Tuesday, February 23, 2010

“MENELAAH SEPAK TERJANG BAPEPAM DALAM MEMBERANTAS KEJAHATAN KERAH PUTIH DI PASAR MODAL”


BAB I
PENDAHULUAN

1. Latar Belakang Masalah

Pasar modal (acapkali disebut dengan bursa efek) merupakan salah satu instrumen ekonomi yang sangat penting bagi masyarakat dalam hal investasi, sekaligus juga merupakan sumber pembiayaan bagi perusahan-perusahaan di Indonesia. Pasar modal dapat pula menjadi alat ukur bagi perkembangan perekonomian di tanah air dan cerminan tingkat kepercayaan investor domestik maupun internasional terhadap perangkat hukum dan kinerja pemerintah dalam dunia perekonomian.

 Sebagai instrumen ekonomi, pasar modal tidak luput dari penyalahgunaan oleh pihak-pihak tertentu untuk memperkaya dirinya secara melawan hukum. Kejahatan di bidang pasar modal tergolong rumit dan sulit dibuktikan, apalagi diperkarakan di hadapan pengadilan—mengingat sifat pasar yang sangat sensitif terhadap fakta materil (baca:pemberitaan terkait jalannya proses peradilan) berupa informasi terkait pasar modal. Umumnya kejahatan yang terjadi di pasar modal dilakukan secara profesional oleh penjahat “kerah putih” [1] (white colar criminal), sedemikian sehingga para korbannya tidak merasa dirugikan oleh tindak kejahatan tersebut. Beberapa kejahatan yang terkait dengan pasar modal antara lain, perdagangan orang dalam (insider trading), penipuan (fraud in the market), dan manipulasi pasar (market manipulation).

 Mengingat pentingnya peranan pasar modal terhadap perekonomian Indonesia, diperlukan perangkat hukum yang tegas dan jelas untuk mengaturnya. Saat ini Indonesia memiliki Undang-undang khusus yang mengatur tentang pasar modal, yaitu UU No. 8 Tahun 1995 Tentang Pasar Modal. Dalam rangka upaya pembinaan, pengaturan, dan pengawasan pasar modal, dibentuklah Badan Pengawas Pasar Modal (Bapepam) yang keberadaan, tugas, dan wewenangnya diatur di dalam pasal 3, pasal 4, dan pasal 5 UU No.8 Tahun 1995. Dengan adanya Bapepam beserta kewenangannya untuk memeriksa, menyidik, dan menjatuhkan sanksi administratif, diharapkan agar kejahatan yang terjadi dalam lingkup pasar modal dapat diberantas, atau sekurang-kurangnya dapat dicegah.

2. Perumusan Masalah
 Pasar modal perlu diproteksi, mengingat perannya yang sangat signifikan bagi perekonomian tanah air dan kerentanannya terhadap berbagai bentuk kejahatan kerah putih (white colar crime). Dalam rangka menjaga kredibilitas dan melindungi kepentingan masyarakat pemodal, diperlukan landasan hukum yang jelas dan penegakkan hukum yang tegas. Untuk itu, dibentuklah UU No.8 Tahun 1995 Tentang Pasar Modal, yang memberikan tugas kepada Bapepam untuk membina, mengatur, dan mengawasi pasar modal, serta mengambil tindakan hukum yang tegas terhadap setiap pelaku kejahatan di pasar modal. Berkaitan dengan hal ini, penulis memiliki beberapa pertanyaan:

a. Apa sajakah bentuk-bentuk kejahatan yang terhadi di pasar modal?
b. Apa tugas dan wewenang Bapepam?
c. Sejauh mana Bapepam menjalankan tugas dan wewenangnya?


3. Metodologi dan Sistematika Penulisan
 Makalah ini disusun dengan menggunakan metode legal-formal. Melalui metode ini, penulis mendasarkan diri pada peraturan perundang-undangan, khususnya UU No. 8 Tahun 1995 Tentang Pasar Modal dan penjelasannya. Untuk memperjelas pokok-pokok tetentu, yang kiranya kurang dijelaskan di dalam peraturan perundang-undangan, penulis menggunakan sumber lain sebagai tambahan.
 Makalah ini terbagi ke dalam tiga bagian besar. Bab I adalah Pengantar. Di dalam bab ini, penulis memaparkan latar belakang, perumusan masalah, metode serta sistematika penulisan yang dimaksudkan agar pembaca dapat dihantar masuk ke dalam pokok permasalahan yang dibahas. Bab II adalah Pembahasan. Pada bab ini penulis memaparkan sejarah singkat pasar modal; sejumlah kejahatan di pasar modal; tugas dan wewenang Bapepam; dan analisis penulis atas sepak terjang Bapepam dalam memberantas kejahatan yang terjadi di pasar modal. Bab III adalah Penutup. Pada bagian ini, penulis merangkum pembahasan pada bagian-bagian sebelumnya, dan memberikan sejumlah saran terkait efektivitas peran Bapepam dalam memberantas kejahatan di pasar modal.

BAB II
PEMBAHASAN


1. Sejarah Singkat Pasar Modal [2]
 Untuk mendapatkan gambaran besar mengenai kondisi pasar modal Indonesia, penulis mengganggap perlu untuk memaparkan secara kronologis, sekelumit kisah mengenai sejarah pasar modal Indonesia.

 Pasar modal di bumi nusantara (tepatnya di Batavia) pertama kali dibentuk pada tanggal 14 Desember 1912 di bawah pemerintahan kolonial Belanda. Meletusnya perang dunia I di Eropa pada tahun 1914, menyebabkan pasar modal di Batavia ditutup. Pada kurun waktu antara tahun 1925-1942, pasar modal di Batavia diaktifkan lagi, dan dibentuk pula dua pasar modal yang lain, masing-masing di Semarang dan di Surabaya. Namun, peristiwa politik berupa perang dunia II menyebabkan pasar modal di Semarang dan di Surabaya ditutup pada tahun 1939. Tidak lama setelah itu, pasar modal di Batavia pun di tutup sepanjang tahun 1942-1945.

 Setelah proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia pada tahun 1945, pasar modal di Indonesia (tepatnya di Jakarta) diaktifkan lagi pada tahun 1952 berdasarkan UU No. 15 Tahun 1952 Tentang Penetapan Undang-undang Darurat Tentang Bursa, yang dikeluarkan oleh Menteri Kehakiman (Lukman Wiradinata) dan Menteri Keuangan (Prof. Dr. Soemitro Djojohadikusumo). Instrumen yang diperdagangkan pada waktu itu hanya berupa obligasi pemerintah RI. Sejalan dengan upaya nasionalisasi perusahaan Belanda yang dimulai pada tahun 1956, pasar modal semakin tidak aktif, bahkan vakum sampai dengan tahun 1977.

 Pada tanggal 10 Agustus 1977, pasar modal di Jakarta diresmikan kembali oleh Presiden Soeharto, yang pelaksanaannya diserahkan kepada Bapepam (Badan Pelaksana Pasar Modal). Pengaktifan kembali pasar modal ini ditandai dengan go public-nya PT Semen Cibinong sebagai emiten pertama. Tanggal 10 Agustus kemudian diperingati sebagai Hari Ulang Tahun Pasar Modal Indonesia.

 Hingga tahun 1987, perkembangan pasar modal Indonesia tergolong sangat lamban dengan hanya 24 emiten yang tercatat, dan rata-rata nilai transaksi harian berada di bawah Rp100 juta. Memperhatikan lesunya geliat perdagangan di pasar modal, pemerintah kemudian meluncurkan Paket Desember 1987 (PAKDES ‘87) yang memberikan kemudahan untuk melakukan penawaran umum bagi perusahaan, dan kemudahan berinvestasi bagi investor asing. Pada tahun 1988, pemerintah meluncurkan Paket Desember 1988 (PAKDES ’88) yang memberikan kemudahan kepada perusahaan untuk melakukan go public, yang segera diikuti dengan peningkatan transaksi di pasar modal. Pada tanggal 2 Juni 1988, didirikanlah Bursa Paralel Indonesia (BPI) yang dikelola oleh Persatuan Perdagangan Uang dan Efek (PPUE) yang terdiri atas broker dan dealer. Pada tanggal 16 Juni 1989, Bursa Efek Surabaya (BES) mulai beroperasi dan dikelola oleh PT Bursa Efek Surabaya.

 Semakin berkembangnya perdagangan di pasar modal dengan jumlah transaksi dan nilai transaksi yang kian meningkat, pada akhirnya membuat pemerintah berkeputusan untuk melakukan swastanisasi terhadap pasar modal di Jakarta. Pada akhir tahun 1991, didirikanlah PT Bursa Efek Jakarta, yang kemudian diresmikan oleh Menteri Keuangan pada tanggal 13 Juli 1992. Badan Pelaksana Pasar Modal kemudian berganti nama menjadi Badan Pengawas Pasar Modal. Tanggal 13 Juli kemudian diperingati sebagai HUT Bursa Efek Jakarta (BEJ). Sejak 22 Mei 1995, otomasi perdagangan dilakukan di BEJ dengan sistem komputer JATS (Jakarta Automated Trading Systems). Pada tanggal 10 November 1995, pemerintah mengeluarkan UU No. 8 Tahun 1995 Tentang Pasar Modal, yang mulai berlaku pada Januari 1996. Pada tahun 1995, BPI merger dengan BES. Akhirnya pada tanggal 3 Desember 2007, BES dan BEJ merger dan berganti nama menjadi Bursa Efek Indonesia (BEI) yang dikelola oleh PT Bursa Efek Indonesia. Pada semester I tahun 1998 (sebelum terjadi krisis sub-prime di Amerika Serikat), rata-rata nilai transaksi mencapai Rp5,6 trilyun per hari, dengan jumlah emiten mencapai 396 emiten.

2. Beragam Kejahatan di Pasar Modal
 Perkembangan pasar modal Indonesia yang signifikan dengan volume transaksi dan nilai transaksi yang terus meningkat, menyebabkan pasar modal menjadi ladang subur bagi bertumbuhnya tingkat kejahatan di bidang korporasi. Pada bagian pembahasan ini, penulis membatasi diri untuk hanya membahas kejahatan-kejahatan di bidang pasar modal sebagaimana yang diatur di dalam pasal 90 (penipuan), pasal 91 s.d. pasal 93 (manipulasi pasar), dan pasal 95 s.d. pasal 99 (perdagangan orang dalam) UU No. 8 Tahun 1995. Berikut penjelasan penulis tentang kejahatan-kejahatan dimaksud.

2.1. Perdagangan Orang Dalam (Insider Trading)
 Perdagangan orang dalam dapat dikatakan sebagai kejahatan yang khas pada pasar modal. Tindak kejahatan ini tidak kita temukan padanannya dengan tindak pidana umum sebagaimana yang diatur di dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). Larangan terhadap perdagangan orang dalam untuk pertama kali diintrodusir dengan diberlakukannya Keputusan Menteri Keuangan No.1548/KMK.013/1990 Tentang Pasar Modal. Keputusan Menteri Keuangan ini dapat disebut sebagai suplemen bagi UU No.15 Tahun 1952 Tentang Bursa yang memang tidak mengatur secara spesifik tentang kejahatan-kejahatan di pasar modal. Karena pengaturan tentang pasar modal dirasakan tidak memadai lagi diatur dengan keputusan menteri, lagipula UU Pasar Modal 1952 dirasakan sudah ketinggalan zaman, maka dibentuklah UU Pasar Modal yang baru yaitu UU No. 8 Tahun 1995 Tentang Pasar Modal.

 Ketentuan pokok pasal 95 UU No.8 Tahun 1995 mengatur bahwa setiap orang dalam dari emiten atau perusahaan publik yang mempunyai informasi orang dalam dilarang melakukan transaksi atas efek emiten atau perusahaan publik tersebut, atau perusahaan lain yang melakukan transaksi dengan emiten atau perusahaan publik bersangkutan. [3] Dari klausul pasal 95 ini, ada beberapa bagian pokok yang harus dijelaskan, yaitu mengenai orang dalam, informasi orang dalam, dan solusi yang dapat dipakai untuk mengatasi masalah ini.
 Bagian penjelasan pasal 95 UU No. 8 Tahun 1995 mengatur bahwa yang dimaksudkan sebagai “orang dalam” (insiders) [4] adalah:
a. Komisaris, direktur, atau pegawai emiten atau perusahaan publik;
b. Pemegang saham utama;
c. Orang perseorangan yang karena kedudukan dan profesinya atau karena hubungan usahanya dengan emiten atau perusahaan publik memungkinkan orang tersebut memperoleh informasi orang dalam.

