Monday, February 8, 2010

“PENYELESAIAN KASUS BANK CENTURY DI HADAPAN TUNTUTAN LOYALITAS TERHADAP KONSESUS BERSAMA” (ANALISA KASUS BERDASARKAN TEORI INTEGRASI SOSIAL EMILE DURKHEIM)

 


BAB I
PENDAHULUAN


1. Latarbelakang Masalah
Hiruk pikuk seputar kasus Bank Century, yang kini telah berganti nama menjadi Bank Mutiara, menyita perhatian banyak elemen masyarakat. Tema besar kasus tersebut adalah korupsi. Lakon para legislator/Dewan Perwakilan Rakyat/DPR (baca: Panitia Khusus/Pansus Hak Angket Bank Century) dalam upaya pembongkaran kasus Bank Century, disimak secara luas oleh masyarakat melalui pemberitaan berbagai media massa, baik cetak maupun elektronik. Bahkan masyarakat sendiri dapat melihat jalannya persidangan Pansus Hak Angket Bank Century melalui program Breaking News yang disiarkan secara langsung (Live Streaming) oleh beberapa televisi swasta. Pemerintah (DepKeu) dan Bank Indonesia (BI) yang sementara ini dituduh sebagai pihak-pihak yang paling bertanggungjawab atas pengucuran dana talangan (bailout) kepada Bank Century—yang dinilai telah merugikan negara sekitar Rp6,76 Trilyun—melakukan pembelaan diri, seolah tidak ada yang keliru dengan mekanisme dan keputusan yang telah diambilnya. Para politisi di luar parlemen saling adu argumen. Di satu pihak partai politik tertentu mempertanyakan komitmen partai lain atas koalisi politik yang telah mereka bangun bersama, sedangkan di pihak lain partai yang dituduh “berkhianat” membela dirinya atas nama kebenaran dan keberpihakan kepada rakyat. Rakyat yang tidak puas dengan kinerja parlemen dan pemerintah melakukan unjuk rasa di mana-mana menuntut tegaknya kebenaran dan keadilan.
Sepenggal kisah di atas adalah fakta sosial-politik yang dapat dicari sebab musababnya dari sudut pandang sosiologi, khususnya sosiologi hukum. Tulisan singkat ini bermaksud menganalisis kasus Bank Century dari kacamata keilmuan Emile Durkheim (1858-1918), khususnya pandangannya mengenai integrasi sosial. Bagi Durkheim, integrasi masyarakat (kohesi sosial) dimungkinkan karena ada nilai bersama yang dipegang masyarakat bersangkutan dalam aktivitasnya sehari-hari. Nilai tersebut dianggap sebagai sesuatu yang berasal dari realitas transenden yang sangat dijunjung tinggi, yang dalam dunia real mewujud di dalam totem (arca, simbol, lambang, dsb) yang diyakini mengandung kekuatan magis tertentu. Pelanggaran atas nilai tersebut akan menimbilkan huru-hara di tengah masyarakat.
Masyarakat modern merupakan perkembangan lebih lanjut dari masyarakat primitif. Nilai-nilai yang dihayati oleh masyarakat primitif, dipositifkan dan dijadikan sebagai konsensus bersama (baca:konstitusi dan turunannya) oleh masyakat modern yang terintegrasi di dalam sebuah negara modern. Dalam kacamata Durkheim, unjuk rasa yang menuntut penyelesaian kasus Bank Century tidak lain merupakan bentuk ketidaksukaan masyarakat karena konsensus yang dijunjungtingginya dinodai oleh pihak-pihak tertentu.

2. Perumusan Masalah
Sebagaimana diuraikan pada bagian 1 (satu) di atas, kasus Bank Century adalah skandal besar yang menyita perhatian banyak pihak. Ketidakpercayaan publik terhadap kinerja lembaga negara, khususnya pemerintah dan legislatif, menimbulkan keributan yang menjelma dalam bentuk unjuk rasa/demonstrasi yang digelar di berbagai pelosok tanah air. Permasalahan ini adalah juga permasalahan sosiologis yang dapat dicarikan akar masalahnya dengan pendekatan sosiologis, sekalipun belum sepenuhnya memberikan jawaban yang memuaskan. Untuk itu, ada beberapa pertanyaan yang dapat kita ajukan:
a. Motif kejahatan atau pelanggaran macam apa yang ada di balik kasus Bank Century?
b. Apa akar masalah kasus Bank Century dan sejumlah demonstrasi yang terjadi, apabila ditinjau dari pengamatan sosiologis Emile Durkheim?


