Tuesday, July 16, 2013

Dinas PPO NTT Tarik dan Musnahkan Buku Porno

  
Ilustrasi Buku Porno
"Pernahkah Anda menyaksikan anak Anda dewasa sebelum waktunya? Anak dewasa karbitan dapat ditandai dengan menurunnya nilai mata pelajaran sekolah, bergaya hidup mewah, berbusana buruk, kurangnya rasa hormat kepada orang tua, egois, dan sebagainya. Orang tua tentunya was-was terhadap perubahan perilaku hidupnya seperti ini. Salah satu penyebabnya adalah keseringan anak mengkonsumsi produk-produk berbau porno, seperti buku bacaan porno, VCD/DVD porno, gambar porno, dsb. Maka itu, langkah terbaik yang harus kita lakukan sekarang adalah mencegahnya sebelum terlambat.

Dinas Pendidikan, Pemuda dan Olahrgara (PPO) Propinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) segera menyurati para kepala dinas PPO kabupaten/kota se- NTT terkait beredarnya buku mata pelajaran Bahasa Indonesia untuk siswa kelas 6 Sekolah Dasar (SD) dan Madrasah Ibtidaiyah (MI) yang isinya berbau porno.
Hal ini disampaikan Sekretaris Dinas PPO NTT, Johanis Mau. S.Sos, M.M ketika dikonfirmasi Pos Kupang, Minggu (14/7/2013). Johanis mengaku informasi  buku mata pelajaran Bahasa Indonesia bagi SD/MI yang berbau porno itu telah diketahui Dinas PPO NTT. Karena itu, lanjut Johanis, ada beberapa langkah yang segera ditempuh, terutama menyurati para kepala dinas PPO kabupaten/kota se-NTT agar menelusuri buku tersebut di sekolah-sekolah dan peredaran di pasar (toko buku).
"Jelas kami akan menyurati kepala dinas PPO kabupaten/kota se-NTT supaya segera melakukan penelusuran atau pengecekan buku tersebut. Tugas dinas PPO kabupaten/kota harus bergerak cepat agar buku itu tidak beredar lebih dahulu," tegasnya.
Ditanya jika buku tersebut sudah terlanjur beredar atau dibeli siswa dan pihak sekolah, Johanis menegaskan, Dinas PPO NTT meminta supaya  pengusaha yang memasarkan buku itu segera menarik kembali  dari peredaran agar tidak berdampak buruk bagi anak didik. "Kalau ada yang terlanjur beredar kami minta ditarik kembali oleh pengusaha dan dimusnahkan," katanya.
Ia menjelaskan, mekanisme pengadaan buku pelajaran di SD biasanya melalui kepala sekolah. Karena itu,  pihaknya meminta para kepala sekolah agar selektif  menginstruksi pembelian buku dan harus meneliti buku sebelum dibeli.
"Kepala sekolah harus berani meneliti halaman demi halaman buku pelajaran yang hendak dibeli. Dan, kasus yang terjadi di Jawa  Barat itu bukan tidak mungkin bisa terjadi di  NTT. Karena itu kami imbau supaya kepala sekolah perhatikan hal ini," tegas Johanis. *
 
Penulis: oby_lewanmeru
Editor: alfred_dama
Sumber: Pos Kupang

Tuesday, July 9, 2013

Terjemahan Kitab Negarakertagama

Negarakertagama merupakan kakawin yang menceritakan kisah Raja Majapahit, Hayam Wuruk yang melakukan pelesiran ke daerah Blambangan dan dalam perjalanan pulang beliau singgah di Singosari. Dalam naskah ini juga dikisahkan peranan patih Gajah Mada sebagai perdana Mentri yang mumpuni. Masih dalam naskah Negarakertagama ini dikisahkan bahwa Prabu Hayam Wuruk sebagai penguasa yang sangat adil dalam memerintah dan taat menjalankan aturan agama. Sebagai contoh Raja Hayam Wuruk menghukum mati Demung Sora yang merupakan seorang menterinya, karena dianggap bersalah setelah membunuh Mahesa Anabrang yang ternyata tidak berdosa (lempir ke 73). Dengan demikian Demung Sora telah telah melanggar pasal Astadusta dari kitab Undang undang Kitab Kutara Manawadarmasastra itu. Naskah Negarakertagama yang merupakan karya pujangga besar empu Prapanca ini kini tersimpan di Perpustakaan Nasional RI dan menjadi salah satu koleksi kebanggaannya.