 Jika kita berpatok pada penjelasan pasal 95 UU Pasar Modal di atas, maka cakupan orang dalam menjadi sangat terbatas. Padahal, siapa saja yang mendapatkan informasi yang dikategorikan sebagai informasi orang dalam, dapat disebut sebagai orang dalam. Untuk memahami maksud penulis, berikut penulis memaparkan sebuah contoh kasus fiktif tentang orang dalam. Misalnya, Si A adalah anak seorang direktur di Perusahaan X yang bergerak di pertambangan emas. Pada sebuah kesempatan bermain sepak bola, Si A menceritakan kepada Si B, bahwa menurut ayahnya, perusahaan X telah menemukan sebuah sumber emas yang terbukti bermutu tinggi di suatu tempat. Beberapa waktu belakangan, harga saham perusahaan X di bursa cederung stabil. Si B kebetulan juga anak seorang pemegang saham pada PT Y yang sama sekali tidak memiliki hubungan usaha dengan perusahaan X. Cerita Si A diteruskan oleh Si B kepada ayahnya. Ayah Si B ternyata menganggap serius informasi tersebut karena ia yakin bahwa informasi tersebut secara tidak langsung berasal dari mulut ayah Si A. Sebelum informasi mengenai penemuan sumber emas diumumkan di bursa, ayah Si B telah membeli sebagian besar saham milik perusahaan X. Setelah itu, harga saham PT X naik drastis setelah pengumuman, dan ayah Si B benar-benar diuntungkan dengan informasi tersebut. Dari contoh di atas dapat kita katakan bahwa a) pengertian tentang orang dalam tidak hanya terkait dengan pihak-pihak yang memiliki hubungan usaha dengan emiten atau perusahaan publik tertentu, tetapi siapa saja yang mendapatkan informasi orang dalam, b) informasi orang dalam dapat dipakai untuk berinvestasi oleh orang dalam perusahaan lain yang tidak memiliki hubungan usaha dengan emiten atau perusahaan publik tersebut. Dengan demikian, pelarangan orang dalam tidak hanya berlaku bagi mereka yang adalah “orang dalam”, tetapi juga berlaku bagi orang-orang di luar “orang dalam” perusahaan, terutama dilandasi oleh prinsip bahwa “orang-orang luar” (karena hubungannya dengan emiten atau perusahaan publik), memang berkewajiban untuk tidak menggunakan informasi tersebut untuk kepentingan perdagangan efek/saham emiten. Dengan demikian ada semacam fiduciary duty yang dibebankan kepada orang luar yang mempunyai hubungan dengan orang dalam atau secara kebetulan memiliki informasi orang dalam. [5]

 Informasi merupakan instrumen yang sangat penting dalam investasi di pasar modal karena sangat berpengaruh terhadap keputusan investor untuk membeli/tidak membeli dan menjual/tidak menjual efek suatu emiten atau perusahaan publik. Yang dimaksud dengan informasi orang dalam adalah informasi material yang dimiliki orang dalam, yang belum tersedia untuk umum. Penggunaan informasi orang dalam untuk melakukan transaksi efek menyebabkan pihak yang memiliki informasi tersebut diuntungkan, sedangkan pihak lain dirugikan. Kejahatan pasar modal ini menutup kemungkinan bagi investor untuk mendapatkan/membeli efek dengan harga yang murah atau melepaskan/menjual efek tersebut dengan harga yang tinggi.

 Solusi yang dibutuhkan untuk menyelesaikan atau sekurang-kurangnya meredam kasus perdagangan orang dalam adalah melalui kewajiban pelaporan dan keterbukaan informasi (disclosure of information). Lembaga-lembaga yang memperoleh izin usaha dari Bapepam wajib membuat laporan periodik kepada Bapepam. [6] Selain itu emiten yang pernyataan pendaftarannya telah menjadi efektif atau perusahaan publik wajib: a) menyampaikan laporan secara berkala kepada Bapepam dan mengumumkannya kepada publik, dan b) menyampaikan laporan kepada Bapepam dan mengumumkan kepada masyarakat tentang peristiwa materil yang dapat mempengaruhi harga efek, selambat-lambatnya pada akhir hari kerja kedua setelah terjadi peristiwa tersebut. [7]

 Larangan perdagangan orang dalam pada dasarnya dimaksudkan agar informasi yang keluar dari perusahaan dapat sampai kepada semua orang (pemodal dan calon pemodal) secara bersamaan dan merata. Di sinilah letak perlakuan yang adil dan setara atas semua pihak yang terlibat di pasar modal.

2.2. Penipuan (Fraud In The Market)
 Tindak penipuan di pasar modal secara tegas diatur di dalam pasal 90 UU No. 8 Tahun 1995, [8] yaitu bahwa dalam melaksanakan perdagangan efek, setiap pihak dilarang secara langsung atau tidak langsung:
1. menipu atau mengelabui pihak lain dengan menggunakan sarana dan/atau cara apa pun;
2. turut serta menipu atau mengelabui pihak lain;
3. membuat pernyataan tidak benar mengenai fakta yang material atau tidak mengungkapkan fakta yang materil agar pernyataan yang dibuat tidak menyesatkan mengenai keadaan yang terjadi pada saat pernyataan dibuat dengan maksud untuk menguntungkan atau menghindarkan kerugian untuk diri sendiri atau pihak lain atau dengan tujuan mempengaruhi pihak lain untuk membeli atau menjual efek.

 Penipuan dalam bidang pasar modal sebenarnya dapat dianggap sama dengan penipuan dalam tindak pidana umum (sebagaimana diatur di dalam pasal 378, pasal 390, pasal 391, dan pasal 392 KUHP). Namun, penipuan di bidang pasar modal perlu diperlakukan secara khusus mengingat potensi kekacauan ekonomi dan hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap perekonomian suatu negara yang dapat ditimbulkannya. Dengan demikian UU Pasar Modal memberikan hukuman yang lebih tinggi terhadap jenis kejahatan ini, yaitu maksimal 10 tahun penjara dan denda sebanyak-banyaknya Rp15 miliar.[9] Penipuan di bidang pasar modal meliputi penipuan yang dilakukan melalui prospektus atau dalam kegiatan perdagangan efek di bursa. Selain itu penipuan dapat dilakukan baik atas efek yang tercatat (listed) maupun efek yang diperdagangkan di luar bursa (over the counter). Pasal 90 ayat 3 UU Pasar Modal berupaya memberikan jaminan bahwa setiap informasi dan fakta materil yang disampaikan memang benar dan tidak menyesatkan. [10]

 Untuk mendapatkan gambaran mengenai salah satu bentuk penipuan di bidang pasar modal, penulis memaparkan sebuah contoh, s.b.b. Bre-X adalah sebuah perusahaan tambang emas dari Kanada yang beroperasi di Kalimantan. Manajemen Bre-X melakukan penipuan dengan melebih-lebihkan jumlah cadangan emas yang ada di daerah kuasa pertambangannya di Kalimantan. Manajemen Bre-X pada waktu itu mengelabui investor dengan memberikan sample tanah untuk pemeriksaan laboratorium mengenai cadangan emasnya dengan terlebih dahulu menambahkan butiran-butiran emas ke dalam sample tersebut. Latas diperkirakan bahwa cadangan emas di dalam tambang tersebut mencapai 200 juta pon. Berita tidak benar tersebut menyebabkan harga saham Bre-X naik beberapa kali lipat. Namun, ketika penipuan ini mulai terbongkar, harga saham Bre-X langsung turun pada tingkat yang sangat rendah.[11] Dari contoh ini kita menemukan bahwa kejahatan penipuan di pasar modal tidak hanya dilakukan melalui pengelabuan prospektus atau dalam perdagangan efek di bursa, tetapi juga melalui motif penipuan yang semakin beragam.

2.3. Manipulasi Pasar (Market Manipulation)
 Ketentuan tindak kejahatan manipulasi pasar diatur di dalam pasal 91 s.d. pasal 93 UU Pasar Modal. Berbeda dengan perdagangan orang dalam yang pengaturannya dilakukan secara umum, manipulasi pasar merupakan tindak pidana yang pengaturannya hanya berlaku bagi kegiatan di bursa efek saja, khususnya terkait perdagangan efek/saham terdaftar di bursa efek. Publikasi yang selalu dilakukan atas harga efek dan keadaan pasar dimaksudkan agar masyarakat mendapatkan gambaran yang real dan objektif tentang pasar, bukan merupakan sesuatu yang direkayasa. Manipulasi pasar dapat berbentuk manipulasi terhadap perdagangan efek dan manipulasi terhadap harga efek. Tindakan manipulasi pasar dan manipulasi harga merupakan tindakan yang dilakukan dengan perantaraan anggota bursa, baik secara sendiri maupun secara bersama-sama, yang dapat memberikan gambaran bahwa transaksi efek atau harga efek yang terjadi adalah sesuai dengan kekuatan pasar.
 Gabaran semu dan menyesatkan dalam transaksi dapat dilakukan oleh anggota bursa dengan cara melakukan transaksi efek tanpa mengakibatkan perubahan kepemilikan atas efek tersebut (wash sales), atau melakukan penawaran (jual-beli efek) pada harga tertentu yang sudah disepakati sebelumnya. Transaksi semu ini dapat dilakukan dengan atau tanpa barang sama sekali. Dengan demikian dalam kasus ini, penjual tidak menyerahkan saham kepada pembeli, dan pembelinya pun tidak menerima saham yang dijual. Transaksi ini dimaksudkan untuk menciptakan “a misleading appearence of active trading”.[12]

 Tindakan manipulasi pasar sudah semestinya dilarang, karena yang diinginkan oleh masyarakat adalah gambaran real tentang pasar, yang dapat menjadi pertimbangan bagi masyarakat bersangkutan dalam berinvestasi. Dengan kata lain, investor ingin agar apa yang terjadi di pasar memang merupakan cerminan dari kekuatan penawaran dan permintaan, bukan sesuatu yang dibuat-buat, seolah-olah cerminan kekuatan pasar tersebut adalah gambaran yang nyata dan benar tentang pasar.

3. Tugas dan Wewenang Bapepam di Pasar Modal [13]
 Kegiatan perdagangan di pasar modal sehari-hari dibina, diatur, dan diawasi oleh Badan Pengawas Pasar Modal (Bapepam). Sejak Pasar Modal di-swasta-kan oleh pemerintah, Bapepam tidak lagi menjadi badan pelaksana pasar modal, tetapi menjadi badan pengawas pasar modal. Eksistensi, tugas, dan wewenang Bapepam diatur di dalam pasal 3, pasal 4, dan pasal 5 UU Pasar Modal. Bapepam berada di bawah dan bertanggungjawab kepada Menteri Keuangan. Berikut penulis memaparkan tugas dan wewenang Bapepam yang disarikan dari UU Pasar Modal.

3.1. Tugas Bapepam
 Secara umum, tugas Bapepam adalah membina, mengatur, dan mengawasi pasar modal. Tugas membina, mengatur, dan mengawasi pasar modal tersebut meliputi:

a. Bidang Yang Berkaitan Dengan Evaluasi Keuangan Perusahaan (Corporate Finance)
 Pihak-pihak yang melakukan kegiatan di pasar modal memiliki beberapa kewajiban, salah satu di antaranya adalah kewajiban untuk menyampaikan laporan keuangan secara berkala kepada Bapepam. Laporan keuangan ini dimaksudkan untuk memenuhi asas keterbukaan (disclosure) di dalam pasar modal. Laporan keuangan yang wajib dilaporkan kepada Bapepam tersebut meliputi neraca, laporan laba-rugi, laporan saldo kas, laporan arus kas, catatan atas laporan keuangan, dan laporan lain serta materi penjelasan yang merupakan bagian integral dari laporan keuangan.

