Saturday, June 9, 2012

Kisah Wato Wele dan Lia Nurat


Tulisan ini diambil dari tulisan saudara Ebed Derosary berjudul "Kisah WatoWele dan Lia Nurat" yang diposting pada tanggal 14 September 2011. Berikut ini kisahnya (dengan perubahan seperlunya).

    A.   Awal Kisah Wato Wele dan Lia Nurat
Awal mula sejarah daerah Flores Timur berawal dari Larantuka (Laran artinya jalan, Tukan artinya tengah). Alkisah, awal mulanya Larantuka dihuni oleh penduduk aslinya (Ile Jadi) yang berasal dari Gunung Mandiri (Ile Mandiri). Menurut legenda atau cerita rakyat, dahulu di atas puncak Ile Mandiri terdapat sebutir telur yang dierami oleh burung rajawali. Yang kemudian menetas menjadi dua anak manusia, masing-masing Lia Nurat (laki-laki) dan Wato Wele atau Putri Ile Jadi (wanita). Kedua manusia ini dipelihara oleh seekor jin, ketika itu mereka belum berpakaian dan seluruh tubuh mereka berbulu serta memiliki kuku yang panjang dan runcing. Mereka mendirikan rumah di puncak Ile Mandiri yang kemudian mereka sepakat untuk hidup terpisah, Wato Wele ke arah timur sedangkan saudaranya ke Likat Lamaboting Lama Bunuk (terletak di belakang Ile Mandiri).
Suatu ketika Wato Wele didatangi seorang pria yang bernama Patih Golok Arakiang dari pulau Timor (banyak yang menduga Patih Gadja Mada) dengan menggunakan sampan. Mereka kemudian menikah dan menghasilkan tiga orang keturunan, yaitu Kudi Lelenbalan (yang menurunkan masyarakat Waibalun), Padu Ile Pook Wolo (yang menurunkan dinasti raja-raja Larantuka) dan Laha Lapang (yang menurunkan penduduk kampung Balela).  Ini merupakan legenda yang pada umumnya beredar di dalam masyarakat Flores Timur.
B. SUMBER SEJARAH
Tulisan ini disadur dari penelitian bapak Yosep Yapi Taum ( Dosen Universitas Sanata Dharma). Cerita Wato Wele-Lia Nurat merupakan jenis sejarah asal usul (tutu maring usu asa) yang dikeramatkan, terutama oleh Suku Ile Jadi di Larantuka. Semua kisah ini disampaikan dalam bahasa sastra (KODA KNALAN).

1.  Disampaikan oleh Markus Ratu Badin, 68 tahun, buta huruf, petani berasal dari Desa Lewohala. Kisah ini diperolehnya pada usia 15 tahun dari ayahnya, Raja Badin dan dari kakeknya, Baha Badin. Menurut sejarah asal usul, penutur termasuk Suku Ile Jadi keturunan Lia Nurat. Penutur merupakan tua adat dan tuan tanah Desa Lewohala. Teks ini direkam tanggal 3 dan 4 Februari 1994 dan dituturkan dalam bahasa sastra (koda knalan) yang sangat rapi. Garis besarnya adalah sebagai berikut. 
Pada mulanya Ema Wato/Bapa Madu Ma yang tinggal di Sina Jawa menyuruh orang tuanya burung elang, terbang ke puncak Gunung Mandiri. Di puncak gunung itu sang elang menaruh telurnya dan dari satu butir telur itu lahir manusia kembar, Wato Wele - Lia Nurat. Wato Wele - Lia Nurat dipelihara oleh hantu gunung hingga menjadi dewasa. Lia Nurat mengantar adiknya Wato Wele menempati bagian selatan Mandiri dan Lia Nurat sendiri menghuni bagian utara gunung itu. Lia Nurat membuat api unggun di puncak Mandiri yang cahayanya sampai ke perkampungan Paji. Sinar api itu mengenai seorang gadis Paji bernama Hadung Boleng Teniban Duli. Suku Suban Lewa Hama, saudara kandung Hadung Boleng, disuruh pergi ke puncak gunung mencari asal api unggun dan bertemu dengan Lia Nurat. Lia Nurat berjanji akan turun ke kampung Paji. Lia Nurat turun ke kampung Paji dan menikah dengan Hadung Boleng. Dari pernikahan itu lahir tujuh anak yang kelak menurunkan Suku Ile Jadi Baipito. Mereka hidup berkecukupan. Kemakmuran mereka diketahui orang-orang Suku Soge (Maumere). Raja Suku Soge pun mengantar anaknya Uto Watak, untuk diperisteri Lia Nurat. Hadung Boleng tidak senang dengan kehadiran Uto Watak. Dia pun mengusir Uto Watak. Raja Suku Soge sangat marah. Mereka datang menyerbu dan membunuh Lia Nurat. Setelah Lia Nurat meninggal, kehidupan Hadung Boleng dan ke 7 anaknya sangat menderita. Suatu ketika Boleng bermimpi melihat pusat gunung. Dengan itu, kehidupan mereka kembali makmur. Terjadi perang di Adonara. Kelima putra Lia Nurat ikut berperang membela adik perempuan mereka. Dalam peperangan itu, putra sulung Lia Nurat, Belawa Burak Sina Puri, tewas terbunuh. Keempat putra Lia Nurat yang masih hidup kembali ke gunung Mandiri dan membagi tanah warisan di antara mereka. Penjelasan penutur tentang asal usul mereka, yakni dari putra kedua Lia Nurat.

