Wednesday, November 30, 2011

Merancang Dasar Hukum Perampasan Aset Haram

"RUU Perampasan Aset untuk mengatasi kendala pengembalian aset melalui mekanisme pidana."


Rancangan Undang-undang (RUU) Perampasan Aset diyakini akan memecahkan kebuntuan aparat penegak hukum ketika berupaya mengejar aset hasil tindak pidana korupsi. Tak hanya mengejar hasil kejahatan setelah RUU ini diundangkan, aset hasil kejahatan lama juga dapat dirampas dengan peraturan sama alias berlaku surut. Saat ini, draf RUU sudah siap diserahkan pada Presiden akhir tahun 2011. Diharapkan, tahun 2012 dapat diserahkan ke DPR untuk dibahas dan disahkan.

“Harus tidak terbatas. Hasil kejahatan sebelum RUU diundangkan juga dapat dirampas,” ungkap Ketua Tim Perumus, Yunus Husein dalam Seminar Nasional “Membangun Rezim Perampasan Aset”, di Jakarta, Senin (28/11).

Menurut Yunus, RUU ini bukan mengejar pelaku tindak pidana melainkan aset mereka dari hasil tindak pidana. “Jadi bukan memburu pelaku tapi mengejar aset, termasuk hasil kejahatan sebelum RUU ini disahkan.”

Tak hanya itu. Yunus menerangkan, sistem hukum Indonesia belum memiliki undang-undang atau ketentuan khusus perampasan aset hasil tindak pidana tanpa putusan pengadilan dalam perkara pidana.

Saat ini, perampasan aset dalam sistem hukum pidana Indonesia melalui putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap (inkracht). Kemudian dengan gugatan perdata seperti Pasal 33 UU No 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU No 20 Tahun 2001.

RUU ini, tutur Yunus, mengakomodasi harapan tersebut. Terbuka kesempatan luas untuk merampas segala aset yang diduga merupakan hasil pidana (proceed of crimes). Serta aset-aset lain yang patut diduga atau telah digunakan sebagai sarana untuk melakukan tindak pidana.

Dia sampaikan tujuan pembuatan RUU ini adalah mengatasi kendala pengembalian aset melalui mekanisme pidana (in personam). Sehingga, walaupun tersangka atau terdakwa meninggal dunia, melarikan diri, sakit permanen, atau tak diketahui keberadaannya, penyitaan dan perampasan aset hasil pidana tetap dapat dilakukan secara adil karena melalui pemeriksaan pengadilan.

Selain itu, lanjut Yunus, UU Perampasan Aset harus ada karena Indonesia telah meratifikasi Konvensi PBB Tahun 2003 (United Nations Convention Against Corruption/UNCAC) dengan UU No 7 Tahun 2006. Kemudian, Konvensi PBB Menentang Kejahatan Transnasional Terorganisir (UN Convention Against Transnational Organized Crimes/UN-CATOC0) dengan UU No 5 Tahun 2009. Serta, Revised Recommendations Financial Actions Task Force (FATF).

Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) M Yusuf menilai ketentuan berlaku surut memang tepat untuk merampas aset hasil tindak pidana. Dia berpendirian, “Karena asal aset tersebut haram, sampai kapan pun tetap haram, jadi layak dirampas," tegasnya.

Menurutnya, RUU ini merupakan pintu masuk untuk mengejar aset dari data Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) dan Surat Pemberitahuan (SPT) Pajak untuk disandingkan dengan fakta yang ada. “Kalau ternyata data dengan fakta tidak seimbang, berarti ada kekayaan yang tidak wajar (unexplained wealth), bisa dirampas untuk negara,” sebutnya. Dia menambahkan, Laporan Hasil Analisa (LHA) PPATK juga menjadi satu alat untuk menelusuri kekayaan tidak wajar itu.

Direktur Jenderal Kekayaan Negara, Hadiyanto mendukung adanya pengaturan tegas mengenai perampasan aset hasil tindak pidana. Namun, dia tak setuju dengan syarat akan lahirnya lembaga baru guna mengelola aset hasil rampasan. Dia berpendapat, “Unit pengelolaan aset negara saat ini ada di Kementerian Keuangan yaitu Direktorat Jenderal Kekayaan Negara saja sudah cukup,” nilainya.

Kewenangan itu berdasarkan UU No 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, UU No 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, dan UU No 6 Tahun 2006 tentang Pengesahan Konvensi International Convention for the Suppression of the Financing of Terorism, 1999.

Lagipula, lanjut Hadiyanto, Kemenkeu memiliki 17 Kantor Wilayah dan 70 KPKNL, 351 pejabat lelang, 1.253 penilai, 3.280 SDM yang berpengalaman mengelola aset. Ditambah ada peraturan dan tersedia SOP pengelolaan aset.

“Jika RUU ini disahkan, pengelolaan aset langsung operasional,” tegasnya. Meski demikian, Kemenkeu meminta agar RUU ini mengatur kewenangan pengelolaan aset yang belum diputus atau disita, dan yang telah diputus (yang dirampas).

Dia juga mengingatkan sebuah undang-undang akan berlangsung lama kalau ada azas kemanfaatan. Karena itu praktik penerapan peraturan sama di negara lain yang telah berhasil, patut segera diadopsi di Indonesia.
Penulis : Inu