 Selain kewajiban penyampaian laporan keuangan secara berkala oleh emiten dan perusahaan publik kepada Bapepam, beberapa kewajiban penyampaian laporan terkait keuangan perusahaann pun harus dilaksanakan, antara lain:
a. Laporan realisasi penggunaan dana hasil penawaran umum oleh emiten;
b. Laporan keuangan tengah tahunan dan laporan keuangan tahunan oleh bursa efek;
c. Laporan realisasi rencana anggaran serta penggunaan laba oleh Lembaga Kliring dan Penjaminan (LKP) dan Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian (LPP).

b. Bidang Yang Berkaitan Dengan Pengawasan Transaksi dan Lembaga Bursa (Market Regulation)
 Transaksi efek di bursa melibatkan beberapa lembaga, antara lain Bursa Efek, LKP, LPP, dan Perusahaan Efek. Untuk menjamin adanya transaksi bursa yang teratur, wajar, dan efisien, Bapepam perlu mengatur beberapa regulasi terkait transaksi di bursa, antara lain:

a. Peraturan-peraturan terkait bursa efek.
 Peraturan ini terkait dengan kewajiban bursa efek untuk menyediakan sistem dan sarana perdagangan yang baik, dan melakukan pengawasan terhadap kegiatan setiap anggota bursa. Bursa efek pun wajib menyusun rencana anggaran tahunan dan penggunaan laba dalam rangka mempermudah pengawasan Bapepam terhadap bursa efek.

b. Peraturan-peraturan yang berkaitan dengan Lembaga Kliring dan Penjaminan
 LKP adalah lembaga yang didirikan untuk menyelenggarakan kliring dan penjaminan. LKP sebagai lembaga yang krusial di dalam perdagangan efek diharapkan dapat menjamin kelancaran penyelesaian transaksi di bursa, sehingga hak dan kewajiban peserta kliring berupa penyerahan/penerimaan efek dan/dana dapat dipenuhi dengan baik. Untuk menjamin teraturnya kegiatan LKP, Bapepam mengeluarkan beberapa regulasi, di antaranya terkait dengan tata cara pembuatan peraturan oleh LKP.

c. Peraturan-peraturan yang berkaitan dengan Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian
 LPP adalah lembaga yang menyediakan jasa kustodian. LPP wajib melindungi kepentingan para pemakai jasanya. LPP harus dapat menciptakan sistem yang dapat mengurangi biaya transaksi, menekan resiko, dan menurunkan biaya kustodian. Jika sistem yang disediakan LPP kurang baik, kemungkinan besar kelumpuhan pasar modal dan perekonomian nasional dapat terjadi. Untuk itu, peran Bapepam melalui regulasi yang dikeluarkannya sangat diperlukan.

d. Peraturan-peraturan yang berkaitan dengan Perusahaan Efek
 Perusahaan efek adalah salah satu lembaga penunjang pasar modal yang penting. Melalui para broker yang bekerja di perusahaan efeklah, pembeli dan penjual efek dipertemukan. Selain itu perusahaan efek dapat juga bertindak sebagai penjamin emisi efek dan manajemen investasi. Agar perusahaan efek dapat menjalankan tugasnya dengan aman, dibutuhkanlah sistem pengendalian intern yang memadai. Dalam rangka ini, Bapepam mengeluarkan peraturan-peraturan yang berkaitan dengan aspek pengendalian intern dan metoda akuntansi yang wajib diikuti oleh perusahaan efek.

c. Bidang Yang Berkaitan Dengan Manajemen Investasi (Investmen Manegement)
 Manajemen Investasi berkaitan erat dengan reksa dana, pengelolaan investasi yang dilakukan oleh manejer investasi pada reksa dana berbentuk Kontrak Investasi Kolektif (KIK). Reksa dana sebagai salah satu cara berinvestasi, lebih ditujukan kepada para investor dengan kemampuan dana yang terbatas. Dengan demikian, Bapepam perlu mengatur hal-hal terkait Reksa Dana dan Manejer Investasi.

d. Bidang Yang Berkaitan Dengan Pembuatan Peraturan (Rule Making)
 Dalam rangka menciptakan pasar yang teratur, wajar, dan efisien diperlukan suatu kerangka hukum yang kokoh. Selain UU No. 8 Tahun 1995 Tetang Pasar Modal, dan Keputusan Menteri, Bapepam juga diberi kewenangan untuk membuat peraturan-peraturan yang mendukung terciptanya pasar yang teratur, wajar, dan efisien.

3.2. Wewenang Bapepam
 Dalam melaksanakan pembinaan, pengaturan, dan pengawasan terhadap aktivitas pasar modal, Bapepam diberi beberapa kewenangan, antara lain:

a. Memberikan izin usaha kepada Bursa Efek, LKP, LPP, Reksa Dana, Perusahaan Efek, Penasehat Investasi, dan Biro Administrasi Efek;

b. Memberikan izin perseorangan bagi Wakil Penjamin Emisi Efek, Wakil Perantara Pedangang Efek, dan Wakil Manejer Investasi;

c. Memberikan persetujuan bagi bank kustodian;

d. Mewajibkan pendaftaran bagi Profesi Penunjang Pasar Modal dan Wali Amanat;

e. Menetapkan persyaratan dan tata cara pencalonan dan memberhentikan untuk sementara waktu komisaris atau direktur serta menunjuk manajemen sementara Bursa Efek, LKP, dan LPP sampai dengan dipilihnya komisaris atau direktur baru;

f. Menetapkan persyaratan serta tata cara Pernyataan Pendaftaran serta menyatakan menunda atau membatalkan efektifnya Pernyataan Sementara;

g. Mengadakan pemeriksaan dan penyidikan terhadap setiap pihak yang diduga melakukan pelanggaran terhadap Undang-undang dan peraturan pelaksanaannya;

h. Mewajibkan setiap pihak untuk menghentikan atau memperbaiki iklan atau promosi yang berhubungan dengan kegiatan di pasar modal;

i. Mewaibkan setiap pihak untuk mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk mengatasi akibat yang timbul dari iklan atau promosi tersebut;

j. Melakukan pemeriksaan terhadap emiten atau perusahaan publik yang telah atau diwajibkan menyampaikan pendaftaran pendaftaran kepada Bapepam;

k. Melakukan pemeriksaan terhadap pihak yang dipersyaratkan memiliki izin usaha, izin perseorangan, persetujuan atau pendaftaran profesi berdasarkan UU Pasar Modal;

l. Menunjuk pihak lain untuk melakukan pemeriksaan tetentu dalam rangka pelaksanaan wewenang Bapepam;
m. Mengumumkan hasil-hasil pemeriksaan yang dilakukan oleh Bapepam atau pihak lain yang ditunjuk oleh Bapepam;

n. Membekukan atau membatalkan pencatatan suatu efek pada bursa efek atau menghentikan transaksi-transaksi bursa atas efek tertentu untuk melindungi pemodal;

o. Menghentikan kegiatan perdagangan di bursa efek untuk jangka waktu tertentu dalam hal keadaan darurat;

p. Memeriksa keberatan yang diajukan oleh pihak yang dikenakan sanksi oleh bursa, LKP atau LPP, serta memberikan keputusan membatalkan atau menguatkan pengenaan sanksi tersebut;

q. Menetapkan biaya perizinan, persetujuan , pendaftaran, pemeriksaan, dan penelitian serta biaya lain dalam rangka kegiatan pasar modal;

r. Melakukan tindakan yang diperlukan untuk mencegah kerugian masyarakat sebagai akibat ketentuan di bidang pasar modal;

s. Memberikan penjelasan lebih lanjut yang bersifat teknis atas UU Pasar Modal dan peraturan pelaksanaannya;

t. Menetapkan instrumen lain sebagai efek selain surat pengakuan utang, surat berharga komersial, saham, obligasi, tanda bukti utang, unit penyertaan kontrak investasi kolektif, kontrak berjangka atas efek, dan setiap derivatif dari efek.

4. Menelaah Peran Bapepam Dalam Pemberantasan Kejahatan di Pasar Modal 

 Salah satu kewenangan yang diberikan kepada Bapepam oleh UU Pasar Modal adalah mengadakan pemeriksaan dan penyidikan terhadap setiap pihak dalam hal terjadi peristiwa yang diduga merupakan pelanggaran terhadap Undang-undang Pasar Modal dan atau peraturan pelaksanaannya. [14] Wewenang Bapepam untuk melakukan pemeriksaan dan penyidikan dijabarkan lebih lanjut di dalam pasal 100 dan pasal 101 UU Pasar Modal. Bahkan, berdasarkan pasal 102 UU Pasar Modal, Bapepam diberikan kewenangan untuk menjatuhkan sanksi administratif kepada pihak yang melanggar UU Pasar Modal dan peraturan pelaksanaannya. Dari kewenangan yang dimiliki oleh Bapepam, dapatlah kita katakan bahwa Bapepam adalah polisi khusus bagi pasar modal. Kendatipun demikian, dapatkah wewenang ini dijalankan secara maksimal oleh Bapepam?

 Kewenangan yang dimiliki oleh Bapepam, cukup untuk menjadikannya sebagai lembaga yang efektif untuk memberantas kejahatan-kejahatan yang terjadi di pasar modal. Terhadap beberapa kasus, Bapepam berhasil membuktikan pelanggaran pihak-pihak tertentu terhadap UU Pasar Modal dan peraturan-peraturan pelaksanaannya serta menjatuhkan sanksi administratif bagi pihak-pihak tersebut. Salah satu contohnya adalah keberhasilan Bapepam membuktikan dugaan penipuan berupa penggelembungan keuntungan (overstated) yang dilakukan PT Kimia Farma Tbk terhadap laporan keuangan pada semester I tahun 2002.[15] Bapepam lalu menjatuhkan hukuman berupa denda sebesar Rp500 juta kepada direksi yang menjabat pada saat itu, dan memerintahkan PT Kimia Farma Tbk untuk:

a. Segera membenahi dan menyusun sistem pengendalian internal dan sistem akuntansi perusahaan yang harus diselesaikan selambat-lambatnya pada akhir semester I tahun buku 2005 dan menyampaikan laporannya kepada Bapepam.

b. Menunjuk akuntan publik yang terdaftar di Bapepam untuk melakukan audit khusus untuk melakukan penilaian atas sistem pengendalian internal dan sistem akuntansi tersebut apabila perusahaan telah selesai melakukan pembenahan dan atau penyusunan sistem pengendalian internal dan sistem akuntansi perusahaan. Hasil audit khusus tersebut wajib disampaikan kepada Bapepam.

 Bapepam juga pernah membuktikan pelanggaran yang dilakukan PT Myohdotcom Indonesia Tbk terhadap Peraturan Bapepam No. IX.E.2 Tentang Transaksi Material dan Perubahan Kegiatan Usaha Utama.[16] Kasus ini bermula ketika PT Myohdotcom Indonesia Tbk mengeluarkan surat pemberitahuan mengenai rencana perseroan untuk melakukan pembelian saham dan mengadakan Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa (RUPSLB). Berdasarkan pemeriksaan atas data/dokumen dan pihak-pihak terkait dalam kasus tersebut, ditemukan hal-hal sbb:

a. PT Myohdotcom Indonesia Tbk telah melakukan RUPSLB pada tanggal 30 April 2001 dengan hasil menyetujui transaksi akuisisi terhadap tiga perusahaan afiliasi, yaitu PT Celicom Indonesia, PT Asiamaya Dotcom Indonesia, dan PT DC Java Indonesia.

b. PT Myohdotcom Indonesia Tbk telah memenuhi prosedur yang ada kecuali dokumen berupa laporan penilai independen atas nilai saham yang akan dibeli secara lengkap yang belum disampaikan kepada Bapepam. Dokumen tersebut baru disampaikan kepada Bapepam pada tanggal 27 Maret 2002.
 Bapepam kemudian mengenakan sanksi administratif berupa denda sebesar Rp358 juta atas 358 hari keterlambatan penyampaian dokumen berupa laporan penilai independen terhitung mulai tanggal 3 April 2001 sampai dengan tanggal 27 Maret 2002.

 Ada beberapa contoh lain yang menggambarkan keberhasilan Bapepam dalam usahanya memberantas, atau sekurang-kurangnya mencegah terjadinya kejahatan yang dilakukan dalam ruang lingkup pasar modal. Kendatipun demikian, harus diakui pula bahwa sisi pembuktian kejahatan adalah salah satu kendala tersendiri yang dihadapi oleh Bapepam. Salah satu faktor penghambat pembuktian adalah otomatisasi transaksi perdagangan di pasar modal. Hukum yang sekarang ini berlaku di Indonesia, belum secara penuh mengakomodir pembuktian secara elektronis. Penuntutan terhadap kejahatan di pasar modal pun dirasakan sulit untuk dilakukan. Pelaku kejahatan umumnya bersembunyi di balik institusi atau di balik rekening efek yang mereka buka. Kenyataan ini tentu sangat menyedihkan karena selama sepuluh tahun, terhitung sejak UU Pasar Modal diberlakukan, belum ada satu tindakan kejahatan pun yang dibawa ke pengadilan. Fakta semacam ini tentu saja mematikan niat investor untuk melakukan investasi di Indonesia yang melihat lemahnya penegakan hukum di Indonesia, khususnya di bidang pasar modal.

