Saturday, August 20, 2011

Demokratisasi, Pemilukada dan Pengawasan Masyarakat

Oleh: Arie Sujito

Demokratisasi dan Pemilukada
Perhelatan politik mutakhir yang menjadi perhatian banyak pihak saat ini adalah pemilihan kepada daerah (Pemilukada) langsung. Dalam skema otonomi daerah, desentralisasi dan demokratisasi, Pemilukada ini memiliki makna strategis, khususnya berkenaan dengan agenda reformasi tata pemerintahan (governance reform).Pengalaman politik representasi yang diperankan DPR/D dalam hal pemilihan kepala negara atau daerah, nampaknya tidak memuaskan aspirasi masyarakat, karena kecenderungan lahirnya praktik manipulasi yang didorong oleh insterest politisi di parlemen itu. Melalui Pemilukada ini, secara normatif suara rakyat memperoleh keleluasaan terartikulasi. Institusional set-upsemacam itu mendasarkan keyakinan akan berkurangnya peluang keculasan, karena disana rakyat berkesempatan memilih sesuai kehendaknya, dibandingkan mewakilkannya kepada anggota parlemen. Lebih dari sekadar prosesi atau ritus politik, Pemilukada menjadi medan pertarungan antar kekuatan politik di masyarakat. Jika menggunakan mekanisme demokrasi secara benar maka hal ini menentukan prospek terbentuknya bangunan kekuasaan lima tahun mendatang.
Berdasarkan evaluasi sejauh ini mengenai proses elektoral, kita saksikan muncul gejala kemerosotan kualitas demokrasi. Misalnya menurunnya kepercayaan masyarakat pada instrumen-instrumen politik strategis seperti pada parpol dan parlemen, bahkan juga kepada rezim yang tengah memerintah. Kendatipun angka “partisipasi” pemilih tergolong tinggi, namun kualitas partisipasi masih dipertanyakan. Sekadar catatan: dalam pengalaman untuk ketiga kalinya sejak diterapkan Pemilukada langsung ternyata terjadi trend penurunan jumlah pemilih di berbagai daerah. Berbagai pelanggaran selama pemilu dan pembelokan arah perubahan pasca pemilu adalah sekian banyak bukti indikasi kemerosotan kualitas demokrasi di era sekarang. Secara umum, hal ini terjadi karena gagalnya proses transformasi demokrasi prosedural-formalis menuju demokrasi substantif, menurunkan keyakinan rakyat mengenai perubahan melalui sistem elektoral itu.
Pertanyaannya adalah (1) apakah Pemilukada ini akan berkontribusi pada kemajuan signifikan yang sekaligus mampu menjawab problem politik representasi yang gagal pada fase sebelumnya? Ataukah, justeru sebaliknya Pemilukada kian menebalkan keraguan rakyat pada perubahan sekaligus menjadi petunjuk gejala titik balik demokrasi? (2) Apakah Pemilukada ini mampu mendongkrak, lalu melahirkan terobosan baru bagi upaya peningkatan kualitas civic education? (3) bagaimana strategi untuk menuju perbaikan kualitas Pemilukada yang bertumpu pada pengawasan rakyat sebagai pemilih? (4) apa usulan untuk memperbaiki kualitas Pemilukada untuk demokrasi yang bermakna?
Normatif vs empirik
Pemilukada ini memang berkehendak baik, agar kekuasaan lahir dan terbentuk dari bawah dengan cara dipilih langsung. Calon Gubernur, Bupati atau Walikota, sebagaimana pemilu kepala daerah maupun presiden sebelum-sebelumnya, dikondisikan untuk berinteraksi langsung dengan pemilih (rakyat) dan bukan sekadar kepada parlemen yang seringkali hanya diwarnai bau konspiratif dan elitis. Penilaian mengenai trackrecord, kualitas program, keseriusan dan komitmen calon pemimpin daerah diuji oleh publik dengan harapan masyarakat mengenali siapa yang layak dipercaya memegang kekuasaan untuk masa lima tahun mendatang. Karena strategisnya proses ini, maka membutuhkan pertimbangan-pertimbangan rasional dan berhati-hati dalam menjatuhkan pilihan, dengan prinsip mengurangi tingkat spekulasi agar tidak terperosok pada praktik “memilih kucing dalam karung”.
