Wednesday, November 30, 2011

Merancang Dasar Hukum Perampasan Aset Haram

"RUU Perampasan Aset untuk mengatasi kendala pengembalian aset melalui mekanisme pidana."


Rancangan Undang-undang (RUU) Perampasan Aset diyakini akan memecahkan kebuntuan aparat penegak hukum ketika berupaya mengejar aset hasil tindak pidana korupsi. Tak hanya mengejar hasil kejahatan setelah RUU ini diundangkan, aset hasil kejahatan lama juga dapat dirampas dengan peraturan sama alias berlaku surut. Saat ini, draf RUU sudah siap diserahkan pada Presiden akhir tahun 2011. Diharapkan, tahun 2012 dapat diserahkan ke DPR untuk dibahas dan disahkan.

“Harus tidak terbatas. Hasil kejahatan sebelum RUU diundangkan juga dapat dirampas,” ungkap Ketua Tim Perumus, Yunus Husein dalam Seminar Nasional “Membangun Rezim Perampasan Aset”, di Jakarta, Senin (28/11).

Menurut Yunus, RUU ini bukan mengejar pelaku tindak pidana melainkan aset mereka dari hasil tindak pidana. “Jadi bukan memburu pelaku tapi mengejar aset, termasuk hasil kejahatan sebelum RUU ini disahkan.”

Tak hanya itu. Yunus menerangkan, sistem hukum Indonesia belum memiliki undang-undang atau ketentuan khusus perampasan aset hasil tindak pidana tanpa putusan pengadilan dalam perkara pidana.

Saat ini, perampasan aset dalam sistem hukum pidana Indonesia melalui putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap (inkracht). Kemudian dengan gugatan perdata seperti Pasal 33 UU No 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU No 20 Tahun 2001.

RUU ini, tutur Yunus, mengakomodasi harapan tersebut. Terbuka kesempatan luas untuk merampas segala aset yang diduga merupakan hasil pidana (proceed of crimes). Serta aset-aset lain yang patut diduga atau telah digunakan sebagai sarana untuk melakukan tindak pidana.

Dia sampaikan tujuan pembuatan RUU ini adalah mengatasi kendala pengembalian aset melalui mekanisme pidana (in personam). Sehingga, walaupun tersangka atau terdakwa meninggal dunia, melarikan diri, sakit permanen, atau tak diketahui keberadaannya, penyitaan dan perampasan aset hasil pidana tetap dapat dilakukan secara adil karena melalui pemeriksaan pengadilan.

Selain itu, lanjut Yunus, UU Perampasan Aset harus ada karena Indonesia telah meratifikasi Konvensi PBB Tahun 2003 (United Nations Convention Against Corruption/UNCAC) dengan UU No 7 Tahun 2006. Kemudian, Konvensi PBB Menentang Kejahatan Transnasional Terorganisir (UN Convention Against Transnational Organized Crimes/UN-CATOC0) dengan UU No 5 Tahun 2009. Serta, Revised Recommendations Financial Actions Task Force (FATF).

Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) M Yusuf menilai ketentuan berlaku surut memang tepat untuk merampas aset hasil tindak pidana. Dia berpendirian, “Karena asal aset tersebut haram, sampai kapan pun tetap haram, jadi layak dirampas," tegasnya.

Menurutnya, RUU ini merupakan pintu masuk untuk mengejar aset dari data Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) dan Surat Pemberitahuan (SPT) Pajak untuk disandingkan dengan fakta yang ada. “Kalau ternyata data dengan fakta tidak seimbang, berarti ada kekayaan yang tidak wajar (unexplained wealth), bisa dirampas untuk negara,” sebutnya. Dia menambahkan, Laporan Hasil Analisa (LHA) PPATK juga menjadi satu alat untuk menelusuri kekayaan tidak wajar itu.

Direktur Jenderal Kekayaan Negara, Hadiyanto mendukung adanya pengaturan tegas mengenai perampasan aset hasil tindak pidana. Namun, dia tak setuju dengan syarat akan lahirnya lembaga baru guna mengelola aset hasil rampasan. Dia berpendapat, “Unit pengelolaan aset negara saat ini ada di Kementerian Keuangan yaitu Direktorat Jenderal Kekayaan Negara saja sudah cukup,” nilainya.

Kewenangan itu berdasarkan UU No 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, UU No 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, dan UU No 6 Tahun 2006 tentang Pengesahan Konvensi International Convention for the Suppression of the Financing of Terorism, 1999.

Lagipula, lanjut Hadiyanto, Kemenkeu memiliki 17 Kantor Wilayah dan 70 KPKNL, 351 pejabat lelang, 1.253 penilai, 3.280 SDM yang berpengalaman mengelola aset. Ditambah ada peraturan dan tersedia SOP pengelolaan aset.

“Jika RUU ini disahkan, pengelolaan aset langsung operasional,” tegasnya. Meski demikian, Kemenkeu meminta agar RUU ini mengatur kewenangan pengelolaan aset yang belum diputus atau disita, dan yang telah diputus (yang dirampas).