BAB II
PEMBAHASAN

1. Garis Besar Kasus Bank Century
Pengucuran modal penjaminan kepada Bank Century [1] sebesar Rp6,76 Trilyun berdasarkan hasil pembahasan dan keputusan Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) berbuah masalah. Penggelontoran dana Fasilitas Pinjaman Jangka Pendek (FPJP) dan Penyertan Modal Sementara (PMS) oleh Bank Indonesia (BI) dan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) dipertanyakan banyak pihak. Alasan penetapan BI terhadap Bank Century sebagai bank gagal yang berdampak sistemik disinyalir penuh rekayasa dan tidak memiliki dasar hukum yang kuat. [2] Penyerahan hasil audit investigatif Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) kepada Panitian Khusus (Pansus) Hak Angket DPR pada tanggal 20 November 2009 dapat memberikan pemetaan kasus secara jelas, meskipun belum dapat menyingkap semuanya. Kendatipun demikian, hasil audit BPK tersebut telah memberikan indikasi adanya tindak pidana korupsi dan tindak pidana pencucian uang. 
1.1. Seluk Beluk Bank Century Dari Merger Sampai Dinyatakan Sebagai Bank Gagal [3]
Kasus Bank Century bermula dari tindakan hukum penggabungan usaha (merger) yang dilakukan tiga bank, yaitu PT Bank Danpac Tbk., PT Bank Pikko Tbk., dan PT Bank CIC Internasional Tbk. Dua bank pertama adalah “bank yang akan bergabung”, dan bank terakhir adalah “bank yang menerima penggabungan”. Pada tanggal 22 Oktober 2004, bank yang akan bergabung dan bank yang menerima penggabungan, sepakat melakukan penggabungan usaha berdasarkan Akta No. 158 Tanggal 22 Oktober 2004 dari Buntario Tigris Darmawa NG, S.H., S.E., seorang notaris di Jakarta. Pada tanggal 28 Desember 2004, BI menyetujui perubahan nama PT CIC Internasional Tbk., menjadi PT Bank Century Tbk., berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Bank Indonesia No. 6/92/KEP.GBI/2004. Dengan merger ini, sesuai dengan kesepakan bersama dalam sebuah Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) Luar Biasa: a) semua pemegang saham bank yang menggabungkan diri, menjadi pemegang saham Bank Century, b semua kekayaan, kewajiban, serta usaha bank yang bergabung, beralih ke Bank Century, c) bank hasil penggabungan tetap mempertahankan eksistensinya sebagai Perseroan Terbatas, dan berlaku sebagai bank umum dengan memakai nama Bank Century.
Sejak tanggal 29 Desember 2005, Bank Century dinyatakan sebagai Bank Dalam Pengawasan Intensif sesuai dengan surat BI No. 7/135/DPwB1/PwB11/Rahasia. Status ini dikenakan kepada Bank Century karena: a) melakukan penukaran Surat-Surat Berharga (SSB) senilai USD 75 juta dan cash USD 60 juta (total USD 135 juta) dengan SSB lain senilai USD 57, 48 juta, b) memiliki rasio kecukupan modal (capital adequacy Ratio/CAR) di bawah standar bank sehat, yaitu -132,58 %, c) mengalami kredit macet senilai Rp356 Miliar, dan d) terjadi pengumpulan investasi dana tetap oleh PT Antaboga Delta Sekuritas sebagai salah satu pemegang saham di Bank Century.
Pada tanggal 6 November 2008, BI menetapkan Bank Century sebagai Bank Dalam Pengawasan Khusus. Menurut Peraturan Bank Indonesia No. 6/9/PBI/2004 tanggal 26 Maret 2004, No. 7/38/PBI/2005 tanggal 10 Oktober 2005 dan No. 10/27/PBI/2008 tanggal 30 Oktober 2008, status ini ditetapkan paling lama 6 (enam) bulan. Faktor-faktor penyebabnya, antara lain: a) sejak Oktober 2008, Bank Century berkali-kali melanggar ketentuan Giro Wajib Umum, b) Likuiditas BI terus memburuk sejak pemilik Bank Century tidak mampu memenuhi permintaan BI untuk melunasi SSB Valas yang jatuh tempo, dan c) penghitungan CAR per 30 September 2008 merosot dari 14,76 % menjadi 2,35 %.
Pada tanggal 13 November 2008, PT Bank Century Tbk mengalami keterlambatan penyetoran dana pre-fund untuk mengikuti kliring. Keterlambatan penyetoran dana pre-fund dan dana BI yang berada dibawah saldo minimal pada saat itu membuat transaksi kliring Bank Century hari itu di-suspend. Transaksi kliring Bank Century dibuka kembali pada tanggal 14-20 November 2008. Pemberitaan gagal kliring 13 November 2008 membuat panik para deposan Bank Century, sehingga terjadi penarikan dana secara besar-besaran.