Dalam aturannya, kewenangan mengajukan bakal calon hanyalah ditangan parpol, itupun dengan mensyaratkan bagi parpol yang mendapatkan perolehan kursi minim 15%, atau dengan mekanisme gabungan antar parpol kecil (baik yang memperoleh kursi maupun tidak). Kemudian diubah, berdasarkan keputusan Mahkamah konstitusi (MK) diperbolehkannya calon independen (non parpol). Dalam Pemilukada ini, parpol dan kelompok atau organisasi masyarakat memiliki peluang sama memegang peran strategis untuk mengajukan calon. Jauh diatas spirit normatif itu, sayangnya parpol-parpol yang berkompetisi dan diharapkan menjadi mesin efektif pelaksanaan Pemilukada memang belum sesuai harapan. Pada umumnya parpol belum melakukan reformasi internal dengan cara memperbaiki struktur, program dan komitmennya dalam menjalankan demokrasi secara lebih baik. Mulai dari problem oligarkhi, perilaku korupsi, sampai rendahnya komitmen pada aspirasi pemilih. Tentu hal-hal tersebut menjadi masalah yang terus menghantui para pemilih jikalau dalam skema Pemilukada para parpol itu memiliki peran kunci. Partai-partai besar seperti PD, PDIP, Golkar, serta parpol sedang diantaranya PKB, PAN, PPP, PKS dst sejauh ini dalam mekanisme hubungan kelembagaan internal parpol sendiri masih terasa “kurang sehat” karena menggunakan cara-cara “komando” yakni determinasi kepentingan pengurus pusat atas aspirasi daerah. Mekanisme internal partai semacam itu rawan konspirasi dan manipulasi, karena mendistorsi aspirasi dari bawah dan mengurangi nilai demokrasi.
Demikian pula calon independen, juga tidak mudah mengais suara, karena ikatan sosial asosiasi warga dalam proses politik pemilu tidak mudah. Selain pendidikan politik belum berjalan dengan baik, faktor penurunan kepercayaan pada praktik pemilu juga terjadi. Tantangan serius dihadapi oleh calon independen, karena kecenderungan politik yang transaksional dan pragmatis membuat daya ungkit calon independen menghadapi kendala yang cukup berat. Jika gebrakan pendidikan politik dilakukan dengan baik, maka calon independen tentu menjadi jawaban alternatif yang layak diperhitungkan.
Dalam beberapa episode Pemilukada akhir-akhir ini nampaknyamakin menggejala gelagat “perdagangan politik” ditubuh parpol(politisi), yakni menggejalanya tindak pemerasan (uang dan janji jabatan) saat pengajuan bakal calon. Kendatipun atas nama kepentingan menghidupi parpol (padahal kecenderungan faktanya hanya untuk kepentingan elit parpol dan politisi itu), cara-cara ini jelas menutup peluang bagi mereka yang berkualitas baik tetapi tidak memiliki kecukupan modal (uang) dalam persaingan. Itulah distorsi nilai demokrasi yang menjadi paradoks dalam Pemilukada.Demikian pula, petualang dan pialang politik juga memanfaatkan calon independen untuk mendapatkan keuntungan ekonomi dalam proses elektoral yang transaksional. Wajar jika fakta-fakta itu kian menyusutkan partisipasi warga dalam Pemilukada.
Jika kita ringkas, berdasarkan pengalaman Pemilukada yang telah digelar di berbagai daerah, ternyata diliputi kecenderungan masalah serius, diantaranya: (1) makin terbuka dan ditoleransinya praktik money politic, yang terjadi antara pengurus parpol dan kandidat, serta antara politisi (tim) dengan pemilih. (2) seringnya sengketa hukum akibat penyelenggaraan Pemilukada yang buruk, ditandai perselisihan berlarut-larut antar kontestan kemudian dibawa ke Mahkamah Konstitusi. (3) maraknya konflik dan kekerasan massa pendukung yang kadangkala merembet pada perilaku distruktif, sehingga mengurangi makna dan kualitas Pemilukada. (4) ragam tindak keculasan dan manipulasi, baik itu bagian dari grand design kontestan, pendukung, maupun penyelenggara teknis (KPU, atau KPUD). Atas rangkaian masalah itu semua, dampak yang muncul adalah kecenderungan meningkatnya apatisme dan pragmatisme politik.
Demoralisasi politik
Kita menyaksikan, kenyataan gejala massif terputusnya hubungan massa dengan parpol serta kemerosotan kepercayaan warga atas proses politik yang terus meluap dan tidak segera diatasi atau diselesaikan, maka dikhawatirkan Pemilukada tidak mampu mendongkrak partisipasi dan harapan masyarakat. Dalam kondisi semacam inilah kemungkinannya ada dua hal; pertama, terjadi gelombang pembangkangan melalui golput, ataukah kedua,menebalnya pragmatisme dengan praktik money politic yang kian liar. Dari pengalaman daerah-daerah yang menyelenggarakan Pemilukada selalu menjadi masalah yang memprihatinkan, sekaligus ironis. Betapapun aturan main sudah jelas, soal transparansi, kejujuran, anti money politic, non-violence dst, tetapi implementasi Pemilukada selalu dalam bayang-bayang manipulasi.
