Thursday, March 28, 2013

MK: Putusan Bebas di Pengadilan Tingkat Pertama Bisa Dikasasi


Polemik KUHAP yang melarang jaksa kasasi apabila vonis bebas di tingkat pertama berakhir. Dalam putusan Mahkamah Konstitusi (MK) pasal tersebut dihapus sehingga jaksa bisa mengajukan kasasi atas vonis bebas.

Pasal yang dimaksud yaitu pasal 244 KUHP yang berbunyi terhadap putusan perkara pidana yang diberikan pada tingkat terakhir oleh pengadilan lain selain dari Mahkamah Agung, terdakwa atau penuntut umum dapat mengajukan permintaan kasasi kepada Mahkamah Agung kecuali terhadap putusan bebas.

"Menyatakan frase 'kecuali terhadap putusan bebas' bertentangan dengan UUD 1945. Menyatakan frase 'kecuali terhadap putusan bebas ' tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat," demikian putus MK yang dibacakan secara bergiliran oleh 9 hakim konstitusi di Gedung MK, Kamis (28/3/2013).

Permohonan ini diajukan oleh Dr Idrus, seorang pensiunan PNS. Dalam pertimbangannya, MK menyatakan tanpa menilai putusan Mahkamah Agung, kenyataan selama ini menunjukkan putusan bebas tingkat pertama tidak diajukan banding tetapi langsung kasasi. Padahal hal tersebut dilarang oleh Pasal 244 KUHAP. Hal ini mengakibatkan ketidakpastian hukum. 

"Di satu pihak KUHAP melarang kasasi tetapi MA menerima dan mengadili kasasi itu sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum," demikian alasan MK.

Namun vonis ini tidak bulat. Satu hakim konstitusi Harjono menyatakan tidak setuju frase tersebut dihapus. Sebab implikasinya akan memandulkan banyak pasal KUHAP yang lain. Padahal penghilangan tersebut tidak ada dasar konstitusionalnya.

"Praktik bukanlah rujukan untuk menyatakan sebuah UU bertentangan dengan UUD," demikian alasan Harjono.

(asp/try)

Wednesday, March 27, 2013

Tata Cara Mengajukan Gugatan Perdata

Pendaftaran Gugatan
Langkah pertama mengajukan gugatan perdata adalah dengan melakukan pendaftaran gugatan tersebut ke pengadilan. Menurut pasal 118 ayat (1) HIR, pendaftaran gugatan itu diajukan ke Pengadilan Negeri berdasarkan kompetensi relatifnya  berdasarkan tempat tinggal tergugat atau domisili hukum yang ditunjuk dalam perjanjian. Gugatan tersebut hendaknya diajukan secara tertulis, ditandatangani oleh Penggugat atau kuasanya, dan ditujukan kepada Ketua Pengadilan Negeri. Pendaftaran gugatan itudapat dilakukan di kantor kepaniteraan Pengadilan Negeri setempat.

Membayar Panjar Biaya Perkara

Setelah gugatan diajukan di kepaniteraan, selanjutnya Penggugat wajib membayar biaya perkara. Biaya perkara yang dimaksud adalah panjar biaya perkara, yaitu biaya sementara yang finalnya akan diperhitungkan setelah adanyaputusan pengadilan. Dalam proses peradilan, pada prinsipnya pihak yang kalah adalah pihak yang menanggung biaya perkara, yaitu biaya-biaya yang perlu dikeluarkan pengadilan dalam proses pemeriksaan perkara tersebut, antara lain biaya kepaniteraan, meterai, pemanggilan saksi,pemeriksaan setempat, pemberitahuan, eksekusi, dan biaya lainnya yang diperlukan. Apabila Penggugat menjadi pihak yang kalah, maka biaya perkara itu dipikul oleh Penggugat dan diambil daripanjar biaya perkara yang telah dibayarkan pada saat pendaftaran. Jika panjar biaya perkara  kurang, maka Penggugat wajib menambahkannya, sebaliknya, jika lebih maka biaya tersebut harus dikembalikan kepada Penggugat.