Dia juga mengingatkan sebuah undang-undang akan berlangsung lama kalau ada azas kemanfaatan. Karena itu praktik penerapan peraturan sama di negara lain yang telah berhasil, patut segera diadopsi di Indonesia.
Penulis : Inu 

Thursday, October 13, 2011

Catatan Fragmentaris Perintisan dan Pembentukan Mahkamah Konstitusi (MK)

Lembaran awal sejarah praktek pengujian undang-undang (judicial review) bermula di Mahkamah Agung/MA (Supreme Court) Amerika Serikat saat dipimpin John Marshal dalam kasus Marbury & Madison (1803). Kendatipun saat itu Konstitusi Amerika Serikat tidak mengatur pemberian kewenangan untuk melakukan judicial review kepada MA, tetapi dengan menafsirkan sumpah jabatan yang mengharuskannya untuk senantiasa menegakkan konstitusi, Marshal menganggap MA berwenang untuk menyatakan suatu undang-undang bertentangan dengan konstitusi.

Adapun secara teoritis, keberadaan Mahkamah Konstitusi baru diintrodusir pertama kali pada tahun 1919 oleh pakar hukum asal Austria, Hans Kelsen(1881-1973). Kelsen menyatakan bahwa pelaksanaan konstitusional tentang legislasi dapat secara efektif dijamin hanya jika suatu organ selain badan legislatif diberikan tugas untuk menguji apakah suatu produk hukum itu konstitusional atau tidak, dan tidak memberlakukannya jika menurut organ ini tidak konstitusional. Untuk itu perlu diadakan organ khusus yang disebut mahkamah konstitusi (constitutional court). 

Bila ditelusuri dari sejarah penyusunan UUD 1945, ide Hans Kelsen mengenai pengujian undang-undang juga sebangun dengan ujian yang pernah diungkapkan oleh Muhammad Yamin dalam sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK). Muhammad Yamin mengusulkan bahwa seharusnya Balai Agung (atau Mahkamah Agung) diberikan wewenang untuk "membanding undang-undang" yang maksudnya tidak lain adalah kewenangan judicial review. Namun usulan Muhammad Yamin ini disanggah oleh Soepomo dengan alasan bahwa: 1) konsep dasar yang dianut di dalam UUD yang tengah disusun bukan konsep pemisahan kekuasaan (separation of power) melainkan konsep pembagian kekuasaan (distribution of power); selain itu, 2) tugas hakim adalah menerapkan undang-undang, bukan menguji undang-undang, dan 3) kewenangan hakim untuk melakukan pengujian undang-undang bertentangan dengan konsep supremasi Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Sehingga ide akan pengujian undang-undang terhadap undang-undang dasar yang diusulkan Yamin tersebut tidak diadopsi dalam UUD 1945. Meski gagal memperoleh persetujuan, ide Yamin tersebut menunjukan betapa sudah majunya pemikiran para penyusun undang-undang dasar kita saat itu.

Seiring dengan momentum perubahan UUD 1945 pada masa Reformasi (1999-2002), ide pembentukan Mahkamah Konstitusi di Indonesia makin menguat. Puncaknya terjadi pada tahun 2001, ketika ide pembentukan MK diadopsi dalam perubahan UUD 1945 yang dilakukan oleh MPR sebaimana dirumuskan dalam ketentuan Pasal 24 ayat (2) dan Pasal 24 (c) UUD 1945 dalam perubahan ketiga. 

Selanjutnya untuk merinci dan menindaklanjuti amanat Konstitusi tersebut, Pemerintah bersama DPR membahas Rancangan Undang-undang tentang Mahkamah Konstitusi. Setelah dilakukan pembahasan beberapa waktu lamanya, akhirnya RUU tersebut disepakati bersama oleh pemerintah dan DPR dan disahkan dalam sidang paripurna DPR pada 13 Agustus 2003. Pada hari itu juga, UU tentang MK ini ditandatangani oleh Presiden Megawati Soekarnoputeri dan dimuat di dalam Lembaran Negara pada hari yang sama, kemudian diberi nomor UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Tahun 2003 Nomor 98, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4316). Ditilik dari aspek waktu, Indonesia adalah negara ke-78 yang membentuk MK dan sekaligus sebagai negara pertama di dunia yang membentuk lembaga ini pada abad ke-21. Tanggal 13 Agustus 2003 inilah yang kemudian disepakati para hakim konstitusi menjadi hari lahir MKRI.

Disadur dari buku "Profil Mahkamah Konstitusi", oleh Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, Cetakan ke-2, Juni 2009.

