Monday, January 25, 2010

Ekoteologi Menurut Denis Edwards



BAB I
PENDAHULUAN

1. Latar Belakang Masalah 

 Di abad XXI ini, kerusakan lingkungan, baik lingkungan biotik maupun lingkungan abiotik, semakin marak terjadi. Beberapa dari kerusakan ekologis itu disebabkan oleh faktor alam. Namun, fakta memperlihatkan bahwa manusialah yang menjadi penyebab utama kerusakan itu. Sebagai gambaran mengenai keadaan lingkungan hidup kita, berikut ini saya memaparkan sebuah prediksi yang pernah dibuat oleh U.S. Worldwatch Institute pada tahun 1984. Menurut prediksi lembaga ini:
“Kalau kita tidak serius memperhatikan pencemaran lingkungan, maka pada tahun 1990 ada 10 spesies dalam sehari akan hilang. Pada tahun 2000, ada satu spesies hilang setiap jam. Sejak tahun 1950, kita kehilangan 5% per tahun lahan untuk bercocok tanam dan hutan tropis untuk menarik hujan. Setiap tahun kita kehilangan 20-25 juta ton humus melalui erosi, penggaraman, dan menjadi gurun. Setiap tahun, 20 milyard hektar hutan hilang” [1]
Seandainya prediksi mengenai kerusakan ekologis di atas benar-benar terjadi, maka manusia dan komunitas kehidupan lain akan mengalami krisis ekologis yang serius. Krisis ini tentunya akan semakin parah, jika manusia sebagai makhluk yang memiliki intelegensi dan kehendak bebas tidak melakukan upaya-upaya perbaikan dan pencegahan.
 Berhadapan dengan persoalan ekologis, berbagai bidang ilmu berupaya memberikan kontribusi positifnya dalam upaya perbaikan dan pencegahan kerusakan lingkungan hidup. Salah satu bidang ilmu yang dapat berkontribusi bagi “pertobatan ekologis” (ecological conversion) [2] adalah teologi. Teologi masing-masing agama tentunya memiliki jawaban sendiri atas persoalan ekologis. Tulisan ini secara khusus akan membahas pandangan kekristenan, khususnya Gereja Katolik, mengenai lingkungan hidup dan segala kompleksitasnya. Kajian teologis ini didasarkan atas gagasan teologis seorang imam Katolik dan teolog berkebangsaan Australia, yaitu Denis Edwards, yang termuat di dalam buku Ecology at The Heart of Faith-The Change of Heart that leads to A New Way of Living on Earth (selanjutnya disingkat EHF). Secara pribadi, penulis merasa bahwa gagasan teologis Denis Edwards tentang ekologi ini sangat relevan untuk diperhatikan dan dipertimbangkan sebagai cara alternatif untuk membebaskan manusia dari persoalan ekologis yang dihadapinya.


2. Tujuan Penulisan
 Karya tulis ini bertujuan untuk membantu insan beriman dan siapa saja yang memiliki kepedulian terhadap persoalan ekologis agar tetap mempertahankan keutuhan komunitas ciptaan Allah, dan menyadari betapa dirinya sangat dibutuhkan dalam upaya perbaikan dan pelestarian lingkungan hidup.


3. Metodologi Penulisan
 Penulisan karya tulis ini menggunakan metode penelitian pustaka. Buku yang menjadi sumber utama penulisan karya tulis ini adalah Ecology at The Heart of Faith-The Change of Heart that leads to A New Way of Living on Earth, karya Denis Edwards. Selain itu, penulis juga menggunakan beberapa sumber lain berupa buku, majalah, dan artikel dari berbagai sumber sebagai tambahan.

