Wednesday, May 18, 2011

ABU NASR MUHAMMAD bin MUHAMMAD bin USLAGH bin TURKHAN AL-FARABI (259-339 H/827-950 M)



A. Pengantar
Tidak ada sesuatu pun berkembang tanpa bantuan orang atau kelompok lain. Demikian juga terjadi dalam suatu kebudayaan atau peradaban. Jika kebudayaan atau peradaban ini ingin maju, maka salah satu cara yang terbaik adalah berhubungan dengan kelompok yang ada di luar dirinya. Hal ini nampak jelas dalam masyarakat Jepang. Seandainya masyarakat Jepang tetap menutup diri tarhadap dunia luar maka kemungkinan besar Jepang tidak akan maju seperti sekarang ini.

Hal yang sama juga dialami oleh umat Islam. Para tokoh modernis Islam menyadari bahwa Islam tidak akan maju kalau Islam tidak menerima, meminjam, menyerap, dan mengambil alih unsur-unsur positif dari kebudayaan lain dan memasukanya kedalam kebudayaanya sendiri. Berkat kesadaran ini maka sejak awal pertumbuhannya peradaban Islam tidak mengalami kesulitan untuk membangun hubungan antara dunia Arab-Islam dengan dunia sekitarnya. Bahkan Al-Quran mendorong umat Islam generasi awal untuk menimba, mengambilalih dan memanfaatkan khazanah intelektual budaya dan peradaban yang mendahuluinya.

Usaha pertama yang dilakukan oleh para intelektual Islam adalah menerjemahkan khazanah intelektual Yunani kuno kemudian diserap kedalam khazanah intelektual Islam. Pada awalnya proses penyerapan ini mendapat banyak tantangan dari tokoh-tokoh konservatif yang tidak menginginkan supaya Islam menyerap kebudayaan lain karena dianggap tidak sesuai dengan nilai-nilai islami. Salah seorang filsuf Islam yang sangat berpengaruh dalam perkembangan filsafat Islam adalah Al-Farabi. Disini penulis akan menguraikan tentang siapa itu Al-Farabi, pemikiran dan pengaruhnya bagi perkembangan filsafat Islam.
 
Dalam uraian ini akan diperdalam pemikiran Al-Farabi tentang Negara Utama  atau Kota Utama. Dalam kota utama ini Al-Farabi menguraikan bagaimana interaksi antara manusia yang membentuk perkumpulan atau kelompok yang didalamnya bertujuan untuk bekerjasama dalam mendapatkan kebahagiaan yang sesungguhnya.

B. Bibliografi Singkat dan Karya-Karya Al-Farabi
Al-Farabi (259-339 H/ 872-950 M) lahir di desa Wasij, selatan Samarkant-Asia tengah. Ayahnya adalah seorang opsir tentara keturunan Persia. Kemudian ia Hijrah bersama kedua orang tuanya ke Baghdad. Di sana ia mencapai kematangan yang maksimal dalam ilmu pengetahuanya. Al-Farabi meninggalkan Baghdad untuk selamanya setelah Jenderal Tuzun dari Dialam membunuh Khalifah Muttaqi pada tahun 940. Ia mendapat gelar kehormatan sebagai guru yang kedua dimana guru yang pertama dialamatkan kepada Aristoteles. Hal ini terjadi karena ia adalah tokoh yang paling terkemuka dalam bidang logika dan lainya.

Karya-karya Al-Farabi antara lain: Kitab Ara Ahl al-Madinah al-Fadilah(tentang pandangan-pandangan penduduk Kota Utama) Kitab Ihsa al-Ulum(tentang perincian pengetahuan) Risalah fi al-Aql (tentang akal) Risalah fi Isbat al-Mufariqat (tentang wujud-wujud rohaniah) Tahsil as-Sa adah (tentang upaya  mewujudkan kebahagiaan), Mah`il Falsaffiyah wa Ajwibah `anha(tentang masalah-masalah filsafat dan jawabanya) al-Ibanah `an Gard Aristutalis (tentang pemikiran Aristoteles) dan kitab at-Taufiq bain Aflatun wa Aristu au al-Jam bain Ra`yai al-Hakimain (tentang persesuaian pendapat Plato dengan Aristoteles).[1]

C. Pemikiran Al-Farabi[1]

a. Tuhan dan Sifat-sifat-Nya.
Al-Farabi dalam menguraikan tentang pandangan politiknya, menyatakan bahwa upaya pertama yang dilakukan oleh manusia adalah  mengetahuinya adanya pencipta bagi alam dengan  segala bagianya melalui pengamatan, kemudian mempertanyakan apakah masing-masing bagian dari wujud ini mempunyai sebab atau bukan. Melalui proses pengamatan ini orang akan tahu bahwa ada sebab bagi tiap sesuatu. Hendaknya orang mempertanyakan apakah sebab-sebab itu berlanjut tanpa akhir atau atau sebaliknya. Menurut Al-Farabi, adalah mustahil bahwa sebab-sebab itu berlanjut tanpa akhir karena apa yang tak berakhir tidak bisa diketahui. Jadi sebab itu ada akhirnya. Sebab yang paling akhir dari sebab-sebab itu adalah Tuhan Yang Maha Esa.

Untuk mengetahui Tuhan Yang Maha Esa ini adalah mengamati fenomena yang ada di sekitar kita. Maka kita akan menemui dua kenyataan yakni yang utama dan yang hina. Maka yang paling pantas untuk Tuhan Yang Maha Esa adalah sifat yang paling utama. Tuhan Yang Maha Esa menurut Al-Farabi, Maha sempurna, bersih dari segala macam kekurangan, dan suci dari sebab-sebab, seperti sebab materi, sebab bentuk, sebab pelaku, dan sebab tujuan. Ia bukan materi dan karena itu pada hakikatnya ia adalah akal aktual. Ia memikirkan diri-Nya, maka ia adalah akal, aktivitas memikir dan yang dipikirkan secara aktual. Ia adalah pengatur sekalian alam.
 
b. Penciptaan Alam Secara Emanasi
Menurut Al-Farabi, alam diciptakan oleh Tuhan secara emanasi. Maksudnya bahwa hanya Tuhan saja yang ada dengan sendiri-Nya, tanpa sebab dari luar diri-Nya, oleh karena itu Ia disebut yang harus ada karena diri-Nya sendiri. Dari-Nya memancar segenap alam ciptaanNya baik yang bersifat rohani maupun yang bersifat jasmani. Segenap alam ada karena dipancarkan oleh Tuhan. Emanasi alam dari Tuhan terjadi sebagai akibat aktivitas Tuhan memikirkan diriNya. Hal itu menjadi sebab bagi pemancaran segenap alam ciptaanNya.