Bagi Penggugat dan Tergugat yang tidak mampu membayar biaya perkara, Hukum Acara Perdata juga mengizinkan untukberperkara tanpa biaya (prodeo/free of charge). Untuk berperkara tanpa biaya, Penggugat dapat mengajukan permintaan izin berperkara tanpa biaya itu dalam surat gugatannya atau dalam surat tersendiri. Selain Penggugat, Tergugat juga dapat mengajukan izin untuk berperkara tanpa biaya, izin mana dapat diajukan selama berlangsungnya proses persidangan. Permintaan izin berperkara tanpa biaya itu disertai dengan surat keterangan tidak mampu dari camat atau kepada desa tempat tinggal pihak yang mengajukan. 
Registrasi Perkara
Registrasi perkaraadalah pencatatan gugatan ke dalam Buku Register Perkara untuk mendapatkan nomor gugatan agar dapat diproseslebih lanjut. Registrasi perkara dilakukan setelah dilakukannya pembayaran panjar biaya perkara. Bagi gugatan yang telah diajukan pendaftarannya ke Pengadilan Negeri namun belum dilakukan pembayaran panjar biaya perkara, maka gugatan tersebut belum dapat dicatat di dalam Buku Register Perkara, sehingga gugatan tersebut belum terigstrasi dan mendapatkan nomor perkara dan karenanya belum dapat diproses lebih lanjut – dianggap belum ada perkara. Dengan demikian, pembayaran panjar biaya perkara merupakan syarat bagi registrasi perkara, dan dengan belum dilakukannya pembayaran maka kepaniteraan tidak wajib mendaftarkannyake dalam Buku Register Perkara. 

Pelimpahan Berkas Perkara Kepada Ketua Pengadilan Negeri
Setelah Penitera memberikan nomor perkara berdasarkan nomor urutdalam Buku Register Perkara, perkara tersebut dilimpahkan kepada Ketua Pengadilan Negeri. Pelimpahan tersebut harus dilakukan secepat mungkin agar tidak melanggar prinsip-prinsip penyelesaian perkara secara sederhana, cepat dan biaya ringan – selambat-lambatnya 7 hari dari tanggal registrasi.

Penetapan Majelis Hakim Oleh Ketua Pengadilan Negeri
Setelah Ketua Pengadilan Negeri memeriksa berkas perkara yang diajukan Panitera, kemudian Ketua Pengadilan Negeri menetapkan Majelis Hakim yang akan memeriksa dan memutus perkara. Penetapan itu harus dilakukan oleh Ketua Pengadilan Negeri selambat-lambatnya 7 hari setelah berkas perkara diterima oleh Ketua Pengadilan Negeri. Majelis Hakim yang akan memeriksa dan memutus perkara tersebut terdiri dari sekurang-kurangnya 3 orang Hakim – dengan komposisi 1 orang Ketua Majelis Hakim dan 2 lainnya Hakim Anggota. 
  
Penetapan Hari Sidang
Selanjutnya, setelah Majelis Hakim terbentuk, Majelis Hakim tersebut kemudian menetapkan hari sidang. Penetapan itu dituangkan dalam surat penetapan. Penetapan itu dilakukan segera setelah Majelis Hakim menerima berkas perkara, atau selambat-lambatnya 7 hari setelah tanggal penerimaan berkas perkara. Setelah hari sidang ditetapkan, selanjutnya Majelis Hakim memanggil para pihak (Penggugat dan Tergugat)untuk hadir pada hari sidang yang telah ditentukan itu. (legalakses.com).

