjalankan kewajibannya sebagai suami/isteri.
f. Antara suami dan isteri terus-menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak
    ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.


Faktor lain penyebab perceraian adalah tingkat kesadaran perempuan dan perannya dalam masyarakat yang semakin berkembang. Hal ini muncul dengan adanya sosiologi otonom dan intelektual. Timbulnya kesadaran tersebut, menimbulkan peran pembantu dalam rumah tangga mendapat tempat dengan mengurus anak-anak. Selain itu, fasilitas yang tersedia membuat  orang merasa aman bagi dirinya sendiri. Dengan demikian, perhatian dan komunikasi antara suami istri semakin berkurang. Akibat lanjutannya adalah semakin melemahnya kedua pasangan suami dan isteri untuk mempertahankan perkawinan mereka.


Bertambahnya tingkat perceraian turut dipengaruhi oleh beberapa hal, antara lain:
1.      Berkembangnya tingkat kesadaran perempuan terhadap dirinya sebagai individu yang otonom dan bermartabat yang setara dengan pria. Terjadinya Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) dan bentuk penindasan lain terhadap perempuan dalam lingkup RT, tidak membuat perempuan tinggal diam. Penindasan yang berlebihan membuat mereka berani menuntut sebuah perceraian melalui jalur pengadilan.
2.      Jauhnya jarak antara tempat kerja dan tempat tinggal, membuat komunikasi suami-isteri semakin jarang terjadi. Biasanya perceraian yang diakibatkan oleh hal ini banyak terjadi di kota-kota besar.
3.      Dalam konteks Indonesia, kemungkinan adanya perceraian bagi sebuah perkawinan menurut Islam, turut mempengaruhi bertambahnya angka perceraian.


Bagian IV: Perbandingan UU Perkawinan No.1 Tahun 1974 dengan Kitab Hukum Kanonik (KHK) Tentang Perkawinan