Al-Farabi juga memahami alam semesta yang bersifat fisik terdiri atas 10 lapis dengan satu bumi sebagai pusat dan sembilan langit. Dengan mengembangkan teori emanasi Plotinus, Al-Farabi menghasilkan teori emanasi sebagai berikut: Tuhan (wujud I) karena memikirkan diriNya memancarkan akal I (wujud II). Akal I karena memikirkan Tuhan memancarkan akal II (wujud III), karena memikirkan dirinya sendiri  memancarkan lingkaran langit pertama. Akal II karena memikirkan Tuhan memancarkan akal III (wujud IV) karena memikirkan dirinya sendiri memancarkan lingkaran langit kedua yang penuh dengan bintang-bintang tetap. Akal III karena memikirkan Tuhan memancarkan akal IV (wujud V) karena memikirkan dirinya sendiri memancarkan lingkaran langit ketiga tempat beradanya bola Saturnus. Akal IV karena memikirkan Tuhan, memancarkan akal V (wujud VI) karena memikirkan dirinya sendiri memancarkan langit keempat tempat beradanya bola Jupiter. Akal V memikirkan Tuhan memancarkan akal VI  (wujud VII) memikirkan dirinya memancarkan langit kelima  tempat beradanya bola Mars. Akal VI karena memikirkan Tuhan memancarkan akal VII (wujud VIII) karena memikirkan dirinya memancarkan langit keenam  tempat beradanya bola Matahari. Akal VII karena memikirkan Tuhan memancarkan akal VIII (wujud IX) karena memikirkan dirinya memancarkan langit ketujuh tempat beradanya bola Venus. Akal VIII memikirkan Tuhan memancarkan akal IX karena memikirkan dirinya sendiri memancarkan langit kedelapan tempat beradanya bola Merkuri. Akal IX karena memikirkan Tuhan memancarkan akal X dan karena memikirkan dirinya sendiri memancarkan langit kesembilan tempat beradanya bola Bulan. Akal X karena memikirkan Tuhan dan dirinya hanya memancarkan bumi dan jiwa-jiwa yang berada di lingkungan bumi. Akal I sampai X disebut oleh Al-Farabi sebagai sesuatu yang terpisah dari materi atau rohani yang pada hakikatnya adalah akal-akal dan objek-objek pemikiran.

C. Filsafat Jiwa Manusia
 
Al-Farabi membuat sintesa antara pandangan Plato dan Aristoteles tentang jiwa manusia. Mengikuti pandangan Aristoteles, Al-Farabi mengatakan bahwa jiwa manusia adalah bentuk bagi tubuhnya. Tidak hanya itu, kemudian ia mengikuti Plato ia mengatakan bahwa jiwa manusia adalah substansi imateri yang tidak hancur dengan hancurnya badan. Namun Al-Farabi tidak mengakui pra-eksistensi jiwa manusia. Ia melihat bahwa jiwa manusia dipancarkan oleh akal X dimana suatu tubuh sudah siap untuk menerimanya. Ia juga menolak reinkarnasi jiwa. 

Jiwa manusia juga memiliki potensi, dimana yang pertama yang mengaktual dalam jiwa manusia adalah potensi makan kemudian mengindera. Selanjutnya mengaktualisasi potensi berpikir yang memungkinkan manusia untuk berpikir dan menangkap apa-apa yang ditangkap oleh akal untuk membedakan segala sesuatu.

a.D. Filsafat Kenabian
Al-Farabi selalu berusaha untuk melawan pandangan yang meniadakan kenabian. Ia seorang rasionalis yang tidak mengingkari adanya wahyu Tuhan. Menurut Al-Farabi, kenabian adalah sesuatu yang diperoleh manusia utama yang disebut nabi. Jiwa para nabi telah berada dalam  siap menerima ajaran-ajaran yang diwahyukan Tuhan melalui akal aktif. Pendapat lain yang dikemukakan oleh Al-Farabi tentang adanya nabi dan rasul adalah kenyataan bahwa pada akal dan potensi-potensi jiwa manusia, terdapat perbedaan keunggulan aktualitas. Dengan demikian tidak mustahil bahwa diantara umat manusia terdapat seorang yang hatinya mampu menerima wahyu. 

Nabi memiliki jiwa dengan daya yang kudus atau suci sehingga tunduk daya alam makro dan mikro. Dengan jiwa yang kudus itu jiwa nabi dapat melakukan mukjisat. Dengan mengajukan teori nabi dan filsuf yang sama-sama berkomunikasi dengan akal yang aktif, dapat dipahami bahwa Al-Farabi menunjukkan sumber ajaran agama yang dibawa oleh nabi dan sumber filsafat yang dihasilkan oleh filsuf adalah sama. Karena itu kebenaran keduanya, pasti tidak bertentangan. 

b.E. Akhlak, Politik, dan Hidup Sesudah Mati  
       Pandangan  Al-Farabi tentang akhlak dan politik tidak dapat dilepaskan dari teorinya tentang jiwa manusia. Pembangunan akhlak dan politik bertujuan terwujudnya jiwa-jiwa yang utama, yang berbahagia baik dalam kehidupan sekarang maupun yang akan datang yang menjadi tujuan hidup tertinggi dari manusia. Selain itu perhatian Al-Farabi juga berpusat pada masyarakat kota. Ia membedakan kota utama dengan kota-kota yang tidak utama seperti kota bodoh, kota durhaka, dan kota sesat. Kemudian Al-Farabi mengaitkan pandangannya ini dengan keadaan jiwa manusia.  