2. Dituturkan oleh Aloysius Pati Welan, 70 tahun, petani, pernah bersekolah pada Sekolah Rakyat (SR) sampai kelas III, berasal dari Desa Riangkamie. Cerita ini diperolehnya dari Kepala Desa Riangkamie, Pehan Kelen, ketika penutur berusia kira-kira 20 tahun. Menurut sejarah asal usul, penutur merupakan orang dari Kroko Puken Lapan Batang, dan merupakan salah satu tua Desa Riangkamie. Teks ini dituturkan dalam bahasa sastra (koda knalan), direkam pada tanggal 5 Februari 1994. Garis besar ceritanya sebagai berikut:

Koda Lia Nurat berasal dari Suku Soge yang merupakan keturunan burung elang. Di Suku Soge, Lia Nurat sudah beristeri, Uto Watak Teluma Burak. Lia Nurat dan Uto Watak sepakat pergi ke timur untuk membangun kampung di puncak Ile Mandiri. Suatu malam Lia Nurat membuat api unggun. Sinar api itu sampai ke kampung Paji dan menyebabkan gadis Hadung Boleng Teniban Duli hamil. Saudara Hadung Boleng, Ratu Dale Rian Tomo, mengantar adiknya ke puncak gunung untuk diperisteri Lia Nurat. Dari perkawinan ini lahir 5 putra dan 1 putri. Hadung Boleng berselisih dengan Uto Wata. Karena sakit hati, Uto Watak kembali ke Soge dan melaporkannya kepada ayahnya. Suku Soge datang menyerbu dan menewaskan Lia Nurat. Hadung Boleng bersama anak-anaknya mengembara dari hutan ke hutan hingga menetap di Bluhur Wojon Tobo. Akhirnya anak-anak Lia Nurat sepakat membagi-bagi tanah warisan.

3.  Dituturkan oleh Gregorius Geru Koten, 46 tahun, guru SD, lulusan Sekolah Teknik (ST), berasal dari Leworok. Cerita ini diperolehnya dari ayahnya, Sipri Tubun, ketika penutur masih kanak-kanak (kira-kira 12 tahun). Menurut sejarah asal usul, penutur termasuk turunan Sina Jawa. Teks dituturkan dalam bahasa sastra (koda knalan), direkam tanggal 10 Februari 1994. Garis besar isi ceritanya sbb :

Lia Nurat dan Wato Wele lahir dari batu wadas di Gunung Mandiri. Lia Nurat mengantar adiknya, Wato Wele, menetap di bagian selatan mandiri karena rupanya seperti hantu. Suatu ketika datang Raja Pati Golo Arakiang dari Sina Jawa untuk berdagang dan mencari tempat bermukim di Larantuka. Suatu malam, Pati Golo Arakiang melihat nyala api di puncak Gunung Mandiri, dan dia tertarik menyelidikinya. Di puncak Mandiri Raja Pati Golo Arakiang bertemu Wato Wele yang tubuhnya dipenuhi bulu-bulu rambut yang lebat. Pati Golo Arakiang mencukur rambut dan memotong kuku manusia hutan itu ketika dia tertidur akibat mabuk. Ternyata manusia hutan itu seorang wanita cantik, Wato Wele.Pati Golo menikah dengan Wato Wele, menetap di Larantuka dan membangun Kerajaan Larantuka. 