Berikut adalah terjemahan lengkap kitab Negarakertagama:

Om awignam astu namas sidam”
Sembah puji dari hamba yang hina ini ke bawah telapak kaki sang pelindung jagat. Raja yang senantiasa tenang tenggelam dalam samadi, raja segala raja, pelindung orang miskin, mengatur segala isi negara. Sang dewa-raja, lebih diagungkan dari yang segala manusia, dewa yang tampak di atas tanah. Merata, serta mengatasi segala rakyatnya, nirguna bagi kaum Wisnawa, Iswara bagi Yogi, Purusa bagi Kapila, hartawan bagi Jambala, Wagindra dalam segala ilmu, dewa Asmara di dalam cinta berahi. Dewa Yama di dalam menghilangkan penghalang dan menjamin damai dunia.
Demikianlah pujian pujangga sebelum menggubah sejarah raja, kepada Sri Nata Rajasa Nagara, raja Wilwatikta yang sedang memegang tampuk tahta. Bagai titisan Dewa-Batara beliau menyapu duka rakyat semua. Tunduk setia segenap bumi Jawa bahkan seluruh nusantara. Pada tahun 1256 Saka, beliau lahir untuk jadi pemimpin dunia. Selama dalam kandungan di Kahuripan telah tampak tanda keluhuran. Bumi gonjang-ganjing, asap mengepul-ngepul, hujan abu, guruh halilintar menyambar-nyambar. Gunung Kelud gemuruh membunuh durjana, penjahat musnah dari negara. Itulah tanda bahwa Sanghyang Siwa sedang menjelma bagai raja besar. Terbukti, selama bertakhta seluruh tanah Jawa tunduk menadah perintahnya. Wipra, satria, waisya, sudra, keempat kasta sempurna dalam pengabdian. Durjana berhenti berbuat jahat takut akan keberanian Sri Nata. Sang Sri Padukapatni yang ternama adalah nenek Sri Paduka. Seperti titisan Parama Bagawati memayungi jagat raya. Selaku wikuni tua tekun berlatih yoga menyembah Buda. Tahun 1272 kembali beliau ke Budaloka. Ketika Sri Padukapatni pulang ke Jinapada dunia berkabung. Kembali gembira bersembah bakti semenjak Sri Paduka mendaki takhta. Girang ibunda Tri Buwana Wijaya Tungga Dewi mengemban takhta bagai rani di Jiwana resmi mewakili Sri Narendraputra.
Beliau bersembah bakti kepada ibunda Sri Padukapatni. Setia mengikuti ajaran Buda, menyekar yang telah mangkat. Ayahanda Sri Paduka Prabu ialah Prabu Kerta Wardana. Keduanya teguh beriman Buda demi perdamaian praja. Paduka Prabu Kerta Wardana bersemayam di Singasari. Bagai Ratnasambawa menambah kesejahteraan bersama. Teguh tawakal memajukan kemakmuran rakyat dan negara. Mahir mengemudikan perdata bijak dalam segala kerja. Putri Rajadewi Maharajasa, ternama rupawan. Bertakhta di Daha, cantik tak bertara, bersandar enam guna. Adalah bibi Sri Paduka, adik maharani di Jiwana. Rani Daha dan rani Jiwana bagai bidadari kembar.
Laki sang rani Sri Wijayarajasa dari negeri Wengker. Rupawan bagai titisan Upendra, mashur bagai sarjana. Setara raja Singasari, sama teguh di dalam agama. Sangat mashurlah nama beliau di seluruh tanah Jawa. Adinda Sri Paduka Prabu di Wilwatikta : Putri jelita bersemayam di Lasem. Putri jelita Daha cantik ternama. Indudewi putri Wijayarajasa. Dan lagi putri bungsu Kerta Wardana. Bertakhta di Pajang, cantik tidak bertara. Putri Sri Baginda Jiwana yang mashur. Terkenal sebagai adinda Sri Paduka. Telah dinobatkan sebagai raja tepat menurut rencana. Laki tangkas rani Lasem bagai raja daerah Matahun. Bergelar Rajasa Wardana sangat bagus lagi putus dalam daya raja dan rani terpuji laksana Asmara dengan Pinggala. Sri Singa Wardana, rupawan, bagus, muda, sopan dan perwira bergelar raja Paguhan, beliaulah suami rani Pajang. Mulia pernikahannya laksana Sanatkumara dan dewi Ida. Bakti kepada raja, cinta sesama, membuat puas rakyat. Bre Lasem menurunkan putri jelita Nagarawardani Bersemayam sebagai permaisuri Pangeran Wirabumi. Rani Pajang menurunkan Bre Mataram Sri Wikrama Wardana bagaikan titisan Hyang Kumara, wakil utama Sri Narendra.
