Friday, June 28, 2013

Sebuah kelompok Katolik di Mindanao raih penghargaan perdamaian

Sebuah kelompok Katolik yang melakukan gerakan perdamaian antaragama di Mindanao, Filipina Selatan telah meraih penghargaan bergengsi dari Goi Peace Award, sebuah penghargaan dari Jepang, yang sebelumnya diberikan kepada pendiri Microsoft Bill Gates dan mantan presiden Kosta Rika.
Kelompok Silsilah Dialog Movement didirikan oleh Pastor Sebastiano D’Ambra, seorang misionaris Italia,  di Zamboanga City. Kelompok ini telah memberikan pelatihan dan mendirikan proyek-proyek lain untuk mempromosikan perdamaian antara Kristen dan Muslim di Mindanao yang dilanda konflik sejak tahun 1984.
“Upaya yang dilakukan para anggota organisasi itu tidak hanya memajukan  proses perdamaian sejati dalam komunitas-komunitas mereka, tapi telah menginspirasi banyak orang di seluruh dunia dengan contoh dialog sejati berdasarkan spiritualitas,” kata badan pemberian penghargaan itu dalam pernyataan.
Pastor D’Ambra mengatakan penghargaan ini adalah sebuah “pengakuan” bagi upaya bersama kelompok itu untuk membantu mengakhiri konflik di Pulau Mindanao, yang melibatkan para pemberontak Islam dan komunis selama 30 tahun terakhir.
Dimulai dengan sekelompok teman-teman Muslim dan Kristen, Pastor D’Ambra telah melihat gerakan itu terus bertumbuh dalam membangun perdamaian dan berbagai kegiatan dialognya. Kelompok itu juga terlibat dalam pertanian berkelanjutan, advokasi lingkungan dan kesehatan holistik.
Silsilah adalah kata bahasa Arab yang berarti ‘rantai’, yang memiliki makna spiritual tentang “hubungan antarsesama manusia yang diciptakan oleh Tuhan yang sama,” kata Pastor D’Ambra.
Kelompok itu akan menerima penghargaan pada sebuah acara khusus yang akan diadakan oleh  Goi Peace Foundation Forum di Tokyo pada November tahun ini.
Sumber:  Mindanao group wins top peace award

Berhentilah Menjadi Bangsa Pemarah!

Walaupun dihujani protes keras, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tetap menerima penghargaan World Statesman dari The Appeal of Conscience Foundation di New York, Amerika Serikat, 30 Mei lalu. Banyak pihak menyebutkan, Presiden tidak pantas menerima penghargaan itu karena Indonesia masih bermasalah dalam kerukunan beragama.

Namun, Presiden punya jawaban. ”Meskipun masih ada masalah dalam negeri kita, masih ada kejadian yang belum mencerminkan kerukunan hidup antarumat beragama, itu saya akui. Oleh karena itu, mudah-mudahan bagi saya sendiri, bagi bangsa Indonesia, hal baik yang dilihat dunia itu kita terima kalau itu diakui. Justru kita harus berbuat lebih keras, lebih serius, dan efektif lagi untuk perbaiki lagi.”

Pernyataan Presiden itu tentu masuk akal, tetapi pihak-pihak yang berseberangan juga tak kalah rasionalnya. Pada masa transisi politik, konflik sosial begitu gampangnya memicu kekerasan kolektif. Ketika sistem politik otoriter-sentralistik bermetamorfosis ke sistem demokratis-desentralistik, sistem ekonomi kapitalisme pertemanan ke sistem ekonomi pasar, dan sistem sosial yang makin terpolarisasi, letupan konflik menjadi lorong kelam Indonesia.

Di panggung politik, rakyat sangat menentukan, seperti dalam pemilu atau pilkada. Namun, kemajuan penting dalam berdemokrasi itu justru dibebani ekses negatif, yaitu maraknya konflik. Kementerian Dalam Negeri mencatat, kekerasan dalam pilkada sejak 2005 menewaskan sedikitnya 59 orang dan melukai 230 orang. Ada 279 rumah, 30 kantor pemerintah daerah, 11 kantor partai politik, 10 kantor Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD), dan berbagai jenis bangunan lain dirusak atau dibakar massa.