Suatu ketika terjadi perang di Timor. Raja Pati Golo tidak mampu melawan pasukan Timor. Dia pun kembali ke Larantuka dan meminta bantuan kaum Baipito (keturunan Lia Nurat). Pati Golo menikah dengan Wato Wele, menetap di Larantuka dan membangun Kerajaan Larantuka. Suatu ketika terjadi perang di Timor. Raja Pati Golo tidak mampu melawan pasukan Timor. Dia pun kembali ke Larantuka dan meminta bantuan kaum Baipito (keturunan Lia Nurat). Pendekar Baipito, Ehak Sina Ama/Riki Rapo Lolong, bersedia membantu raja. Raja berjanji, jika Ehak Sina Ama menang, maka dia boleh mempersunting adik Raja Pati Golo, Bui Kena Arawada. Ehak Sina Ama berhasil menumpas tentara Timor. Ketika dia kembali ke Larantuka, ternyata raja mengingkari janjinya. Raja Pati Golo menghina Ehak Sina Ama sebagai manusia hutan. Ehak Sina Ama menyimpan dendam dan mencari cara untuk membalasnya. Ketika Bui Kena Arawada mencari kayu di hutan, Ehak Sina Ama memberinya minum tuak yang dicampur dengan air maninya. Ini membuat Bui Kena Arawada hamil. Raja Pati Golo sangat marah atas perbuatan Ehak Sina Ama. Dia ingin membunuh Ehak Sina Ama tetapi pedang dan tombak tak mampu melukai Ehak. Hal ini disebabkan karena Ehak berada di pihak yang benar. Raja Pati Golo meminta bantuan pendekar Lewotala, Leki Bera Doro Manuk, untuk membunuh Ehak. Leki mengatur siasat untuk menjebak Ehak Sina Ama yang merupakan kawannya sendiri. Disuruhnya seorang budak memetik mangga di Lewohala, kampung Ehak Sina Ama. Ehak Sina Ama memanah budak itu. Dengan dasar ini, Leki Bera mengejar Ehak Sina Ama untuk membunuhnya, tetapi Ehak Sina Ama melarikan diri ke wilayah Paji di Tanjung Bunga. Di Tanjung Bunga, Ehak Sina Ama kawin dan memperoleh satu anak lelaki. Namun Ehak Sina Ama tidak menetap di sana. Dia datang dan menetap di desa Riangkoli. Raja Pati Golo Arakiang mendengar kabar bahwa Ehak Sina Ama menetap di Riangkoli. Maka dia meminta orang Leworok untuk membunuh Ehak Sina Ama. Orang Leworok menyusun strategi untuk membunuh Ehak. Mereka menyuruh seorang gadis, Lito Nue Rate Dora, datang kepada Ehak dan mengaku bahwa ia adalah anak yatim piatu. Lito Nue Rate Dora kembali ke Leworok menceritakan hal itu. Orang Leworok mendapat alasan yang tepat untuk membunuh Ehak Sina Ama karena dia telah meniduri Lito Nue dengan tidak sah. Orang Leworok datang menyerbu dan berhasil membunuh Ehak Sina Ama. Setelah membunuh Ehak, mereka melakukan upacara pembasuhan darah. Orang Leworok menceritakan perihal kematian Ehak Sina Ama ini kepada Raja Pati Golo Arakiang, dan raja sangat senang mendengarnya.

4.  Dituturkan oleh Arnoldus Dana Hurint, 52 tahun, buta huruf, petani, berasal dari Desa Riangkoli. Cerita ini diperoleh sejak berusia kira-kira 8 sampai 9 tahun dari ayah kandungnya. Penutur adalah tua adat di desanya, dan merupakan orang dari suku Sina Jawa. Teks dituturkan dalam bahasa sastra (koda knalan), dan direkam tanggal 14 Februari 1994. Garis besar isi ceritanya sbb :

Gunung Ile Mandiri melahirkan dua anak kembar, Wato Wele dan Lia Nurat. Wato Wele tinggal di bagian selatan gunung, sedangkan Lia Nurat di sebelah utara. Suatu ketika datang Raja Pati Golo Arakiang dan bermukim di Larantuka. Pada waktu malam, dia melihat ada nyala api di puncak gunung. Keesokan harinya dia pergi mencari sumber api itu. Di puncak Gunung Mandiri dia berjumpa dengan seorang manusia hutan bernama Wato Wele Oa Dona. Keduanya pun menikah dan turun menetap di Larantuka. Pati Golo menjadi raja Larantuka karena menikahi Wato Wele Oa Dona. Itulah sebabnya perintah Pati Golo dipatuhi. Suatu ketika terjadi perang di Timor. Pati Golo pergi ke Timor untuk berperang, tetapi dia tidak mampu mengalahkan musuhnya. Pati Golo pun kembali ke Larantuka. Pati Golo meminta bantuan rakyat Baipito (keturunan Lia Nurat). Seorang pendekar bernama Eha Sina Ama/Riki Tapo Lolon bersedia membantu raja. Raja berjanji, jika Ehak dapat mengalahkan musuhnya, maka dia boleh mengambil Buikena Arawada, adik raja Pati Golo, sebagai istrinya. Ehak pergi berperang dan ternyata dia menang. Ketika kembali ke Larantuka, ternyata Buikena menolak dinikahi Ehak. Ehak menaruh dendam pada Buikena. Ketika Buikena mengambil kayu di hutan, Ehak memberinya minum tuak yang sudah dicampur air maninya. Hal ini membuat Buikena mengandung. Raja Pati Golo sangat malu. dia meminta orang Lewotala membunuh Ehak. Pendekar Lewotala, Leki Bera Doro Manuk berusaha membunuh Ehak tetapi gagal. Ehak mengungsi ke Tanjung Bunga. Disana dia kawin dan mendapat seorang anak laki-laki. Ehak mengungsi lagi dan tinggal di Riangkoli. Ketika raja mengetahui bahwa Ehak berada di Riangkoli, dia meminta orang Leworok untuk membunuh Ehak. Orang Leworok datang dan membunuh Ehak. Orang Riangkoli menguburnya dan menjadikannya leluhur mereka. Raja mengadakan pesta adat merayakan kematian itu. Di tengah-tengah keramaian itu, seorang anak bernama Padu Ile datang memeluk kaki Raja Pati Golo. Padu Ile adalah anak Raja Pati Golo dari istri selirnya. Raja Pati Golo sangat malu. Untuk membuktikan bahwa Padu Ile benar-benar anak Raja Pati Golo, dia memanah. Jika panahnya jatuh ke tanah berarti dia bukan anak raja. Tetapi sebaliknya, jika panah jatuh pada nasi tumpeng (rengki) raja, maka dia benar-benar anak raja. Ternyata panah Padu Ile jatuh ke atas nasi tumpeng raja. Karena malu, raja mengambil senjata untuk membunuh Padu Ile, tetapi Padu Ile dapat melarikan diri ke Riangkoli. Suatu ketika, Padu Ile melihat nyala api di puncak Gunung Malat. Dia pun mendaki ke puncak gunung untuk menyelidiki sumber api itu. Di puncak Gunung Malat, Padu Ile bertemu seorang gadis, Nogo Beko Blawah Ongo. Keduanya kawin dan menurunkan seorang anak laki-laki yang diberi nama Sina Gula Pora Jawa.  Raja Pati Golo memberikan kampung Riangkoli sebagai tempat tinggal Sina Gula Pora Jawa dan mengangkat desa itu menjadi Pou Suku Lema (suku pembantu raja).  