BAB III
P E N UT U P

1. Kesimpulan

 Pasar modal adalah wahana untuk mempertemukan pihak penjual dan pembeli yang bermaksud melakukan investasi jangka menengah dan jangka panjang. Pasar modal pun dapat menjadi sumber pembiayaan yang tepat bagi perusahaan-perusahaan yang ingin memperluas jangkauan bisnisnya. Peran pasar modal dalam perekonomian di tanah air pun tidak dapat diragukan lagi. Dengan menjadikan pasar modal sebagai indikatornya, investor domestik maupun asing dapat mengukur kekuatan pasar di Indonesia, dan seberapa besar keterlibatan pemerintah dalam penegakan hukum di bidang perekonomian.
 Perkembangan pasar modal Indonesia yang sedemikian pesat, terutama sejak swastanisasi BEJ yang berlaku sejak 13 Juli 1992 turut mengembangkan jumlah dan ragam kejahatan yang terjadi pasar modal. Dari sekian banyak kejahatan yang terjadi di pasar modal, insider trading, fraud in the market, dan market manipulation adalah kejahatan-kejahatan yang paling sering terjadi di pasar modal. Kejahatan-kejahatan yang terjadi pasar modal umumnya sangat sulit dibuktikan sehingga sulit juga dibawa ke meja hijau. Di satu sisi, kejahatan ini sulit dibuktikan karena memang dilakukan secara profesional oleh penjahat-penjahat kerah putih (white colar criminal) yang bersembunyi di balik korporasi dan rekening efek yang mereka buka. Di sisi lain, kesulitan diakibatkan oleh karena alat bukti elektronis yang sulit diterima oleh sistem hukum Indonesia. Selain itu, niat Bapepam sebagai polisi di bidang pasar modal untuk membuktikan dan menuntut pelaku kejahatan dinilai kurang memadai. Dalam rangka mencegah terjadinya lebih banyak kejahatan dan rupa-rupa kejahatan yang terjadi di pasar modal, pada bagian selanjutnya, penulis memberikan beberapa saran yang kiranya berguna bagi efektivitas pemberantasan kejahatan di pasar modal.

2. Saran

  Berdasarkan hasil kajian penulis atas topik yang telah dibahas pada bagian-bagian sebelumnya, berikut ini penulis memaparkan sejumlah saran, sbb:

a. Terhadap sulitnya pembuktian kejahatan-kejahatan yang terjadi di pasar modal, Bapepam dapat menggunakan data, informasi, bahan dan/atau keterangan lain yang dipakainya untuk menjatuhkan sanksi administratif kepada pihak yang melanggar UU Pasar Modal dan peraturan-peraturan pelaksanaannya sebagai bukti awal dalam tahap penyidikan. Hal ini tidak berarti bahwa tindakan penyidikan harus didahului oleh tindakan pemeriksaan. Apabila Bapepam berpendapat bahwa suatu kegiatan yang dilakukan oleh suatu pihak merupakan pelanggaran terhadap UU Pasar Modal dan/atau membahayakan kepentingan pemodal dan masyarakat luas, maka tindakan penyidikan dapat dimulai atau dilaksanakan.[17] Selain itu Bapepam pun harus dapat memberanikan diri untuk menyelidiki dan menuntut setiap pelanggaran terhadap pasar modal, kendatipun di sisi lain, informasi terkait kasus tersebut berpotensi mengganggu aktivitas perdagangan di pasar modal. Penulis berkeyakinan, sejauh Bapepam konsisten terhadap penegakan hukum terhadap pasar modal, tingkat kepercayaan investor (domestik dan asing) terhadap pasar modal Indonesia semakin bertumbuh.

b. Bapepam harus konsisten dalam menegakan prinsip-prinsip yang berlaku di pasar modal, di antaranya mengenai keterbukaan informasi. Bapepam harus tegas menindak para pihak (khususnya emiten dan perusahaan publik) yang melanggar prinsip ini.

Daftar Pustaka

a. Sumber Buku

Balfas, Hamud M. 2006. Hukum Pasar Modal Indonesia. PT Tatanusa: Jakarta
Tunggal, Imam Sjahputra. 2008. Aspek Hukum Pasar Modal di Indonesia (Konsep dan Kasus). Harvarindo: Jakarta.

b. Peraturan Perundang-undangan
Indonesia. Undang-undang Tentang Pasar Modal. UU No. 8 Tahun 1995 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 64)

Indonesia. Penjelasan Atas Undang-undang No. 8 Tahun 1995 Tentang Pasar Modal. (Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3608)

c. Sumber Lain

Sejarah Bursa Efek Indonesia, diakses dari http://www.idx.com, pada tanggal 10 Januari 2010

Endnote:
[1]Sutherland (1949), seorang kriminolog Amerika Serikat yang meneliti dan menulis tentang “White Colar Criminality” mendefinisikan kejahatan ini sebagai “a crime committed by a person of respectability and high social status in the course of his occupation”. Bahkan ia menyatakan bahwa jenis akibat dari kejahatan yang dilakukan oleh sekelompok orang ini jauh lebih lebih besar daripada kejahatan yang dilakukan oleh orang-orang dari golongan ekonomi lemah. Vide, Hamud M. Balfas, Hukum Pasar Modal Indonesia, PT. Tatanusa:Jakarta, 2006, hlm. 432.
[2]Data mengenai sejarah Bursa Efek Indonesia ini diakses dari http://www.idx.com, pada tanggal 10 Januari 2010.
[3]Vide, Indonesia, Pasal 95 UU No. 8 Tahun 1995 Tentang Pasar Modal.
[4]Vide, Indonesia, Penjelasan Pasal 95 UU No. 8 Tahun 1995 Tentang Pasar Modal.
[5]Hamud M. Balfas, Op.Cit., hlm 445-446.
[6]Vide, Indonesia, pasal 85 UU No.8 Tahun 1995 Tentang Pasar Modal.
[7]Vide, Indonesia, pasal 86 UU No.8 Tahun 1995 Tentang Pasar Modal.
[8]Vide, Indonesia, Pasal 90 UU No.8 Tahun 1995 Tentang Pasar Modal.
[9]Vide, Indonesia, Pasal 104 UU No.8 Tahun 1995 Tentang Pasar Modal.
[10]Hamud M. Balfas, Op.Cit., hlm 460.
[11]Ibid., hlm. 469-470.
[12]Ibid., hlm. 472.
[13]Vide, Imam Sjahputra Tunggal, Aspek Hukum Pasar Modal di Indonesia (Konsep dan Kasus), Harvarindo: Jakarta, 2008, hlm. 25-38.
[14]Vide, Indonesia, Pasal 5 ayat 5 UU No.8 Tahun 1995 Tentang Pasar Modal.
[15]Hamud M. Balfas, Op.Cit., hlm. 467.
[16]Ibid., hlm. 479-480.
[17]Vide, Indonesia, Penjelasan Pasal 100 ayat 2 UU No.8 Tahun 1995 Tentang Pasar Modal.

Monday, February 8, 2010

“PENYELESAIAN KASUS BANK CENTURY DI HADAPAN TUNTUTAN LOYALITAS TERHADAP KONSESUS BERSAMA” (ANALISA KASUS BERDASARKAN TEORI INTEGRASI SOSIAL EMILE DURKHEIM)

 


BAB I
PENDAHULUAN


1. Latarbelakang Masalah
Hiruk pikuk seputar kasus Bank Century, yang kini telah berganti nama menjadi Bank Mutiara, menyita perhatian banyak elemen masyarakat. Tema besar kasus tersebut adalah korupsi. Lakon para legislator/Dewan Perwakilan Rakyat/DPR (baca: Panitia Khusus/Pansus Hak Angket Bank Century) dalam upaya pembongkaran kasus Bank Century, disimak secara luas oleh masyarakat melalui pemberitaan berbagai media massa, baik cetak maupun elektronik. Bahkan masyarakat sendiri dapat melihat jalannya persidangan Pansus Hak Angket Bank Century melalui program Breaking News yang disiarkan secara langsung (Live Streaming) oleh beberapa televisi swasta. Pemerintah (DepKeu) dan Bank Indonesia (BI) yang sementara ini dituduh sebagai pihak-pihak yang paling bertanggungjawab atas pengucuran dana talangan (bailout) kepada Bank Century—yang dinilai telah merugikan negara sekitar Rp6,76 Trilyun—melakukan pembelaan diri, seolah tidak ada yang keliru dengan mekanisme dan keputusan yang telah diambilnya. Para politisi di luar parlemen saling adu argumen. Di satu pihak partai politik tertentu mempertanyakan komitmen partai lain atas koalisi politik yang telah mereka bangun bersama, sedangkan di pihak lain partai yang dituduh “berkhianat” membela dirinya atas nama kebenaran dan keberpihakan kepada rakyat. Rakyat yang tidak puas dengan kinerja parlemen dan pemerintah melakukan unjuk rasa di mana-mana menuntut tegaknya kebenaran dan keadilan.
Sepenggal kisah di atas adalah fakta sosial-politik yang dapat dicari sebab musababnya dari sudut pandang sosiologi, khususnya sosiologi hukum. Tulisan singkat ini bermaksud menganalisis kasus Bank Century dari kacamata keilmuan Emile Durkheim (1858-1918), khususnya pandangannya mengenai integrasi sosial. Bagi Durkheim, integrasi masyarakat (kohesi sosial) dimungkinkan karena ada nilai bersama yang dipegang masyarakat bersangkutan dalam aktivitasnya sehari-hari. Nilai tersebut dianggap sebagai sesuatu yang berasal dari realitas transenden yang sangat dijunjung tinggi, yang dalam dunia real mewujud di dalam totem (arca, simbol, lambang, dsb) yang diyakini mengandung kekuatan magis tertentu. Pelanggaran atas nilai tersebut akan menimbilkan huru-hara di tengah masyarakat.
Masyarakat modern merupakan perkembangan lebih lanjut dari masyarakat primitif. Nilai-nilai yang dihayati oleh masyarakat primitif, dipositifkan dan dijadikan sebagai konsensus bersama (baca:konstitusi dan turunannya) oleh masyakat modern yang terintegrasi di dalam sebuah negara modern. Dalam kacamata Durkheim, unjuk rasa yang menuntut penyelesaian kasus Bank Century tidak lain merupakan bentuk ketidaksukaan masyarakat karena konsensus yang dijunjungtingginya dinodai oleh pihak-pihak tertentu.

2. Perumusan Masalah
Sebagaimana diuraikan pada bagian 1 (satu) di atas, kasus Bank Century adalah skandal besar yang menyita perhatian banyak pihak. Ketidakpercayaan publik terhadap kinerja lembaga negara, khususnya pemerintah dan legislatif, menimbulkan keributan yang menjelma dalam bentuk unjuk rasa/demonstrasi yang digelar di berbagai pelosok tanah air. Permasalahan ini adalah juga permasalahan sosiologis yang dapat dicarikan akar masalahnya dengan pendekatan sosiologis, sekalipun belum sepenuhnya memberikan jawaban yang memuaskan. Untuk itu, ada beberapa pertanyaan yang dapat kita ajukan:
a. Motif kejahatan atau pelanggaran macam apa yang ada di balik kasus Bank Century?
b. Apa akar masalah kasus Bank Century dan sejumlah demonstrasi yang terjadi, apabila ditinjau dari pengamatan sosiologis Emile Durkheim?