Sampai hari ini konflik di Papua masih mengalami eskalasi yang naik-turun. Namun, konflik sosial yang paling parah adalah konflik yang terjerumus ke dalam konflik berlatar agama atau etnik. Pengalaman paling mengerikan adalah konflik di Poso (Sulawesi Tengah), Ambon (Maluku), dan konflik etnik di sejumlah daerah di Kalimantan. Bahkan, di Poso, hingga kini kekerasan masih menjadi momok yang memicu instabilitas keamanan.

Konflik menjadi ironi dalam masyarakat yang heterogen, baik antaragama seperti dalam kasus jemaat GKI Yasmin di Bogor, maupun intra-agama seperti kasus jemaah Ahmadiyah dan penganut Syiah. Kasus-kasus tersebut belum terselesaikan, bahkan dampaknya bukan saja traumatik secara psikologis, tetapi juga secara sosial mereka terusir dari kampung halaman.

Setahun ini, sebagaimana juga selama 15 tahun pascareformasi, kita menjumpai bangsa ini penuh amarah. Kebencian dan ketidaksukaan terhadap kelompok tertentu, serta reaksi keras terhadap berbagai perbedaan seakan mengalir dalam aliran darah di tubuh kita. Hanya gara-gara persoalan sepele, kemarahan bisa menjadi kekerasan masif yang destruktif. Bahkan, seorang Komaruddin Hidayat—yang juga Rektor Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta—pun ragu bahwa kita bangsa penuh sopan-santun.

Kekerasan seolah-olah menjadi saluran tunggal untuk penyelesaian suatu masalah. Dan, sentimen primordial, seperti suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA), begitu cepatnya tersulut.

Memang, SARA menjadi sumber pemicu konflik yang paling ”anggun”. Penggunaan simbol-simbol agama merupakan konflik yang dampaknya paling rawan, masif, dan destruktif. Sebab, agama memberikan pengaruh yang sangat kuat dalam kehidupan pemeluknya, baik secara personal maupun sosial. Tidak mengherankan, dalam konflik agama, para pelakunya merasa faktor penggeraknya adalah tujuan mulia.

Meskipun demikian, konflik berlatar agama sesungguhnya tidak melulu atas dasar agama atau motif sakral, tetapi berkelindan atau justru malah diinisiasi oleh motif-motif sekuler, terutama motif politik atau perebutan kekuasaan (power) ataupun motif ekonomi atau sumber daya alam (resources). Namun, agama sering kali menjadi instrumen pembenaran dalam membingkai konflik. Dalam pandangan Peter L Berger, agama merupakan salah satu alat legitimasi yang paling efektif.

Kaitan agama dan politik, menurut Haryatmoko (2010), menyentuh tiga mekanisme pokok, yaitu fungsi ideologis, faktor identitas, dan legitimasi etis hubungan sosial. Sebagai fungsi ideologis, agama menjadi perekat masyarakat karena memberikan kerangka penafsiran dalam pemaknaan hubungan-hubungan sosial. Sebagai fungsi identitas, agama dapat didefinisikan sebagai kepemilikan kelompok sosial tertentu yang dapat memberikan stabilitas sosial, status, pandangan hidup, cara berpikir, dan etos. Sebagai fungsi legitimasi etis hubungan sosial, agama menjadi pendukung suatu tatanan sosial, yang bisa memunculkan fanatisme agama.

Tak mengherankan dalam ruang besar republik ini, kemarahan begitu terlihat jelas. Watak kekerasan menjadi kultur negatif bangsa ini. Intoleransi terlalu sering terdengar di telinga. Kekerasan punya banyak dimensi, antara lain pembuktian jati diri, loyalitas, kebanggaan, ekspresi kelas sosial, dan lain-lain. Ketika kekerasan telah terinstitusionalisasi, kekerasan menjadi bagian dari sistem.

Konflik yang tak teratasi, politik yang selalu gaduh, dan hukum yang tebang pilih, menggambarkan situasi anomi, sebagaimana dilukiskan Emile Durkheim. Situasi tanpa keteraturan, kegamangan, instabilitas itu seolah-olah berbanding terbalik dengan kondisi ”normal” Orde Baru. Tak mengherankan, banyak yang mencibir bahwa lebih enak pada zaman Soeharto, yang dinilai stabil. Namun, sebetulnya bukanlah kerinduan pada cara-cara Soeharto, tetapi lebih karena kita merasa kecewa dan lelah dengan situasi saat ini.