5. Dokumen Kantor Depdikbud Kabupaten Flores Timur. Sira Lakalodang di Lamahala, Adonara, melakukan barter dengan Serang Gorang Lobi yang datang dari Maluku. Serang Gorang Lobi memberikan seekor babi betina kepada Sira Lakalodang. Babi betina itu melahirkan dua anak kembar : Kakang Tobo Pehan Tonu dan Aring Welan Laga Wujo. Ketika kedua kembar itu mandi di  Puhu Gelong, mereka bertemu dengan dua gadis putri raja Puhu Gelong, Uto Toeng Tonu dan Kopa Wele Barek. Mereka pun saling jatuh cinta. Uto Toeng Tonu dan Kopa Wele Barek kembali ke rumah mereka dan duduk menenun sarung. Tiba-tiba seekor burung kutilang muncul. Kopa dan Uto memberikan makan jewawut yang ditaruh di ujung tongkat tenun (hurit). Ternyata tongkat tenun itu dibawa terbang dan jatuh di dekat rumah Tonu dan Wujo. Tonu dan Wujo mengambil Uto dan Kopa sebagai istri. Masyarakat dan Raja Puhu Gelong panik, mencari Uto dan Kopa sampai di Pigan Lewata, mengajak keduanya pulang, tetapi ditolak. Mereka bersepakat menguji kebenaran melalui perang. Pihak yang kalah dianggap bersalah dan yang menang dianggap benar. Kedua pihak mencari dasar hukum untuk membenarkan tindakan mereka. Pihak Puhu Gelong menganggap kedua putri diculik Tonu dan Wujo. Pihak Pegan Lewata (Lamahala) menganggap kedua putri datang sendiri. Perang dilaksanakan selama tiga hari tiga malam. Pemenangnya adalah Pigan Lewatan. Karena merasa tidak aman tinggal di Piga Lewatan, Tonu dan Wujo meminta Kiko Unus Aman mengantar mereka ke Lamakera (Solor) untuk menetap di sana. Di Lamakera, Kakang Tobo Pehan Tonu mengubah namanya menjadi Sinu, sedangkan adiknya, Aring Welan Laga Wujo menjadi Narek. Mereka diterima sebagai Bela Raja (suku besar) karena merupakan pemberani, mendampingi suku Songge Sikka Klodo. Sinu dan Narek tak puas tinggal di Lamakera. Keduanya pun melanglang buana (niu lagang) ke timor dengan menumpang kulit pinang (Wua Kama). Di perjalanan itu mereka memberi nama kepada banyak daerah, antara lain, Tana Timo, Nama Sain, Teno, Tobi Lolong, Nuha Kera. Di Timor ada seyembara yang digelar Raja Amarasi : siapa yang mampu membunuh ular naga yang sering mengganggu penduduk akan di bawah ke istana. Sinu dan Narek berhasil membunuh naga itu berkat mantra dan pertolongan Ilahi Lera Wulan dan leluhur Tana Ekan di kampung halamannya. Mereka memotong lidah naga itu. Keesokan harinya, pendekar dari Rote mengambil kepala naga itu dan memberikannya kepada Raja Amarasi untuk mendapat hadiah. Sinu dan Narek datang juga ke istana dan meminta orang Rote menunjukan lidah naga itu. Akhirnya orang Rote diberi tanah (karena mereka membawa kepala naga kepada raja) dan orang Solor pun diberi tanah di kampung Solor (karena Sinu dan Narek itulah yang membunuh naga itu). Di tempat itu muncul mata air yang disebut De (Wai) Ba  (mengalir). Sinu dan Narek terus menjelajahi Pulau Timor. Mereka tiba di Ata Pupu (orang kumpul), yakni tempat berkumpulnya manusia-manusia gaib. Narek, sang adik, tinggal di sana sedangkan Sinu, kakaknya berlayar kembali ke Lamakera. Narek bertemu beberapa orang pribumi yang masih primitif, hidup di puncak-puncak bukit. Narek pun diangkat menjadi Raja Atapupu. Narek kawin dengan penduduk asli di sana dan mendapat dua orang anak yakni Pati Golo Arakiang (adik) dan Peni Utang Pati Golo (kakak perempuan). Pati Golo bergelar Raja Pati Golo Arakiang karena menggantikan ayahnya sebagai raja. Pati Golo menyadap tuak dan Peni Utang Lolong menenun sarung. Suatu ketika Pati Golo kembali tanpa membawa tuak, Peni Utang Lolong marah dan memukul adiknya dengan tongkat tenun (hurit) hingga darah mengucur dari ubun-ubun kepalanya. 