Al-Farabi juga seperti Aristoteles memandang keutamaan itu berada pada posisi tengah. Yakni antara posisi ekstrem yang terlalu berlebihan dan terlalu kurang. Ada empat aspek keutamaan yang harus dimiliki orang jika ia memang menginginkan kebahagiaan sejati yakni: keutamaan-keutamaan hasil pemikiran teoretis, praktis, sikap mental, dan perbuatan. 

Dalam pandangan politiknya, Al-Farabi menjelaskan bahwa manusia adalah makhluk sosial. Manusia butuh hidup bermasyarakat dan perlu bekerjasama saling membantu untuk mencapai tujuan hidup, yakni kebahagiaan.

Mengenai hidup manusia sesudah mati, Al-Farabi berpendapat bahwa kehidupan manusia di akhirat bersifat rohaniah, tanpa jasmani. Manusia pada hakikatnya jiwanya bukan tubuhnya. Dan yang pantas disebut jiwa manusia adalah jiwa yang memiliki akal praktis dan teoretis secara aktual. Bila jiwa belum memiliki keduanya, maka sama dengan jiwa binatang.

Kualitas jiwa manusia berbeda-beda berdasarkan prinsip keadilanya, kebahagiaan atau kesengsaraan yang dialami jiwa manusia itu sesuai dengan kualitas kesucian dan keutamaan jiwa manusia. Jiwa kekal yang berada di dalam kebahagiaan adalah jiwa penduduk kota utama, dan itulah jiwa utama, yang mengetahui kebenaran, keutamaan dan kebahagiaan sejati. Adapun jiwa yang kekal dalam kesengsaraan di akhirat adalah jiwa yang durhaka yang berpaling dari keutamaan.   
D. Negara Utama
Negara utama kata Al-Farabi tidak ubahnya dengan susunan tubuh manusia yang sehat dan lagi sempurna. Masing-masing anggota berusaha dan bekerjasama untuk menyempurnakan dan memenuhi segala kebutuhan hidup bersama. Sebagaimana halnya tubuh manusia yang mempunyai anggota-anggota yang masing-masing berbeda-beda tugas dan kesanggupanya, dan di atas semuanya itu ada satu anggota yang merupakan kepala dari seluruhnya yaitu jantung. Maka begitu juga halnya negara. Masing-masing rakyatnya mempunyai tugas dan kepandaian yang berbeda-beda yang diperintah oleh seorang kepala negara atau penguasa.  [1]

Penguasa tertinggi ini benar-benar memiliki berbagai ilmu dan setiap jenis pengetahuan. Ia mampu mengetahui segala macam yang dilakukanya. Ia mampu membimbing dengan baik sehingga orang melakukan apa yang diperintahkanya. Ia mampu memanfaatkan orang-orang yang memiliki kemampuan. Ia mampu menentukan, mendefinisikan, dan mengarahkan tindakan-tindakan ini ke arah kebahagiaan. Hal ini hanya terdapat pada orang yang memiliki kecenderungan alami yang besar lagi unggul, bila jiwanya bersatu dengan akal aktif. Orang seperti ini adalah pangerang sejati. Dialah orang yang dikatakan menerima wahyu. Pemerintahan orang seperti ini adalah pemerintahan tertinggi; pemerintahan yang lainya berkedudukan dibawahnya dan berasal darinya.

Dengan demikian pengusasa tertinggi adalah nabi atau imam pemberi hukum. Mereka menggariskan pendapat dan tindakan untuk komunitasnya melalui wahyu dari Tuhan. Dengan kata lain orang-orang seperti ini adalah orang-orang yang selain sempurna fisik, mental dan jiwanya-memiliki keahlian yang sempurna dalam kearifan teoritis dan praktis yakni keahlian memerintah dan politik.[2]
 
Dalam karya-karya politiknya, Al-Farabi memaparkan bahwa susunan berbagai asosiasi(politik) manusia baik dalam ukuran yang berbeda, maupun diantara bagian-bagian yang sama di satu pihak benar-benar menyerupai susunan individu-individu manusia dan di lain pihak menyerupai susunan segala alam semesta, mulai dari benda-benda samawi sampai ke benda-benda material. Semua hubungan ini mengarah pada suatu hubungan yang tertinggi yakni hubungan kerjasama antara anggota masing-masing asosiasi yang berbeda ukurannya itu. Dalam kerjasama itu setiap bagian melaksanakan  fungsinya sendiri yang khas, yang berhubungan dengan dan melengkapi serta saling bergantung pada fungsi-fungsi bagian-bagian atau anggota-anggota yang lain. Dan anggota-anggota asosiasi yang lebih kecil berhubungan dengan dan melengkapi serta saling bergantung pada asosiasi yang lebih besar. Dengan demikian kebutuhan setiap bagian saling dipenuhi oleh satu sama lain karena tidak mampu memenuhi kebutuhanya sendiri. 

Setiap kebutuhan memenuhi satu kebutuhan yang khas, dan untuk memenuhi kebutuhan yang khas itulah bagian itu dibentuk. Dan yang memenuhi kebutuhan-kebutuhan yang lain adalah bagian-bagian yang lain. Melalui kegiatan saling melengkapi dan saling menopang ini, maka pada giliranya akan dibawa kepada pencapaian kebahagiaan.

Menurut  Al-Farabi peringkat kepemimpinan pada setiap asosiasi itu dibutuhkan untuk menjalankan dan mengoordinasikan kerjasama. Tidak setiap orang mempunyai kapasitas yang sama untuk memimpin. Dan tidak setiap fungsi atau keahlian yang ditampilkan oleh satu bagian dari asosiasi mempunyai nilai yang sama dengan keseluruhanya dan juga tingkat kecanggihan yang sama. Dengan demikian hubungan antara bagian tidak saja bersifat horisontal atau pararel tetapi juga vertikal dan hierarkis. Semakin tinggi suatu bagian dalam struktur hierarkisnya semakin tinggi pula posisi otoritas yang dipegangnya. Disamping itu ia juga mampu melaksanakan fungsinya karena bagian itu memikul tanggung jawab yang besar.