BAB II
PEMBAHASAN

1. Garis Besar Kasus Bank Century
Pengucuran modal penjaminan kepada Bank Century [1] sebesar Rp6,76 Trilyun berdasarkan hasil pembahasan dan keputusan Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) berbuah masalah. Penggelontoran dana Fasilitas Pinjaman Jangka Pendek (FPJP) dan Penyertan Modal Sementara (PMS) oleh Bank Indonesia (BI) dan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) dipertanyakan banyak pihak. Alasan penetapan BI terhadap Bank Century sebagai bank gagal yang berdampak sistemik disinyalir penuh rekayasa dan tidak memiliki dasar hukum yang kuat. [2] Penyerahan hasil audit investigatif Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) kepada Panitian Khusus (Pansus) Hak Angket DPR pada tanggal 20 November 2009 dapat memberikan pemetaan kasus secara jelas, meskipun belum dapat menyingkap semuanya. Kendatipun demikian, hasil audit BPK tersebut telah memberikan indikasi adanya tindak pidana korupsi dan tindak pidana pencucian uang. 
1.1. Seluk Beluk Bank Century Dari Merger Sampai Dinyatakan Sebagai Bank Gagal [3]
Kasus Bank Century bermula dari tindakan hukum penggabungan usaha (merger) yang dilakukan tiga bank, yaitu PT Bank Danpac Tbk., PT Bank Pikko Tbk., dan PT Bank CIC Internasional Tbk. Dua bank pertama adalah “bank yang akan bergabung”, dan bank terakhir adalah “bank yang menerima penggabungan”. Pada tanggal 22 Oktober 2004, bank yang akan bergabung dan bank yang menerima penggabungan, sepakat melakukan penggabungan usaha berdasarkan Akta No. 158 Tanggal 22 Oktober 2004 dari Buntario Tigris Darmawa NG, S.H., S.E., seorang notaris di Jakarta. Pada tanggal 28 Desember 2004, BI menyetujui perubahan nama PT CIC Internasional Tbk., menjadi PT Bank Century Tbk., berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Bank Indonesia No. 6/92/KEP.GBI/2004. Dengan merger ini, sesuai dengan kesepakan bersama dalam sebuah Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) Luar Biasa: a) semua pemegang saham bank yang menggabungkan diri, menjadi pemegang saham Bank Century, b semua kekayaan, kewajiban, serta usaha bank yang bergabung, beralih ke Bank Century, c) bank hasil penggabungan tetap mempertahankan eksistensinya sebagai Perseroan Terbatas, dan berlaku sebagai bank umum dengan memakai nama Bank Century.
Sejak tanggal 29 Desember 2005, Bank Century dinyatakan sebagai Bank Dalam Pengawasan Intensif sesuai dengan surat BI No. 7/135/DPwB1/PwB11/Rahasia. Status ini dikenakan kepada Bank Century karena: a) melakukan penukaran Surat-Surat Berharga (SSB) senilai USD 75 juta dan cash USD 60 juta (total USD 135 juta) dengan SSB lain senilai USD 57, 48 juta, b) memiliki rasio kecukupan modal (capital adequacy Ratio/CAR) di bawah standar bank sehat, yaitu -132,58 %, c) mengalami kredit macet senilai Rp356 Miliar, dan d) terjadi pengumpulan investasi dana tetap oleh PT Antaboga Delta Sekuritas sebagai salah satu pemegang saham di Bank Century.
Pada tanggal 6 November 2008, BI menetapkan Bank Century sebagai Bank Dalam Pengawasan Khusus. Menurut Peraturan Bank Indonesia No. 6/9/PBI/2004 tanggal 26 Maret 2004, No. 7/38/PBI/2005 tanggal 10 Oktober 2005 dan No. 10/27/PBI/2008 tanggal 30 Oktober 2008, status ini ditetapkan paling lama 6 (enam) bulan. Faktor-faktor penyebabnya, antara lain: a) sejak Oktober 2008, Bank Century berkali-kali melanggar ketentuan Giro Wajib Umum, b) Likuiditas BI terus memburuk sejak pemilik Bank Century tidak mampu memenuhi permintaan BI untuk melunasi SSB Valas yang jatuh tempo, dan c) penghitungan CAR per 30 September 2008 merosot dari 14,76 % menjadi 2,35 %.
Pada tanggal 13 November 2008, PT Bank Century Tbk mengalami keterlambatan penyetoran dana pre-fund untuk mengikuti kliring. Keterlambatan penyetoran dana pre-fund dan dana BI yang berada dibawah saldo minimal pada saat itu membuat transaksi kliring Bank Century hari itu di-suspend. Transaksi kliring Bank Century dibuka kembali pada tanggal 14-20 November 2008. Pemberitaan gagal kliring 13 November 2008 membuat panik para deposan Bank Century, sehingga terjadi penarikan dana secara besar-besaran.
Pada tanggal 20 November 2008, berdasarkan surat No. 10/232/GBI/Rahasia, BI menetapkan Bank Century sebagai Bank Gagal yang ditengarai berdampak sistemik. CAR Bank Century per 30 Oktober 2008 mengalami keterpurukan, dari 2,35 % menjadi -3,53 %. Menindaklanjuti keputusan BI, sambil memperhatikan Perppu No. 4 Tahun 2008 tentang Jaringan Pengaman Sistem Keuangan (JPSK), Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) melalui Keputusan No. 4/KSSK.03/2008, pada tanggal 21 November 2008 menetapkan PT Bank Century Tbk sebagai Bank Gagal yang berdampak sistemik, dan menyerahkan penanganannya kepada LPS. 
1.2. Indikasi Korupsi dan Penyalahgunaan Wewenang di Dalam Kasus Bank Century
Audit investigatis BPK mengindikasikan bahwa penyelamatan Bank Century adalah sebuah keputusan yang keliru dan diambil dengan tidak memperhatikan berbagai catatan praktek perbankan yang tidak sehat dan juga kinerja perbankan yang buruk. Penggelontoran dana kepada Bank Century yang mencapai trilyunan rupiah, dengan demikian, sangat berisiko terhadap penyelewenangan (baca: korupsi). Indikasi korupsi dapat ditemukan di dalam:
a. Penggabungan/merger tiga bank [4]
Sebelum terjadi merger tiga bank, Bank Pikko dan Bank CIC memiliki masalah dengan SSB dan CAR. Merger diduga merupakan upaya untuk menghindari penutupan kedua bank tersebut karena kondisinya tidak sehat. BI diduga sengaja memuluskan proses merger dengan beberapa tindakan yang meringankan bank-bank yang bermasalah tersebut, misalnya aset yang semula dinyatakan macet oleh BI, kemudian dianggap lancar untuk memenuhi performa CAR.
b. Penyaluran Fasilitas Pinjaman Jangka Pendek (FPJP)[5]
BI diduga merekayasa Peraturan BI tentang persyaratan pemberian FPJP No. 10/26/PBI/2008 yang kemudian digantinya dengan Peraturan BI No. 10/30/PBI/2008. Peraturan yang berubah dalam kurun waktu yang singkat ini disinyalir sebagai skenario yang disiapkan BI agar Bank Century memenuhi syarat sebagai bank penerima FPJP, sekalipun CAR Bank Century (-3,53 %) tidak memenuhi syarat untuk menerima FPJP. Atas kebijakan yang terkesan sangat diatur ini, BI lantas memberikan dana FPJP kepada Bank Century sebesar Rp689,29 miliar, dengan rincian: a) pada tanggal 14 November 2008 sebesar Rp356,81 miliar, b) pada tanggal 17 November 2008 sebesar Rp145,26 miliar, dan c) pada tanggal 17 November 2008 sebesar Rp187,32 miliar. 
c. Pengambilan keputusan KSSK dan penyaluran Penyertaan Modal Sementara (PMS) [6]
Setelah mendapatkan salinan surat Gubernur BI No. 10/232/GBI/Rahasia tanggal 20 November 2008, tentang Penetapan Bank Century Sebagai Bank Gagal dan Penetapan Tindak Lanjutnya, pada tanggal 21 November 2008 KSSK mengadakan rapat. Sebelumnya sudah ada beberapa rapat koordinasi KSSK antara DepKeu dan LPS, yaitu tanggal 14, 17, 18, 19 dan 20 November 2008. Rapat KSSK tanggal 21 November dihadiri Menteri Keuangan selaku ketua KSSK, Gubernur BI selaku anggota KSSK, dan sekretaris KSSK. Pertemuan KSSK tersebut menetapkan Bank Century sebagai bank gagal yang berdampak sistemik, dan menyerahkan penanganannya kepada LPS. Hasil rapat ini kemudian dibawa kepada rapat koordinasi antara Menkeu, Gubernur BI, dan Ketua Dewan Komisioner LPS pada hari yang sama. Selanjutnya BI menetapkan besarnya PMS oleh LPS untuk diberikan kepada Bank Century sebesar Rp632 miliar. Anehnya, angka PMS tersebut lantas membengkak menjadi Rp6,76 trilyun.
Selain itu, legalitas keputusan KSSK dipertanyakan. KSSK sendiri dibentuk berdasarkan Perppu No. 4 Tahun 2008 tentang JPSK. Dalam rapat paripurna DPR RI tanggal 18 Desember 2008, DPR meminta pemerintah mengajukan Rancangan Undang-Undang (RUU) JPSK. Dari fakta yang terjadi, ternyata KSSK telah berjalan dengan tanpa persetujuan penuh DPR. Dengan demikian otoritas dan kewenangan KSSK tidak kuat secara hukum. 
d. Penyalahgunaan dana FPJP dan PMS [7]
Setelah menetapkan Bank Century sebagai Bank Dalam Pengawasan Khusus, BI melarang Bank Century memberikan izin penarikan dana kepada pihak yang terkait dengan Bank Century, atau pihak yang dilarang secara khusus oleh BI. Namun yang terjadi adalah kebalikannya, yaitu terjadi penarikan dana sebesar Rp454,898 miliar, USD 2,22 juta, dan SGD 41, 18 ribu.
Pada tanggal 14 November 2008, salah satu pemilik Bank Century berinisial RT meminta Kabag Operasional Bank Century Cabang Surabaya untuk memindahkan deposito salah satu nasabah sebesar USD 91 juta ke Kantor Pusat Operasional (KPO), Senayan, Jakarta. Setelah berpindah, DT dan RT mencairkan dana nasabah tersebut sebesar USD 18 juta pada tanggal 15 November 2008 yang dipakai untuk menutupi kekurangan bank notes yang selama ini digunakan DT untuk keperluan pribadinya. Dana nasabah tersebut kemudian diganti oleh Bank Century dengan dana FPJP.
Berikutnya, laporan keuangan Bank Century yang telah berada di bawah pengawasan LPS selama 6 bulan di tahun 2009 menunjukkan adanya penurunan kewajiban pembayaran nasabah dalam bentuk simpanan, dari Rp10, 82 trilyun menjadi Rp5,18 trilyun pada Juni 2009. Diduga telah terjadi penarikan dana nasabah dalam jumlah besar. Pertanyaan penting yang harus dijawab adalah, siapa saja yang menerima dana sebesar 5,64 trilyun itu?
Sejalan dengan perkembangan Pansus Hak Angket Bank Century, demonstrasi terjadi di mana-mana. Masyarakat menuntut agar pejabat negara yang terlibat secara langsung dalam pengucuran dana, yang pada saat ini masih memegang jabatan tertentu di dalam pemerintahan, dinonaktifkan oleh presiden agar dapat diproses secara hukum. Selain itu, orang dalam (insider) Bank Century yang melakukan tindak pidana korupsi dan tindak pidana pencucian uang segera diproses secara hukum dan dijatuhi hukuman setimpal. Koruptor yang masih buron tetap harus dikejar sampai ditemukan dan diproses secara hukum. 
2. Teori Integrasi Sosial Emile Durkheim (1858-1918)
Sepanjang hidupnya, Durkheim berupaya menjelaskan validitas normatif institusi dan nilai. Secara pribadi, Durkheim memiliki ketertarikan kepada pemakaian asli norma-norma sebelum terbentuknya negara (pre-state). Melalui bukunya The Elementary Forms of The Religious Life, Durkheim berhasil melacak akar sakral dari otoritas moral norma sosial. [8] Nilai dianggapnya sebagai konsensus dasar/norma yang menjadi landasan terbentuknya sebuah komunitas/masyarakat. Nilai ini melekat di dalam diri setiap individu di dalam masyarakat bersangkutan, dan menjadi kesadaran kolektif yang mengikat seluruh. Antara masyarakat dan individu terdapat kesatuan yang susah untuk dipisahkan. Individu baru mendapatkan identitasnya sebagai individu jika ia tergabung dalam masyarakat, dan menghayati nilai-nilai yang dipegang teguh oleh masyarakat tersebut. Setiap pelanggaran atas norma layak mendapatkan hukuman karena validitasnya diklaim dari sudut pandang “otoritas moral” (berlawanan dengan otoritas materil/supremasi fisik). Sisi kevalidan aturan moral perlu dijelaskan lebih jauh, karena aturan-aturan tersebut memiliki kekuatan mengikat yang justru membenarkan penerapan sanksi ketika dilanggar, dan bukannya mengandaikan adanya sanksi. Hal ini tentu saja berbeda dengan hukum positif yang berlaku di dalam sebuah masyarakat modern (baca:negara). Di dalam masyarakat modern, hubungan konvensional antara aturan hukum dan sanksi dimaksudkan untuk menciptakan kepatuhan terhadap norma.
Menurut Durkheim moralitas harus didasarkan pada yang-sakral. Moralitas tidak akan lagi menjadi moralitas jika tidak memiliki unsur agama. [9] Dalam kerangka berpikir Durkheim, agama terdiri atas kepercayaan dan praktek ritual. Dengan menggunakan kepercayaan sebagai titik tolak, ia memahami agama sebagai pengalaman kesadaram yang kolektif dan supra-individual. Sejalan dengan itu Durkheim mencari objek intensional yang menjadi sasaran dunia ide religius, dan ia menemukannya pada sosok Sang Khalik, alam gaib, kekuatan sakral, dan semacamnya. Dalam studinya terhadap sistem totem masyarakat Aborigin Australia, ia memperhatikan bahwa yang-sakral telah “menemukan wujudnya” di dalam totem berupa tumbuhan, atau binatang yang disembah. Durkheim menyebut totem sebagai “dambaan kolektif yang menubuhkan diri pada objek-objek material”. [10] Simbol-simbol sakral ini memungkinkan adanya intersubjektivitas antaranggota masyarakat. Melalui penyembahan terhadap totem, konsensus masyarakat diperbaharui.
Melalui buku The Division of Labor in Society, Durkheim menandai adanya evolusi hukum. [11] Otoritas yang-sakral perlahan-lahan digantikan oleh otoritas yang dicapai melalui konsensus. Aura keagungan dan kebengisan yang terdapat di dalam yang-sakral tersublimasikan ke dalam kekuatan pemersatu/pengekang yang validitasnya masih dapat dikritik. Hukuman yang ditimpakan kepada pelaku kejahatan karena menista tempat suci, digantikan dengan ganti rugi yang harus dibayar seseorang karena ingkar janji. Menurut Durkheim, hukum modern mengkristal di sekitar keseimbangan kepentingan pribadi: inilah yang menaungi karakter sakralnya.
Di dalam masyarakat yang telah terdiferensiasi, kesadaran kolektif melekat pada negara. [12] Negara harus menyediakan legitimasi untuk kekuasaan yang ia miliki dan monopoli. Singkat kata, negara adalah organ khas yang tanggungjawabnya adalah menyediakan representasi-representasi tertentu yang diyakini baik oleh masyarakat. Di dalam masyarakat modern yang terdiferensiasi secara rinci, individu bebas bersosialisasi dan mulai melepaskan dirinya dari kesadaran kolektif yang mencakup seluruh struktur kepribadian. Melihat perubahan masyarakat sebagaimana digambarkan di atas, Durkheim melihat adanya pergeseran solidaritas, dari yang mekanis menjadi organis.
Lama kelamaan, Durkheim melihat adanya perkembangan pengultusan pribadi atau pengagungan martabat pribadi (individulisme modern). Hal ini disebabkan karena tumbuhnya otonomi individu tersebut tidak dibangun atas konsensus nilai sebelumnya. Integrasi sosial pun semakin tergerus. Sejalan dengan itu, banyaknya norma yang berkembang di masyarakat membuat individu kehilangan pegangan. Ketiadaan pegangan (anomi) dapat menyebabkan lahirnya berbagai bentuk kejahatan dan tumbuhnya angka bunuh diri. [13] 
3. Kasus Bank Century Dalam Teori Integrasi Sosial Emile Durkheim
Menurut penulis, teori integrasi sosial (kohesi sosial) yang dipaparkan Emile Durkheim masih kontekstual dengan kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia. Tanpa bermaksud meremehkan negara Indonesia tercinta, sebagian besar masyarakat Indonesia masih mempraktekkan pengkultusan simbol-simbol keagamaan yang disebut Durkheim sebagai “totem”. Tentu saja pengkultusan ini sedikit banyak telah dibumbui dengan citarasa modernitas, misalnya tempat ibadah yang megah dan sikap kritis terhadap nilai-nilai keagamaan. Kendatipun demikian, nilai-nilai agama masih kuat dipertahankan, seolah-olah kesadaran kolektif masyarakat melekat pada agama. Bayangkan saja, setiap pejabat yang akan bertugas, diminta mengucapkan sumpah di hadapan Tuhan. Dengan demikian, mencederai konsensus sama saja dengan mencederai nilai-nilai yang dijunjungtinggi sebagai yang berasal dari realitas transendens sebagai sumber moralitas.
Kasus century tidak lain merupakan suatu bentuk kekonyolan. Tindakan penggelontoran modal yang disinyalir tidak berkekuatan hukum sama saja dengan tindakan perampokan (seperti yang dikatakan Yusuf Kalla). Dalam hal ini, individualisme kian berkembang di dalam diri orang/sekelompok orang tertentu, sehingga kesadaran kolektifnya tergerus, sampai pada akhirnya menyebabkannya mengambil tindakan yang tidak selaras dengan konsensus bersama (dalam masyarakat modern disebut sebagai konstitusi dan turunannya). Orang/sekelompok orang ini, dalam perspekstif Durkheim terhadap kehidupan masyarakat tradisional, pantas dihukum karena bertentangan dengan otoritas moral. Atau jika ditarik kepada masyarakat modern, orang/sekelompok orang tersebut pantas dihukum karena sudah ada sanksi yang disiapkan untuk itu. Persoalannya: apakah hukum yang ada dapat menjamin bahwa orang-orang yang melanggar konsensus bersama tersebut dapat ditangkap, diadili, dan dijatuhi hukuman yang pantas?
Hiruk pikuk kasus Bank Century terkait perdebatan mengenai siapa yang benar dan siapa yang salah menimbulkan keresahan di tengah masyarakat. Muncul pertanyaan: hukum “siapa” yang harus diikuti, ketika semua penegak hukum, wakil rakyat, dan pemerintah yang saling berseteru menganggap dirinya sebagai pihak yang benar? Masyarakat seolah-olah sudah masuk dalam situasi tanpa norma (anomi), sehingga demonstasi/unjuk rasa yang terjadi di mana-mana dapat dimaklumi.