Maka, penghargaan bergengsi yang diterima Presiden SBY itu seharusnya bisa benar-benar dijadikan modal untuk bekerja lebih keras lagi, agar terbangun kembali relasi sosial yang melahirkan harmoni, sekaligus membenamkan amarah bangsa ini. Kita butuh pemimpin di barisan terdepan agar bisa melewati lorong gelap ini.
Editor : Caroline Damanik

Debat kata ‘Allah’ di Malaysia berlanjut


"Agama dan negara adalah dua entitas yang berbeda, terutama pada hal yang menjadi pokok pelayanannya. Agama mengurusi spiritualitas insan beriman dalam hubungannya dengan "Allah", sedangkan negara mengurusi urusan duniawi. Ketika keduanya digabungkan maka akan terjadi konflik kepentingan, mengingat adanya berbagai agama yang hidup dan berkembang di suatu negara. Akan ada kekecewaan besar jika suatu agama diutamakan dan yang lainnya dikorbankan. Maka, sebaiknya agama dan negara dipisahkan. Bisakah hal itu dilakukan di negara yang mayoritas pemeluknya adalah makhluk ber-Tuhan?"

Pemilu Malaysia telah berakhir dan kontroversi penggunaan kata Allah muncul lagi dari arena politik dengan melakukan banding di pengadilan. Namun, kasus ini masih belum jelas kapan akan disidangkan. Apakah orang Kristen diperbolehkan menggunakan kata “Allah”  dalam publikasi bahasa Melayu karena mereka telah menggunakan kata itu  sejak terjemahan pertama Alkitab ke dalam bahasa Melayu sekitar 400 tahun lalu? 

Tahun 2008 Kementerian Dalam Negeri Malaysia mengatakan “Tidak”. Umat Muslim akan bingung jika kata itu dipakai orang Kristen, katanya, dan mengancam The Herald, mingguan Katolik edisi bahasa Melayu tidak boleh diterbitkan jika mereka terus menggunakan kata Allah.

The Herald telah membawa kasus itu ke pengadilan dan pihaknya menang pada Desember 2009 karena pemerintah tidak bisa membuktikan klaim “kebingungan” umat Muslim.
“Mereka tidak bisa memberikan satu contoh tentang ‘kebingungan’ tersebut,” kata editor The Herald Pastor Lawrence Andrew.

Pemerintah langsung mengajukan banding terhadap putusan itu, namun tanggal akhir untuk banding masih harus ditetapkan. Jika kata itu dilarang maka petugas bea cukai akan menyita ribuan Alkitab bahasa Melayu yang diimpor dari Indonesia.

Selama kampanye pemilu lalu Partai Barisan Nasional (BN) memasang baliho yang menunjukkan sebuah gereja dengan tulisan “Rumah Allah”. Tulisan di baliho tersebut: “Maukah kita lihat anak dan cucu kita pergi sembahyang ke Rumah Allah ini? Kalau kita benarkan khalimah  Allah digunakan di gereja, karena politik sampe sanggup menjual agama, bangsa dan negara….Pilihlah Partai Barisan Nasional karena ia dapat memempertahankan agama, bangsa dan negara”.

Pemilu 5 Mei itu umumnya dianggap sebagai bencana bagi BN. Meskipun partai itu mempertahankan mayoritas kursi, ia kehilangan suara populer. Sebanyak 51 persen pemilih menginginkan Malaysia yang multi-rasial dan multi-agama yang inklusif yang didukung oleh koalisi oposisi Pakatan Rakyat (PR). Bagi PR, orang Kristen menggunakan kata Allah itu tidak ada masalah. Banyak orang Malaysia yakin persekongkolan dan penipuan untuk menyelamatkan BN dari kehilangan kekuasaan, yang telah berkuasa sejak Malaysia merdeka 56 tahun lalu. BN tetap kokoh di daerah-daerah pedesaan, sedangkan PR memiliki basis massa di kelas menengah perkotaan.