Apakah pemerintahan seperti ini mungkin?
Bagi Al-Farabi, pemerintahan seperti ini ada. Hal ini terjadi karena orang-orang yang diperintah oleh pemerintahan penguasa seperti ini adalah orang-orang yang utama, baik dan bahagia, seakan-akan para warga itu sendiri berpotensi untuk menjadi penguasa-pengusa utama. Namun, jika tidak ada pengganti setelah penguasa utama yang memenuhi persyaratan seperti ini perlu diterapkan hukum-hukum yang digariskan oleh penguasa-penguasa sebelumnya, menuliskannya, melestarikanya, dan memerintah kota berdasarkan hukum-hukumnya, akan menjadi pangerang berdasarkan hukum(Sunnah). Hal ini berdasarkan pemikiran bahwa pemimpin utama di sebuah kota utama mengandung konotasi yang sama.
 
Ada juga kemungkinan sekelompok orang yang secara bersama-sama memperlihatkan kemampuan mereka untuk memenuhi persyaratan menjadi penguasa utama, atau mungkin seorang yang berada di bawah tingkatan kedua dari segi kualitas yang mengetahui hukum-hukum yang telah digariskan oleh penguasa-penguasa yang lalu asalkan ia sendiri bajik dan memiliki pandangan-pandangan yang sehat sehingga dapat menafsirkan dan menerapkan hukum dalam situasi yang baru, juga memiliki kemampuan persuasif.

Namun seringkali sulit menemukan semua persyaratan ini ada pada satu orang, karena orang seperti ini hanya ada pada satu masa tertentu saja, maka harus ada aturan yang lebih lunak. Yakni seseorang yang memenuhi sebagian besar persyaratan ini dapat menjadi penguasa terbaik kedua. Jika tidak ada juga seorang yang menjadi penguasa terbaik kedua, maka sekelompok orang yang secara bersama-sama memenuhi semua persyaratan dapat menjadi penguasa. Dan kalau ini tidak ada juga maka satu orang atau dua orang filosof atau lebih yang mampu mengikuti, menafsirkan, mengembangkan, dan menerapkan hukum dan adat yang telah dimapankan oleh penguasa utama sebelumnya sesuai dengan situasi yang baru.

Bagaimana cara kerja kota utama ?
Al-Farabi menyatakan bahwa pertama-tama penduduknya dibagi menjadi kelompok-kelompok berdasarkan kelebihan-kelebihan mereka yaitu; berdasarkan kecenderungan-kecenderungan alamiah mereka dan berdasarkan kebiasaan-kebiasaan karakter yang telah mereka bentuk yakni masing-masing diberi kedudukan sebagai yang diperintah atau yang memerintah. Yang dimulai dengan peringkat penguasa yang tertinggi. Kemudian secara berangsur-angsur turun, sampai kepada peringkat yang diperintah, yang tidak memiliki elemen memerintah dan dibawah peringkat ini tidak ada lagi peringkat. Dengan demikian bagian-bagian kota akan saling berkaitan dan serasi serta diperintah dengan cara akan lebih mengutamakan sebagian atas sebagian yang lain. Dengan cara inilah kota utama sama dengan makhluk alamiah. Pangeran kota ini akan seperti sebab utama yakni Allah yang menjadi sebab bagi adanya makhluk-makhluk atau wujud-wujud lain.

Bagaimana mencapai kebahagiaan di dalam kota utama ini?
Bagi Al-Farabi kebahagiaan akan dapat dicapai hanya melalui lenyapnya keburukan-keburukan tidak hanya keburukan yang timbul secara sukarela tetapi juga keburukan yang muncul secara alamiah dari kota-kota dan bangsa-bangsa dan bila keduanya berhasil memperoleh kebaikan-kebaikan, baik kebaikan yang terjadi secara alamiah maupun kebaikan yang terjadi berkat karsa.

Selain kota utama, Al-Farabi juga menguraikan kota-kota lain yang bukan atau berlawanan dengan kota utama yakni: kota jahiliah (al-madinah al-jahiliyyah) yakni kota yang warganya tidak tahu tentang kebahagiaan yang sebenarnya. Pikiran tentang hal ini memang tidak pernah terlintas di benak mereka. Bahkan jika mereka diarahkan secara benar kepadanya mereka tetap tidak memahaminya atau tetap tidak percaya kepadanya. Hal-hal yang mereka kenali adalah hal-hal secara superfisial dianggap sebagai baik diantara apa yang dianggap sebagai tujuan-tujuan hidup seperti kesehatan tubuh, kemakmuran, menikmati kesenangan-kesenangan, kebebasan untuk memenuhi nafsu-nafsu dan lain-lain. Menurut pandangan para warga “kota jahiliah” masing-masing hal itu adalah jenis kebahagiaan dan jenis kebahagiaan yang terbesar adalah jumlah total dari semuanya itu.

Al-Farabi membagi “kota jahiliah” menjadi enam yaitu:
Pertama “kota kebutuhan dasar”. Di dalamnya para warga bekerjasama untuk menghasilkan kebutuhan dasar bagi kelangsungan hidup dan kesehatan badan, seperti makanan, minuman, pakaian, perumahan dan hubungan seksual. Kedua “kota jahat”. Di dalamnya para warga bekerjasama untuk meraih kekayaan dan kemakmuran secara berlebih-lebihan dan di sisi lain tidak mau membelanjakanya kecuali untuk kebutuhan-kebutuhan badani. Ketiga “kota rendah”. Di dalamnya para warga memburu kesenangan, dan hanya kesenangan belaka. Sebagai konsekuensinya, para warga kota ini mementingkan hiburan dan hura-hura. Keempat “kota kehormatan”(timokratik). Tujuan para warga kota ini adalah meraih kehormatan, pujian, dan kesenangan di antara bangsa-bangsa untuk diistemewakan dan diperlakukan dengan penuh penghargaan, melalui kata-kata dan maupun perbuatan dan untuk meraih kemuliaan serta keagungan. Kelima “kota despotik” di dalamnya warga bekerjasama dengan satu tujuan: berkuasa atas orang lain dan mencegah agar orang lain tak berkuasa atasnya. Keenam “kota demokratik”. Adalah kota yang tujuan penduduknya adalah kebebasan, dimana setiap penduduk melakukan apa yang dikehendakinya tanpa sedikitpun dikekang kehendaknya.
“kota fasiq”(al-madinah al-fasiqah) “kota yang berubah” (al-madinah al-mubaddilah) dan “kota sesat” (al-madinah al-dhalalah).[3]