Putri bungsu rani Pajang memerintah daerah Pawanuhan. Berjuluk Surawardani masih muda indah laksana lukisan. Para raja pulau Jawa masing-masing mempunyai negara. Dan Wilwatikta tempat mereka bersama menghamba Srinata. Melambung kidung merdu pujian Sang Prabu, beliau membunuh musuh-musuh. Bak matahari menghembus kabut, menghimpun negara di dalam kuasa. Girang janma utama bagai bunga kalpika, musnah durjana bagai kumuda. Dari semua desa di wilayah negara pajak mengalir bagai air. Raja menghapus duka si murba sebagai Satamanyu menghujani bumi. Menghukum penjahat bagai dewa Yama, menimbun harta bagaikan Waruna. Para telik masuk menembus segala tempat laksana Hyang Batara Bayu. Menjaga pura sebagai dewi Pretiwi, rupanya bagus seperti bulan. Seolah-olah Sang Hyang Kama menjelma, tertarik oleh keindahan pura. Semua para putri dan isteri sibiran dahi Sri Ratih. Namun sang permaisuri, keturunan Wijayarajasa, tetap paling cantik paling jelita bagaikan Susumna, memang pantas jadi imbangan Sri Paduka.
Berputralah beliau putri mahkota Kusuma Wardani, sangat cantik rupawan jelita mata, lengkung lampai, bersemayam di Kabalan. Sang menantu Sri Wikrama Wardana memegang hakim perdata seluruh negara. Sebagai dewa-dewi mereka bertemu tangan, menggirangkan pandang. Tersebut keajaiban kota : tembok batu merah, tebal tinggi, mengitari pura. Pintu barat bernama Pura Waktra, menghadap ke lapangan luas, bersabuk parit. Pohon brahmastana berkaki bodi berjajar panjang, rapi berbentuk aneka ragam. Di situlah tempat tunggu para tanda terus menerus meronda jaga paseban. Di sebelah utara bertegak gapura permai dengan pintu besi penuh berukir. Di sebelah timur : panggung luhur, lantainya berlapis batu putih-putih mengkilat. Di bagian utara, di selatan pekan rumah berjejal jauh memanjang sangat indah.
Di selatan jalan perempat : balai prajurit tempat pertemuan tiap Caitra. Balai agung Manguntur dengan balai Witana di tengah, menghadap padang watangan. Yang meluas ke empat arah, bagian utara paseban pujangga dan Mahamantri Agung. Bagian timur paseban pendeta Siwa-Buda yang bertugas membahas upacara. Pada masa grehana bulan Palguna demi keselamatan seluruh dunia. Di sebelah timur pahoman berkelompok tiga-tiga mengitari kuil Siwa. Di selatan tempat tinggal wipra utama tinggi bertingkat menghadap panggung korban. Bertegak di halaman sebelah barat, di utara tempat Buda bersusun tiga. Puncaknya penuh berukir, berhamburan bunga waktu raja turun berkorban. Di dalam, sebelah selatan Manguntur tersekat dengan pintu, itulah paseban. Rumah bagus berjajar mengapit jalan ke barat, disela tanjung berbunga lebat. Agak jauh di sebelah barat daya: panggung tempat berkeliaran para perwira. Tepat di tengah-tengah halaman bertegak mandapa penuh burung ramai berkicau. Di dalam di selatan ada lagi paseban memanjang ke pintu keluar pura yang kedua.