Pada tanggal 20 November 2008, berdasarkan surat No. 10/232/GBI/Rahasia, BI menetapkan Bank Century sebagai Bank Gagal yang ditengarai berdampak sistemik. CAR Bank Century per 30 Oktober 2008 mengalami keterpurukan, dari 2,35 % menjadi -3,53 %. Menindaklanjuti keputusan BI, sambil memperhatikan Perppu No. 4 Tahun 2008 tentang Jaringan Pengaman Sistem Keuangan (JPSK), Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) melalui Keputusan No. 4/KSSK.03/2008, pada tanggal 21 November 2008 menetapkan PT Bank Century Tbk sebagai Bank Gagal yang berdampak sistemik, dan menyerahkan penanganannya kepada LPS. 
1.2. Indikasi Korupsi dan Penyalahgunaan Wewenang di Dalam Kasus Bank Century
Audit investigatis BPK mengindikasikan bahwa penyelamatan Bank Century adalah sebuah keputusan yang keliru dan diambil dengan tidak memperhatikan berbagai catatan praktek perbankan yang tidak sehat dan juga kinerja perbankan yang buruk. Penggelontoran dana kepada Bank Century yang mencapai trilyunan rupiah, dengan demikian, sangat berisiko terhadap penyelewenangan (baca: korupsi). Indikasi korupsi dapat ditemukan di dalam:
a. Penggabungan/merger tiga bank [4]
Sebelum terjadi merger tiga bank, Bank Pikko dan Bank CIC memiliki masalah dengan SSB dan CAR. Merger diduga merupakan upaya untuk menghindari penutupan kedua bank tersebut karena kondisinya tidak sehat. BI diduga sengaja memuluskan proses merger dengan beberapa tindakan yang meringankan bank-bank yang bermasalah tersebut, misalnya aset yang semula dinyatakan macet oleh BI, kemudian dianggap lancar untuk memenuhi performa CAR.
b. Penyaluran Fasilitas Pinjaman Jangka Pendek (FPJP)[5]
BI diduga merekayasa Peraturan BI tentang persyaratan pemberian FPJP No. 10/26/PBI/2008 yang kemudian digantinya dengan Peraturan BI No. 10/30/PBI/2008. Peraturan yang berubah dalam kurun waktu yang singkat ini disinyalir sebagai skenario yang disiapkan BI agar Bank Century memenuhi syarat sebagai bank penerima FPJP, sekalipun CAR Bank Century (-3,53 %) tidak memenuhi syarat untuk menerima FPJP. Atas kebijakan yang terkesan sangat diatur ini, BI lantas memberikan dana FPJP kepada Bank Century sebesar Rp689,29 miliar, dengan rincian: a) pada tanggal 14 November 2008 sebesar Rp356,81 miliar, b) pada tanggal 17 November 2008 sebesar Rp145,26 miliar, dan c) pada tanggal 17 November 2008 sebesar Rp187,32 miliar. 
c. Pengambilan keputusan KSSK dan penyaluran Penyertaan Modal Sementara (PMS) [6]
Setelah mendapatkan salinan surat Gubernur BI No. 10/232/GBI/Rahasia tanggal 20 November 2008, tentang Penetapan Bank Century Sebagai Bank Gagal dan Penetapan Tindak Lanjutnya, pada tanggal 21 November 2008 KSSK mengadakan rapat. Sebelumnya sudah ada beberapa rapat koordinasi KSSK antara DepKeu dan LPS, yaitu tanggal 14, 17, 18, 19 dan 20 November 2008. Rapat KSSK tanggal 21 November dihadiri Menteri Keuangan selaku ketua KSSK, Gubernur BI selaku anggota KSSK, dan sekretaris KSSK. Pertemuan KSSK tersebut menetapkan Bank Century sebagai bank gagal yang berdampak sistemik, dan menyerahkan penanganannya kepada LPS. Hasil rapat ini kemudian dibawa kepada rapat koordinasi antara Menkeu, Gubernur BI, dan Ketua Dewan Komisioner LPS pada hari yang sama. Selanjutnya BI menetapkan besarnya PMS oleh LPS untuk diberikan kepada Bank Century sebesar Rp632 miliar. Anehnya, angka PMS tersebut lantas membengkak menjadi Rp6,76 trilyun.
Selain itu, legalitas keputusan KSSK dipertanyakan. KSSK sendiri dibentuk berdasarkan Perppu No. 4 Tahun 2008 tentang JPSK. Dalam rapat paripurna DPR RI tanggal 18 Desember 2008, DPR meminta pemerintah mengajukan Rancangan Undang-Undang (RUU) JPSK. Dari fakta yang terjadi, ternyata KSSK telah berjalan dengan tanpa persetujuan penuh DPR. Dengan demikian otoritas dan kewenangan KSSK tidak kuat secara hukum. 
d. Penyalahgunaan dana FPJP dan PMS [7]
Setelah menetapkan Bank Century sebagai Bank Dalam Pengawasan Khusus, BI melarang Bank Century memberikan izin penarikan dana kepada pihak yang terkait dengan Bank Century, atau pihak yang dilarang secara khusus oleh BI. Namun yang terjadi adalah kebalikannya, yaitu terjadi penarikan dana sebesar Rp454,898 miliar, USD 2,22 juta, dan SGD 41, 18 ribu.