Dengan demikian bagi Al-Farabi negara lahir atas persetujuan bersama dari penduduk suatu masyarakat kota yang saling bertukaran di dalam kebutuhan hidupnya. Jika kita menelusuri asal-usul dari konsep Al-Farabi tentang negara ini, maka kita akan menemukan kemiripanya dengan apa yang dikemukakan oleh Plato dalam bukunya Politeia yang menggambarkan tentang negara yang adil.[4]
 
Negara yang adil ini ditemukan dalam struktur yang ada di dalam negara dalam mengatur invidunya. Kemudian Plato menguraikan tentang invidu yang adil. Bagi Plato seperti halnya yang dikemukakan oleh Al-Farabi, Plato melihat bahwa individu yang adil adalah seorang pribadi dimana kekuatan akal budinya, keberanian, kehendak dan pengendalian diri dari nafsu-nafsunya berada dalam porsinya masing-masing yang seimbang sehingga ada dalam harmoni. Orang seperti ini tidak akan mengutamakan akal budi lebih dari nafsu-nafsu atau sebaliknya.[5]   Orang seperti ini yang kita sebut sebagai pribadi yang ideal yang mampu memimpin masyarakat.

Tanggapan Kritis
Apakah ada persoalan mengenai ide Al-Farabi tentang Negara Utama?
Jika kita melihat uraian di atas, maka penulis berpendapat bahwa Al-Farabi secara normatif diinginkan namun secara empiris patut dicurigai. Maksudnya kita memang mengidealkan ada negara seperti itu dan ada individu seperti itu. Tapi kalau secara empiris dipraktekan dalam kehidupan masyarakat modern.

Bahwa jika ada pemimpin yang memaksakan idenya kepada masyarakat. Setiap keputusan atau kebijakan hanya diturunkan dari atas. Konsep tentang kebaikan itu hanya lahir dari apa yang diinginkan oleh sang pemimpin. Misalnya pemimpin yang berkuasa ini ingin membentuk suatu “kepribadian bangsa” tertentu. Persoalanya bukan kepribadian bangsa itu kurang bagus, namun cara untuk mencapainya itu yang menjadi persoalan. Yakni bahwa cara berpikir tertentu dari pemimpin itu kemudian dicetakan atau diterapkan kepada masyarakat.

Dalam situasi kemajemukan, hal ini merupakan sebuah paksaan yang luar biasa kalau orientasi nilai-nilai dari suatu kelas kemudian dijadikan orientasi nilai seluruh masyarakat.

Al-Farabi juga tidak sungguh-sungguh membedakan sektor negara dan sektor masyarakat. Bagi Al-Farabi, yang politis adalah yang sosial. Ini merupakan hal yang satu dan sama. Karena seluruh masyarakat mau diorganisasikan kedalam negara utama.

Yang kurang juga pada negara utama Al-Farabi adalah tidak ada mekanisme umpan balik dari yang dipimpin. Rakyat tidak memiliki kesempatan  untuk menentukan pemimpin yang ideal bagi mereka. Hal ini terjadi karena pemimpin langsung berhadapan dengan Yang Ilahi. Jadi konsep pemimpin dan negara menjadi sakral.

Terimakasih Kepada Sdr. Ignas Bria Nahak atas tulisan ini.

Daftar Pustaka
Ahmad, Abidin, Zainal, H 1968, Negara Utama, Jakarta: PT Kinta.

Ahmad, Jamil 1987, Seratus Muslim Terkemuka, Jakarta: Pustaka Firdaus.

Ensiklopedi Tematis Dunia Islam 2002, Pemikiran dan Peradaban Vol. IV, Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeven.

Hardiman, F, Budi 2003, Diktat  Filsafat Politik, Jakarta: STF Driyarkara.
Yamani, 2003 Filsafat Politik Islam, Bandung: Mizan.


[1] H. Zainal Abidin Ahmad, Negara utama. hal 43
[2] Yamani Filsafat Politik Islam hal. 62
[3] Op. cit, hal.68-70
[4] Ibid hal. 51
[5] F. Budi Hardiman Diktat kuliah Filsafat Politik. STF Dryarkara hal. 12

[1] Jamil Ahmad Seratus Muslim Terkemuka, hal. 312

Wednesday, May 4, 2011

Reglemen Acara Perdata/Buku Pertama/Bab II/Bagian 6


REGLEMEN ACARA PERDATA (Reglement op de Rechtsvordering.)
(S. 1847-52 jo. 1849-63.)
BUKU PERTAMA : TATA CARA BERPERKARA DI RAAD VAN JUSTITIE DAN HOOGGERECHTSHOF
BAB II TATA CARA BERPEKARA DI RAAD VAN JUSTITIE DAN HOOGERECHTSHOF DALAM TINGKAT PERTAMA

Bagian 6. Pemeriksaan Saksi-saksi.

Pasal 171.
Jika para pihak tidak mendapat kesepakatan tentang kejadian-kejadiannya, dan oleh undang-undang diperbolehkan dibuktikan dengan saksi-saksi, dan kejadian-kejadian itu akan dapat membawa ke arah penyelesaian perkaranya, maka atas permintaan pihak-pihak yang bersangkutan hakim dapat memerintahkan dilakukannya pemeriksaan saksi. (IR. 121, 139; RBg. 145, 165.) Dalam keadaan seperti di atas, maka ia karena jabatan dapat memerintahkannya bila dianggapnya berguna atau perlu untuk memutuskan perkara itu. (Rv. 953.) Pemeriksaan saksi, jika menuju ke arah penyelesaian perkara, selalu diperbolehkan tanpa kecuali bila dikehendaki oleh orang Indonesia atau yang diperan dengan mereka, yang mengingat perkara dalam sengketa tidak sesuai dengan ketentuan hukum, atau yang tidak menyatakan tunduk kepada hukum yang berlaku untuk golongan Eropa. (IR. 168; AB. 1 1 dst.; Rv. 953 .) Bukti lawan menurut hukum selalu diperbolehkan. (KUHPerd. 1866, 1895 dst.; Rv. 48, 173, 241 dst., 332, 349, 393.)