Pati Golo Arakiang ingin mencari pencuri tuaknya. Tengah malam, ketika Pati Golo berjaga di atas pohon lontar, datang seekor burung raksasa yang baunya busuk, menjulurkan paruhnya ke dalam bambu tuak, dan minum tuak itu. Terdorong rasa dendam sekalipun takut, Pati Golo memeluk kaki burung itu dan duduk di telapak kakinya. Burung itu adalah karuda (yang biasa memangsa anak kambing, ayam, domba, bahkan manusia). Burung itu menerbangkan Pati Golo ke arah barat. (Karuda = si kerongkongan jelek). Karuda terus saja terbang dan akhirnya hinggap di sebuah kebun pisang di pulau Jawa. Penjaga kebun pisang melaporkan kedatangan Pati Golo kepada raja. Pati Golo diterima sebagai pinatu di istana raja. Ketika giliran Pati Golo mencuci pakaian raja, ditaburinya pakaian itu dengan serbuk kayu cendana yang harum. Raja amat senang dan menyuruh Pati Golo memimpin sebuah ekspedisi ke Timor untuk mengambil cendana itu, dengan membawa minuman keras di dalam botol-botol. Ekspedisi pun berangkat ke pulau Timor. Kayu cendana ditebang selama tiga bulan. Sementara itu Pati Golo menyusuri hutan yang terasa asing baginya. Di hutan itu Pati Golo bertemu seorang gadis cantik dan keduanya kawin. Hari keberangkatan semakin mendekat. Pati Golo berpamitan dengan istrinya untuk pergi ke pulau Jawa dan akan kembali menjumpai istrinya. Istrinya mencari kutu rambut Pati Golo, dan melihat bekas luka di kepala Pati Golo. Sang istri bercerita bahwa dia mempunyai seorang adik dan bahwa dia pernah memukul kepala adiknya dengan hurit. Adiknya bernama Pati Golo Arakiang. Mendengar cerita itu, Pati Golo Arakiang merangkul istrinya yang ternyata adalah Peni Utang Lolong, kakak kandungnya sendiri. Tangis tak terbendung disertai penyesalan yang terlambat karena Peni Utang Lolong sudah hamil 3 bulan. Pati Golo Arakiang pamit pada istrinya dan berjanji akan kembali lagi. Ekspedisi pun siap dan mereka berangkat.  

Ekspedisi tiba di selat Flores, terus menuju ke arah timur. Di Flores timur tampak begitu banyak orang yang sedang berkarang di pantai. Ketika kapal itu berlabuh di Lokea (Lewo Gekeng Derang Tanah Sao Sina = kampung persaudaraan tempat berlabuh ekspedisi dari pulau Jawa), ternyata tidak ada seorang manusia pun di sana. Pati Golo menyebut tempat itu "Mandiri Tanah Lolong" (sendirian di atas tanah). Di tanah ada bekas obor dan jejak kaki menuju ke puncak gunung. Pati Golo memerintahkan ekspedisi untuk terus berlayar, sedangkan dia tetap tinggal di tempat itu, menyusuri jejak untuk menyelidiki siapa penghuninya. Pati Golo tiba di puncak gunung. Disembunyikannya botol-botol minuman keras dan kain sarung pemberian kakaknya, Peni Utang Lolong, di semak-semak. Dia memanjat pohon asam dan duduk di atasnya, menunggu siapa yang bakal datang. Sore hari datang seorang manusia membawa hasil buruan. Sosoknya tinggi, jangkung, hitam, besar. Manusia itu membaui atas pohon asam, terlihat olehnya seorang manusia. Manusia hutan itu memperkenalkan dirinya, Saya Oa Wato Wele Apa Utan, penguasa gunung ini! Pati Golo juga memperkenalkan dirinya, Saya Raja Pati Golo, Pati Golo Arakiang, berasal dari tanah Timor, telah mengembara ke tanah Jawa dan terdampar di tempat ini. Keduanya pun makan bersama. Setelah itu Pati Golo memberikan minuman keras kepada Wato Wele. Wato Wele minum sampai mabuk dan tertidur. Pada waktu dia tertidur, Pati Golo mencukur bulu-bulu rambut Wato Wele. Ternyata dia seorang gadis yang sangat cantik. Akhirnya Pati Golo dan Wato Wele kawin dan menjadi penguasa di wilayah itu, menjadi Raja dan Ratu Larantuka.  Perkawinan Wato Wele dan Pati Golo menurunkan seorang putra, Raja Resi Weli Nama, Tuan Igo Weli Lela. Raja ini menurunkan Raja Padun Ile, Tuan Paga Wolo. Raja Padun Ile menurunkan Raja Usi Laseberang. Raja Usi menurunkan dua putra yakni Igo (kakak) dan Enga (adik). Pada masa pemerintahan kedua putra inilah terjadi perang perebutan kekuasaan, yang dikenal dengan nama Perang Paji-Demong. Perang ini dipengaruhi unsur Jawa, yakni Perang Demak melawan Pajang. Pengikut Kerajaan Demak disebut Demong Narang (orang Demong) dan pemimpin mereka disebut Kakang. Pengikut Kerajaan Pajang disebut Paji Nara (orang Paji) dan pemimpin mereka disebut Kapitan karena dia seorang nahkoda kapal. Kedua bersaudara ini mengikuti pengaruh yang berlawanan ini. Dinasti Demong dipimpin Igo, dan dinasti Paji dipimpin Enga.