Monday, July 8, 2013

Tokoh Katolik era reformasi lebih bekerja diam-diam, nilai Katolik ditonjolkan

Maria Farida, Hakim Konstitusi
Prof Dr Maria Farida SH MH, Seorang Tokoh Katolik yang Juga Seorang Hakim Konstitusi
"Menjadi seorang Katolik, sekaligus menjadi tokoh nasional di masa Reformasi berbeda dengan tokoh-tokoh Katolik di masa lalu. Saat ini, tokoh-tokoh Katolik lebih mengedepankan nilai-nilai ke-Katolik-annya ketimbang menonjolkan identitasnya di hadapan publik. Tanpa menguragi esensi iman kita sebagai seorang Katolik, hal-hal yang prinsipil untuk kepentingan umum harus tetap dipertahankan.." - Nick Doren.

Berbicara tentang tokoh berlabel Katolik mungkin tidak terlalu relevan di kalangan tokoh Katolik era reformasi saat ini. Kebanyakan mereka cenderung lebih memilih bekerja diam-diam. Tapi, hal itu tidak berarti mereka tidak menampilkan nilai-nilai ke-Katolik-an. Mereka lebih menampilkan nilai, ketimbang identitas.
Akibat cara kerja diam-diam tersebut, kalangan umat Katolik, mungkin juga Gereja merasa pesimis karena fakta bahwa jumlah tokoh Katolik menurun di era reformasi ini.
Hal ini menggugah Benny Sabdo, seorang wartawan Majalah HIDUP, menulis buku tentang Kiprah Tokoh Katolik di Era Reformasi, yang memuat kisah tokoh katolik yang berjuang di medan kerja berbeda-beda, seperti politik, pendidikan, hukum, bisnis, pers dan ormas Katolik.
“Saya menulis buku ini didorong oleh rasa kesal karena tokoh Katolik generasi saat ini tidak ada dan kini tinggal tokoh-tokoh Katolik yang sudah senior,” katanya, pada acara bedah buku tersebut belum lama ini.
Buku itu membuktikan bahwa cukup banyak orang Katolik yang memilih bekerja diam-diam di era reformasi.
Sebanyak 23 tokoh Katolik ditulis dalam buku ini, namun mungkin sekitar 60 persen dari mereka tidak dikenal publik, bahkan di kalangan orang Katolik sendiri. Ini berbeda dengan era sebelum reformasi, para tokoh Katolik lebih menonjolkan identitas agama mereka.
Hal ini diakui oleh Maria Farida Indrati Soeprapto, hakim di Mahkamah Konstitusi (MK).
“Kalau kami dulu tak membedakan agama dan saling berbaur meskipun sedikit menonjolkan identitas kami, kini orang Katolik lebih bergerak sendiri dan diam-diam sehingga banyak orang tak mengenal agama mereka,” katanya.
Namun, di era reformasi, perempuan pertama Indonesia yang menjabat sebagai hakim MK ini mengatakan ia termasuk salah satu orang Katolik yang bekerja diam-diam sebagai seorang dosen di Fakultas Hukum Universitas Indonesia (UI).
Tapi, komitmen pada nilai-nilai ke-Katolik-an yang ditunjukkannya membuat dia diusulkan dan didukung oleh berbagai kalangan yang kebanyakan non-Katolik untuk dicalonkan sebagai hakim konstitusi.
“Saya bisa masuk di MK justru karena banyaknya dukungan dan dorongan dari orang non-Katolik karena mereka tahu cara kerja saya untuk kepentingan umum,” kata satu-satunya hakim MK yang mengajukan dissenting opinion (perdapat berbeda) saat uji materi UU Pornografi dan UU Penodaan Agama ini.
Farida mengatakan, ia bukan membela kelompok minoritas atau mereka yang termarginal tapi demi penegakan hukum, kebenaran dan rasa keadilan.
Guru Besar Ilmu Perundang-Undangan ini mengatakan, komitmen, kejujuran dan keberanian diperlukan melalui kerja nyata.
“Karya kita yang justru menunjukkan bahwa kita adalah orang Katolik termasuk menyuarakan keadilan dan kebenaran. Ini yang saya sering lakukan termasuk MK. Kerja nyata itu yang paling penting,” ungkapnya.
Cara ini juga dilakukan para tokoh Katolik yang diam-diam,  mereka ikut memberikan kontribusi untuk membangun bangsa, sekalipun mereka tidak terlalu terpublikasikan. “Ketika judicial review undang-undang di gedung Mahkamah Konstitusi, saya baru tahu cukup banyak tokoh Katolik. Apakah ini menunjukkan bahwa orang Katolik tak suka menonjolkan diri, dan mau rela berkarya di tengah sesama,” kata Farida.
Alasan lain yang membuat orang Katolik bekerja diam-diam karena mereka kuatir akan menghadapi kendala. Menurut Farida, orang Katolik akan mengalami kendala kalau terlalu menonjolkan identitasnya.
“Saat ini kita mungkin bisa tonjolkan identitas ke-Katolik-an, tapi saya pikir akan menghadapi kendala,” kata Farida, yang menjadi hakim konstitusi di MK sejak 16 Agustus 2008.
Pernyataan Farida diakui oleh Adrianus Meliala, kriminolog dari UI. Ia mengakui situasi era Ignatius Yoseph Kasimo, pendiri Partai Katolik dan Reformasi berbeda. “Kalau kita bandingkan dengan dunianya Kasimo, berbeda dengan sekarang karena kini jauh lebih sulit dan banyak tantangan dan saingan”, kata guru besar UI itu.
Meliala mengusulkan agar para tokoh Katolik yang berkerja diam-diam harus dipublikasikan juga, misalnya melalui media. “Kalau mau tulis tokoh, jangan tulis orang yang berhasil, tapi mereka yang bekerja secara diam-diam karena perjuangan mereka menghadapi banyak tantangan,” katanya.
Untuk menghadapi tantangan dan kendala orang Katolik harus benar-benar menyiapkan diri untuk memiliki keahlian dalam bidang tertentu karena  keahlian ini yang dibutuhkan. “Kita perlu memiliki keahlian di bidang kita masing-masing sehingga kita mampu bersaing dengan orang lain,” kata Meliala.
Di tengah tantangan dan kendala justru orang Katolik terdorong menjadi garam bagi orang lain dengan berjuang untuk kepentingan umum, bukan kelompok atau pribadi. “Kita tetap menjadi garam dan terang melalui nilai-nilai ke-Katolik-an demi kepentingan umum,” kata Farida.