Pasal 172.
(s.d.u. dg. S. 1908-522.) surat keputusan yang di dalamnya termuat perintah pemeriksaan saksi harus menyebutkan perbuatan-perbuatan yang harus dibuktikan. Dalam perkara-perkara mengenai hak menguasai (bezit) yang tidak mengakui hak itu atau terhadapnya, tidak boleh menyebutkan perbuatan-perbuatan yang mengenai hak milik atas benda yang bersangkutan (petitoir) itm, Dalam putusan itu hakim memerintahkan, bahwa pemeriksaan saksi akan dilakukan di dalam persidangan, atau atas permintaan para pihak atau karena alasanalasan yang penting yang disebut dalam putusan itu, di hadapan seorang hakim komisaris yang diangkat olehnya sepanjang ia tidak menggunakan hak yang diberikan kepadanya dalam pasal 173 (Rv. 293a.)
Begitu pula bila telah terjadi putusan, seperti yang dimaksudkan dalam dua alinea terdahulu, hakim dapat menggunakan wewenangnya seperti yang disebutkan dalam pasal berikutnya, yaitu untuk mengubah putusan itu, baik karena jabatan, maupun atas permohonan kedua belah pihak atau salah satu pihak.

Pasal 173.
(s.d. u. dg, S. 1908-522.) Jika para saksi bertempat tinggal dalam wilayah hukum raad van justitie tetapi di luar karesidenan/afdeling tempat kedudukan raad van justitie, maka pemeriksaan dapat diserahkan kepada hakim karesidenan di tempat tinggal para saksi. (Rv. 896.)
Jika para saksi bertempat tinggal di luar wilayah hukum raad van justitie maka pemeriksa dapat diserahkan kepada raad van justitie atau Residentierechter di tempat tinggal para saksi. Raad van justitie yang diminta bantuannya dapat melakukannya sendiri atau menyerahkannya kepada hakim komisaris atau dalam keadaan seperti tersebut dalam alinea yang lalu kepada Residentierechter. (Rv. 896.)
Jika para saksi bertempat tinggal di luar Indonesia, maka hakim dapat meminta kepada seorang pejabat di negara tempat tinggal saksi itu untuk memeriksanya atau menyerahkan pemeriksaan itu kepada seorang pejabat konsuler di tempat tinggal para saksi. Berita acara itu mempunyai kekuatan yang sama dengan berita acara yang dibuat oleh hakim Indonesia. (Rv. 896.) . Jika saksi karena sakit atau karena halangan yang sah tidak datang menghadap, maka hakim dapat memerintahkan kepada seorang hakim komisaris, jika seya tidak ada perintah majeus untuk pemeriksaan saksi-saksi seluruhnya, dan hakim komisaris mendatangi saksi untuk mendengar kesaksiannya. (Rv. 896.)
Dalam semua hal tersebut di atas, maka hakim juga menentukan jangka waktu yang harus diperhatikan dalam memberitahukan pihak lawan mengenai hari jam serta tempat pemeriksaan dilakukan dan juga menentukan hari perkara itu mendapat giliran di sidang pengadilan.

Pasal 174.
(s.d. u. dg. S. 1908-522.) Jika pemeriksaan saksi dilakukan di dalam sidang pengadilan, maka dalam putusan disebutkan hari dan jam saksi-saksi tersebut didengar.
Pemeriksaan mengenai bukti lawan dilakukan pada hari dan jam yang juga ditentukan dalam putusan atau segera ditentukan setelah mendengar keterangan saksi sebagai pembuktian.
Jika salah satu pihak mohon perpanjangan tenggang waktu seperti dalam alinea pertama dan kedua, maka hal ini segera ditentukan tanpa ada kemungkinan upaya hukum lain.
Selanjutnya untuk mendengar keterangan saksi di sidang, harus diperhatikan aturan-aturan seperti yang dimaksudkan dalam pasal-pasal yang berikut ini.

Pasal 175.
(s.d.u. dg. S. 1908-522.) Saksi-saksi dipanggil dengan bertemu dengan mereka sendiri atau di tempat tinggalnya sedikitnya tiga hari sebelum hari pemeriksaan. Tenggang waktu ini ditambah dengan satu hari untuk tiap-tiap jarak lima belas pal. (Rv. 9530.) surat panggilan memuat putusan, tempat, hari dan jam diadakan pemeiiksaan serta mengenai hal-hal yang harus dibuktikan. (Rv. 8, 15, 96, 176, 188, 204, 896.)

Pasal 176.
Nama-nama serta tempat tinggal saksi-saksi selambat-lambatnya delapan hari sebelum hari pemeriksaan oleh Para pihak diberitahukan kepada pengacara pihak lawan. (Rv. 96, 106 188, 200,)

Pasal 177.
Hakim menanyakan kepada saksi tentang naina nama depan, pekerjaan umur serta tempat tinggalnya, juga mengenai apakah ia mempunyai hubungan keluarga dengan para pihak karena keturunan atau karena perkawinan dan bila ada dalam derajat ke berapa dan juga apakah iamerupakan buruh atau pembantu rumah tangga salah satu pihak. Setelah itu mereka masing-masing akan bersumpah atau berjanji menurut agama masing-masing, bahwa mereka akan memberikan keterangan yang sebenar-benamya dan tidak lain dari yang sebenamya. (ISR. 173; KUHPerd. 290 dst., 1909 dst.; Rv. 179, 188 dst. 204, 896,; Sv. 48, 139; IR. 144, 147 dst., 265; S. 1920-69.)