Pada tanggal 14 November 2008, salah satu pemilik Bank Century berinisial RT meminta Kabag Operasional Bank Century Cabang Surabaya untuk memindahkan deposito salah satu nasabah sebesar USD 91 juta ke Kantor Pusat Operasional (KPO), Senayan, Jakarta. Setelah berpindah, DT dan RT mencairkan dana nasabah tersebut sebesar USD 18 juta pada tanggal 15 November 2008 yang dipakai untuk menutupi kekurangan bank notes yang selama ini digunakan DT untuk keperluan pribadinya. Dana nasabah tersebut kemudian diganti oleh Bank Century dengan dana FPJP.
Berikutnya, laporan keuangan Bank Century yang telah berada di bawah pengawasan LPS selama 6 bulan di tahun 2009 menunjukkan adanya penurunan kewajiban pembayaran nasabah dalam bentuk simpanan, dari Rp10, 82 trilyun menjadi Rp5,18 trilyun pada Juni 2009. Diduga telah terjadi penarikan dana nasabah dalam jumlah besar. Pertanyaan penting yang harus dijawab adalah, siapa saja yang menerima dana sebesar 5,64 trilyun itu?
Sejalan dengan perkembangan Pansus Hak Angket Bank Century, demonstrasi terjadi di mana-mana. Masyarakat menuntut agar pejabat negara yang terlibat secara langsung dalam pengucuran dana, yang pada saat ini masih memegang jabatan tertentu di dalam pemerintahan, dinonaktifkan oleh presiden agar dapat diproses secara hukum. Selain itu, orang dalam (insider) Bank Century yang melakukan tindak pidana korupsi dan tindak pidana pencucian uang segera diproses secara hukum dan dijatuhi hukuman setimpal. Koruptor yang masih buron tetap harus dikejar sampai ditemukan dan diproses secara hukum. 
2. Teori Integrasi Sosial Emile Durkheim (1858-1918)
Sepanjang hidupnya, Durkheim berupaya menjelaskan validitas normatif institusi dan nilai. Secara pribadi, Durkheim memiliki ketertarikan kepada pemakaian asli norma-norma sebelum terbentuknya negara (pre-state). Melalui bukunya The Elementary Forms of The Religious Life, Durkheim berhasil melacak akar sakral dari otoritas moral norma sosial. [8] Nilai dianggapnya sebagai konsensus dasar/norma yang menjadi landasan terbentuknya sebuah komunitas/masyarakat. Nilai ini melekat di dalam diri setiap individu di dalam masyarakat bersangkutan, dan menjadi kesadaran kolektif yang mengikat seluruh. Antara masyarakat dan individu terdapat kesatuan yang susah untuk dipisahkan. Individu baru mendapatkan identitasnya sebagai individu jika ia tergabung dalam masyarakat, dan menghayati nilai-nilai yang dipegang teguh oleh masyarakat tersebut. Setiap pelanggaran atas norma layak mendapatkan hukuman karena validitasnya diklaim dari sudut pandang “otoritas moral” (berlawanan dengan otoritas materil/supremasi fisik). Sisi kevalidan aturan moral perlu dijelaskan lebih jauh, karena aturan-aturan tersebut memiliki kekuatan mengikat yang justru membenarkan penerapan sanksi ketika dilanggar, dan bukannya mengandaikan adanya sanksi. Hal ini tentu saja berbeda dengan hukum positif yang berlaku di dalam sebuah masyarakat modern (baca:negara). Di dalam masyarakat modern, hubungan konvensional antara aturan hukum dan sanksi dimaksudkan untuk menciptakan kepatuhan terhadap norma.
Menurut Durkheim moralitas harus didasarkan pada yang-sakral. Moralitas tidak akan lagi menjadi moralitas jika tidak memiliki unsur agama. [9] Dalam kerangka berpikir Durkheim, agama terdiri atas kepercayaan dan praktek ritual. Dengan menggunakan kepercayaan sebagai titik tolak, ia memahami agama sebagai pengalaman kesadaram yang kolektif dan supra-individual. Sejalan dengan itu Durkheim mencari objek intensional yang menjadi sasaran dunia ide religius, dan ia menemukannya pada sosok Sang Khalik, alam gaib, kekuatan sakral, dan semacamnya. Dalam studinya terhadap sistem totem masyarakat Aborigin Australia, ia memperhatikan bahwa yang-sakral telah “menemukan wujudnya” di dalam totem berupa tumbuhan, atau binatang yang disembah. Durkheim menyebut totem sebagai “dambaan kolektif yang menubuhkan diri pada objek-objek material”. [10] Simbol-simbol sakral ini memungkinkan adanya intersubjektivitas antaranggota masyarakat. Melalui penyembahan terhadap totem, konsensus masyarakat diperbaharui.
