Edwin Sutherland adalah seorang kriminolog dan sosiolog berkebangsaan Amerika serikat yang melihat adanya gejala baru di dalam tindakan kejahatan yang terjadi di Amerika Serikat pada era 1930-1940-an. Sutherland secara cermat memperhatikan dan memberikan tanggapan atas data statistik kriminal mengenai angka kejahatan di Amerika Serikat pada masa itu. Statistik tersebut menegaskan bahwa angka kriminalitas yang tinggi terjadi pada masyarakat dengan status sosial-ekonomi yang rendah, dan sangat sedikit pada masyarakat kelas atas.[1]
Telah ada dua jenis penelitian dengan metode dan analisis tertentu mengenai kejahatan yang terjadi pada masyarakat kelas bawah Amerika Serikat. Pertama[2], analisis berdasarkan riwayat kasus yang dilakukan oleh para pelaku pidana (offender) dan orangtua mereka yang menunjukkan bahwa kemiskinan merupakan salah satu faktor penyebab tingginya angka kejahatan pada masyarakat kelas bawah. Analisis ini dilakukan oleh Sheldon dan Eleanor Glueck yang meneliti 1000 kenakalan remaja yang dibawa ke pengadilan anak Greater Boston, 500 pria dewasa muda yang dibawa ke State Reformatory of Massachusetts, dan 500 wanita yang dibawa ke Massachusetts Reformatory khusus wanita. Kedua[3], analisis berdasarkan tempat tinggal para pelaku kejahatan (ecological distribution of offender) menunjukkan bahwa para pelaku kejahatan umumnya terkonsentrasi di area-area kemiskinan. Penelitian ini dilakukan oleh Clifford R.Shaw dan Henry D. McKay yang menganalisis data terkait dengan tempat tinggal pelaku kejahatan remaja dan dewasa di dua puluh kota di Amerika Serikat.
Sutherland lantas mengeritik teori-teori tersebut, yaitu bahwa patologi sosial dan personal bukan merupakan penjelasan yang cukup terhadap tindakan kriminal. Teori-teori umum mengenai tindakan kriminal yang didasarkan pada kemiskinan dan situasi-situasi terkait, tidak memadai dan tidak sah karena[4], a) teori-teori ini tidak secara konsisten sesuai dengan data mengenai tindakan kriminal, dan b) karena sebab-sebab yang mendasari teori-teori ini merupakan sebuah contoh yang bias mengenai semua tindakan kriminal.
Lebih lanjut Sutherland menjelaskan bahwa kejahatan yang terjadi pada lapisan masyarakat kelas atas justeru lebih besar daripada masyarakat kelas bawah. Sutherland menyebut kejahatan yang dilakukan oleh kelas atas sebagai “White Collar Crime” (WCC) (kejahatan kerah putih). Definisi yang lebih tepat tentang WCC adalah “kejahatan yang dilakukan oleh orang-orang terhormat dan mereka yang memiliki status sosial yang tinggi di lingkungan kerjanya.” [5] Pada pokoknya, WCC tidak dapat diasosiasikan dengan kemiskinan atau patologi sosial dan personal yang menyertai kemiskinan.
Menurut pendapat saya, klaim bahwa angka kejahatan pada masyarakat kelas bawah lebih tinggi daripada masyarakat kelas atas tidak dapat dipercaya begitu saja, apalagi didasarkan pada statistik kriminalitas dengan tingkat kesalahan (margin error) yang besar. Sutherland secara brilian membangunkan masyarakat di masanya dari “tidur panjang” ketidaksadaran atas kejahatan-kejahatan yang dilakukan oleh masyarakat kelas atas, khususnya para elit pemerintahan dan korporasi-korporasi besar.
Kalaupun kemiskinan dianggap sebagai penyebab tingginya angka kriminalitas, maka hal itu harus dipandang oleh pemerintah sebagai tantangan untuk meningkatkan kualitas hidup rakyatnya. Kemiskinan merupakan salah satu indikator untuk mengukur kualitas kerja suatu pemerintahan. Pemerintah harus memberikan pembinaan secara gradual dan kontinyu, sambil meningkatkan kualitas hidup masyarakat miskin, agar tidak dengan mudah dibujuk oleh golongan atas untuk terlibat di dalam kejahatan kerah putih.
Perkembangan WCC dalam hal besaran dan jenisnya semakin mencemaskan masyarakat dunia. Di bidang keuangan WCC “hadir” dalam bentuk manipulasi saham, penyuapan komersil, penyuapan terhadap pejabat pemerintahan baik langsung maupun tidak untuk membelokan kontrak dan hukum, penipuan pajak, dsb. WCC di dalam dunia medis misalnya, terjadi penjualan alkohol dan narkotik secara ilegal, aborsi, dan dokter spesialis palsu. Di bidang-bidang lain pun tindakan para kriminal profesional masih tetap merajalela.
