Monday, November 19, 2018

Membaca Pileg dan Pilpres dalam Konteks Lewoloba

Nick Doren - Lewoloba

Pada tanggal 17 April 2019 mendatang, Republik Indonesia akan mengadakan Pemilihan Umum (Pemilu) untuk memilih Calon Presiden dan Wakil Presiden, Calon Anggota DPR RI / DPRD dan DPD. Pemilu 2019 akan berbeda dengan Pemilu pada periode sebelumnya karena dilakukan secara serentak. Setidaknya terdapat lima kondisi yang membedakan Pemilu 2019 dengan Pemilu sebelumnya yaitu : (1) Sistem Pemilu terbuka, (2) perubahan timeline presidential threshold, (3) parliamentary threshold, dan (4) metode konversi suara, serta (5) pembagian kursi per Dapil, 3 untuk suara minimal dan 10 untuk suara maksimal. Terkait dengan Pemilu yang dilaksanakan secara serentak, maka setiap wajib pilih akan membawa 5 surat suara ketika memasuki bilik suara, yaitu surat suara untuk Pilpres, DPR RI, DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten / Kota dan DPD. Dengan mengantongi 5 surat suara ketika masuk bilik suara, maka hal ini tentu saja menjadi masalah tersendiri bukan hanya bagi pemilih pemula tetapi juga bagi pemilih lama yang lanjut usia.

Untuk wilayah pemilihan Kabupaten Flores Timur, 430 Calon Legislatif dari 16 partai politik telah mendaftarkan diri. Tidak semua parpol di Flores Timur mendaftarkan calegnya untuk semua Daerah Pemilihan yang ada. Jika semua parpol mendaftarkan calegnya secara lengkap maka jumlah calon anggota legislatif Kabupaten Flores Timur adalah 480 orang. Sebagian besar opini masyarakat mengatakan bahwa Pemilihan Legislatif tingkat Kabupaten untuk memperebutkan 30 kursi DPRD adalah pemilihan yang paling berat bila dibandingkan dengan pemilihan presiden dan pileg pada tingkatan lainnya. Ada banyak faktor primordial yang mempengaruhi pilihan warga, entah karena faktor agama, ikatan kekeluargaan, sosio budaya, dll. Latar belakang primordial semacam ini tentu mempengaruhi mutu sebuah pilihan. Orang tidak lagi memilih karena kualitas calon dan visi dan misinya tetapi karena faktor primordial.

Tuesday, March 27, 2018

Aksi Puasa Pembangunan 2018 Keuskupan Larantuka Fokus pada Solidaritas dan Kemandirian Gereja

Catatan Lepas Nick Doren
Uskup Larantuka, Mgr. Fransiskus Kopong Kung, Pr

Tahun 2018, Keuskupan Larantuka merefleksikan pentingnya solidaritas di antara jemaat Gereja guna membangun Gereja umat Allah yang mandiri, menarik dan misioner. Sejak lama Gereja Katolik Larantuka yang menerima evangelisasi dari misionaris Eropa memiliki ketergantungan yang besar pada donasi umat dari tanah seberang, baik personil misionaris maupun dana. Degradasi kehidupan beragama di Eropa yang ditandai dengan merebaknya pengaruh sekularisme, agnostisisme dan ateisme berdampak pada besaran sumbangan umat Eropa kepada dunia Timur, termasuk Keuskupan Larantuka. Kondisi ini menuntut setiap Gereja lokal untuk bisa mandiri, mengurangi ketergantungannya pada sumbangan pihak luar.

Akhir-akhir ini kita sering mendengar banyaknya keluhan umat tentang macam-macam iuran / pungutan Gereja. Ada dana solidaritas, dana pembangunan, dana pendidikan calon imam, dana per jiwa, dsb. Dana yang terkumpul digunakan untuk kepentingan Gereja, khususnya dalam upayanya untuk mengembangkan karya-karya amal kasih di tengah dunia. Iuran / pungutan Gereja dilakukan secara berjenjang, dimulai dari KBG / KUB, diteruskan ke Paroki dan dilanjutkan ke Keuskupan. Biasanya telah dibedakan manfaat dana yang terkumpul sesuai dengan nama iuran / pungutannya.  Adakah yang salah dengan iuran / pungutan ini?