6. Dituturkan oleh Petrus Mau Larantuka, 74 tahun, tua adat, petani, pernah mengikuti pendidikan pada Standaarschool (Sekolah Guru) Belanda sampai kelas V. Cerita ini diperoleh penutur ketika berusia kira-kira 12 tahun dari ayahnya, Yosep Banda Larantuka. Penutur merupakan orang dari keturunan Sina Jawa. Teks ini dituturkan dalam bahasa Indonesia dan direkam tanggal 19 Februari 1994. Isi ringkasan ceritanya sbb : 


Pada awalnya Wato Wele dan Lia Nurat dilahirkan oleh Gunung Ile Mandiri. Wato Wele-Lia Nurat hidup bersama di puncak gunung itu, dan menurunkan seorang anak laki-laki bernama Tukan Ama Wruin. Setelah itu Lia Nurat mengantar adiknya Wato Wele untuk menempati wilayah selatan Gunung Mandiri. Lia Nurat sendiri menempati wilayah utara Gunung Mandiri, yaitu Wao Lama Herin. Suatu ketika datang Pati Golo Arakiang dari Tanah Timor. Pati Golo berlabuh di Lawerang Tanah Goran. Di tempat itu tidak ada manusia. Pada malam hari Pati Golo melihat nyala api di puncak Gunung Mandiri. Pati Golo pu mendaki gunung itu untuk menyelidiki sumber api. Pati Golo bersembunyi di atas pohon asam. Tiba-tiba datang seorang manusia membawa binatang-binatang buruan. Sosoknya tinggi, besar dan berbulu lebat. Orang hutan itu hendak membuat api unggun dengan menggesekan kukunya, tetapi api tidak menyala sehingga terjadi gempa bumi yang dahsyat. Manusia hutan melihat ke atas pohon dan ternyata ada manusia di atas pohon itu. Manusia hutan memperkenalkan dirinya, Saya Wato Wele Apa Hutan. Pati Golo turun dari pohon. Keduanya makan dan minum arak sampai Wato Wele mabuk dan tertidur. Ketika Wato Wele tertidur, Pati Golo Arakiang mencukur bulu-bulu rambut dan memotong kuku-kukunya. Ternyata Wato Wele seorang wanita yang cantik. Keduanya segera menikah dan menurunkan tiga orang anak yaitu, Kudi Leleng Balang, Raja Ila, dan Lahan Lapan. Raja Pati Golo meninggalkan Wato Wele dan ketiga anaknya. Dia pergi mencari kakaknya, Biu Kena Arawada yang sudah lama ditinggalkan karena Bui Kena memukul kepala Pati Golo saat Pati Golo tidak membawa tuak ke rumahnya. 

Di sebuah pantai, Pati Golo bertemu seorang gadis. Keduanya saling jatuh cinta dan segera menikah. Dari pernikahan itu, lahir seorang anak laki-laki bernama Pati Grama. Suatu ketika, istri Pati Golo mencari kutu rambut Pati Golo. Dia melihat bekas luka di kepala Pati Golo dan menceritakan bahwa dia mempunyai seorang adik bernama Pati Golo Arakiang yang juga memiliki bekas luka di kepalanya. Mendengar cerita itu, Pati Golo menyesal dan pergi meninggalkan kakaknya yang sedang hamil. Ketika Pati Golo datang dari tanah Timor, dia membawa pula dua orang anaknya, yakni Pusi dan Gowa, yang kini keturunannya menetap di desa Lebao dan Tebali. 