Mayoritas orang-orang desa di Malaysia adalah Muslim taat dan sumber utama informasi adalah media pemerintah dan media yang dikendalikan BN/UMNO. Untuk menopang basis pemilih pedesaan, UMNO mengangkat isu agama, dengan menggunakan kata Allah sebagai sarana kampanye. Mengapa kasus Allah-Herald ditunda tiga tahun dan muncul lagi di pengadilan setelah pemilu yang banyak kontroversi tersebut. Para kuasa hukum The Herald belum berkomentar meskipun Annou Xavier, seorang pengacara yang menangani salah satu dari dua gugatan hukum terkait kasus kata Allah yang diajukan oleh orang Kristen Protestan. “Perdana Menteri Najib Razak kalah dan merasa malu dalam pemilu itu. Sekarang, pada musim panas ini ia ingin menghadiri konferensi Partai UMNO sebagai penyelamat dari kata Allah dan Islam.”

Ketika banding tersebut muncul lagi, Pastor Andrew yakin Gereja memiliki sebuah kasus yang kuat didukung oleh bukti tak terbantahkan. Dia mengambil sebuah Alkitab dari meja di kantornya di Kuala Lumpur, seraya mengatakan, “Pemerintah memerintahkan semua Alkitab harus dicap dan ‘digunakan oleh para penganut Kristen saja. Di sini Anda dapat melihat cap, yang ditandatangani oleh Kementerian Dalam Negeri”, katanya.
Ia juga mengutip ‘10 Butir Solusi,’ sebuah keputusan oleh Perdana Menteri Najib sendiri pada April 2011, yang menurut Pastor Andrew, pemerintah ”setuju penggunaan kata Allah dalam Alkitab bahasa Melayu.” Pemerintah mungkin merasa sulit untuk membantah keputusan itu. Namun, karena hal itu merupakan kasus pengadilan tertunda, tak seorang pun dalam Gereja Katolik untuk berkomentar.

Sementara itu, pihak oposisi yang didukung gerakan Black 505 (mengacu pada pemilu 5 Mei) telah mengadakan protes di seluruh Malaysia, dengan mengklaim kecurangan pemilu dan menuntut pengunduran diri KPU. Pemerintah telah merespon dengan menangkap pemimpin oposisi dan Black 505 serta menuduh mereka melakukan penghasutan. Dalam iklim ketidakpastian politik ini, tidak ada orang yang bisa memprediksikan kapan kasus kata Allah tersebut akan berakhir.

Michael Lenz, Kuala Lumpur

Gugatan Ditolak MK, Esthon-Paul Ucapkan Terima Kasih NTT




Sidang Mahkamah Konstitusi (MK) dengan agenda putusan terhadap sengketa Pilgub NTT antara KPU NTT dengan Paket Esthon-Paul, Kamis (27/6/2013) akhirnya memutuskan menolak seluruh permohonan pemohon (Paket Esthon-Paul).

Terhadap putusan MK ini, juru bicara Paket Esthon-Paul, Gabriel Beri Binna kepada Pos Kupang melalui layanan SMS, Kamis (27/6/2013) mengatakan, Pihaknya sudah berjuangan dengan sangat maksimal namun ternyata MK memutuskan lain.
Karena itu, Calon Gubernur, Esthon Foenay dan calon Wakil Gubernur, Paul Talo menyampaikan terimakasih kepada seluruh rakyat NTT yang telah mendoakan dan mendukung pasangan ini. “Kita semua sudah berjuang dengan sangat maksimal. Hari ini jam 17.30 WIB keputusan MK sudah menyatakan bahwa permohonan kita ditolak. Pak Esthon dan Pak Paul kedua tokoh yang kita usung menyampaikan terima kasih kepada seluruh rakyat NTT atas doa dan dukungannya.
Mewakili Pasangan Esthon-Paul, demikian Beri Binna, masyarakat NTT diminta untuk tetap jujur dan tulus membangun NTT ini secara bersama-sama. “Kita hormati proses hukum di MK dan keputusannya. Dan kita tetap jaga dan pelihara kejujuran dan ketulusan yang kita miliki untuk bersama-sama membangun Nusa Tenggara Timur,” pungkasnya.
Pantauan Pos Kupang, Kamis (27/6/2013) sekitar pukul 19.00 wita, suasana di Kantor KPU NTT tampak lengang dan sepi. Tidak ada pengawalan berlebihan dan hanya ada beberapa petugas kepolisian yang berjaga-jaga di teras kantor itu. Di Kediaman Calon Gubernur NTT, Esthon Foenay di Oepura pun sepi-sepi saja. Tidak ada konsentrasi massa karena keluarga itu sedang mengalami kedukaan.
 