BAB III
PENUTUP

1.  Kesimpulan
Tema besar kasus Bank Century adalah korupsi. Kemunculannya setelah kasus yang disebut sebagai kriminalisasi petinggi KPK, membuat orang bertanya-tanya: skenario apa yang sedang dimainkan? Lakon para anggota Pansus Hak Angket Bank Century, perdebatan antarpartai politik, pembelaan diri pihak yang dimintai tanggungjawabnya, dan pemberitaan media yang sangat hangat dan segar (baca:up-to-date), segera disambut dengan demonstrasi/unjuk rasa masyarakat di seluruh pelosok tanah air. Masyarakat menilai ada yang salah dengan kinerja petingginya. Ada unsur ketidaksetiaan para petinggi negara kepada konsensus bersama yang tidak lain merupakan nilai yang diperoleh dari realitas transendens, yang disebut dengan nama “Tuhan” oleh masyarakat modern. Fenomena ini harus segera diatasi.
2. Saran
Dalam rangka memulihkan kepercayaan masyarakat kepada lembaga negara yang telah diberi kepercayaan memimpin negara, khususnya dalam rangka penuntasan kasus Bank Century, penulis memberikan beberapa saran:
a. Siapa pun pihak yang terbukti bersalah dalam proses penyelidikan dan penyidikan kasus Bank Century, harus segera diproses, diadili, dan dijatuhi hukuman yang wajar. Jika pihak tersebut masih aktif bekerja di pemerintahan, sebaiknya dinon-aktifkan.
b. BPK sebagai lembaga yang independen dalam tugasnya harus didukung, khususnya dalam menelusuri aliran dana PSPJ dan PMS di Bank Century, dan mengumumkan kepada publik pihak-pihak yang terbukti menerima aliran dana tersebut.
c. KPK dan PPATK harus didorong untuk menuntaskan kasus ini. Keterlibatan polisi di dalam kasus ini harus ditolak karena mengandung konflik kepentingan. Keterlibatannya sudah sepantasnya ditolak, mengingat kasus BLBI yang nyatanya kandas di tengah jalan ketika ada di tangan polisi, jaksa, dan hakim.


DAFTAR PUSTAKA

a. Sumber Buku
Habermas, Jűrgen. 2006. Teori Tindakan Komunikatif II-Kritik Atas Rasio Fungsionalis. Nurhaji (penerj.). Kreasi Wacana: Yogyakarta.
b. Sumber Lain
Tim Peneliti Kasus Century. Skema Indikasi Korupsi Kasus Bank Century (Berdasarkan Hasil Audit BPK-20 November 2009). Diunduh dalam format PDF dari http://cari-pdf.com, dengan keywords pencarian “Kronologis Kasus Bank Century”, pada tanggal 7 Februari 2010.
---------------, Emile Durkheim, diakses dari http://en.wikipedia.org/wiki/emile_durkheim, pada tanggal 6 Februari 2010.



Endnote:
[1] Bank Century Tbk, sebelum merger dengan PT Bank Danpac Tbk., dan PT Bank Pikko Tbk., didirikan berdasarkan Akta No. 136 pada tanggal 30 Mei 1989 yang dibuat Lina Laksmiwardhani,S.H., notaris pengganti Lukman Kirana, S.H., notaris di Jakarta. Akta Pendirian ini disahkan oleh Menteri Kehakiman Republik Indonesia dalam Surat Keputusannya No. C.2-6169.HT.01.01.TH 89 tertanggal 12 Juli 1989. Didaftarkan ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada 2 Mei 1991 dengan No. 284/Not/1991. Anggaran Dasar Bank telah disesuaikan dengan Undang-Undang PerseroanTerbatas No. 1 Tahun 1995 dalam Akta No. 167 tanggal 29 Juni 1998 dari Rachmat Santoso, S.H, notaris di Jakarta. Pada tanggal 16 April 1990, Bank Century memperoleh izin usaha sebagai bank umum dari Menteri Keuangan Republik Indonesia melalui Surat Keputusan No. 462/KMK.013/1990 tentang Pemberian Izin Usaha. Pada tanggal 22 April 1993, Bank Century memperoleh peningkatan status menjadi bank devisa dari Bank Indonesia, melalui Surat Keputusan No. 26/5/KEP/DIR. Beberapa kali Bank Century melakukan perubahan Anggaran Dasarnya, terakhir sesuai Akta No. 159 tanggal 29 Juni 2005 dari Buntario Tigris Darmawa NG, SH, S.E, notaris di Jakarta. Perubahan anggaran dasar ini telah mendapat persetujuan dari Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia No. C-20789.HT.01.04.TH.2005 tanggal 27 Juli 2005. Sesuai dengan pasal 3 Anggaran Dasar Bank, ruang lingkup kegiatan usaha adalah menjalankan kegiatan umum perbankan termasuk berdasarkan prinsip syariah. Bank Century memulai operasi komersialnya pada bulan April 1990. Data ini diperoleh dari laporan Tim Peneliti Kasus Century di bawah judul “Skema Indikasi Korupsi Kasus Bank Century (Berdasarkan Hasil Audit BPK-20 November 2009). Diunduh dalam format PDF dari http://cari-pdf.com dengan keywords pencarian: “kronologis kasus bank century”, pada tanggal 7 Februari 2010, hlm. 2.
[2] Ibid., hlm. 1.
[3] Ibid., hlm. 3-5.
[4] Ibid., hlm. 6.
[5] Ibid., hlm. 10-15.
[6] Ibid., hlm. 16-19.
[7] Ibid., hlm. 20-21.
[8] Jurgen Habermas, Teori Tindakan Komunikatif II-Kritik Atas Rasio Fungsionalis, diterjemahkan oleh Nurhaji, Kreasi Wacana: Yogyakarta, 2007, hlm. 64.
[9] Ibid., hlm. 68.
[10] Ibid., hlm. 72.
[11] Ibid., hlm. 106.
[12] Ibid., hlm. 111
[13]Data tentang anomi dan bunuh diri didapat dari http://en.wikipedia.org/wiki/emile_durkheim, diakses pada tanggal 6 Februari 2010.


 

Independensi Bank Sentral



BAB I
P E N D A H U L U A N

1. Latar Belakang Masalah
Sekarang ini, pemikiran untuk menjadikan bank sentral sebagai bank yang independen berkembang luas di seluruh dunia. Jika sebelum periode tahun 1980-an bank sentral umumnya tidak independen, maka setelah periode tersebut hampir seluruh bank sentral di dunia menjadi bank sentral yang independen. Ada dua alasan pokok untuk menjadikan bank sentral sebagai bank yang independen, yaitu menjaga kesinambungan program ekonomi, dan menghindarkan bank sentral dari campur tangan politik. Resiko yang dapat terjadi seandainya bank sentral tidak independen, yaitu terputusnya mata rantai perkembangan program ekonomi oleh karena adanya interese politik tertentu yang bermaksud mengendalikan arah dan kebijakan bank sentral untuk kepentingan politik tersebut. Di sisi lain, bank sentral yang tidak independen akan dijadikan sebagai senjata yang ampuh oleh kelompok politik tertentu untuk menyerang kebijakan moneter dan finansial pemerintah yang dianggap tidak populer.