Kenyataan semacam ini jelas akan mengurangi makna strategis dan bobot demokrasi, atau berpotensi menjadi “demoralisasi politik”. Itulah yang dimaksudkan dengan kesenjangan antara arus formal dan arus substansial, karena Pemilukada nampaknya hanya bersandar pada institusional set-up (prosedural) tetapi mengabaikan keadaan struktural-empirik masyarakat (pemilih). Para politisi dan aktivis parpol nampaknya tidak sensitif pada keadaan semacam ini. Atau barangkali justru “menikmati” ketidakberesan arus politik yang terjadi. Jawaban atas masalah itu akan bisa mempengaruhi situasi, prospek atau masa depan perpolitikan daerah, antara perbaikan kualitas demokrasi lokal, ataukah menjadi titik balik hancurnya kepercayaan masyarakat pada demokrasi. Dengan begitu, jika gagal diterapkannya prinsip-prinsip demokrasi (partisipasi kritis, transparansi, konrol dan akuntabilitas) maka Pemilukada yang akan kita gelar kali ini juga sama halnya mengulang keadaan pemilu-pemilu sebelumnya, hanya menyedot energi rakyat dengan menghasilkan pemimpin yang “merasa kuat” karena dipilih rakyat, tetapi produk Pemilukada tidak menjadi garansi bupati atau walikota berpihak pada rakyat.
Pengawasan Masyarakat
Masyarakat sipil yang kritis dan aktif, bukan saja sekadar berperan memanfaatkan hak pilih melalui partisipasi di bilik suara saat Pemilukada. Namun, lebih-lebih kemampuan dirinya untuk mengontrol atau mengawasi jalannya Pemilukada secara keseluruhan. Tujuannya memastikan agar Pemilukada benar-benar berkualitas. Pengawasan ini sangat berharga dan penting artinya, karena beberapa alasan; (1) agar masyarakat sebagai pemilih benar-benar menjadi subjek politik yang menentukan, bukan sebagai objek yang seringkali diperalat secara manipulatif oleh pihak kontestan dan timnya, atau penyelenggara Pemilukada; (2) agar jalannya Pemilukada sesuai jalurnya, baik secara prosedural (berdasarkan peraturan) maupun nilai-nilai prinsip seperti kejujuran, adil, tanpa kekerasan, akuntabel, cerdas dan elegan; (3) agar pemilukada menjamin proses demokrasi bermakna positif (tidak sia-sia), jangan sampai hanya sekadar “ritual dan mekanis” kegiatan rutin-periodik lima tahunan.
Dalam hal pengawasan Pemilukada, dilakukan oleh empat pihak utama; (1) Panitia Pengawas (Panwas) yang melekat secara kelembagaan bagian dari skema penyelenggaraan pemilu; (2) Masyarakat sipil sebagai pemilih yang memiliki kedaulatan dalam Pemilukada; (3) Parpol sebagai agen institusional yang secara otoritatif formal berkepentingan pada jalannya Pemilukada; (4) Media massa, sebagai pilar dan institusi yang memungkinkan dilakukan upaya transparansi dan perluasan informasi kepada masyarakat.
Bagaimana masyarakat melakukan pengawasan? (1) di level basis atau komunitas, pemilih perlu membentuk kelompok pengawas yang berfungsi memantau jalannya Pemilukada, di berbagai tahapan pada dilingkungan dimana mereka tinggal. Pada prinsipnya diperlukan kesadaran kritis masyarakat baik pada tingkat individual (menjadi pemilih kritis) dan level kolektif (menjadi warga negara dan subjek politik), yang berperan aktif dan “merasa berkepentingan” pada jalannya Pemilukada yang berkualitas; (2) membangun jaringan antar komunitas untuk keperluan tukar menukar informasi serta merajut kepentingan bersama sesama pemilih, agar terwujud derajat relatif otonom sebagai pemilih tidak sekadar dikendalikan oleh kontestan; (3) menjalankan pendidikan politik untuk warga sebagai pemilih. Meskipun menggunakan suara dalam Pemilukada “sebagai hak”, akan tetapi hendaknya pemanfaatan hak didasari kalkulasi dampak atau risiko suatu pilihan, karenanya pemilih harus diyakinkan bagaimana memilih secara rasional, cerdas, dan melalui pertimbangan “nilai-nilai” demokrasi dan keyakinan diri yang tidak manipulatif.