178.
Dicabut dengan S. 1925-525.

Pasal 179.
Kemudian masing-masing saksi secara sendiri-sendiri didengar keterangannya di dalam sidang pengadilan dengan atau tanpa hadimya para pihak lawan. Mereka tidak diperbolehkan membaca jawaban tertulis.
Para pihak tidak diperbolehkan memutus pembicaraan saksi, permohonan Para pihak, dan juga karena jabatannya dapat pertanyaan-pertanyaan yang dipandangnya perlu kepada saksi. (Rv. 204, 896).

Pasal 180.
(s.d.u. dg. S. 1908-522, S. 1925-525.) Jika seorang dipanggil dengan patut tidak datang menghadap atau jika memberi jawaban, maka pihak yang berkepentingan dapat memohon ke memberi kesempatan di lain waktu.

Pasal 181.
Jika saksi menuntut ganti rugi, maka besar ganti rugi itu akan direncanakan pada turunan surat panggilan yang bersangkutan dan tentang hal itu akan dicatat dalam berita acara. (Rv. 204, 896; S. 1851-27 pasal 53.)

Pasal 182.
Dalam hal Para saksi tidak dapat didengar dalam satu hari, maka hakim menundanya sampai hari dan jam lain dan baik terhadap para pihak ataupun saksi tidak diadakan panggilan baru. (Rv. 16, 204, 896.)

Pasal 183.
Pihak yang mengajukan lebih dari lima saksi mengenai satu perkara tidak dapat membebankan biaya selebihnya dari lima saksi.itu kepada pihak lawan. (Rv. 204, 958.)

Pasal 184.
(s.d.u. dg. S. 1917-497.) Saksi yang tidak datang menghadap walaupun sudah dipanggil dengan patut dihukum untuk mengganti biaya panggilan yang telah dilakukan dengan sia-sia, juga membayar kerugian dan bunga kepada Para pihak.
Ia dipanggil lagi atas biaya sendiri. (KUHPerd. 1909; Rv. 204, 896, 954; Sv. 51 dst.; 133 dst.; IR. 140, 260 dst., 263; RBg. 166.)

Pasal 185.
(s.d.u. dg. S. 1917-497.)Jika saksi-saksi yang telah dipanggil lagi untuk kedua kalinya belum juga datang menghadap, maka mereka dihukum kedua haknya untuk membayar biaya panggilan yang telah dikeluarkan dengan sia-sia dan juga membayar ganti rugi serta bunga kepada para pihak.
Hakim dapat memerintahkan agar saksi-saksi yang tidak datang dibawa oleh pejabat yang berkuasa ke hadapannya untuk memenuhi kewajibannya. (Rv. 204, 580-10-, 896, 956, 959; Sv. 51 dst., 133 dst.; IR. 141; RBg. 167.)

Pasal 186.
Jika saksi, yang datang berdasarkan panggilan pertama atau kedua atau setelah dihadapkan kepada hakim, tanpa alasan yang sah menolak untuk bersumpah atau berjanji atau memberikan kesaksiannya, maka hakim atas permohonan pihak yang berkepentingan dapat memerintahkan agar terhadap saksi tersebut atas biaya pihak yang mengajukannya dilakukan penyanderaan dan tetap disandera sampai ia bersedia memenuhi kewajibannya. (Rv. 204, 580- 1 O-, 896; Sv. 53, 136; IR. 148; RBg. 176.)

Pasal 187.
Jika saksi yang tidak datang menghadap dapat membuktikan bahwa ketidakdatangannya disebabkan karena alasan-alasan yang sah, maka hakim setelah mendengar keterangannya dapat membebaskannya dari segala kewajiban membayar uang telah dibebankan kepadanya. (Rv. 204, 896, 959; Sv. 52; IR. 142; RBg. 168.)

Pasal 188.
Di luar apa yang diatur dalam pasal 171 tentang pengucapan sumpah, kealpaan dalam melakukan formalitas seperti tersebut dalam pasal 172 dan berikutnya, hanya dapat membatalkan kesaksian itu, jika hal itu menimbulkan kerugian bagi pembelaan pihak lawan dan kealpaan itu tidak dapat diperbaiki atau tidak diperbaiki meskipun hal itu dapat dilakukan.
Perbaikan, bila ada alasan untuk itu, diperintahkan oleh hakim atas permohonan dan biaya pihak yang berkepentingan. (Rv. 92, 96, 204.)

Pasal 189.
(s.d. u. dg, S. 1908-522.) Tanpa pemberitahuan atau panggilan terlebih dahulu, hakim dapat menerima keterangan-keterangan para saksi yang diajukan oleh kedua pihak dan datang kepadanya atas kemauan sendiri. (Rv. 176, 179 dst.; IR. 122; RBg. 145.)

Pasal 190 s/d Pasal 196
Ditarik kembali dengan s. 1908-522.

Pasal 197.
Bila Pemeriksaan dilakukan di hadapan hakim komisaris, maka harus diikuti ketentuan berikut. (Rv. 38, 349.)

Pasal 198.
(s.d.u. dg. S. 1908-522.) Putusan, selain memuat mengenai kejadian-kejadian yang diperbolebkan atau diperintahkan pembuktiannyajuga memuat:
10. pengangicatan hakim komisaris,
20. jangka waldu untuk mengajukan permohonan kepada hakim komisaris tentang Perintah pemanggilan para saksi.
30 Jangka waktu dihitung mulai pada hari putusan diucapkan. (Rv. 15, 68.)

Pasal 199.
Dalam jangka waktu itu pihak yang diwajibkan mengajukan saksi harus mengajukan permohonan tertulis kepada hakim komisaris agar mendapat perintah pemanggilan untuk menghadap saksi-saksi pada hari, jam dan tempat yang ditentukan. Bila hal itu tidak dilakukan, maka tidak diperbolehkan membuktikan perkaranya dengan saksi-saksi. (Rv. 201, 206, 349.)

Pasal 200.
Pihak itu selanjutnya diwajibkan dengan ancaman batal sedikitnya delapan hari sebelum hari pemeriksaan saksi-saksi untuk memberitahukan perintah itu dengan perantaraan pengacaranya kepada pengacara pihak lawan dengan menyebutkan tentang nama dan tempat tinggal saksi-saksi yang akan mereka ajukan (Rv. 349.)