 
Editor: alfred_dama
Sumber: Pos Kupang

Friday, June 21, 2013

Asap di Singapura, Indonesia Tidak Akan Minta Maaf


Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa mengatakan, Pemerintah Indonesia tidak akan melakukan permintaan maaf kepada Pemerintah Singapura atas kabut asap yang saat ini melanda negeri jiran tersebut. Namun, pemerintah saat ini sedang berupaya mencari solusi atas masalah tersebut.

"Tidak, tidak ada permintaan maaf. Saya kira pihak Singapura mengetahui bahwa ini kan bertahun-tahun kondisinya terus membaik. Upaya Indonesia juga telah membuahkan hasil," kata Marty saat ditemui di kantor Kementerian Perekonomian Jakarta, Jumat (21/6/2013).
Marty menambahkan, Pemerintah Indonesia dan Singapura pun sudah melakukan upaya kemitraan untuk mengatasi masalah asap tersebut. Pihak Indonesia dan Singapura pun juga telah berkomunikasi untuk berbagai informasi, terutama perkembangan terakhir kondisi asap di Singapura dan sekitarnya.
"Sebab, kami sudah bergerak dan berupaya untuk mengatasi bencana ini," tambahnya.
Marty juga mengungkapkan bahwa Pemerintah Singapura pun akan mengirim Menteri Lingkungan Hidupnya untuk berkunjung ke Jakarta. Rencananya, perwakilan dari Singapura tersebut akan bertemu mitranya, Menteri Lingkungan Hidup dari Indonesia, dan akan berkomunikasi lebih lanjut mengatasi hal ini.
Di sisi lain, Presiden pun sudah menginstruksikan untuk segera menangani masalah ini dan bekerja sama dengan lembaga terkait agar masalah asap ini lekas selesai. "Intinya upaya optimal mengatasi permasalahan utamanya kebakaran yang menyebabkan asap tersebut," ujarnya.
Sebelumnya, terkait protes dari Singapura, Menkokesra Agung Laksono dalam rapat koordinasi penanganan bencana tersebut mengatakan, Singapura jangan seperti anak-anak. Ini bukan Indonesia yang mau, tetapi atas pengaruh alam.
Sebelumnya, Hadi Daryanto, seorang pejabat Kementerian Kehutanan Indonesia, mengatakan, teknik pembalakan dan pembakaran digunakan di lahan yang murah sebagai metode pembersihan dan itu tidak hanya digunakan oleh petani lokal, tetapi juga karyawan perusahaan minyak sawit, termasuk yang dimiliki oleh pengusaha Singapura dan Malaysia.
"Kami mengharapkan Pemerintah Malaysia dan Singapura juga memberi tahu pengusaha mereka untuk mengadopsi kebijakan layak sehingga kita bisa mengatasi masalah ini bersama," tambah Hadi.
Editor : Erlangga Djumena

Monday, June 3, 2013

Ini Jalannya Pleno KPU Hasil Rekapiltuasi Pilgub NTT

Repost: Suasana Pleno KPU NTT, Sabtu (1/6/2013) di Kantor Sekertariat KPU NTT di Jalan Polisi Militer Kupang berlangsung tegang. 

Sesaat setelah Ketua KPU NTT, John Depa membuka rapat pleno dan masuk pada pembacaan tatatertib (tatib) rapat pleno, terjadi perdebatan sengit antara saksi Paket Esthon-Paul yang Juga sekretaris DPC Partai Gerindra NTT, Gabriel Beri Binna dengan Ketua KPU, John Depa.

Perdebatan juga terjadi pada saat pleno untuk kabupaten TTU, TTS, Sikka dan Sumba Barat Daya. Beri Binna meminta agar pleno hari itu ditunda hingga dugaan kecurangan yang terjadi selama pilgub putaran kedua diselesaikan. Namun permintaan Beri Binna ini ditolak oleh Ketua KPU, John Depa dengan alasan bahwa dugaan pelanggaran dan kecurangan yang terjadi itu akan diselesaikan pada forum lain.

Beri Binna bahkan sampai berdiri dari tempat duduknya untuk menunjukkan bukti dugaan kecurangan di Kabupaten Sikka yang dimilikinya kepada ketua KPU NTT, John Depa. Selain kepada KPU NTT, Beri Binna juga menunjukkan bukti itu kepada Bawaslu sambil meminta untuk ditindaklanjuti.