Fase-fase apa yang perlu diawasi, dan dalam hal apa? (1) Pendaftaran pemilih. Masyarakat hendaknya berperan aktif pada masa pendaftaran pemilih, tanpa harus tergantung KPUD. Bagaimanapun, tugas utama teknis memang oleh KPUD, tetapi kunci suksesnya juga ditentukan oleh kesadaran dan kemampuan pemilih berinisiatif, jangan haknya sebagai pemilih “hilang atau disembunyikan”; (2) Pengumuman daftar pemilih sementara dan tetap. Data yang dipakai, berdasarkan pengalaman selalu bermasalah dan out of date, sehingga rawan kekeliruan atau bahkan manipulasi, oleh siapapun juga. Untuk itu masyarakat sebagai pemilih hendaknya memperhatikan fase pengumuman ini untuk memastikan dirinya sebagai pemilih telah tercantum dan mendapatkan kartu pemilih; (3) Selama masa kampanye berlangsung. Fase ini seringkali terjadi pelanggaran, dan oleh karena itu pemilih harus berperan aktif memanfaatkan waktu kampanye sebaik mungkin. Ukuran pelanggaran bukan semata didasarkan pada aturan formal Pemilukada, tetapi yang lebih penting bagi pemilih adalah rujukan moralitas dan integritas diri penyelenggaraan pemilu yang jujur, elegan, cerdas, dan manusiawi; (4) Saat proses pemilihan (pemberian suara). Tahap ini perlu dipastikan agar tidak terjadi intimidasi, praktik penyuapan, serta ragam manipulasi pada pemilih; (5) Proses penghitungan sampai dengan penetapan hasil. Sebagai tahapan menentukan bagaimana kejujuran dipertaruhkan. Pemilih seringkali “kelewatan dan kecurian” karena kurangnya memperhatikan proses penghitungan sampai penetapan hasil, yang kadang rawan transaksional dan perubahan angka, yang berarti manipulasi suara oleh pihak-pihak manapun yang memanfaatkan situasi ketidakpekaan masyarakat.
Agenda Strategis
Untuk menuju Pemilukada berkualitas agar demokrasi bermakna, berikut ini beberapa hal penting yang perlu dipertimbangkan.
Pertama, perlunya memperkuat bargaining position rakyat dalam proses politik di tingkat lokal, untuk menghindari terjadinya distorsi partisipasi. Kendatipun partisipasi menjadi syarat berdemokrasi secara formal, namun dalam Pemilukada nanti partisipasi harus berorientasi lebih kritis, progresif dan terkonsolidasi. Partispasi bukan hanya perpijak pada kesadaran individual warga dan tidak pula hanya formalitas, namun hendaknya ditransformasikan menjadi kekuatan kolektif dengan cara memperkuat organisasi-organisasi kewargaan (politisasi rakyat) menghadapi arena Pemilukada. Pilihan aktivitas seperti pengawasan Pemilukada oleh masyarakat, mendorong dan memperkuat partisipasi kritis pemilih, serta model kontrak politik barangkali perlu diupayakan lagi dengan kualitas yang lebih maju.
Kedua, mencegah dan mengantisipasi kekerasan antar warga sebagai pemilih, yakni melalui cara pengelolaan, resolusi dan transformasi segala potensi dan bentuk aktual konflik agar tidak mengarah menjadi kekerasan. Berdasarkan pengalaman dalam pemilu sejauh ini, potensi kekerasan di masyarakat justeru sebagian besar bersumber dari ulah elit politik dengan cara-cara mobilisasi dan manipulasi atas partisipasi dengan memanfaatkan pragmatisme serta ketidakberdayaan warga. Kerentanan warga atas manipulasi elit politik perlu segera diatasi dengan membangun sejak awal aliansi-aliansi warga lintas komunitas, atau lintas sektor dengan basis kepentingan dan program yang sama. Dengan cara ini warga dikondisikan membangun solidaritas bersama atau bersatau, dibanding sentimen kelompok.
Ketiga, memastikan agar terjadinya perubahan menuju kondisi yang lebih baik pasca Pemilukada. Selain memikirkan proses pemilu, antisipasi pasca pemilu juga harus dilakukan demi mencegah kecenderungan ingkar para tokoh terpilih kepada rakyatnya. Caranya, masyarakat sipil didorong untuk aktif melakukan kontrol atas jalannya kekuasaan secara berkelanjutan melalui model extra-parlementer. Memperkuat kapasitas organisasi sipil sebagai bagian proses mengawal agenda kontrak politik yang telah dilakukan, bahkan juga membangun jembatan atau aliansi strategis masyarakat sipil dan parlemen lokal.
***