Antara hukum Gereja dan hukum negara yang berbicara tentang perkawinan, terdapat kesamaan dan perbedaan. Pada bagian ini, kami bermaksud memaparkan kesamaan dan perbedaan antara hukum Gereja dan hukum sipil tentang perkawinan sebagai tambahan.
1.      Arti dan Tujuan Perkawinan. Secara umum, UU perkawinan sipil (UU Perkawinan No.1 tahun 1974) dan Kitab Hukum Kanonik (KHK) memiliki arti dan tujuan perkawinan yang sama: yaitu ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita yang dimaksudkan untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal didasarkan pada Tuhan Yang Mahaesa (pasal 1). KHK secara spesifik menekankan kebersamaan seluruh hidup antara suami dan isteri (consortium totius vitae), serta kelahiran anak sebagai tujuan perkawinan (Kan. 1055).
2.      Hak dan Kewajiban Suami dan Isteri. UU perkawinan sipil membahas secara khusus hak dan kewajiban suami dan isteri. Paham dasarnya yaitu bahwa baik suami maupun isteri memiliki hak dan kedudukan yang seimbang dalam kehidupan berkeluarga dan bermayarakat. Kendatipun demikian, ada bagian khusus di dalam UU perkawinan sipil yang menyebut suami sebagai kepala keluarga, dan isteri sebagai ibu RT. Dengan pembagian peran semacam ini, UU perkawinan sipil terkesan sangat patriarkis. Padahal, pada saat ini di banyak keluarga, perempuan lebih berperan daripada laki-laki. Bagian ini persis merupakan perbedaan antara UU sipil tetang perkawinan dan KHK. KHK pada dasarnya mengenal dan mengakui prinsip kesetaraan antara suami dan isteri sama seperti UU perkawinan sipil. Kendati demikian, KHK tidak mengenal adanya pemilahan tugas antara suami dan isteri. Konsep “kebersamaan seluruh hidup” (consortium totius vitae)  secara intrinsik memuat kesetaraan antara suami dan isteri.
3.      Sifat Perkawinan: UU perkawinan sipil mengenal asas monogami dalam perkawinan, yaitu bahwa pada dasarnya seorang pria hanya memiliki seorang isteri. Tetapi monogami di dalam UU perkawinan sipil bersifat longgar, sebab masih terbuka kemungkinan bagi seorang suami untuk memiliki isteri lebih dari satu (poligami). Nuansa patriarkis muncul lagi pada pernyataan ini, sebab wanita yang bersuami lebih dari satu (poliandri) tidak dibahas di dalam UU perkawinan sipil. KHK secara tegas menyatakan perkawinan Katolik sebagai perkawinan yang bersifat satu dan tak terceraikan. Perkawinan hanya dimungkinkan bagi seorang pria dan seorang wanita yang bersepakat untuk berjanji setia sehidup semati. Salah satu pasangan hanya diperbolehkan menikah lagi jika pasangan hidupnya meninggal dunia. Baik poligami, maupun poliandri tidak dikenal di dalam KHK.
4.      Halangan Perkawinan: baik UU perkawinan sipil maupun KHK mengenal beberapa hal yang menjadi halangan terjadinya sebuah perkawinan yang sah menurut peraturan hukum yang dijunjung tinggi masing-masing lembaga. Sebagian dari beberapa halangan nikah sebagaimana yang ditentukan oleh UU perkawinan sipil, antara lain: larangan berlangsungnya perkawinan di antara pria dan wanita yang masih terikat hubungan kekeluargaan baik karena hubungan darah maupun hubungan semenda (pasal 8). KHK mengenal beberapa halangan nikah, antara lain: halangan nikah umur (kan.1083), halangan nikah impotensi (kan. 1084), halangan nikah karena ikatan perkawinan (1085), dan halangan nikah beda agama (kan. 1086).
5.      Perceraian: UU perkawinan sipil mengenal istilah perceraian. Topik mengenai perceraian akan dibahas secara khusus pada bagian berikut. KHK tidak mengenal adanya istilah perceraian. KHK mengenal istilah anulasi/pembatalan perkawinan. Anulasi perkawinan hanya dimungkinkan bila sebelum perkawinan disahkan (=diteguhkan), ada beberapa hal yang membuat perkawinan menjadi tidak sah, misalnya karena pasangan suami dan isteri masih berhubungan darah, dan di antara keduanya, salah satu pasangan mengalami gangguan psikis. Konsekuensi lebih lanjut dari tidak diakuinya perceraian di dalam KHK adalah bahwa perceraian yang dilakukan di hadapan sidang pengadilan sipil, oleh Gereja hanya dianggap sebagai perpisahan biasa, tanpa ikatan berkawinan sebelumnya diputuskan. Perpisahan ini tidak membuat pihak-pihak yang bercerai secara sipil mendapatkan pelayanan sakramental oleh Gereja. Pelayanan sakramental dihentikan Gereja, jika masing-masing pasangan menikah lagi (tentu tidak secara Katolik).
 
Bagian V: Tanggapan dan Catatan Kritis

Menurut kami, UU Perkawinan ini mengijinkan perceraian dengan alasan yang terlalu lunak. Seolah-olah perkawinan dapat diputuskan dengan alasan-alasan yang merugikan satu pihak dan menguntungkan pihak lain. Padahal perkawinan merupakan perwujudan komitmen antara dua orang pria dan wanita untuk membentuk suatu rumah tangga seumur hidup. Seharusnya perkawinan ini dapat dipertahankan seumur hidup. Suami-isteri cenderung memilih perceraian ketika masalah menimpa keluarga mereka. Mereka selalu berkata: jika sudah tidak ada kecocokan lagi, untuk apa dipertahankan. Perceraian merupakan jalan terbaik bagi mereka. Padahal pasangan bisa memilih cara untuk mencari solusi permasalahan yang terjadi dalam rumah tangga. Perceraian menurut kami, merupakan suatu keputusan yang egois dari kedua belah pihak yang hanya mementingkan diri sendiri daripada kepentingan bersama sebagai keluarga. Perceraian tidak menyelesaikan masalah, malah menambah masalah. Untuk itu, diperlukan kerja sama dari semua pihak, pemerintah, keluarga, dan masyarakat lain untuk menjaga keutuhan perkawinan. Pasangan suami-isteri harus diberi pengertian tentang makna perkawinan sebelum mereka melangsungkan perkawinan.