Melalui buku The Division of Labor in Society, Durkheim menandai adanya evolusi hukum. [11] Otoritas yang-sakral perlahan-lahan digantikan oleh otoritas yang dicapai melalui konsensus. Aura keagungan dan kebengisan yang terdapat di dalam yang-sakral tersublimasikan ke dalam kekuatan pemersatu/pengekang yang validitasnya masih dapat dikritik. Hukuman yang ditimpakan kepada pelaku kejahatan karena menista tempat suci, digantikan dengan ganti rugi yang harus dibayar seseorang karena ingkar janji. Menurut Durkheim, hukum modern mengkristal di sekitar keseimbangan kepentingan pribadi: inilah yang menaungi karakter sakralnya.
Di dalam masyarakat yang telah terdiferensiasi, kesadaran kolektif melekat pada negara. [12] Negara harus menyediakan legitimasi untuk kekuasaan yang ia miliki dan monopoli. Singkat kata, negara adalah organ khas yang tanggungjawabnya adalah menyediakan representasi-representasi tertentu yang diyakini baik oleh masyarakat. Di dalam masyarakat modern yang terdiferensiasi secara rinci, individu bebas bersosialisasi dan mulai melepaskan dirinya dari kesadaran kolektif yang mencakup seluruh struktur kepribadian. Melihat perubahan masyarakat sebagaimana digambarkan di atas, Durkheim melihat adanya pergeseran solidaritas, dari yang mekanis menjadi organis.
Lama kelamaan, Durkheim melihat adanya perkembangan pengultusan pribadi atau pengagungan martabat pribadi (individulisme modern). Hal ini disebabkan karena tumbuhnya otonomi individu tersebut tidak dibangun atas konsensus nilai sebelumnya. Integrasi sosial pun semakin tergerus. Sejalan dengan itu, banyaknya norma yang berkembang di masyarakat membuat individu kehilangan pegangan. Ketiadaan pegangan (anomi) dapat menyebabkan lahirnya berbagai bentuk kejahatan dan tumbuhnya angka bunuh diri. [13] 
3. Kasus Bank Century Dalam Teori Integrasi Sosial Emile Durkheim
Menurut penulis, teori integrasi sosial (kohesi sosial) yang dipaparkan Emile Durkheim masih kontekstual dengan kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia. Tanpa bermaksud meremehkan negara Indonesia tercinta, sebagian besar masyarakat Indonesia masih mempraktekkan pengkultusan simbol-simbol keagamaan yang disebut Durkheim sebagai “totem”. Tentu saja pengkultusan ini sedikit banyak telah dibumbui dengan citarasa modernitas, misalnya tempat ibadah yang megah dan sikap kritis terhadap nilai-nilai keagamaan. Kendatipun demikian, nilai-nilai agama masih kuat dipertahankan, seolah-olah kesadaran kolektif masyarakat melekat pada agama. Bayangkan saja, setiap pejabat yang akan bertugas, diminta mengucapkan sumpah di hadapan Tuhan. Dengan demikian, mencederai konsensus sama saja dengan mencederai nilai-nilai yang dijunjungtinggi sebagai yang berasal dari realitas transendens sebagai sumber moralitas.
Kasus century tidak lain merupakan suatu bentuk kekonyolan. Tindakan penggelontoran modal yang disinyalir tidak berkekuatan hukum sama saja dengan tindakan perampokan (seperti yang dikatakan Yusuf Kalla). Dalam hal ini, individualisme kian berkembang di dalam diri orang/sekelompok orang tertentu, sehingga kesadaran kolektifnya tergerus, sampai pada akhirnya menyebabkannya mengambil tindakan yang tidak selaras dengan konsensus bersama (dalam masyarakat modern disebut sebagai konstitusi dan turunannya). Orang/sekelompok orang ini, dalam perspekstif Durkheim terhadap kehidupan masyarakat tradisional, pantas dihukum karena bertentangan dengan otoritas moral. Atau jika ditarik kepada masyarakat modern, orang/sekelompok orang tersebut pantas dihukum karena sudah ada sanksi yang disiapkan untuk itu. Persoalannya: apakah hukum yang ada dapat menjamin bahwa orang-orang yang melanggar konsensus bersama tersebut dapat ditangkap, diadili, dan dijatuhi hukuman yang pantas?
Hiruk pikuk kasus Bank Century terkait perdebatan mengenai siapa yang benar dan siapa yang salah menimbulkan keresahan di tengah masyarakat. Muncul pertanyaan: hukum “siapa” yang harus diikuti, ketika semua penegak hukum, wakil rakyat, dan pemerintah yang saling berseteru menganggap dirinya sebagai pihak yang benar? Masyarakat seolah-olah sudah masuk dalam situasi tanpa norma (anomi), sehingga demonstasi/unjuk rasa yang terjadi di mana-mana dapat dimaklumi.