7. Dituturkan oleh Lukas Bala Hurint, 73 tahun, buta huruf, petani, dari desa Lewoloba. Cerita diperoleh dari orang tuanya pada usia kira-kira 8-9 tahun. Penutur merupakan orang Ile Jadi, dari keturunan Lia Nurat (Blawak Burak Sina Puri). Teks dituturkan dalam bahasa Indonesia dan dicampur dalam bahasa Lamaholot biasa dan direkam tangga 2 Februari 1994. Isi ringkasan ceritanya sbb :

Batu-batu wadas pecah, dan dari dalam gunung lahirlah dua saudara kembar, Wato Wele-Lia Nurat. Lia Nurat mengantar adiknya, Wato Wele, menempati wilayah selatan Gunung Mandiri, yakni Woto Wele Dole. Lia Nurat membuat pemisah wilayah itu dengan menanam rotan yang menjalar sampai ke laut dan menempatkan batu-batu besar, dengan maksud agar keduanya tidak bertemu lagi. Suatu ketika di perkampungan Paji, seorang gadis bernama Hadung Boleng Teniban Duli melihat nyala api di puncak Gunung Mandiri. Hadung Boleng menyuruh saudaranya, Suban Lewa Haman Sao Lewa Gowe, untuk menyelidiki asal api itu. Suban Lewa Haman membawa ketupat, madu, arak, pisau iris (mere) dan kain tenun (nowing, snaik). Tiba di puncak gunung, Suban Lewa Haman bertemu dengan Lia Nurat. Tubuh Lia Nurat ditumbuhi bulu-bulu rambut yang sangat lebat, kuku-kukunya mirip cakar. Mereka membakar hasil buruan dan makan bersama. Karena belum terbiasa minum arak, Lia Nurat mabuk dan tertidur. Pada waktu Lia Nurat tertidur, Suban Lewa Haman mencukur bulu-bulu rambutnya dan memotong kuku-kuku jari kaki dan tangannya. Ketika Lia Nurat bangun, dia merasa dingin dan sangat terkejut. Hujan turun dengan lebat dan disertai angin dan gempa bumi selama tujuh hari tujuh malam. Suban Lewa Haman memberikan sarung kepada Lia Nurat. Suban Lewa Haman merasa takut karena hujan, angin, dan gempa tak kunjung berhenti. Dia pun berjanji, setelah tujuh hari dia akan membawa adiknya Hadung Boleng Teniban Duli kepada Lia Nurat untuk dijadikan istri Lia Nurat. Hujan, angin dan gempa berhenti. Pada hari ke tujuh, sesuai janji, Suban Lewa Haman mengantar adiknya Hadung Boleng Teniban Duli kepada Lia Nurat di puncak gunung Mandiri untuk dijadikan istri Lia Nurat. Dari perkawinan itu lahirlah 5 oraang putra dan 2 orang putri yang kelak menurunkan penduduk Baipito. Suatu ketika terjadi perang di Adonara. Kelima putra Lia Nurat pergi ke sana untuk berperang membela adik perempuan mereka. Dalam peperangan itu, anak sulung Lia Nurat, yakni Blawa Burak Sina Puri tewas terbunuh. Seusai perang, anak-anak Lia Nurat yang masih hidup kembali ke Ile Mandiri dan membagi tanah warisan di antara mereka.
    ( Disadur dari Tulisan Adik Piter Fernandez )

Friday, June 8, 2012

Penghuni Awal Larantuka


By F. Halan.
Cerita/mitos tentang asal muasal penghuni Larantuka, sejauh ini begitu banyak versi dan bisa jadi tidak banyak yang mengetahui , apalagi generasi kini. Olehnya berikut ini dimunculkan salah satu versinya. Jauh di atas, di puncak Ile Mandiri burung Elang berwarna coklat dan burung rajawali berwarna abu-abu meletakkan telurnya. Ketika telur-telur itu terbuka, muncullah dua anak kembar. Saudara laki-laki bernama Koda Lia Nurat Ulu Nura Nama, saudara perempuan bernama Oa Dona Wato Wele. Keduanya hidup sendirian di puncak gunung dan makan buah-buahan pohon dan binatang-binatang hutan seperti ular dan kadal. Juga kedua orang bersaudara itu adalah orang liar; mereka berbulu dari kepala sampai kaki dan biasanya mencarik mangsa perburuan mereka dengan kuku jarinya.

Pada suatu malam, ketika keduanya sedang menyiapkan makanan, di tepi pantai di bawah, Teniban Duli Hadung Bolen melihat nyala api mereka. Teniban Duli adalah seorang perempuan keturunan Paji, yang tinggal si sebuah kampung di kaki gunung Ile Mandiri. Nyala api yang terang seperti bintang, langsung mengenai dadanya. Pada hari berikutnya ia menceritakan penampakkan malam itu kepada saudaranya, Suban Lewan dan meminta dia naik ke puncak gunung untuk memeriksa, entah ada seorang pemuda yang berdiam di atasnya.