4. Sistematika Penulisan

 Penulisan karya tulis ini ditempuh dalam beberapa langkah sistematis dan terarah. Bab I merupakan bab pendahuluan yang mengantar pembaca untuk masuk ke dalam pokok-pokok bahasan yang dipaparkan pada bab-bab berikutnya. Bab II membahas genesis manusia dari sudut pandang ilmu pengetahuan. Pada bab ini juga dipaparkan gagasan mengenai manusia sebagai Citra Allah. Bab III memberikan penekanan khusus pada gagasan teologis mengenai Roh Pencipta dan Peristiwa-Kristus (Christ-event) serta relevansinya terhadap upaya pertobatan ekologis. Gagasan teologis mengenai Allah Trinitas, transformasi segala sesuatu di dalam Allah, dan praksis hidup yang berguna bagi pembentukan komunitas ciptaan yang harmonis akan dipaparkan pada bab IV. Bab V merupakan penutup tulisan, dalam mana penulis merangkum keseluruhan pembahasan pada bagian sebelumnya, memberikan sejumlah tanggapan terhadap gagasan teologis Edwards, dan melampirkan relevansi gagasan teologis tersebut dalam konteks ke-Indonesia-an.


BAB II
GENESIS MANUSIA


 Menurut Denis Edwards, salah satu isu kunci bagi teologi ekologis adalah pemahaman mengenai manusia sebagai bagian dari ciptaan Allah. Ia mengatakan:
“Teologi kontemporer manapun yang menyebut dirinya sebagai bersifat ekologis perlu menempatkan manusia di tengah komunitas kehidupan. Teologi itu haruslah merupakan teologi tentang manusia-dalam-relasinya-dengan-yang-lain.” [3]
 Kutipan di atas mengungkapkan pandangan Edwards mengenai teologi ekologis yang benar. Teologi ekologis tersebut haruslah sebuah teologi yang tidak human-centered atau yang menempatkan manusia “di atas” ciptaan Allah lainnya, melainkan teologi yang menempatkan manusia “di tengah-tengah” komunitas kehidupan.
 Edwards mengakui bahwa kosmologi ilmiah dan biologi evolusioner telah memberikan kontribusi berharga bagi pembentukan sebuah teologi ekologis dalam hubungannya dengan manusia. Kedua bidang ilmu ini menempatkan manusia dalam relasinya dengan sejarah alam semesta dan sejarah kehidupan di bumi. Edwards berargumentasi bahwa sebuah teologi mengenai manusia tidak dibangun semata-mata atas dasar ilmu pengetahuan, tetapi juga dibangun atas dasar sumber-sumber Tradisi Kristen, khususnya pandangannya mengenai tempat manusia di hadapan Allah. Edwards bermaksud membangun sebuah teologi yang merupakan perpaduan antara ilmu pengetahuan dan agama. Demi maksud ini, ia mulai menelusuri sejarah manusia dari sudut pandang ilmu pengetahuan. Edwards kemudian menggali lebih dalam ungkapan Tradisi Kristen mengenai manusia sebagai Citra Allah (Imago Dei).

1. Manusia Berasal dari Alam Semesta

 Berikut ini saya memaparkan kajian Denis Edwards mengenai genesis atau asal-usul manusia dari sudut pandang sains. Untuk menelusuri asal-usul manusia dari sudut pandang ilmu pengetahuan, Edwards menggunakan beberapa teori yang menjelaskan asal-usul manusia.