Sunday, March 24, 2013

Diduga, Penyerang Lapas Sleman terkait TNI

"Secara pribadi saya sependapat dengan Pak Denny. Arogansi TNI, apalagi Kopassus, masih sangat nyata dan kentara. Mereka sangat berkepentingan dan sangat terkait dengan kasus ini, mengingat korban penganiayaan oleh keempat tersangka (yang kemudian tewas secara mengenaskan itu) adalah anggota TNI. Siapa lagi kalau bukan mereka. Mereka terlihat sudah merencanakan pembalasan dendam, dengan memilih empat orang dari sekian banyak penghuni Lapas Sleman. Sekiranya teroris yang kita sangkakan sebagai pelakunya, mungkin seluruh penghuni Lapas akan dihabisi. Dengan kasus ini kita mendapatkan kesan, bahwa TNI yang kita harapkan dapat menjadi teladan dalam penegakan hukum ternyata tidak dapat dipercaya karena memberikan contoh yang buruk. Jika kasus ini sudah ditangani kepolisian, seharusnya TNI menyerahkan prosesnya kepada kepolisian, bukan malah menghabisi tersangka karena merasa berkuasa melakukan apa saja karena ada senjata, granat, dan skill perang yang dimilikinya. Pada akhirnya mari kita mendoakan keempat korban yang tewas di Lapas Sleman, kiranya arwah mereka diampuni dan layak mendapatkan tempat di sisi Tuhan."
 
JAKARTA, KOMPAS.com - Pelaku penyerangan terhadap Lembaga Pemasyarakatan Sleman, Yogyakarta, Sabtu (23/3/2013) dini hari tadi diduga terkait dengan jajaran Tentara Nasional Indonesia (TNI). Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, Denny Indrayana mengungkapkan dugaan tersebut.
“Adalah salah satu dugaan ini terkait dengan jajaran di TNI pelakunya,” kata Denny di Jakarta, Sabtu. Dugaan ini muncul setelah melihat empat tahanan korban penyerangan yang ternyata merupakan pelaku penganiayaan terhadap anggota TNI AD Kesatuan Kopassus Kandang Menjangan, Kartosuro, Solo, Sersan Satu Santoso.
Menurut Denny, insiden penganiayaan terhadap anggota TNI itulah yang mungkin melatarbelakangi penyerangan di Lapas Sleman dini hari tadi. “Karena insiden sebelumnya yang melatarbelakangi, ada anggota Kopassus meninggal sehingga ada yang mengarah ke sana,” ujar Denny. 

Untuk itulah, lanjutnya Kemenetrian Hukum dan HAM selaku pengelola Lapas, berkoordinasi dengan TNI agar tidak masalah ini tidak meluas. “Tentu saja langkah antisipasi perlu dilakukan agar eskalasinya tidak melebar ke mana-mana, koordinasi dengan TNI adalah langkah normal,” ucap Denny.
 
Meskipun demikian, Denny menegaskan, dugaan tersebut belum tentu benar. Masih diperlukan investigasi yang menyeluruh dan cepat untuk menemukan siapa pelaku penyerangan di Lapas tersebut. “Tidak bisa dijastifikasi atau dipastikan ini pelakunya TNI,” ujar Denny.
 
Sejau ini, Kemenhuk dan HAM bekerja sama dengan TNI dan Kepolisian, masih melakukan pendalaman di lapangan. Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Amir Syamsuddin sudah berada di lokasi kejadian sejak pagi tadi.

Secara terpisah, Panglima Kodam IV/ Diponegoro Mayjen TNI Hardiono Saroso membantah prajurit TNI terlibat penyerangan Lapas Sleman.

"Bukan dari prajurit TNI, tidak ada prajurit yang terlibat. Saya bertanggung jawab penuh sebagai Pangdam IV/Diponegoro," katanya seusai upacara penutupan Dikmaba TNI AD Tahap I TA 2012 di Kodam IV/Diponegoro di Lapangan Rindam, Magelang, Sabtu pagi.

Seperti diketahui, penyerangan di Lapas Sleman menewaskan empat tahanan. Keempat tahanan itu merupakan pelaku penganiayaan terhadap anggota TNI AD Kesatuan Kopassus Kandang Menjangan, Kartosuro, Solo, Sersan Satu Santoso. Akibat penganiayaan di Hugo Café tersebut, Santoso meninggal beberapa waktu lalu.
 