BAB III
PENUTUP

1.  Kesimpulan
Tema besar kasus Bank Century adalah korupsi. Kemunculannya setelah kasus yang disebut sebagai kriminalisasi petinggi KPK, membuat orang bertanya-tanya: skenario apa yang sedang dimainkan? Lakon para anggota Pansus Hak Angket Bank Century, perdebatan antarpartai politik, pembelaan diri pihak yang dimintai tanggungjawabnya, dan pemberitaan media yang sangat hangat dan segar (baca:up-to-date), segera disambut dengan demonstrasi/unjuk rasa masyarakat di seluruh pelosok tanah air. Masyarakat menilai ada yang salah dengan kinerja petingginya. Ada unsur ketidaksetiaan para petinggi negara kepada konsensus bersama yang tidak lain merupakan nilai yang diperoleh dari realitas transendens, yang disebut dengan nama “Tuhan” oleh masyarakat modern. Fenomena ini harus segera diatasi.
2. Saran
Dalam rangka memulihkan kepercayaan masyarakat kepada lembaga negara yang telah diberi kepercayaan memimpin negara, khususnya dalam rangka penuntasan kasus Bank Century, penulis memberikan beberapa saran:
a. Siapa pun pihak yang terbukti bersalah dalam proses penyelidikan dan penyidikan kasus Bank Century, harus segera diproses, diadili, dan dijatuhi hukuman yang wajar. Jika pihak tersebut masih aktif bekerja di pemerintahan, sebaiknya dinon-aktifkan.
b. BPK sebagai lembaga yang independen dalam tugasnya harus didukung, khususnya dalam menelusuri aliran dana PSPJ dan PMS di Bank Century, dan mengumumkan kepada publik pihak-pihak yang terbukti menerima aliran dana tersebut.
c. KPK dan PPATK harus didorong untuk menuntaskan kasus ini. Keterlibatan polisi di dalam kasus ini harus ditolak karena mengandung konflik kepentingan. Keterlibatannya sudah sepantasnya ditolak, mengingat kasus BLBI yang nyatanya kandas di tengah jalan ketika ada di tangan polisi, jaksa, dan hakim.