White Collar Crime masih menjadi momok bagi masyarakat masa kini. Akibat dari kejahatan ini jauh lebih destruktif dari kejahatan-kejahatan biasa (mis. Pencurian, pembunuhan, perampokan, dsb). Pada tahun 1980, perekonomian Amerika Serikat guncang akibat skandal perdagangan orang dalam (insider trading) di pasar modalnya (Wall Street). Secara mengejutkan ratusan ribu orang kehilangan modalnya di pasar modal tersebut. Sekali lagi pada tahun 2002, Wall Street terguncang karena “kesalahan” akuntansi yang dilakukan oleh korporasi-korporasi besar. Diduga bahwa kesalahan ini merupakan kesengajaan yang dilakukan oleh eksekutif perusahaan dan akuntan-akuntannya. [6]
Di Indonesia, krisis ekonomi tahun 1998 yang kemudian berlanjut dengan kasus fenomenal lain seperti Bail-out Bank Century, mafia pajak Gayus Tambunan, dan permainan harga saham PT Krakatau Steel Tbk., menggambarkan bahwa kejahatan kerah putih masih banyak terjadi di Indonesia. Kegiatan kriminal pada level atas terlihat begitu halus, tetapi mengandung potensi destruktif yang sangat tinggi. Penegak hukum terlihat tebang pilih dalam penegakan hukum. Kejahatan pada level bawah lebih ditanggapi secara serius daripada kejahatan yang dilakukan oleh elit pemerintahan dan swasta. Menangkap dan menghukum seorang pencuri singkong[7], jauh lebih mudah daripada menangkap dan menghukum seorang koruptor dan penyuap seperti Gayus Tambunan.
Untuk memberantas WCC di Indonesia dibutuhkan produk hukum terkait dengan bobot hukuman yang tinggi serta pola rekrutmen penegak hukum yang benar-benar berbobot. Perseteruan di antara lembaga penegak hukum, dan mudahnya lembaga penegakan hukum dibeli dengan uang memberikan gambaran yang buruk terhadap citra penegakan hukum di mata publik Indonesia dan dunia. Hal-hal ini harus diselesaikan secara tuntas oleh pihak-pihak yang berwenang. Jika masalah-masalah internal penegak hukum ini telah dapat diselesaikan, maka energi untuk memberantas kejahatan kerah putih akan semakin besar.
[1] Tindakan kriminal dimaksud adalah pelanggaran atas ketentuan pidana, antara lain: pembunuhan, penganiayaan, pencurian, perampokan, perampasan harta, pelanggaran seksual, dan kemabukan di tempat umum; belum termasuk pelanggaran lalu lintas.Edwin H. Suttherland, White Collar Crime, (New York: The Dryden Press, 1942), hlm. 3.
[2] Sutherland menggambarkan kemiskinan sebagai kehidupan yang berada di bawah “tingkat kenyamanan” (level of confort) yang ditandai dengan kurangnya kepemilikan surplus yang cukup untuk memampukan sebuah keluarga bertahan hidup selama empat bulan dalam keadaan tanpa kerja dan tanpa mendapatkan pertolongan apa pun dari pihak luar. Ibid., hlm 4.
[3] Ibid., hlm 5.
[4] Patologi sosial dari uraian di atas adalah kemiskinan yang terkait dengan perumahan yang buruk, rekreasi yang tidak teratur, kurangnya pendidikan, dan gangguan di dalam kehidupan keluarga. Sedangkan patologi pribadi terkait dengan ketidaknormalan biologis, kualitas intelektual yang rendah, dan ketidakstabilan emosional. Sutherland dengan tegas membantah teori-teori ini oleh karena ketidakatepatan data yang dijadikan sebagai landasan teori. Ketidaktepatan itu, antara lain, bahwa orang-orang yang hidup di daerah terpencil dan tinggal dalam kemiskinan, termasuk para imigran petani dari Eropa, memiliki angka kriminalitas yang rendah. Lebih lanjut, studi tentang hubungan antara tingkat kejahatan dan siklus bisnis (bussiness cycle) tidak menampakkan relasi yang erat antara depresi dan tingkat kejahatan terkait kemiskinan. Sutherland juga mengeritik penjelasan umum tentang kriminalitas yang didasarkan pada statistik yang bias. Alasannya adalah bahwa pertama, orang-orang yang mapan secara sosio-ekonomis memiliki kekuasaan politik dan keuangan yang lebih besar daripada masyarakat lapis bawah, yang memungkinkannya menghindar dari penangkapan dan hukuman atas tindak pidana yang sama; kedua, administrasi peradilan kriminal di bidang bisnis dan profesi tentunya terkait dengan masyarakat lapis atas. Oleh karena mereka “sanggup” membebaskan dirinya dari hukum dengan berbagai macam cara, maka statistik tidak mencatat kejahatan-kejahatan yang dilakukannya. Ibid., hlm 6-8.
[5] Ibid., hlm. 9.
[6] J. Kelly Strader, Understanding White Collar Crime, (New Jersey: LexisNexis, 2002), hlm. 3-4. Diakses dalam format PDF dari http://unjobs.org/authors/edwin-h.-sutherland, pada tanggal 18 Januari 2011.
[7] Pencuri Singkong di Pasuruan Dituntut Dua Bulan Penjara, diterbitkan oleh Yustisi.com edisi 01 Oktober 2010, diakses dari http://yustisi.com/2010/10/pencuri-singkong-di-pasuruan-dituntut-2-bulan-penjara/, pada tanggal 19 Januari 2011.
No comments:
Post a Comment