Bank Indonesia (selanjutnya disingkat BI) sebagai bank sentral dalam sejarahnya mengalami lika-liku perkembangan yang rumit, terutama terkait dengan independensinya. Menurut penulis, ada dua isu penting terkait dengan independensi BI, yaitu: 1) pola relasi antara BI dengan pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (selanjutnya disingkat DPR), 2) kedudukan BI sebagai badan hukum dan lembaga negara. Ketiga isu penting di atas tersarikan dari pokok-pokok penting beberapa Undang-undang yang mengatur tentang Bank Indonesia, dan fakta-fakta sejarah yang telah terjadi.

2. Perumusan Masalah
Sebagaimana diungkapkan di atas, independensi BI harus ditegakkan. Independensi BI dianggap perlu untuk menghindarkan BI dari campur tangan kelompok politik tertentu (termasuk pemerintah) yang dapat menghambat kesinambungan program moneter dan finansial BI. Selain itu independensi BI diperlukan agar BI sendiri tidak dijadikan sebagai amunisi bagi kelompok politik tertentu untuk menghancurkan pemerintah yang kebijakan moneter dan finansialnya dianggap tidak populer. Dalam rangka memperkuat kedudukan BI sebagai bank sentral yang independen , maka regulasi terkait BI harus diatur secara tegas dan jelas, di antaranya mengenai kedudukan BI dalam tata pemerintahan, dan status BI sebagai badan hukum dan sebagai lembaga negara. Dengan demikian, penulis memiliki dua pertanyaan pokok terkait isu independensi BI, antara lain:
1) Bagaimanakah seharusnya dibangun pola hubungan antara Bank Indonesia dengan Pemerintah dan DPR?
2) Bagaimanakah seharusnya kita memahami kedudukan Bank Indonesia sebagai badan hukum dan lembaga negara?


BAB II
A N A L I S I S M A S A L A H

1. Sejumlah Pendapat Para Ahli Mengenai Independensi Bank Sentral
Fakta mengenai semakin banyaknya bank sentral yang menjadi bank yang independen tidak lepas dari perkembangan pemikiran sejumlah ahli.

Menurut C.A.E. Goodhart, sebelum abad XX bank sentral dan pemerintah memiliki hubungan yang sangat erat dalam mendesain kebijakan makro (macro-policy) dalam bidang perekonomian dan keuangan, termasuk juga dalam mengatur nilai mata uang. Hubungan yang sedemikian erat ini membuat Goodhart berkesimpulan bahwa bank sentral adalah bagian yang tidak terpisahkan dari pemerintah, terutama dalam merumuskan kebijakan macro-economy. Menurut Goodhart, independensi bank sentral hanya terbatas pada apa yang disepakati oleh DPR dan pemerintah melalui undang-undang sebagai wewenang yang secara khusus dimiliki oleh bank sentral. Kendatipun demikian, secara politis bank sentral dan pemerintah bukanlah entitas yang terpisah satu sama lain. Keterpisahan tersebut hanya dalam hal fungsi, di mana bank sentral menjalani tugas khususnya dalam bidang moneter dan finansial di suatu negara, terlepas dari intervensi pemerintah. Goodhart cenderung melihat keterpisahan BI dari pemerintah dalam hal fungsi khusus yang diembannya merupakan sebuah pendelegasian kekuasaan.

Berbeda dengan Goodhart, Laurence H. Meyer sangat menggelisahkan hubungan erat antara bank sentral dan pemerintah. Menurutnya, independensi bank sentral diperlukan untuk menghindarkan bank sentral dari tekanan politik tertentu yang bermaksud menjatuhkan pemerintah yang kebijakan ekonomi dan keuangannya tidak populer di mata masyarakat. Tekanan politik ini sebenarnya dimaksudkan untuk mendongkrak popularitas kelompok politik bersangkutan.

Adalah N.W. Barber yang mencoba melihat independensi bank sentral dalam konteks trias-politica atau pemisahan kekuasaan. Menurutnya, keragaman pemikiran mengenai trias-politica adalah hal yang wajar, tetapi hal itu tidak harus melulu dilihat dari konteks teori politik. Kita dapat perlu melihat konsep trias politica secara pragmatis. Barber melihat independensi bank sentral sebagai sesuatu yang penting dengan maksud agar bank sentral menjadi efektif dan efisien karena tidak didikte oleh lembaga eksekutif, legislatif, dan yudisial. Kendatipun demikian, Barber menegaskan bahwa independensi bank sentral sama sekali bukan berarti bahwa bank sentral merupakan entitas yang terlepas dari ketiga lembaga negara di atas. Ia adalah bagian dari lembaga eksekutif, yang independen dalam menjalankan tugas khususnya di bidang moneter dan finansial. Dari argumentasi ini kita menyimak bahwa Goodhart dan Barber sepakat dengan independensi bank sentral. Tetapi independensi itu hanya dalam fungsi khususnya dalam bidang moneter dan finansial. Secara politis bank sentral dan pemerintah tidak dapat dipisahkan.

Fabian Amtenbrink menyatakan bahwa independensi bank sentral meliputi kelembagaan, pelaksanaan tugas, personalia, dan anggaran. Konstitusi perlu menggarisbawahi pentingnya independensi bank sentral sebagai pengakuan negara atas prinsip keadilan sosial dan negara kesejahteraan.

Di tengah polemik seputar independensi BI, Yusril Ihza Mahendra berpendapat bahwa jika BI menjadi lembaga tinggi negara setingkat DPR, maka hal ini berdampak pada berkurangnya akuntabilitas BI. DPR sewaktu-waktu tidak dapat memanggil BI, kecuali dalam rangka rapat koordinasi.

Dari sejumlah argumen di atas, independensi bank sentral adalah sesuatu yang sangat dibutuhkan. Kendati demikian, independensi bank sentral harus dirumuskan secara tepat agar bank sentral dapat menjalankan tugasnya secara maksimal demi kesejahteraan seluruh lapisan masyarakat.

2. Independensi Bank Indonesia Dalam Sejarah Perkembangan Peraturan Perundangan Yang Berkaitan Dengan Bank Indonesia

Dalam sejarah perkembangan Bank Indonesia, terdapat beberapa regulasi yang mengatur tentang kelembagaan, tugas, fungsi, dan wewenang BI. Perkembangan regulasi ini sangat diwarnai dengan keunikan pola relasi antara bank sentral dan pemerintah. Berikut ini penulis menggambarkan secara ringkas perkembangan peraturan perundang-undangan terkait dengan bank sentral serta pola relasi yang terbentuk antara bank sentral dan pemerintah yang berkuasa.

2.1. De Javasche Bank Dan Hubungannya Dengan Pemerintah Kolonial Belanda
BI merupakan perkembangan lebih lanjut dari De Javasche Bank yang tidak lain merupakan Perseroan Terbatas yang didirikan pada tanggal 29 Desember 1826 berdasarkan Surat Perintah Raja Willem I. Pada tahun 1828, De Javasche Bank diberikan Hak Octrooi sebagai Bank Sirkulasi. Kedudukan De Javasche Bank sebagai badan hukum tidak menjamin bahwa pemerintah kolonial tidak akan turut campur di dalamnya. Fakta justru memperlihatkan sebaliknya. Perihal pengangkatan, pemberhentian, dan penentuan gaji pegawai harus dengan persetujuan Gubernur Jenderal. Pemerintah kolonial pun memiliki hak prerogatif untuk mengadakan supervisi terhadap bank. Bahkan komisaris bank tidak lain adalah utusan pemerintah yang mewakili kepentingan pemerintah. Du Bus, seorang kapitalis Belgia yang memiliki saham mayoritas di De Javasche Bank mendapatkan modal dari pemerintah Belanda dan Nederlandsche Handel Maatschappij (N.H.M.), sebuah perusahaan dagang yang mayoritas sahamnya dipegang raja Belanda. Dari gambaran ini kita dapat menyimpulkan bahwa independensi De Javasche Bank pada masa pemerintah kolonial sangat rapuh.
2.2. Bank Indonesia Pada Masa Orde Lama

Pasca proklamasi kemerdekaan tahun 1945, dibentuklah Bank Indonesia berdasarkan UU No. 11 Tahun 1953. Melalui UU BI inilah, bank sentral Indonesia yang merupakan perkembangan lebih lanjut dari De Javasche Bank disebut sebagai Bank Indonesia. Bank Indonesia secara resmi terbentuk pada tanggal 1 Juli 1953. Undang-undang No.11 Tahun 1953 mengatur bahwa kekuasaan untuk menetapkan kebijakan moneter adalah Dewan Moneter yang beranggotakan menteri keuangan, menteri ekonomi, dan gubernur BI. Direksi Bank Indonesia bertugas menyelenggarakan apa yang sudah ditetapkan oleh Dewan Moneter. Dengan penentuan semacam ini, dapat kita ketahui bahwa hubungan antara BI dan pemerintah menjadi tidak jelas karena pimpinan tertinggi BI adalah Dewan Moneter, bukan direksi BI. Undang-undang No.11 Tahun 1953 tidak mengatur secara tegas tentang independensi BI. Hanya ada sedikit keterangan bahwa BI adalah badan hukum milik negara yang melakukan tugasnya berdasarkan UU No. 11 Tahun 1953.

2.3. Bank Indonesia Pada Masa Orde Baru
Pada masa Orde Baru, dibentuklah UU BI yang baru yaitu UU No. 13 Tahun 1968. Secara keseluruhan dapat ditangkap bahwa UU BI ini tidak membawa sesuatu yang baru dalam hal independensi BI. Undang-undang BI ini menegaskan posisi dominan Dewan Moneter di dalam kelembagaan Bank Indonesia. Dewan moneter adalah alat pemerintah dan pembantu presiden dalam memikirkan, merencanakan, dan menetapkan kebijakan moneter. Mengingat pentingnya kedudukan Menteri Keuangan sebagai penanggungjawab bidang keuangan, dan faktor penting pelaksanaan kebijakan moneter maka posisi ketua Dewan Moneter diduduki oleh Menteri Keuangan, yang sudah pasti merupakan unsur yang berasal dari pemerintah. Hubungan antara BI dan pemerintah bahkan secara jelas diatur di dalam pasal 8 UU No. 13 Tahun 1968Dari posisi yang demikian, wajar saja jika kita berkesimpulan bahwa independensi BI masih jauh dari harapan.

Rencana perubahan secara besar-besaran terhadap BI dilakukan setelah ada Letter of Intent (LOI) II antara pemerintah dan International Monetary Fund (IMF) yang ditandatangani 15 Januari 1998. Salah satu hasil dari LOI adalah rencana pemberian otonomi kepada BI untuk merumuskan dan melaksanakan kebijakan moneter. Kesepakatan ini kemudian diikuti dengan dikeluarkannya Keppres No. 23 Tahun 1998, yang menegaskan bahwa “Bank Indonesia merumuskan dan melaksanakan kebijakan moneter.” Namun Keppres ini belum dapat langsung dilaksanakan karena bertentangan dengan UU No. 13 Tahun 1968. Dengan demikian dipersiapkanlah segala sesuatu yang perlu untuk merumuskan sebuah UU BI yang baru.

2.4. Bank Indonesia Pada Masa Reformasi Sampai Sekarang
Rencana pembentukan suatu Undang-undang Bank Indonesia yang baru, tercapai pada tahun 1999. Atas dasar amanat Pasal 23 D Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disingkat UUD NRI 1945), ditegaskanlah BI sebagai lembaga negara yang independen dan berbentuk badan hukum. Melalui UU No. 23 Tahun 1999 yang kemudian diperbaharui dengan UU No. 3 Tahun 2004, BI tidak hanya independen dari lembaga eksekutif, tetapi juga independen dari lembaga legislatif.

3. Menelaah Isu-isu Penting Terkait Independensi Bank Indonesia
Sebagaimana yang telah dipaparkan pada bagian perumusan masalah, penulis merumuskan dua isu penting terkait dengan independensi BI, yaitu a) perihal hubungan antara BI dengan pemerintah dan DPR, b) kedudukan BI sebagai badan hukum dan lembaga negara. Berikut ini adalah garis besar penelaahan tiga isu tersebut.