Salah satu dari empat tahanan tersebut, yakni Yohanes Juan Manbait atau Juan merupakan anggota Polrestabes Yogyakarta. Ketiga tahanan lainnya adalah Gameliel Yermiyanto Rohi Riwu, Adrianus Candra Galaja, dan Hendrik Angel Sahetapi alias Deki. 
 
Penyerangan di Lapas Cebongan ini berawal saat sekelompok orang bersenjata dan bertopeng memaksa masuk ke dalam Lapas melalui pintu portir dengan mendongkan senjata. Kelompok orang tak dikenal itu mencari kamar empat tahanan tersebut. Setelah menemukan kamar empat tahanan pelaku penganiayaan itu, kelompok bertopeng ini langsung menembak empat tahanan tersebut hingga tewas. 
 
Aksi mereka pun melukai sedikitnya delapan petugas keamanan dan merusak CCTV di Lapas. Menurut informasi dari Humas Ditjen Pemasyarakatan, petugas yang luka di antaranya, Widiatmana dengan pangkat III/a, mengalami luka di dagu, serta Supratikno pangkat II/c yang luka di mata sebelah kanan. Adapun biaya pengobatan petugas Lapas akan ditanggung pihak Kemenkum HAM. 
 
Editor : Hindra

Friday, March 22, 2013

Jerat untuk pelaku santet dan kumpul kebo

Komisi Hukum Dewan Perwakilan Rakyat mulai membahas perubahan Undang-undang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana. Revisi aturan hukum ini diperkirakan selesai pertengahan 2014.

“Revisi ini penting karena KUHP sudah berusia lebih dari 50 tahun sedangkan KUHAP sejak 1981 belum direvisi,” kata Wakil Ketua Komisi III DPR, Tjatur Sapto Edy, di Jakarta hari ini.

Tjatur mengatakan, DPR telah meminta masukan dari kalangan akademisi, yakni dari Universitas Diponegoro, Universitas Sebelas Maret, Universitas Soedirman, Universitas Brawijaya, dan Universitas Airlangga, untuk revisi KUHAP. Sedangkan masukan untuk KUHP datang dari luar Pulau Jawa.

Tjatur mengatakan, banyak pasal-pasal dalam kedua aturan hukum itu yang berasal dari zaman Belanda sehingga tidak sesuai dengan norma Hukum Indonesia. Selain itu, “Kita akan menjadikan Pancasila sebagai dasar dari segala sumber hukum, dan ketatanegaraan di Indonesia”, katanya.

Selain rancangan hukum pidana dan hukum acara pidana itu akan memasukan seluruh hukum pidana, yang tersebar di berbaga perundang-undangan. Oleh sebab itu, rancangan itu memuat soal tindak pidana pencucian uang, terorisme, penghapusan kekerasan dalam rumah tangga, lingkungan hidup, perlindungan benda cagar budaya, hak asasi manusia, kesehatan, dan sebagainya.

Akan tetapi, rancangan perubahan itu telah memasukan isu-isu kontroversial. Di antaranya adalah soal pidana untuk santet dan kumpul kebo. Salah seorang yang memprotes adalah sosiolog dari Universitas Indonesia, Thamrin Tamangola. Menurutnya, urusan kumpul kebo sebaiknya diserahkan pada masyarakat lokal.

“Karena masing-masing masyarakat lokal pengaturannya sangat beragam, kata Thamrin. Dalam kacamata sosiologi, menurut dia, ide perkawinan muncul dari kalangan kelas menengah. Adapun kelas bawah sibuk dengan himpitan ekonomi yang bisa melakukan apa saja.

“Kalau kumpul kebo, biasanya dari kelas atas dan kelas bawah. Kelas atas karena kelebihan ekonominya, kelas bawah karena himpitan kemiskinan. Makanya jika ada kawin massal banyak sekali yang ikut. Karena mereka sebetulnya mau tetapi tidak mampu,” ungkap Thamrin.
Tetapi sosiolog dari Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Musni Umar, tak setuju. Dia mengatakan bawah soal kumpul kebo itu harus diatur supaya seks bebas tidak merajalela. “Supaya tidak merusak generasi sekarang dan yang akan datang,” katanya.

