Friday, May 31, 2013

Gereja Katolik Bekerja Keras Menyatukan Warga Khmer dan Vietnam di Kamboja




Dengan kegemerlapan di Pulau Berlian, sebuah proyek pembangunan raksasa di Sungai Tonle Bassac, pemerintah Kamboja memiliki rencana ambisius untuk membangun sebuah gedung pencakar langit tertinggi di dunia, yang berlokasi di tepi sungai di Tuol Tang.
Namun, lingkungan miskin di bantaran sungai itu di pusat kota Phnom Penh, modernisasi secara cepat ibukota Kamboja itu tampaknya masih jauh.
Tuol Tang adalah rumah bagi beberapa ratus imigran asal Vietnam, dan Gereja Katolik telah bekerja keras untuk mempersatukan mereka ke dalam masyarakat Kamboja, menghilangkan sikap resistensi di antara kedua pihak dan dalam Gereja itu sendiri.
Meskipun sejumlah warga Vietnam Tuol Tang telah tinggal di Kamboja selama puluhan tahun, mayoritas mereka hampir tak bisa berbicara bahasa Khmer, bahasa nasional, kata Pastor Van Vinh, penanggungjawab Gereja St. Maria.
Gereja St. Maria terletak di ujung gang kecil tak beraspal. Rumah-rumah kayu yang mengelilingi gereja itu sering terendam banjir saat Sungai Bassac meluap.
Selama beberapa tahun terakhir, Pastor Vinh telah mengirim 60 anak Vietnam etnis Tuol Tang ke sekolah-sekolah negeri di Kamboja.
“Pada awalnya, ada banyak perlawanan dari keluarga mereka, yang menanyakan mengapa anak-anak mereka harus belajar bahasa Khmer,” katanya.
Permusuhan antara warga Kamboja dan warga Vietnam masih terjadi, bahkan di kalangan umat Katolik.
Menurut Pastor Vinh: “Para kakek [Vietnam] membenci warga Khmer, dan mereka ingin keluarga mereka tidak boleh berbaur dengan warga Khmer.”
Sejumlah keluarga Katolik Vietnam yang tiba di sini tahun 1950 dan 1960-an diusir dan kemudian perang Kamboja dikuasai kaum pemberontakan yang dipimpin oleh Khmer Merah. Ketika rezim Pol Pot mengambil alih kekuasaan tahun 1975, banyak dari mereka hidup berpindah-pindah di sungai-sungai Kamboja.
Pemukiman terbaru mereka, tepat di bantaran sungai Tuol Tang, dibakar beberapa tahun lalu.
Perluasan kota Phnom Penh telah melibatkan mereka dan kini mereka hidup baik di dalam kota itu.
Meskipun sebagian besar mereka lahir di Kamboja, mayoritas berbicara bahasa Vietnam dan sedikit menggunakan bahasa Khmer. Tak satu pun dari kedua negara itu mengakui mereka sebagai warga negara mereka.
Berkat upaya Pastor Vinh, anak-anak Vietnam Tuol Tang ikut PAUD (Pendidikan Anak Usia Dini) dua tahun di gereja.
“Ketika mereka berada di sekolah mereka dapat berbicara bahasa Khmer dengan baik dan tidak dikucilkan,” kata Pastor Vinh. “Kami ingin memberi mereka kesempatan untuk memiliki masa depan, berbaur dengan masyarakat di tempat mereka tinggal.”
Tapi, usahanya telah ditentang bahkan dalam Gereja lokal. Sejumlah umat Katolik meragukan bahwa dua komunitas itu dapat bersatu sepenuhnya.
Sekitar dua pertiga warga Kamboja sekitar 30.000 umat Katolik berasal dari Vietnam, demikian Vikjen Prefektur Apostolik Phnom Penh, Pastor Mario Ghezzi. Sekitar 10.000 tinggal di ibukota itu atau di pinggiran kota, di luar dari sekitar 13.000 umat Katolik di daerah ini.
“Jika Anda membaurkan (umat Katolik) Vietnam dan Kamboja, dalam waktu 10 tahun tidak akan ada banyak umat Katolik Kamboja. Warga Khmer akan mulai diam-diam tidak ke gereja, dan akhirnya hilang,” kata Pastor François Ponchaud, seorang misionaris Perancis, yang telah menghabiskan sebagian besar hidupnya di Kamboja.
Pastor Ponchaud menerbitkan bukunya tahun 1977, Cambodia: Year Zero, revealed to the world the sheer scale of the brutality inflicted on the country by the Khmer Rouge.
Sebelum revolusi komunis, Gereja Kamboja sebagian besar merupakan cabang dari Vietnam.
Menurut Pastor Ponchaud, “Sebelum tahun 1970, warga Vietnam telah benar-benar memikat Gereja. Warga Vietnam mungkin menjadi Khmer dan Katolik.”
Namun, tahun 1970 pemerintah Kamboja memutuskan mengusir sebagian besar warga Vietnam. “Bagi kami itu adalah kejutan, sebuah pulau berubah. Kami harus mulai lagi dari awal,” kata Uskup Yves-Georges-René Ramousse, mantan Vikaris Apostolik Phnom Penh hingga Khmer Merah mengambil alih kota itu pada April 1975.
Selama 15 tahun berikut, Gereja mengalami kepunahan di Kamboja. Selama empat tahun Khmer Merah berkuasa, agama benar-benar punah. Misionaris melarikan diri dan bahkan kuil-kuil di negara yang mayoritas Buddha ini dihancurkan atau digunakan untuk tujuan lain. Ketika rezim Pol Pot digulingkan dari Phnom Penh pada awal 1979 oleh tentara Vietnam, mereka tinggal selama beberapa dekade berikutnya maka Kamboja mulai stabil tetapi tetap sebagian besar membatasi Gereja karena pertempuran terus berkecamuk di pinggiran negara itu.
Ketika tentara Vietnam meninggalkan negara itu awal tahun 1990-an Gereja mulai membangun kembali di sini, identitas Khmer sudah mulai jelas.
Saat ini liturgi diadakan secara eksklusif dalam bahasa Khmer, meskipun mayoritas umat Katolik adalah orang Vietnam.
Tapi dalam beberapa tahun terakhir, “re-Vietnamisasi” mulai terjadi di Gereja, demikian Pastor Ponchaud. Upaya Pastor Vinh menyatukan masyarakat Vietnam Tuol Tang ke dalam Gereja dan masyarakat secara keseluruhan adalah bagian dari proses ini.
Pastor Ghezzi mengatakan bahwa perpecahan masa lalu – tercatat dalam sejarah konflik belum lama ini di antara Kamboja dan Vietnam – harus diatasi jika Gereja di sini bersatu sepenuhnya.
“Saya setuju bahwa liturgi harus dalam bahasa Khmer tapi mungkin untuk menenangkan kedua komunitas. Gereja harus menjadi tanda kenabian bagi seluruh masyarakat, mengatasi perpecahan batin,” katanya.
Pastor Vinh setuju: “Kita telah hidup di era yang baru. Tentu saja sulit bagi generasi  tua Khmer dan Vietnam untuk menghilangkan kenangan pahit mereka. Tapi, bagi orang-orang muda saat perang kini sudah lewat.”

No comments:

Post a Comment