Wednesday, March 16, 2011

Dimensi Baru Kejahatan Ekonomi Menurut Konvensi PBB ke-5 dan ke-7



Pada tahun 1949, Hans von Hentig dalam buku “The Criminal and His Victim”, memandang viktimologi hanya dalam kaitannya dengan pelaku saja, yaitu bahwa pelaku (offender) dan korban (victim) “berinteraksi” satu sama lain, khususnya sejauh mana korban turut mempengaruhi timbulnya peristiwa kejahatan. Dua puluh empat tahun setelah Hentig, dalam simposium internasional pertama tentang viktimologi, Nagel (1974) telah berbicara tentang “structural victimization” yang menolak viktimologi semata-mata sebagai pengetahuan yang mengumpulkan keterangan yang “victim centred”. Lebih lanjut, kongres PBB di Jenewa (1975) dan di Caracas (1980) tidak lagi membatasi kejahatan (dan korban) pada pengertian tradisional, tetapi memperluasnya dengan “non-conventional crimes”. Persoalan mengenai “victims of Crime” menjadi agenda khusus di dalam kongres PBB ke-7 (1985). Pada pokoknya, dapat dimengerti bahwa mengaitkan korban dengan struktur perekonomian merupakan topik yang sah dalam pembahasan viktimologi. [1]

Kongres PBB ke-7 (1985) dalam tema “dimensi baru kejahatan dalam konteks pembangunan” mendekati permasalahan kejahatan secara berbeda. Jika sebelumnya kejahatan dipandang sebagai penyebab buruknya perekonomian, maka kongres ini memandang gejala kriminalitas sebagai suatu kelanjutan dari kegiatan dan pertumbuhan perekonomian. Digambarkan oleh kongres, misalnya bahwa “A new dimension of criminality is the very substantial increase in the financial volume of certain conventional economic crime” (mis. pelanggaran hukum pajak, transfer modal yang melanggar hukum, penipuan asuransi, dsb.). Semua kejahatan ini mempunyai dampak yang sangat buruk bagi perekonomian nasional, sedangkan pelakunya berbentuk badan hukum dan memiliki kedudukan yang terhormat di dalam masyarakat.[2]
 
Bentuk kejahatan konvensional lainnya yang dapat mengganggu stabilitas perekonomian nasional, antara lain korupsi (corruption), suap (bribery), dan kolusi/persekongkolan (collusion/samenspanning). Korupsi umumnya dilakukan oleh pejabat-pejabat pemerintah dengan menyalahgunakan kedudukan mereka (bureaucratic corruption). Tidak tertutup kemungkinan korupsi juga terjadi di sektor swasta (private corruption). Kesamaan yang terdapat di dalam dua model korupsi ini adalah bahwa koruptornya adalah orang-orang yang memegang “kuasa” di dalam masyarakat, baik kuasa pemerintahan maupun kuasa ekonomi. [3] Sedangkan kolusi adalah permufakatan antara beberapa pihak untuk berbuat sesuatu yang melawan hukum yang dapat diancam secara perdata maupun pidana. [4]

Peringatan yang diberikan oleh PBB melalui kongresnya di atas mestinya diperhatikan oleh seluruh elemen masyarakat Indonesia. Pada masa dahulu pemerintah memusatkan perhatian kepada kejahatan ekonomi dengan cara penyelesaian yang konvensional (mis. penyelundupan, korupsi oleh birokrat pemerintah, dsb). Kejahatan berdimensi baru rentan melibatkan kekuasaan politik dan kekuasaan ekonomi untuk bersepakat melakukan tindakan melawan hukum yang dapat berdampak pada kerugian perekonomian negara dan hilangnya kepercayaan masyarakat kepada aparat birokrasi dan perusahaan bisnis. Pemegang kekuasaan ekonomi dari sektor swasta harus mengedepankan etika bisnis untuk menjalin kerja sama yang baik dengan sektor pemerintahan. [5]

Salah satu topik yang mendapatkan perhatian khusus dari Prof. Mardjono Reksodiputro adalah mengenai dua jenis kejahatan korporasi (corporate crime), yaitu Kejahatan Oleh Organisasi/Organized Crime (KOO) dan Kejahatan Terorganisasi/Crime by Organization (KTO). [6]Beliau memiliki keprihatinan terhadap kekurangpahaman banyak pihak mengenai kedua hal ini. Acapkali kedua hal ini disamakan begitu saja, padahal memiliki substansi yang berbeda. 

KTO mulai dikenal luas oleh publik Amerika Serikat melalui pemberitaan oleh “Komisi Kaufer” (1951) yang melaporkan kepada pemerintah mengenai adanya organisasi yang bernama “Mafia” (kemudian berganti nama menjadi “La Cosa Nostra”) yang menguasai beberapa kota di Amerika Serikat. Acapkali organisasi ini bersembunyi di balik perusahaan, yang jika disimak secara sepintas, menjalankan usahanya secara sah. KTO seringkali menjalankan usahanya dengan menggunakan kekerasan.


[1] Mardjono Reksodiputro, Kemajuan Pembangunan Ekonomi dan Kejahatan-Kumpulan Karangan Buku Kesatu, (Jakarta: Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum, 2007), hlm. 35-36.
[2] Ibid., hlm. 42-43.
[3] Ibid.
[4] Ibid.,hlm. 116.
[5] Ibid., hlm. 119.
[6] Mardjono Reksodiputro, “Kejahatan Korporasi-Suatu Fenomena Lama Dalam Bentuk Baru”,  Indonesian Journal of International Law-Volume 1, (4 Juli 2004): hlm. 705-706.

No comments:

Post a Comment