1.1. Manusia Dilahirkan Dari “Dentuman Besar” (Big Bang)
 Salah satu pencapaian besar di abad XX adalah gagasan yang menyatakan bahwa alam semesta kita tidak bersifat statis, melainkan secara dinamis terus berkembang dan meluas. Ketika alam semesta mengembang dan meluas, galaksi-galaksi saling menjauh satu sama lain secara cepat. Pada masa sekarang, para kosmologis berupaya menyelidiki alam semesta dengan cara kembali ke masa sekitar 1,5 miliar tahun yang lalu ketika alam semesta ini masih berbentuk sederhana, padat dan panas. Mereka menyebut teori mengenai asal mula alam semesta yang dihasilkan dari pecahan pertama (first fraction) dari detik pertama setelah terlahirnya alam semesta sebagai Big Bang (Dentuman Besar). Menurut teori-teori kosmologi berpengaruh, di dalam pecahan pertama pada detik pertama, alam semesta mengalami pengembangan (inflation) atau suatu ekspansi yang sangat cepat.
 Para ilmuwan semakin yakin untuk menggambarkan apa yang terjadi selanjutnya setelah detik pertama itu. Kosmolog seperti Martin Rees menekankan bahwa kosmologi dapat memberikan sebuah cacatan yang masuk akal mengenai alam semesta yang mengembang sejak akhir dari detik pertama. [4] Dalam kurun waktu ini, partikel-partikel biasa seperti proton, neutron dan elektron sudah ada. Ketika alam semesta berhenti berekspansi dan menjadi dingin, inti dari elemen yang paling sederhana seperti hidrogen dan sebagian helium mulai terbentuk. Hidrogen merupakan elemen pertama yang terbentuk, dan juga merupakan elemen yang mendominasi alam semesta. Pada tahap ini, masih terlalu panas bagi inti hidrogen dan helium untuk menjadi atom. Terdapat transformasi energi yang sangat cepat antara zat (matter) dan radiasi (radiation). Segera sesudahnya, partikel-partikel dan radiasi bergabung. Pada akhir tiga menit yang pertama, terbentuklah observable universe [5] sebagai bola api (fireball) yang terus berekspansi, kemudian menjadi dingin. Bola api ini terbentuk dari inti hidrogen dan helium.
 Ketika alam semesta kita berusia sekitar 400.000 tahun, sudah cukup dingin bagi inti (nuclei) untuk mengikat diri dengan elektron guna membentuk atom hidrogen dan helium. Pada proses ini, zat (matter) dipisahkan dari radiasi (radiation). Alam semesta menjadi transparan oleh karena besarnya radiasi yang melingkupinya. Radiasi ini adalah radiasi gelombang mikro kosmos (cosmic microwave radiation). Penyebab radiasi gelombang mikro kosmos ini ditemukan oleh Arno Penzias dan Martin Wilson pada tahun 1965, sekitar 13,5 miliar tahun setelah terjadinya radiasi gelombang mikro kosmos. Sekarang para ilmuwan yang mempelajari radiasi ini menemukan bahwa radiasi gelombang mikro kosmos memberikan sebuah gambaran tentang alam semesta awal kepada mereka. Radiasi ini merupakan sisa dari “bola api purba” (primordial fireball).
 Konsekuensi lebih jauh dari pandangan di atas adalah bahwa manusia merupakan sisa-sisa dari bola api purba. Manusia adalah warisan dari Dentuman Besar yang terjadi sekitar 15 miliar tahun yang lalu. Hidrogen merupakan elemen pokok bagi struktur sel segenap makhluk hidup; dan ketika digabungkan dengan oksigen, terbentuklah air yang mendukung dan mempertahankan kehidupan. Tak dapat dihindarkan bahwa kita terbentuk dari dan secara terus menerus tergantung pada hidrogen yang lahir dari peristiwa alam semesta awal. Sejarah alam semesta adalah sejarah kita. Dengan demikian maka kita adalah anak-anak alam semesta awal.
 Komunitas manusia di bumi dan spesies bumi lainnya berasal dari bola api purba. Di dalam bola api purba ini, terkandunglah potensi-potensi yang memungkinkan terjadinya alam semesta seperti yang terlihat sekarang ini. Di dalamnya, terkandung kemungkinan (possibility) semua yang pernah bertumbuh, antara lain, sistem tata surya kita (Galaksi Bima Sakti), bumi dan beragam ciptaan yang ada di dalamnya. Manusia, dan ciptaan lain di dalam komunitas kehidupan di bumi, adalah potensi yang terbuka yang sudah terkandung di dalam pancaran energi purba yang mahabesar.
 Edwards memiliki keyakinan bahwa alam semesta ini ada hanya karena ia diciptakan Allah secara terus menerus. Iman Kristiani memang tidak menyampaikan detil peristiwa pertumbuhan dan perkembangan alam semesta. Untuk menemukan jawabannya, teologi perlu berdialog dengan sains. Teologi semacam ini akan melihat Allah sebagai pemberi kekuatan bagi perkembangan alam semesta. Dengan kata lain, alam semesta yang terus berkembang ini berasal dari kejadian-kejadian purba yang diciptakan oleh Allah. Pandangan semacam ini, menurut Edwards, menuntun kita kepada suatu pemahaman mengenai sifat Allah yang mencipta secara evolusioner (evolutionary) dan terus berkembang (emergent). Dengan demikian maka manusia pun diciptakan Allah sebagai ciptaan yang terus berkembang.