Saturday, July 6, 2013

Buruh Amat Sulit Hadapi Pajak di Kepailitan

Kisruh antara tagihan buruh dan pajak dalam kepailitan memang sebuah dilema yang tidak pernah habis untuk dibahas. Bahkan di kalangan para kurator dan akademisi maupun pengamat kepailitan. Berbagai macam pandangan pun dilontarkan demi membuat terang kedudukan buruh dan pajak sebagai kreditor preferen.
Ini terbukti dari situasi sebuah pelatihan tentang kepailitan yang diadakan hukumonline, Kamis (4/7). Dalam acara yang bertajuk ‘Memahami Tahapan dan Teknik Pemberesan Harta Debitor Pailit’ ini lebih banyak mendiskusikan tentang posisi buruh dari sebuah kepailitan.
Para peserta masih dibingungkan dengan seberapa istimewanya buruh dibandingkan pajak sebagai kreditor. Padahal, buruh dan pajak secara jelas dinyatakan sebagai kreditor preferen. Meskipun sama-sama preferen, praktiknya pajak tetap lebih didahulukan daripada buruh. Bahkan, pajak lebih diutamakan daripada kreditor separatis itu sendiri.
“Praktiknya memang sulit ketika hendak membagikan budel pailit. Harus ada kompromi,” tutur James Purba sebagai pembicara dalam acara pelatihan ini.
Alasan James memosisikan pajak sebagai kreditor tertinggi lantaran UU No. 6 Tahun 1983 yang terakhir diubah dengan UU No. 16 Tahun 2009 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan menyatakan dengan tegas bahwa pajak mendahului dari kreditor lainnya. Sedangkan kedudukan buruh dalam kepailitan tidak dinyatakan secara tegas.
Pendapat ini ditentang pengamat hukum perburuhan Umar Kasim. Menurutnya, perlu kehati-hatian dalam melihat posisi buruh. Ia mengatakan buruh tidak serta merta sebagai kreditor preferen. Perlu dibedakan antara upah buruh dan hak buruh lainnya.
Menurutnya, upah buruh mendapat tempat yang sama dengan fee kurator dan biaya kepailitan lainnya, termasuk pajak. Adapun dasar hukum pemikirannya adalah Pasal 39 ayat (2) UU No 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Pasal tersebut mengatur bahwa upah terutang para pekerja baik sebelum maupun sesudah putusan pernyataan pailit diucapkan merupakan utang harta pailit.
Sedangkan hak-hak buruh lainnya baru dikategorikan sebagai kreditor preferen. Hak-hak lain yang dimaksud merujuk pada Pasal 95 ayat (4) UU No 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, seperti tunjangan hari raya, bonus produktivitas, uang makan, dan transportasi. Terhadap hak ini, buruh baru memperolehnya setelah kurator membaginya terlebih dahulu kepada kreditor separatis.
Meskipun Umar Kasim menyatakan upah buruh setara dengan fee kurator dan pajak, ia memutuskan untuk melihat kondisi ketika dihadapkan dengan pilihan upah buruh atau pajak yang didahulukan.
Menurutnya, apabila merujuk kepada kepentingan orang banyak, Umar memilih pajak harus didahulukan. Soalnya, buruh sifatnya hanya untuk kepentingan kelompok. Namun, jika melihat segi kemanfaatan, Umar lebih memilih buruh karena buruh perlu makan.
Keistimewaan kedudukan pajak dipertegas oleh kurator Nien Rafles Siregar. Rafles mengimbau untuk membaca dan memahami undang-undang secara lengkap. Sebelum mengacu ke UU Kepailitan, persoalan mengenai kedudukan para kreditor bermula dari Pasal 1132 KUHPerdata. Pasal tersebut mengatur bahwa hasil penjualan barang-barang milik debitor dibagi menurut perbandingan piutang masing-masing kecuali bila di antara para kreditur itu ada alasan-alasan sah untuk didahulukan.
Untuk menentukan alasan yang sah didahulukan merujuk pada Pasal 1133 KUHPerdata yang mengatur bahwa hak untuk didahulukan di antara para kreditur bersumber pada hak istimewa, pada gadai dan pada hipotek.
Sedangkan hak istimewa melihat kepada Pasal 1134 KUHPerdata. Pasal tersebut telah mengatur bahwa kreditor yang memiliki hak istimewa adalah kreditor yang menyebabkan kedudukannya lebih tinggi daripada lainnya karena undang-undang semata-mata berdasarkan sifat piutang itu. Gadai dan hipotek lebih tinggi daripada hak istimewa, kecuali dalam hal undang-undang dengan tegas menentukan kebalikannya.
“Kata-kata ‘kecuali dalam hal UU dengan tegas menentukan kebalikannya’ inilah yang menyebabkan pajak lebih tinggi daripada kreditor lainnya. Karena Pasal 21 UU Perpajakan secara tegas menyebutkan dia (pajak, red) lebih tinggi daripada kreditor separatis,” ucap Rafles kepada hukumonline dalam kesempatan yang sama.
Terkait dengan frasa “kreditor yang diistimewakan yang kedudukannya lebih tinggi daripada kreditor separatis” sebagaimana dimaksud dari Pasal 60 ayat (2) UU Kepailitan, Rafles juga mengatakan kreditor yang dimaksud adalah pajak. Berdasarkan ketentuan pasal ini, semakin tegas bahwa pajak lebih tinggi daripada separatis. Bahkan, pajak dapat meminta hasil penjualan atas benda yang dijaminkan kepada separatis.
Asuransi Kepailitan Buruh
Peraturan yang dibuat memang terkesan miris. Sebagian besar buruh menjadi korban dari kepailitan, kalah dari pajak dan separatis. Namun, Rafles mengatakan untuk melihat permasalahan buruh secara keseluruhan.
Tidak hanya buruh dari perusahaan yang dipailitkan yang menjadi korban, tetapi perusahaan kecil yang menjadi kreditor juga memiliki tenaga kerja yang harus diperhatikan. Terkadang, perusahaan kecil yang memiliki piutang ini juga terkena dampak dari perusahaan yang dipailitkan tersebut.
Melihat persoalan ini, Rafles menyatakan menaikkan sifat tagihan buruh itu sendiri bukanlah sebuah solusi. Soalnya, apabila sifat tagihan buruh ditinggikan iklim investasi Indonesia akan amburadul. Tidak ada investor yang mau berinvestasi. Alhasil, tingkat pengangguran semakin tinggi. Tidak ada penyerapan tenaga kerja karena tidak ada modal.
“Yang namanya usaha butuh modal. Gimana ada penyerapan tenaga kerja jika tidak ada modal. Makanya pemegang jaminan ditinggikan karena mereka memberi modal,” tutur Rafles lagi.
Adapun solusi yang ditawarkan Rafles adalah mengasuransikan para buruh khusus kepailitan. Melalui asuransi ini, ketika perusahaan pailit, para buruh merasa terbantu dengan asuransi kepailitan. Sedangkan mekanisme dari asuransi itu sendiri, Rafles belum bisa menjawab secara detail. Hanya saja, pengusaha dan buruh dapat duduk bersama dan menentukan bagaimana mekanisme pembayaran premi. “Apakah pengusaha yang membayar premi asuransinya sebesar 1-2% atau 50:50 dengan buruh,” pungkasnya.