Ketua Bawaslu NTT, Nelce RP Ringu pada kesempatan itu juga menyampaikan bahwa apa yang disampaikan oleh Saksi Paket Esthon-Paul itu telah diketahui dan sedang ditangani pihaknya.

Tentang dugaan kecurangan di Sikka, Bawaslu mengatakan baru mengetahuinya pada pleno itu sehingga Bawaslu berniat meminta data dari Beri Binna namun permintaan itu ditolak oleh Ketua KPU, John Depa dengan alasan yang sama yakni, forum pleno itu bukan forum yang pas untuk penyelesaian masalah itu. Jhon Depa kembali mempersilahkan pasangan Esthon-Paul untuk menempuh jalur hukum.

Sikap ngotot dari Gab beri Binna ini juga memancing emosi dari dua kader PDI Perjuangan NTT, Nelson Matara dan Victor Mado Watun yang berada di tenda halaman Kantor KPU NTT. 

Wakil Ketua DPRD NTT dan Wakil Bupati Lembata ini tampak mengumpat-umpat dan sangat emosional di kala Gab Beri Binna berbicara di dalam forum. 

Aksi keduanya ini sempat mendapat respon dari beberapa anggota Brimob yang merapat ke arah keduanya. Meski suasana yang demikian tegang, akhirnya bisa dikendalikan.

Rapat Pleno terbuka rekapitulasi hasil perhitungan suara pilgub NTT putaran kedua dan penetapan pasangan calon terpilih ini dipimpin Ketua KPU NTT, John Depa bersama empat komisioner lainnya. 

Hadir, ketua Bawaslu NTT, Nelce RP Ringu dan dua anggota, KPU Kabupaten/kota seNTT, Panwaskab se NTT. Sekda NTT, Frans salem juga tampak hadir dari awal hingga pleno ditutup sekitar pukul 15.45 wita.

Sementara dari pasangan calon, hanya calon wakil gubernur, Paul Talo yang hadir. Calon Gubernur, Esthon Foenay, Frans Lebu Raya dan Beny Litelnoni tidak hadir. Beny baru hadir di KPU NTT setelah pleno rekapitulasi hasil perhitungan suara pilgub NTT putaran kedua yang mengatakan Frenly unggul atas Esthon-Paul. 

Sayangnya, saat Beny Litelnoni tiba, Paul Talo bersama saksinya, Gabriel Beri Bina mengambil langkah pulang setelah pleno mengatakan Frenly unggul.