Sedangkan soal santet, dinilai akan menimbulkan kegoncangan sosial. Anggota Komisi III DPR, Didi Irawadi Syamsuddin, mengatakan bila delik santet dianggap sebagai delik materil, maka amat sulit pembuktiannya.
“Bagaimana membuktikan bahwa seseorang memiliki ilmu gaib atau ilmu hitam? Apalagi bila sampai harus membuktikan apakah benar akibat perbuatan orang itu, atau santetnya, ilmu gaibnya, ilmu hitamnya, menyebabkan korban meninggal atau luka-luka?” kata Didi.

Di sisi lain, bila pasal santet dikategorikan sebagai delik formal, maka tak perlu akibat dari perbuatan orang tersebut. Juga tak perlu dibuktikan apakah benar orang itu menyantet. “Ini pun akan menimbulkan masalah, bahkan tak mustahil kegoncangan sosial,” katanya. “Sebab, seseorang bisa saja dipenjara karena tuduhan-tuduhan bisa menyantet, atau tuduhan sebagai dukun santet.


Delik Santet
  1. Setiap orang yang menyatakan dirinya mempunyai kekuatan gaib, memberitahukan harapan, atau memberikan bantuan jasa kepada orang lain bahwa karena perbuatannya dapat menimbulkan penyakit, kematian, penderitaan mental atau fisik seseorang, dipidana dengan pidana paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak kategori IV.
  2. Jika pembuat tindak pidana sebagaimana dimaksudkan pada ayat (1) melakukan  perbuatan tersebut untuk mencari keuntungan atau menjadikan sebagai mata pencaharian atau kebiasaan, maka pidananya dapat ditambah dengan 1/3 (satu per tiga).
Delik Kumpul Kebo

Pasal 485: Setiap orang yang melakukan hidup bersama sebagai suami istri di luar perkawinan yang sah, dipidana dengan penjara paling lama 1 tahun atau pidana paling banyak 30 juta. Hukuman ini bersifat alternatif yaitu hakim dapat memilih apakah dipidana atau didenda.









Thursday, March 21, 2013

Pembuktian Terbalik




“Harta karun” Inspektur Jenderal Djoko Susilo yang terbongkar dan disita Komisi Pemberantasan Korupsi membuuat publik terenyak. Bagaimana tidak, hingga saat ini sudah hampir 40 item aset yang diduga terkait dengan Djoko disita KPK dari sejumlah tempat di Jawa dan Bali. 

Aset itu antara lain: 26 buah berbentuk tanah dan rumah mewah, tiga stasiun pengisian bahan bakar umum, empat mobil, dan enam bus pariwisata. KPK juga memblokir sejumlah rekening milik bekas Kepala Korps Lalu Lintas Kepolisian RI itu. Nilainya diperkirakan Rp100 miliar.

Harta itu tak wajar dan tidak sesuai dengan profil Djoko sebagai perwira polisi. Menilik pangkatnya, gaji yang diterima Irjen Djoko lumayan besar. Penghasilan murni seorang jenderal bintang dua bisa mencapai Rp25 juta, termasuk gaji pokok Rp6 juta, setiap bulan. Tapi tetap saja nilai itu masih jauh dari harta jumbo yang dimilikinya.

Kini tugas KPK adalah mencari bukti bahwa aset-aset itu diperoleh dari hasil korupsi. Karena itulah Djoko juga ditetapkan sebagai tersangka tindak pidana pencucian uang, di samping sebagai tersangka kasus awalnya, yaitu dugaan korupsi pengadaan simulator untuk pembuatan Surat Izin Mengemudi. 

Lewat pasal TPPU ini, Djoko bisa diminta melakukan pembuktian terbalik mengenai asal-usul hartanya itu. Asas pembuktian terbalik pada kasus pencucian uang pelaku korupsi lebih muda diterapkan dan dibuktikan di pengadilan. Jika bekas Gubernur Akademi Kepolisian itu tak bisa membuktikan hartanya bukan berasal dari korupsi, harta itu akan dirampas untuk negara.