Thursday, July 4, 2013

For Egypt’s Islamists, Confusion and Fear Amid Celebration

egyptian_moslems.jpeg
Over speakers, the news came Wednesday and some people fainted. An hour later it had settled in, and President Mohamed Morsi’s supporters sat dazed on sidewalks or walked home, glassy-eyed. 
As he left the sit-in in front of Cairo University, Khaled Mohamed found himself suddenly, and painfully, facing Egypt’s new reality. In front of him were soldiers, and beyond them, people who seemed to revel in his misfortune. They celebrated Mr. Morsi’s fall and the dramatic eclipse of Mr. Mohamed’s 80-year-old organization, the Muslim Brotherhood
He did not know whether the soldiers were there to protect him and his fellow Islamists, or to watch them. Worse, he was once again out of place in his own country, a condition that the last revolution supposedly cured. 
“I’m scared,” Mr. Mohamed said. “I feel oppressed.”
As much of Cairo exploded in euphoria on Wednesday, parts of the city fell silent where Mr. Morsi’s loyalists had protested desperately for days, to stave off what they saw as a threat to democracy and the legitimacy of Egypt’s first free presidential election. Their disappointment on Wednesday was a symptom of a nation still far from healed. In their anger was a warning, of unsettled days ahead. 
Mr. Mohamed said the Brotherhood’s members still had not received instructions about what to do next. Many of his comrades said they would maintain a peaceful resistance. Others could not contain their rage.
“There will be a civil war,” said Abdullah Mohamed al-Sayed, a teacher. “A grinding civil war.”
The day began in anger. During overnight clashes near the sit-in at the university, at least 18 people were killed, part of a wave of violence in the days before June 30, when Mr. Morsi’s opponents rallied around the country demanding that he leave power. Blood stained the sidewalk in front of the university, and formed patches on the shirt of Sherif Fouad, a lawyer.
Birdshot had left a hole on his forehead. Now, he and his friends awaited a decision from the military on the future of the country.
None of the signs had been good. For days, the army had seemed to flirt with Mr. Morsi’s opponents, dropping flags on their protests from helicopters. “Aren’t we from the Egyptian people?” Mr. Fouad asked. “Why is our voice not heard?”
In a tent nearby, a man who called himself Abu Mohamed said any coup would have consequences, hinting at the danger facing Egypt as Islamists saw their political gains thwarted, and some considered violence to regain their rights.
“There will be a strong reaction,” Abu Mohamed said, as he ate his breakfast and his friends warned against speaking too frankly. “It is either the ballot box, or the bullet box.”
There was even greater unease across town, at another protest by Mr. Morsi’s supporters, a few hours before the Wednesday deadline the army had given to Egypt’s political forces to resolve their differences. People spoke of a conspiracy to strip Egyptians of their power, ignoring the millions of other Egyptians who had marched in recent days, fed up with who they saw as a hapless president.
At the protest, the army was the villain, for daring to challenge not just the president, but Egypt’s new civilian authority. Half an hour later, when the army descended, the balance of power between Egypt’s two most powerful forces, the military and the Islamists, was tested.
The confrontation was awkward and explosive. Protesters met the armored vehicles as they arrived, and shoved the commanding officer who had drawn his pistol. Soldiers fired their weapons in the air. A protester lifted his shirt, daring soldiers to shoot.
Then it calmed, as some protesters, desperate for an ally, tried to bring the soldiers to their side. “Take care of Egypt!” one man said. Some of the soldiers were distracted by the pleas, and seemed torn. Then the commander spoke, saying the army was there to protect the protest.
“I will not fire,” he said. “I don’t want to go to hell.”
By 10 p.m., soldiers had surrounded the entrance to Cairo University, where the despondent included Ahmed Ali Ismail, who did not belong to any party and saw hope even in Egypt’s flawed new politics. He had voted for Mr. Morsi because of the powerful movement behind him: he thought it might shake up Egypt’s ossified institutions, and would help the country “get rid of the military.” 