3.1. Hubungan Bank Indonesia Dengan Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat
Pada bagian 2 (dua) dari makalah ini, penulis telah memaparkan garis besar pola hubungan antara BI dan pemerintah dalam perkembangan hukum dalam rezim pemerintahan tertentu. Dapat dikatakan bahwa sebelum UU No. 23 Tahun 1999 jo. UU No. 3 Tahun 2004 diberlakukan, BI masih berada di dalam “genggaman” pemerintah. Sejak masa kolonial, sampai dengan periode Orde Baru, BI berada di dalam kontrol pemerintah. Angin pembaharuan terhadap BI berhembus bersamaan dengan lahirnya gerakan yang dinamakan sebagai gerakan “Reformasi” sejak tahun 1998 yang ditandai dengan lengsernya tampuk kekuasaan Orde Baru. Amandemen UUD NRI 1945 yang dimulai sejak tahun 1999 semakin membuka peluang bagi penegakkan independensi BI yang kemudian ditegaskan di dalam UU No. 23 Tahun 1999 jo. UU No. 3 Tahun 2004.

Pasal 4 ayat 2 UU No. 23 Tahun 1999 jo. UU No. 3 Tahun 2004 menegaskan independensi BI. Independensi ini memuat makna yang mendalam, sekaligus merupakan sebuah terobosan yang sangat menentukan kiprah BI selanjutnya, terutama dalam upayanya mencapai tujuan BI sebagaimana diatur oleh UU ini. Independensi BI menjadi pertanda bahwa pemerintah dan DPR tidak dapat seenaknya mengintervensi kebijakan yang diambil BI, kecuali untuk hal-hal yang secara tegas diatur di dalam UU BI ini. Hal yang dicemaskan jika BI menjadi lembaga negara yang independen adalah berkurangnya akuntabilitas BI. DPR sewaktu-waktu tidak dapat memanggil BI, kecuali dalam sebuah rapat koordinasi. Dengan demikian, dibentuklah Badan Supervisi berdasarkan amanat Pasal 58 A UU No. 23 Tahun 1999 jo. UU No. 3 Tahun 2004. Badan supervisi bertugas membantu DPR dalam melaksanakan fungsi pengawasan di bidang tertentu terhadap BI dalam rangka meningkatkan akuntabilitas, independensi, transparasi, dan kredibilitas BI. Anggota Badan Supervisi dipilih oleh DPR dan diangkat oleh Presiden. Kecemasan lain yang dapat muncul adalah jika Badan Supervisi ini berasal dari satu partai yang menguasai baik lembaga legislatif dan lembaga eksekutif, maka BI rentan untuk disalahgunakan.

3.2. Bank Indonesia Sebagai Badan Hukum Dan Lembaga Negara
Posisi BI sebagai badan hukum sangat penting dalam rangka independensinya. Sebagai badan hukum, BI memiliki hak, kewajiban, dan berwenang membuat keputusan yang mengikat para pihak di dalam ruang lingkupnya. Sebagai badan hukum, BI adalah badan yang terpisah dari pemerintah dan DPR, dan diberikan kewenangan untuk mengelola kekayaannya sendiri terlepas dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Ketentuan tentang BI sebagai badan hukum diatur di dalam Pasal 4 ayat 3 UU No. 23 Tahun 1999 jo. UU No. 3 Tahun 2004. Sekalipun UU BI sebelumnya telah menegaskan posisi BI sebagai badan hukum, implementasinya tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. UU BI yang berlaku sekarang ini bahkan memberikan kekebalan terhadap Gubernur Bank Indonesia, yaitu bahwa kesalahan yang dilakukan Gubernur BI, sejauh itu sejalan dengan tugas dan wewenangnya, serta dilakukan dengan itikad baik, maka hal itu dapat dibenarkan secara hukum. Adapun pengangkatan Gubernur, Deputi Gubernur Senior, dan Deputi Gubernur dilakukan oleh presiden dengan persetujuan DPR.

Kedudukan BI sebagai “lembaga negara” yang independen diatur di dalam Pasal 4 ayat 2 UU No. 23 Tahun 1999 jo. UU No. 3 Tahun 2004. Kedudukan BI sebagai lembaga negara adalah suatu isu yang penting, mengingat kedudukan BI sebagai lembaga negara tidak diatur di dalam UUD NRI Tahun 1945. Bahkan UUD yang pernah berlaku di RI tidak pernah mengatur tentang kedudukan BI sebagai lembaga negara. Pasal 1 ayat 2 TAP MPR No. 3/MPR/1978 hanya mengatur bahwa yang merupakan lembaga tertinggi negara adalah MPR, sedangkan lembaga tinggi negara adalah presiden, Dewan Pertimbangan Agung, Dewan Perwakilan Rakyat, Badan Pemeriksa Keuangan, dan Mahkama Agung. Penyebutan BI sebagai “lembaga negara” di dalam Pasal 4 ayat 2 UU No. 23 Tahun 1999 jo. UU No. 3 Tahun 2004 menimbulkan bias pengertian. Di satu sisi BI dapat disejajarkan dengan lembaga negara yang lainnya. Sebagaimana Mahkama Agung sebagai lembaga negara yang menjalankan fungsinya dalam bidang peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan; demikian pula BI sebagai lembaga negara menjalankan fungsinya di bidang ekonomi dan perbankan untuk mencapai dan menjaga kestabilan nilai rupiah. Tetapi di sisi lain, Gubernur BI diperlakukan sebagai pejabat tinggi negara yang disamakan dengan menteri. Melihat fakta ini, maka, dapat kita simpulkan bahwa BI adalah lembaga negara yang independen dalam hal fungsinya saja, sedangkan secara struktural, BI masih merupakan bagian dari pemerintah.

BAB III
P E N U T U P

1. Kesimpulan
Independensi bank sentral adalah salah satu isu penting yang semakin mendapatkan perhatian dari banyak kalangan di dunia. Independensi ini diperlukan dalam rangka peningkatan kualitas kerja bank sentral yang ditandai dengan terjaganya kesinambungan program BI, dan terhindarnya BI dari segala bentuk intervensi dari pihak manapun, termasuk lembaga eksekutif dan lembaga legislatif.

Bank Indonesia adalah bank sentral Republik Indonesia. Sebutan Bank Indonesia mulai dikenal secara legal sejak disahkannya UU No. 11 Tahun 1953 tentang Bank Indonesia pada masa Orde Lama. Pemerintah Orde Lama acapkali menggunakan BI sebagai alat politik untuk mencapi tujuan revolusi politik yang dicanangkannya. Pada masa Orde Baru disahkanlah UU No. 13 Tahun 1968 yang mencoba melepaskan BI dari kegiatannya di sektor komersil. Akan tetapi kedua produk perundang-undangan yang berlaku pada kedua rezim yang berbeda ini tidak menjamin independensi BI. Intervensi pemerintah terhadap BI dirasakan terlalu dalam, yang menyebabkan terbatasnya ruang gerak pejabat BI. Perubahan dalam hal independensi BI terjadi bersamaan dengan tuntutan gerakan yang acapkali dinamakan sebagai gerakan “Reformasi” yang dimulai sejak tumbangnya rezim Orde Baru. Dengan disahkannya UU No. 23 Tahun 1999, yang kemudian diperbaharui dengan UU No. 3 Tahun 2004, BI menjadi badan hukum dan lembaga negara yang independen.

Terkait dengan independensi BI terdapat dua isu penting yang semestinya diperhatikan untuk dibenahi, yaitu persoalan mengenai hubungan antara BI dengan pemerintah dan DPR, dan kedudukan BI sebagai badan hukum dan lembaga negara. Isu pertama berkutat pada persoalan tentang pentingnya BI sebagai bagian dari pemerintah yang menjalankan fungsi khususnya di bidang moneter dan finansial secara independen. Jika BI adalah bagian dari pemerintah, maka DPR sewaktu-waktu dapat meminta pertanggungjawaban BI. Tetapi jika independensi BI dipahami secara utuh, maka kemungkinan besar pemerintah tidak dapat mengintervensi BI. DPR pun tidak dapat meminta pertanggungjawaban BI, kecuali dalam sebuah rapat koordinasi.

Isu lain terkait dengan independensi BI adalah kedudukan BI sebagai badan hukum dan sebagai lembaga negara. Sebagai badan hukum, BI adalah badan yang terlepas dari pemerintah, yang memiliki hak dan kewajibannya sendiri, serta dapat memberlakukan kebijakan yang memuat sanksi dalam batas-batas kewenangannya. Sedangkan kedudukan BI sebagai lembaga negara sebagaimana yang termuat di dalam Pasal 4 ayat 2 UU No. 23 Tahun 1999 jo. UU No. 3 Tahun 2004 dianggap inkonstitusonal karena tidak disebutkan di dalam UUD NRI Tahun 1945. Jika BI dianggap sebagai lembaga negara, maka kedudukannya setara dengan lembaga tinggi negara yang lainnya, yang kewenangannya diberikan oleh Konstitusi negara. Padahal dalam kenyataannya Gubernur BI diangkat sebagai pejabat negara yang disamakan dengan menteri.

Menurut penulis, isu independensi BI pantas mengundang pertentangan oleh karena beberapa sebab. Pertama, rumusan peraturan perundang-undangan tentang BI belum lengkap sebagaimana diharapkan. Misalnya, penyebutan BI sebagai “lembaga negara” di dalam UU BI, ternyata tidak diatur di dalam UUD NRI Tahun 1945. Kedua, pemerintah berkepentingan untuk menenpatkan BI secara struktural sebagai bagian integralnya dalam rangka kesinambungan antara program ekonomi pemerintah dan kebijakan moneter dan finansial BI. Ketiga, belajar dari pengalaman sejarah, ruang gerak BI sangat dibatasi oleh karena adanya intervensi pemerintah. Maka, sudah sepantasnya BI merasa perlu untuk menegakkan independensinya dalam rangka menjaga dan meningkatkan kinerjanya berdasarkan tujuan yang diamanatkan oleh UU BI.

2. Saran
Berdasarkan pembahasan pada bab dan sub-bab sebelumnya, maka penulis memaparkan beberapa saran, s.b.b.

a. Badan Supervisi yang mewakili DPR untuk mengadakan pengawasan terhadap BI perlu diberikan wewenang yang lebih luas, tidak hanya mengawasi kinerja BI saja, tetapi juga memberikan penilaian terhadap kebijakan yang diambil BI. Mengingat adanya kemungkinan bahwa baik DPR maupun pemerintah, pada saat yang sama dikuasai oleh hanya satu partai, maka mekanisme penilaian kinerja BI oleh Badan Supervisi harus diatur secara tegas, dan laporannya pun harus disampaikan secara transparan kepada masyarakat.

b. Jika dimungkinkan adanya amandemen UUD NRI Tahun 1945 yang berikutnya, maka klausul pasal 23 D UUD Tahun 1945 perlu menegaskan kedudukan BI sebagai lembaga negara yang berada di luar pemerintahan. Dengan demikian, menjadi jelaslah bahwa BI adalah salah satu dari beberapa lembaga negara lainnya yang kewenangannya diberikan oleh UUD NRI Tahun 1945.

c. Untuk menghilangkan adanya multitafsir terhadap kedudukan BI sebagai lembaga negara, mengingat pasal 23 D UUD NRI Tahun 1945 hanya menyebutnya sebagai “bank sentral”, maka penyebutan BI sebagai “lembaga negara” di dalam Pasal4 ayat 2 UU No. 23 Tahun 1999 jo. UU No. 3 Tahun 2004 sebaiknya dihilangkan. Akan menjadi jelas kalau klausul pasal tersebut hanya menyebut BI sebagai bank sentral, sesuai dengan UUD NRI Tahun 1945.
Penulis sangat berharap semoga pihak yang paling berkepentingan dengan Bank Indonesia (khususnya lembaga eksekutif, legislatif, yudisial, dan BI sendiri), dengan adanya kritik dan masukan dari berbagai pihak, dapat membenahi segala sesuatu yang dibutuhkan demi tegaknya indepensi Bank Indonesia yang kokoh.



Daftar Pustaka

a. Buku dan Artikel

Beng To, Oey. 1991. Sejarah Kebijakan Moneter Indonesia. Jilid I (1945-1948). Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia: Jakarta.

Husein, Yunus. 2008. Independensi Bank Sentral. Diposting tanggal 18 Maret 2008, dalam http://www.legalitas.org. Diunduh pada tanggal 08 Januari 2010.

Ismail, Maqdir. 2007. Independensi Bank Sentral Dalam Undang-undang dan Praktik di Indonesia, diposting pada tanggal 14 Oktober 2007, dalam http://www.legalitas.org. Diunduh pada tanggal 08 Januari 2010.

b. Peraturan Perundang-undangan

Undang-undang No.11 Tahun 1953

Undang-undang No. 13 Tahun 1968

Undang –undang No. 23 Tahun 1999

Undang-undang No. 3 Tahun 2004

Keputusan Presiden No. 23 Tahun 1998