DAFTAR PUSTAKA

a. Sumber Buku
Habermas, Jűrgen. 2006. Teori Tindakan Komunikatif II-Kritik Atas Rasio Fungsionalis. Nurhaji (penerj.). Kreasi Wacana: Yogyakarta.
b. Sumber Lain
Tim Peneliti Kasus Century. Skema Indikasi Korupsi Kasus Bank Century (Berdasarkan Hasil Audit BPK-20 November 2009). Diunduh dalam format PDF dari http://cari-pdf.com, dengan keywords pencarian “Kronologis Kasus Bank Century”, pada tanggal 7 Februari 2010.
---------------, Emile Durkheim, diakses dari http://en.wikipedia.org/wiki/emile_durkheim, pada tanggal 6 Februari 2010.



Endnote:
[1] Bank Century Tbk, sebelum merger dengan PT Bank Danpac Tbk., dan PT Bank Pikko Tbk., didirikan berdasarkan Akta No. 136 pada tanggal 30 Mei 1989 yang dibuat Lina Laksmiwardhani,S.H., notaris pengganti Lukman Kirana, S.H., notaris di Jakarta. Akta Pendirian ini disahkan oleh Menteri Kehakiman Republik Indonesia dalam Surat Keputusannya No. C.2-6169.HT.01.01.TH 89 tertanggal 12 Juli 1989. Didaftarkan ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada 2 Mei 1991 dengan No. 284/Not/1991. Anggaran Dasar Bank telah disesuaikan dengan Undang-Undang PerseroanTerbatas No. 1 Tahun 1995 dalam Akta No. 167 tanggal 29 Juni 1998 dari Rachmat Santoso, S.H, notaris di Jakarta. Pada tanggal 16 April 1990, Bank Century memperoleh izin usaha sebagai bank umum dari Menteri Keuangan Republik Indonesia melalui Surat Keputusan No. 462/KMK.013/1990 tentang Pemberian Izin Usaha. Pada tanggal 22 April 1993, Bank Century memperoleh peningkatan status menjadi bank devisa dari Bank Indonesia, melalui Surat Keputusan No. 26/5/KEP/DIR. Beberapa kali Bank Century melakukan perubahan Anggaran Dasarnya, terakhir sesuai Akta No. 159 tanggal 29 Juni 2005 dari Buntario Tigris Darmawa NG, SH, S.E, notaris di Jakarta. Perubahan anggaran dasar ini telah mendapat persetujuan dari Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia No. C-20789.HT.01.04.TH.2005 tanggal 27 Juli 2005. Sesuai dengan pasal 3 Anggaran Dasar Bank, ruang lingkup kegiatan usaha adalah menjalankan kegiatan umum perbankan termasuk berdasarkan prinsip syariah. Bank Century memulai operasi komersialnya pada bulan April 1990. Data ini diperoleh dari laporan Tim Peneliti Kasus Century di bawah judul “Skema Indikasi Korupsi Kasus Bank Century (Berdasarkan Hasil Audit BPK-20 November 2009). Diunduh dalam format PDF dari http://cari-pdf.com dengan keywords pencarian: “kronologis kasus bank century”, pada tanggal 7 Februari 2010, hlm. 2.
[2] Ibid., hlm. 1.
[3] Ibid., hlm. 3-5.
[4] Ibid., hlm. 6.
[5] Ibid., hlm. 10-15.
[6] Ibid., hlm. 16-19.
[7] Ibid., hlm. 20-21.
[8] Jurgen Habermas, Teori Tindakan Komunikatif II-Kritik Atas Rasio Fungsionalis, diterjemahkan oleh Nurhaji, Kreasi Wacana: Yogyakarta, 2007, hlm. 64.
[9] Ibid., hlm. 68.
[10] Ibid., hlm. 72.
[11] Ibid., hlm. 106.
[12] Ibid., hlm. 111
[13]Data tentang anomi dan bunuh diri didapat dari http://en.wikipedia.org/wiki/emile_durkheim, diakses pada tanggal 6 Februari 2010.


 

No comments:

Post a Comment