Editor : alfred_dama
Sumber : Pos Kupang

Karpet Merah bagi Koruptor

Repost..
Oleh: Toto Sugiarto
Orang sering berekspresi gembira ketika menyatakan Pemilu 2009 berlangsung demokratis dan liberal. Parameternya adalah pemilu berkebebasan dan berbasis individu.
Kegembiraan di atas sebagai ungkapan rasa syukur karena negeri ini telah keluar dari rezim otoriter tentu boleh-boleh saja. Namun, jika pemikiran berhenti di situ, pemilu yang dihasilkan tidak akan seperti pemilu demokratis-liberal yang diharapkan. Bisa saja pemilu tersebut ternyata berpenyakit.
Pemilu yang anarkistis
Pada Pemilu 2009, kebebasan mewarnai kontestasi. Kasus-kasus intimidasi dan pemaksaan yang sebelumnya kental terlihat pada pemilu era Orde Baru tidak muncul secara signifikan.
Adapun individualisme terlihat dari diterapkannya sistem proporsional terbuka dengan suara terbanyak sebagai penentu kemenangan. Dengan sistem ini, upaya seorang individu caleg merupakan penentu kemenangan. Persaingan antarindividu pun bahkan terjadi dalam parpol.
Namun, apakah dengan dua hal itu cukup untuk menilai pemilu dengan gembira?
Liberalisme hanya bisa hidup dengan sehat jika terdapat satu prasyarat. Prasyarat itu adalah keadilan. Seharusnya kebebasan dalam liberalisme adalah kebebasan yang berlangsung dalam atmosfer keadilan.
Setidaknya terdapat empat hal yang membuat Pemilu 2009 tidak berkeadilan. Pertama, Pemilu 2009 ditandai dengan kekacauan masif daftar pemilih tetap. Karena masifnya kekacauan, terdapat dugaan bahwa hal ini disengaja untuk menguntungkan partai penguasa.
Kekacauan berawal dari data kependudukan yang buruk. Celakanya, Komisi Pemilihan Umum (KPU) tidak melakukan pemutakhiran secara baik.
Kedua, Pemilu 2009 ditandai dengan jorjorannya para caleg membelanjakan dana untuk kampanye. Hal ini bisa terjadi karena pengeluaran dana kampanye individu caleg tidak diatur dalam undang-undang. Hanya partai politik yang diwajibkan melaporkan dana kampanyenya. Padahal, lokus kontestasi telah berpindah dari parpol menjadi individu. Politik menjadi liar.
Ketiga, Pemilu 2009 diwarnai penyalahgunaan alokasi anggaran negara. Ketika itu diluncurkan program-program prorakyat yang kemudian disinyalir tak lebih sebagai upaya menjaring simpati publik. Di tingkat kementerian, banyak program kementerian yang difokuskan untuk membantu penduduk di daerah pemilihan sang menteri yang mencalonkan diri menjadi anggota legislatif.
Keempat, Pemilu 2009 diwarnai kekacauan pengolahan data. Sistem berbasis teknologi informasi gagal total. Pengolahan data kacau balau. Saking kacaunya, terdapat seorang caleg yang mendapatkan suara melebihi jumlah pemilih di seluruh Indonesia.
Setidaknya empat hal itu membuat Pemilu 2009 tidak berkeadilan. Dengan tidak terpenuhinya prasyarat keadilan, sulit bagi kita untuk mengategorikan Pemilu 2009 ke dalam pemilu demokratis-liberal.
Pemilu tersebut adalah pemilu yang anarkistis. Anarkisme yang dikira sebagai demokratis-liberal itu telah menghasilkan kepemimpinan Republik yang dipenuhi para bedebah. Mereka, para bedebah, tidak memedulikan negara dan rakyat. Para bedebah itu sibuk memperkaya diri dengan uang haram, bermegah-megah dalam lumpur penuh kotoran.
Keutamaan
Apakah Pemilu 2014 akan lebih baik? Atau mengulangi pemilu sebelumnya sebagai pemilu anarkistis yang menjadi pintu masuk bagi banyak bedebah?
Penyelenggara pemilu, dalam hal ini KPU dan Bawaslu, berperan signifikan dalam perbaikan kualitas pemilu. Syaratnya, kedua lembaga penguasa dalam rezim pemilu ini harus mampu menunjukkan keutamaan.
Bagaimana agar KPU dan Bawaslu mampu menunjukkan keutamaan, terutama keutamaan keadilan. Kualitas komisionernya adalah penentu apakah penyelenggara pemilu akan mampu menunjukkan keutamaan keadilan. Penyelenggara pemilu yang berkeutamaan tidak hanya memerankan diri sebagai petugas administratif.
Komisioner KPU dan Bawaslu yang berkeutamaan tidak hanya melaksanakan tahapan pemilu secara prosedural, tetapi juga dengan memperhatikan kualitas dan integritas. Prinsip seperti keadilan dan kejujuran menjadi pegangan.
Mencermati langkah dan kebijakan penyelenggara pemilu, terutama KPU, tampaknya tidak mengutamakan terciptanya keadilan, apalagi kejujuran. KPU terlihat hanya berisi orang-orang berketerampilan.
Terampil dalam menerima pendaftaran partai politik dan daftar caleg tanpa berupaya melakukan seleksi dengan lebih baik. Selain itu, belum terdengar dilakukannya pemutakhiran daftar pemilih. Mereka juga terlihat enggan membuat aturan penyelenggaraan yang akan menjadi landasan terciptanya keadilan dalam kampanye.
Selain itu, KPU tertutup bagi peran serta aktif masyarakat. Soal Sistem Informasi Data Pemilih misalnya, KPU terkesan menutup rapat. Tidak seorang pun, bahkan mungkin Bawaslu, memiliki akses terhadap sistem IT baru KPU ini. KPU sejak awal tahapan menutup diri dari akses publik. Konsultasi publik pun hanya basa-basi politik. Ketertutupan ini mencurigakan.
Cegah para bedebah
Saat penerimaan daftar caleg sekarang ini, seharusnya menjadi saat menutup celah bagi para bedebah. Saat diketahui adanya partai yang tidak sepenuhnya memenuhi syarat keterwakilan perempuan, adanya caleg yang tidak menyertakan seluruh persyaratan, adanya daftar caleg ganda seperti dilansir Formappi, adanya caleg yang terkait masalah hukum, dan kasus lain merupakan saat di mana seharusnya KPU menunjukkan keutamaan.
Saat ini juga merupakan saat bagi KPU mengeluarkan aturan kampanye yang menjamin keadilan, saat bagi KPU memutakhirkan daftar pemilih, dan saat dimulainya penegakan aturan, termasuk aturan yang melarang pejabat menyalahgunakan jabatan untuk kepentingan pemenangan pemilu sehingga para bedebah akan tercegah.
Tulisan ini adalah peringatan dini, jangan sampai bangsa ini dua kali terperosok pada kondisi pemilu anarkistis. Kuncinya ada pada langkah dan kebijakan penyelenggara pemilu, terutama KPU. Saat-saat digelarnya sejumlah tahapan pemilu, jangan sampai menjadi saat karpet merah bagi para bedebah.
Toto Sugiarto Peneliti Senior Soegeng Sarjadi Syndicate