Sangsi Terhadap Hati


Catatan Kaki Jodhi Yudono

Orang bicara cinta
Atas nama Tuhannya
Sambil menyiksa membunuh
Berdasarkan keyakinan mereka...(lagu Cinta, Swami)
Orang-orang yang di mulutnya penuh kata cinta, sebagian di antaranya adalah drakula yang haus darah. Orang yang memegang parang di tangan kanannya, adalah ia yang mengelus lembut seorang anak dengan tangan kirinya. Orang-orang yang mengucapkan nama Tuhan, adalah dia yang mengumbar kekejaman. Dan jam yang berdetak di rumah, di pergelangan tangan, di kantor-kantor stasiun televisi, stasiun radio, adakah masih menjadi petunjuk pasti tentang waktu.

Pun demikian dengan timbangan yang ada di toko-toko emas, di pasar, di rumah sakit, sampai yang dibawa keliling oleh penjaja timbangan, apakah semua juga masih menjadi petunjuk tepat soal berat.

Nada fa, sol, la, yang Anda dengar, jangan-jangan juga telah geseh menjadi fi, sel, dan le, karena garpu tala yang biasa digunakan sebagai tanda nada boleh jadi telah memuai atau bahkan menyusut.

Waktu, timbangan, pendengaran, dan juga pandangan mata, makin tak jelas ukurannya. Kian kabur batas-batasnya.

Situasi inilah yang mungkin mendorong sebagian orang bertindak di luar batas-batas kemanusiaan. Istri tega membunuh suami, suami tega memperkosa anaknya sendiri, anak tega membantai bibinya. Sebuah situasi chaos yang membuat manusia bingung menentukan ukuran dan tanda.

Dan entah kesintingan apa lagi yang belum pernah kita lihat di bumi ini. Bahkan mereka yang mengaku punya agama yang sama, punya Tuhan yang sama, punya alkitab dan nabi yang sama, juga saling membenci dan melukai.

Maka ingatlah kita pada kekerasan yang terjadi di Madura. Ratusan orang menyerang sebuah desa kecil yang dihuni pemeluk Syiah. Membakar rumah, menganiaya, membunuh satu orang dan melukai puluhan lainnya. Tak hanya itu, para penyerang kemudian mengusir warga desa itu karena dianggap murtad.

Duh...! Yang tak kalah mengejutkan adalah, polling Lingkaran Survei Indonesia menemukan: hampir satu dari empat orang Indonesia bisa mentolerir kekerasan, untuk menegakkan apa yang mereka yakini sebagai kebenaran agama.

Buru-buru Kokom mematikan televisi. Semakin lama dia terpaku di depan layar kaca, kian kacaulah otaknya. Gosip artis, berita politik, berita tentang bencana alam, hedeh... semua bersaling-silang di benak Kokom.

Sempat juga terlintas di pikiran Kokom, jangan-jangan dirinya sudah tidak waras. Awalnya, istri Juha ini sangsi dengan bobot badannya yang mendadak membengkak usai menimbang di tempat praktek seorang dokter anak.

Ya, ya, Kokom juga tahu persis dirinya sedang mengandung. Tapi ia yakin, percepatan bobot badannya tak sedrastis itu. Lantaran curiga itulah, ia pergi ke rumah bidan di belakang rumahnya. Hasilnya, tak seberat hasil timbangan sebelumnya.

Ketika berjalan dari rumah bidan Aminah, hatinya juga mulai diliputi kesangsian. Jangan-jangan, timbangan yang kedua juga salah, ’Ini perlu pembanding’ , katanya dalam hati.

Untunglah, sebelum sampai ke rumah, seorang penjual jasa penimbangan lewat. Kokom pun bergegas memanggilnya. Dan pada timbangan ketiga itu, hati Kokom tak kurang kecewanya. Sebab, ini kali hasilnya pun berbeda.

Apa yang terjadi kemudian? Kokom pun mulai curiga terhadap semua hal yang dilihat dan dirasakannya. Lima buah jam dinding di rumah, tak ada yang sama menit dan detiknya. Bahkan adzan di televisi sebagai tanda baginya untuk mendirikan shalat, pun berbeda-beda antara satu stasiun televisi dengan lainnya.

Lepas dari urusan yang tampak, Kokom mulai beranjak ke perasaannya. Maka ia pun mulai menyangsikan cinta suaminya. Jangan-jangan..., kata Kokom dalam hati..., suamiku cuma baik di muka tapi busuk di hati. Jangan-jangan, di luar ia punya pacar baru. Jangan-jangan...

Makin dipikir, makin dirasa, tambah menggununglah perasaan curiga Kokom terhadap suaminya. Itulah soal, seharian itu Kokom ngendon terus di kamar.

Sebagai suami yang baik, Juha memaklumi betul kondisi isterinya yang sedang hamil muda. Bahkan, ia pun siap tenaga untuk pergi ke pasar jika tiba-tiba istrinya--entah atas nama perutnya sendiri atau atas nama ngidam-- perlu mangga muda atau buah-buahan asam lainnya.

Setelah sore menjelang, sementara sang istri masih berada di kamar, Juha pun mulai gerah hatinya. ’Nggak biasanya istri gue kayak gini,’ Juha bersungut sambil berjalan menemui istrinya.