Pasal 201.
Jika Pihak lawan untuk kepentingan pembelaannya yang diperbolehkan menurut hukum juga ingin mengajukan saksi-saksi, maka ia dapat meminta untuk memanggil saksi-saksi itu untuk menghadap pada hari itu juga. Tetapi mereka boleh didengar bila nama dan tempat tinggal mereka tidak diberitahukan kepada pengacara pihak lain sedikitnya dua puluh empat jam sebelum diperiksa. (Rv. 171, 200, 206, 349.)

Pasal 202 dan Pasal 203.
Dicabut kembali dengan S. 1925-525.

Pasal 204.
(s.d.u. dg. S. 1908-522.) Ketentuan-ketenttian dalam pasal 175, 177, 179, 181 s/d. 188 dan 209 berlaku juga terhadap pemeriksaan saksi di hadapan hakim komisaris. (Rv. 349.)

Pasal 205.
Dicabut kembali dengan S. 1908-522.

Pasal 206.
Bila pihak lawan karena keterangan saksi, menganggap perlu untuk pembuktian lawan mengajukan saksi-saksi lain, maka ia untuk itu dalam berita acara pemeriksaan saksi tersebut mengajukan permohonan dan hakim komisaris memberikan kepadanya jangka waktu disertai ketentuan hari dan jam saksi-saksi akan didengar. Ia berkewajiban, dengan ancaman batal, selambat-lambatnya empat hari sebelum hari pemeriksaan saksi yang sudah ditentukan, untuk memberitahukan nama dan tempat tinggal saksi-saksi yang iaingin ajukan kepada pihak lainnya; tetapi kepada pihak itu tidak akan diadakan panggilan lagi. (Rv. 171, 188, 199 dst., 204, 207, 349.)

Pasal 207.
(s..d. u. dg. S. 1925-525.) Jika seorang saksi yang sudah dipanggil dengan patut tidak datang atau menolak untuk memberikan jawaban, maka pihak yang berkepentingan dapat memohon dalam berita acara pemeriksaan saksi itu agar diberi kesempatan lain. (KUHPerd. 1910, 1913; Rv. 174, 184 dst., 204, 206, 349.)

Pasal 208.
(s.d. a. dg. S. 1908-522.) Setelah selesai pendengaran saksi atau jika hal itu tidak terjadi maka hakim atau hakim komisaris menentukan hari perkara itu mendapat giliran untuk diperiksa lagi.

Pasal 208a.
(s.d.t. dg. S. 1908-,1522.; s.d.u. dg. S. 1925-525.) Jika pemeriksaan dilakukan di hadapan hakim yang diperintahkan menurut pasal 173 alinea pertama dan kedua, maka diikuti ketentuan-ketentuan sebagai berikut:
Nama serta tempat tinggal saksi-saksi diberitahukan kepada pihak lawan bersama-sama dengan pemberitahuan tentang hari, jam dan tempat pemeriksaan dilakukan.
Dalam hal-hal yang berhubungan dengan tindakan-tindakan terhadap saksi-saksi yang tidak datang atau enggan menjadi saksi, pendengaran saksi yang sakit atau karena alasan yang sah yang tidak dapat datang, pertanyaan-pertanyaan sementara yang diajukan kepada saksi-saksi yang menghadap, wewenang mereka untuk mengundurkan diri sebagai saksi, kecakapan mereka untuk menjadi saksi, sumpah mereka dan cara bagaimana pemeriksaan dilakukan, maka oleh hakim yang berwenang digunakan ketentuan-ketentuan yang berlaku baginya, semuanya dengan memperhatikan pasal 209 dan apa yang ditentukan di bawah ini.
Pengacara para pihak dalam pemeriksaan dapat mewakilkannya kepada teman sejawatnya yang diangkat pada pengaditan di tempat pemeriksaan dilakukan.
Bila para pihak dalam pemeriksaan saksi tidak diwakili oleh scorang pengacara, mereka secara pribadi dapat mohon kepada majelis agar dapat diajukan pertanyaan-pertanyaan yang disusunnya dan juga untuk mengambil tindakan-tindakan yang dimungkinkan oleh undang-undang terhadap saksi-saksi yang tidak datang atau membangkang.
Jika saksi menuntut ganti rugi, maka hal itu oleh hakim yang ditunjuk dianggarkan dalam turunan surat panggilan. Tentang anggaran itu disebutkan dalam berita acara.

Pasal 209.
(s.d. u. dg. S. 1908-522.) Kecuali dalam hal pemeriksaan dilakukan oleh hakim komisaris atau dilakukan di tempat tinggal saksi, maka pemeriksaan saksi dilakukan secara terbuka, kecuali jika dalam ketentuan undang-undang diatur lain, atau oleh hakim karena alasan yang penting yang disebut dalam berita acara diperintahkan agar pemeriksaan seluruhnya atau sebagian dilakukan dengan pintu tertutup. (RO. 29.)
Para pihak boleh hadir secara pribadi pada waktu pemeriksaan saksi.
(s.d. u. dg. S. 1925-525.) Berita acara dibuat pada tiap-tiap pemeriksaan saksi harus memuat berita apa yang diminta oleh pasal 177 dan selaroutnya memuat berita tentang pengambilan sumpah beserta isi keterangan-keterangan saksi selengkapnya. Berita acara dibuat oleh panitera dan dibacakan di hadapan para saksi bagianbagian yang menyangkut saksi itu. Saksi boleh mengadakan perubahan-perubahan dan tambahan-tambahan, yang dicatat di bagian bawah atau di bagian tepi keterangannya dan dibacakan kepadanya.
Saksi harus menandatangani keterangan-keterangan yang diberikan dan disebutkan pula alasan tentang tidak dapatnya ia menandatanganinya atau menolak untuk menandatanganinya. (ISR. 146; RO. 29; Rv. 22, 177, 189, 204, 206, 277, 349, 896; Sv. 48 dst.)

Pasal 210.
Ketentuan-ketentuan pasal 413, 414 dan 415 Peraturan Hukum Acara Pidana juga berlaku dalam perkara-perkara perdata. (IR. 380 dst.; RBg. 708 dst.)