Tuesday, March 19, 2013

The Passion of Christ is a Remedy Against Sin



We find in the Passion of Christ a remedy against all the evils that we incur through sin. Now these evils are five in number. (i) We ourselves become unclean. When a man commits any sin he soils his soul, for just as virtue is the beauty of the soul, so sin is a stain upon it. How happeneih it, O Israel, that thou art in thy enemies land? Thou art grown old in a strange country, thou art defiled with the dead (Baruch iii. 10, 11).
The Passion of Christ takes away this stain. For Christ, by His Passion, made of His blood a bath wherein He might wash sinners. The soul is washed with the blood of Christ in Baptism, for it is from the blood of Christ that the sacrament draws its power of giving new life. When therefore one who is baptised soils himself again by sin, he insults Christ and sins more deeply than before.
(ii) We offend God. As the man who is fleshly-minded loves what is beautiful to the flesh, so God loves spiritual beauty, the beauty of the soul. When the soul’s beauty is defiled by sin God is offended, and holds the offender in hatred. But the Passion of Christ takes away this hatred, for it does what man himself could not possibly do, namely it makes full satisfaction to God for the sin. The love and obedience of Christ was greater than the sin and rebellion of Adam.
(iii) We ourselves are weakened. Man believes that, once he has committed the sin, he will be able to keep from sin for the future. Experience shows that what really happens is quite otherwise. The effect of the first sin is to weaken the sinner and make him still more inclined to sin. Sin dominates man more and more, and man left to himself, whatever his powers, places himself in such a state that he cannot rise from it. Like a man who has thrown himself into a well, there he must lie, unless he is drawn up by some divine power. After the sin of Adam, then, our human nature was weaker, it had lost its perfection and men were more prone to sinning.
But Christ, although He did not utterly make an end of this weakness, nevertheless greatly lessened it. Man is so strengthened by the Passion of Christ and the effect of Adam’s sin is so weakened that he is no longer dominated by it. Helped by the grace of God, given him in the sacraments, which derive their power from the Passion of Christ, man is now able to make an effort and so rise up from his sins. Before the Passion of Christ there were few who lived without mortal sin, but since the Passion many have lived and do live without it.
(iv) Liability to the punishment earned by sin. This the justice of God demanded, namely, that for each sin the sinner should be punished, the penalty to be measured according to the sin. Whence, since mortal sin is infinitely wicked, seeing that it is a sin against what is infinitely good, that is to say, God whose commands the sin despises, the punishment due to mortal sin is infinite too.
But by His Passion Christ took away from us this penalty, for He endured it Himself. Who His own self bore our sins, that is the punishment due to us for our sins, in his body upon the tree (i Pet. ii. 24).
So great was the power and value of the Passion of Christ that it was sufficient to expiate all the sins of all the world, reckoned by millions though they be. This is the reason why baptism frees the baptised from all their sins, and why the priest can forgive sin. This is why the man who more and more fashions his life in conformity with the Passion of Christ, and makes himself like to Christ in His Passion, attains an ever fuller pardon and ever greater graces.
(v) Banishment from the kingdom. Subjects who offend the king are sent into exile. So, too, man was expelled from Paradise. Adam, having sinned, was straightway thrown out and the gates barred against him.
But, by His Passion, Christ opened those gates, and called back the exiles from banishment. As the side of Christ opened to the soldier’s lance, the gates of heaven opened to man, and as Christ’s blood flowed, the stain was washed out, God was appeased, our weakness taken away, amends made for our sins, and the exiles were recalled. Thus it was that Our Lord said immediately to the repentant thief, This day thou shalt be with me in Paradise (Luke xxiii. 43). Such a thing was never before said to any man, not to Adam nor to Abraham, nor even to David. But This day, the day on which the gate is opened, the thief does but ask and he finds. Having confidence in the entering into the holies by the blood of Christ (Heb. x. 19).