Suban Lewan menyiapkan diri untuk berburu. Ia membunuh banyak binatang dan ketika berkeliling ia menemukan tempat tinggal Liat Nurat. Dekat tempat itu ia bersembunyi di atas sebatang pohon besar. Ketika Lia Nurat sia-sia berusaha menyalakan api, Suban Lewan memperlihatkan diri kepadanya dan menawarkan bentuan, tetapi terdahulu Lia Nurat harus membuang binatang-binatang perburuannya yang mengerikan itu. Ia turun dari pohon dan berbagi makanannya dengan penghuni gunung itu. Empat hari kemudian ia datang kembali mengunjungi Lia Nurat dan membawanya ke dekat rumahnya, lalu menyembunyikannya di dalam hutan lontar miliknya.

Ketika melihat hujan tak kunjung berhenti dan awan turun ke lembah, saudarinya Teniban Duli mengetahui bahwa “anak gunung” (ile anan) berada tidak jauh. Ia menyuruh saudaranya mengantarnya ke tempat persembunyian itu, karena ia hendak mengawininya. Tetaapi Liat Nurat masih seorang manusia hutan. Bulu yang lebat menjadi pakaiannya dan kuku jarinya adalah senjatanya. Suban Lewan dan saudarinya mengundangnya makan dan membuatnya mabuk dengan tuak pohon lontar. Ketika ia sudah tertidur lelap keduanya mengambil pisau dan memotong kuku2 jarinya dan mencukur bulu seluruh tubuhnya. Ketika ia terjaga dari tidur ia menggigil kedinginan sampai seluruh bumi bergoyang.

Lia Nurat tidak mengenal adat kebiasaan manusia. Sia-sia Teniban Duli membetangkan tikar perkawinan untuknya. Baru sesudah ia menunjukkan kepadanya, bagaiman binatang-binatang hutan kawin, ia mengerti apa yang dikehendaki oleh Teniban Duli darinya. Bersama Teniban Duli ia melahirkan tujuh orang putra. Anak yang pertama bernama Keweluk Ile Alen Kebou Wawe Utan, yang lain bernama Kewaka, Belawa Burak, Bam Powa, Regi Bera dan Mado; anak ketujuh adalah seorang perempuan. Lia Nurat tinggal di kampung iparnya, yang mengajarkan dia bagaimana mengerjakan kebun dan menyadap tuak, ia mendapatkan hasil limpah dalam segala pekerjaannya. Lia Nurat meninggalkan kampung di tepi pantai itu dan pergi ke sebuah kampung di atas gunung. Di situ ia mengambil istri yang kedua, bernama Uta Wata Teluma Burak, berasal dari Maumere. Teniban Duli sangat cemburu. Oleh sebab itu ia menghina pesaingnya ketika keduanya pada suatu ketika sedang saling meminyaki. Karena ganti minyak kelapa ia memakai air gula untuk meminyaki rambut madunya.

Untuk membalas penghinaan terhadap saudari mereka, saudara-saudara Uta Wata memerangi Lia Nurat dan mengalahkannya. Akan tetapi mereka baru dapat membunuh Lia Nurat yang terluka berat itu ketika ia sendiri menyatakan kepada mereka bagaimana cara mereka melaksanakannya. Anak-anak laki-lakinya, “anak-anak dari gunung” tidak menerima hal itu. mereka berangkat ke Maumere bersenjatakan senjata-senjata yang terbuat dari besi, yang dibuat dari paku-paku yang mereka rampok dari kapal (Eropa) dan membunuh banyak musuh mereka.

Pada perjalanan pulang mereka bertemu dengan sekelompok orang Paji yang mengundang mereka minum. Ketika semua orang mabuk oleh tuak, terjadilah perkelahian. Karena orang-orang Paji terlalu membanggakan kepahlawanan mereka, maka “anak-anak dari gunung” itu mengupas kulit tubuh pemimpin orang Paji itu, menggosok tubuhnya dengan garam dan kapur, lalu mengusir dia ke kampungnya. Di mana-mana dengan nyaring ia mengeluhkan apa yang telah dilakukan oleh orang Demon terhadap dirinya. Akibatnya terjadi peperangan besar yang pertama antara Paji dan Demon. Orang Demon mengalahkan orang Paji dan mengusir mereka dari semua kampung di gunung dan pantai wilayah Ile Mandiri. Mereka harus melarikan diri ke Tanjung Bunga dan kemudian ke Adonara. Anak-anak Lia Nurat dan Teniban Duli mengambil tanah-tanah yang ditinggalkan oleh orang Paji. Mereka menjadi bapa-bapa asal suku, yang mendiami kampung-kampung di sekitar Larantuka, ialah Wailolong Lewo Hala, Lewoneda, Lewoloba, Watowiti dan Mudakeputu. (Paul Arndt).
Keenam kampung yang disebutkan pada akhir cerita Lia Nurat, dahulu merupakan suatu persatuan kampung-kampung, yang berbatasan langsung dengan tanah suku Larantuka. Persatuan itu adalah yang terpenting dari kesepuluh wilayah inti yang membentuk kerajaan Larantuka dan dinamakan Mudakaputu, sesuai nama kampung utama.
Karl-Heinz Kohl: Raran Tonu Wuju,cetakan I, sept 2009, Penerbit Ledalero
Sumber: East Flores Lamaholot