Ketika pintu kamar terbuka, dilihatnya mata Kokom sedang menerawang ke langit-langit kamar. Dan..olala, ada air mata di pipinya. Juha segera menangkap gelagat ada yang tak beres pada istrinya.

Segera dihampiri pujaan hatinya itu seraya bertanya, "Ada apa denganmu cinta?"
’Nah kan, cinta...mulutnya penuh kata cinta, padahal di hatinya kepingin berbuat aniaya,’ kata Kokom dalam hati. Matanya tetap menerawang.

"Cinta, apa ada yang salah denganku?"

Kokom diam. Hatinya makin kecut. Kini ia miringkan tubuhnya membelakangi sang suami. Ia takut menatap pandang mata suaminya. Ia takut bisa membaca isi hati suaminya. Kokom gentar jika menemukan semua kecurigaan di otaknya menjadi kenyataan di mata suaminya.

"Kom...," ucap Juha. Kokom masih diam, tapi hatinya mulai bergetar ketika nama pemberian orang tuanya itu disebut oleh orang yang telah mendampingi hidupnya selama ini.

Pelan-pelan, dengan ekor matanya, Kokom melirik suaminya. ’Ia sedang tunduk. Sebentar lagi tentu ikut-ikutan menangis,’ ujar hati Kokom.

’Begitu selalu suamiku. Kalau tak berhasil menguasai diriku, ia akan tunduk. Setelah itu ia akan nangis. Kalau tangisnya pun belum mampu meredakan hatiku, dia akan segera pergi entah ke mana,’ lanjut Kokom dalam hati.

Nah, sebelum sampai pada fase meninggalkan dirinya, Kokom pun memberanikan diri memandang sempurna mata suaminya. Mata mereka bersirobok. Masing-masing mulai mengukur dan menakar kedalaman hati pasangannya.

Bagai seorang peselancar, Kokom langsung melaju di antara gelombang mata hati suaminya. Ia mencoba menemukan kesejatian suaminya. Kokom hanya kepingin yakin, orang yang ada di hadapannya kini adalah seorang suami yang baik ataukah seorang penjahat yang sekali waktu bisa saja mencekik lehernya sampai mati.

Tapi lantaran Kokom cuma anak perempuan Abah Minan yang cuma lulusan SMU yang tak pernah belajar psikologi apalagi ilmu kebatinan, mana bisa ia menemukan kesejatian suaminya.

"Abang sayang sama Kokom, kagak?"

Mendengar pertanyaan aneh itu, Juha bukannya terangsang untuk segera menjawab, tapi malah muncul kecurigaan pada isterinya itu. Jangan-jangan...

Ya, jangan-jangan situasi ini seperti dalam puisi "Kupu Malam dan Biniku" karya Chairil Anwar,...
melayang ingatan ke biniku
lautan yang belum terduga
biar lebih kami tujuh tahun bersatu

barangkali tak setahuku
ia menipuku

Wah!

"Bang..., sebenarnya Abang cinta bener kagak sih sama Kokom?" gantian Juha yang kelu.

Ia tak tahu harus menjawab apa atas pertanyaan istrinya yang rada ganjil itu.

"Bang..."
"Lo ngidam apaan sih Kom? Aneh banget pertanyaannya."
"Kokom cuma pingin tahu, Abang bener cinta sama Kokom apa kagak?"
"Caranya ngukur gimana kalau abang bilang cinta atau sebaliknya?"
"Kata orang pinter, mata adalah jendela hati manusia. Aye pingin menatap mata Abang sepuasnya biar bisa ngukur perasaan Abang."
"Kalau ternyata di mata Abang kamu kagak menemukan apa-apa, gimana?"
"Kokom langsung menuju pusatnya. Kokom mau dengerin jantung lewat dada Abang."

Maka benarlah. Urutan-urutan itu pun dilalui Kokom. Setelah pada mata Juha ia tak menemukan apa pun untuk disimpulkan, ia pun memasang kupingnya tepat di atas dada Juha.

Lalu, seperti laiknya seorang polisi, ia pun menguji cinta suaminya itu dengan beberapa pertanyaan yang langsung disambut oleh detak jantung suaminya, dug dug dug...
"Abang benar cinta kepada aye?"
dug dug dug
"Selama ini, Abang pernah nyeleweng kagak?"
dug dug dug-dug
"Pernah?"
dug dug dug-dug
"Kagak pernah?"
dug dug dug-dug
"Menurut Abang, aye cantik kagak?"
dug-dug dug dug-dug
"Seksi?"

dug-dug dug dug-dug

Sambil bertanya, tangan Kokom mulai gerayangan ke wilayah sensitif di tubuh Juha. Detak jantung Juha mulai kacau bunyinya.

dug-dug-dug-dug-dug

Juha dan Kokom tak lagi bisa membedakan, dari mana suara dug-dug-dug itu berasal. Dari suara bedug di mushala ataukah dari jantung mereka berdua yang ini kali berbunyi dan berpacu tambah kencang.

dug-dug dug-dug dug-dug

@JodhiY
Editor : Jodhi Yudono