Sumber : Kompas Cetak
Editor : Inggried Dwi Wedhaswary

Saturday, June 1, 2013

Asteroid Raksasa Baru Melintas




Sebuah asteroid raksasa berukuran hampir sebesar 2.7km baru saja melintasi bumi. Batu besar luar angkasa yang dikenal dengan nama 1998 QE2 ini berukuran sangat besar sampai memiliki bulan sendiri.
Jarak ini lebih jauh 200 kali daripada Asteroid ini berada pada titik terdekatnya dengan planet bumi pada hari Jumat (31/05) pukul 20:59 GMT. Meski demikian para ilmuwan mengatakan bahwa satelit ini tidak akan menabrak bumi, melainkan akan melintas pada jarak yang cukup aman yaitu sekitar 5.800.000 km.
asteroid yang pada bulan Februari lalu mendekati bumi. Hanya saja asteroid kali ini berukuran 50.000 kali lebih besar.

Profesor Alan Fitzsimmons, astronom dari Queen's University Belfast, mengatakan: "Asteroid ini termasuk besar. Dan sedikit sekali yang kita ketahui mengenai hal ini, mungkin hanya sekitar 600 asteroid seukuran ini yang beredar di dekat bumi."
"Yang lebih penting lagi, jika benda langit dengan ukuran sebesar ini menabrak kita di masa yang akan datang, ini akan menimbulkan kehancuran lingkungan secara global. Oleh karena itu penting sekali untuk mempelajari benda semacam ini."
Setelah mendekat ke bumi, asteroid 1998 QE2 akan meluncur lagi ke dalam kegelapan ruang angkasa. Kunjungannya pada Jumat lalu adalah yang terdekat setidaknya dalam dua abad terakhir.

Pengunjung gelap

Peristiwa ini memberikan kesempatan bagi para astronom untuk lebih rinci lagi mempelajari massa asteroid. Mereka merekam serial gambar dengan resolusi tinggi dengan menggunakan radar teleskop.
Para ilmuwan ini ingin mengetahui dari material apakah asteroid itu terbentuk dan dari sistem tata surya yang mana tepatnya mereka berasal.
Profesor Fitzsimmons mengatakan: "Berdasarkan pengukuran radar dan tingkat kecerahannya, kami tahu bahwa ini termasuk asteroid gelap yang berasal dari bagian luar sabuk asteroid."
Analisis awal menemukan bahwa asteroid ini memiliki bulannya sendiri: diorbiti oleh sebuah batu yang lebih kecil lagi dengan diameter sebesar 600 meter. Sekitar 15% dari asteroid yang berukuran besar memiliki sistem biner seperti ini.
Meski peristiwa luar angkasa ini tidak dapat dilihat dengan mata telanjang, dengan teleskop yang sederhana pun para penggemar pengamat ruang angkasa bisa melihat asteroid ini melintas.
Para peneliti kian tertarik untuk mempelajari potensi kerusakan yang ditimbulkan di ruang angkasa.
Hingga sejauh ini, mereka telah menghitung ada lebih dari 9.000 asteroid yang beredar dekat dengan bumi, dan setiap tahunnya mereka menemukan rata-rata 800 asteroid baru.