Thursday, October 6, 2011

PNS di Larantuka Terkena AIDS

Laporan Wartawan Pos Kupang, Syarifah Sifah

TRIBUNNEWS.COM, KUPANG.
Seorang PNS di Larantuka, Kabupaten Flores Timur, NTT terkena HIV/AIDS. Sebelumnya seorang ibu melahirkan terkena HIV/AIDS dan dua warga Larantuka meninggal saat mendapat perawatan intensif di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Larantuka. 
PNS di lingkungan Pemkab Flotim tersebut sedang mendapatkan perawatan intensif baik oleh keluarga maupun rumah sakit. Penyakit HIV/AIDS sebagai akibat seks bebas dan penggunaan jarum suntik. 
Terungkapnya PNS yang terkena HIV/AIDS tersebut disampaikan Direktur RSUD Larantuka, dr. Yoseph Kopong Daten kepada wartawan, Rabu (5/10/2011).
Ia mengatakan, dalam tiga bulan terakhir sudah beberapa warga yang dengan kerelaannya diperiksa di klinik visity sehingga diketahui mereka terkena HIV/AIDS.  Namun, soal angka secara keseluruhan, dr. Yoseph mengakui sekitar 46 kasus di tahun 2010 dan belum dihitung secara keseluruhan di tahun 2011. 
"Umumnya meningkat kasus HIV/AIDS di Flotim. Soal HIV/AIDS ini ada lembaga KPAD yang terus melakukan sosialiosasi," terangnya. 
Terhadap meningkatnya pengidap HIV/AIDS di Flotim, DPRD Flotim telah menetapkan Perda HIV/AIDS namun hingga kini Perda tersebut belum jalan.
Dalam Perda tersebut ada upaya paksa wajib periksa bagi penderita HIV/AIDS yang sudah diketahui melalui pemeriksaan medis. 
Jika warga masyarakat yang membutuhkan jasa pelayanan administrasi kependudukan seperti pengurusan KTP, akte, surat kelakuan baik dan lain-lain, maka terdahulunya dilakukan pemeriksaan HIV/AIDS. Tes HIV/AIDS ini juga dilakukan saat para pencari kerja mengikuti seleksi menjadi CPNSD.
Upaya paksa hukum itu dikatakan Wakil Ketua DPRD Flotim, Antonius Hubertus G. Hadjon dimungkinkan karena hukum dari filosofi sifatnya dapat dijadikan alat paksa oleh negara. 
Upaya paksa tersebut dilakukan demi keselamatan warga negara dari bahaya HIV/AIDS. "Daya bunuh HIV/AIDS lebih besar ketimbang bahaya bencana alam", katanya. 
Selain upaya paksa dengan jalur formal, Anton mengatakan, diusulkan untuk memperketat pemeriksaan di pintu keluar masuk perantau asal Flores Timur. Hal tersebut penting dilakukan karena berdasarkan contoh kasus, HIV/AIDS merupakan yang terbawa oleh para perantau.

Editor: Romualdus Pius  |  Sumber: Pos Kupang

Monday, September 19, 2011

Sepenggal Surga di Pantai Watotena Pulau Adonara - Flores Timur

Sepenggal Surga di Pantai Watotena Pulau Adonara


Adonara adalah sebuah pulau yang terletak di Kepulauan Nusa Tenggara, yakni di sebelah timur Pulau Flores. Luas wilayahnya 509 km², dan titik tertingginya 1.676 m. Pulau ini dibatasi oleh Laut Flores di sebelah utara, Selat Solor di selatan (memisahkan dengan Pulau Solor), serta Selat Lowotobi di barat (memisahkan dengan Pulau Flores.

Secara administratif, Pulau Adonara termasuk wilayah Kabupaten Flores Timur, Provinsi Nusa Tenggara Timur, Indonesia. Adonara merupakan satu di antara dua pulau utama pada kepulauan di wilayah Kabupaten Flores Timur.Adonara dahulu merupakan sebuah kerajaan yang didirikan pada tahun 1650. 

Keindahan pantai ternyata tak hanya dimiliki Bali atau Pulau Dewata. Di Nusa Tenggara Timur, terdapat banyak lokasi yang menyimpan sejuta pesona.

Pantai Neren Watotena terbilang masih perawan karena terletak cukup jauh dari Kota Kupang. Pesona laut biru yang menggoda ditambah formasi batu unik menjadikan pantai ini begitu eksotis.

Senang berjalan menyusuri pantai? Anda akan dimanjakan dengan pasir putih yang membentang hingga tujuh kilometer. Sungguh ciptaan Tuhan yang rugi bila tidak dinikmati. Namun sayang, Neren Watotena sulit dijangkau dari pusat kota.

Berikut ini sejumlah foto yang menampakkan  keindahan Neren Watotena











Watotena dalam artian bahasa berarti batukapal, pantai ini berada di garis pantai Adonara Timur, dengan pasir putihnya pantai ini dipenuhi batu-batu karang besar seperti kapal. Saat ini pantai ini di kelola oleh orang muda katolik waiwerang.

Untuk sampai ke pantai ini tidak mahal (kalau starting point nya dari Waiwerang-Adonara, tapi kalo starting point nya dari Jakarta ya,,,paleng murah 1 juta pulang pergi dengan kapal Sirimau dari Tanjung Priok ke Tanjung Bunga-Larantuka, kalau naik pesawat kurang lebih 2 JutaJakarta-Maumere-Larantuka-Waiwerang), cukup naik angkot dari waiwerang Rp. 5,000,- kemudian jalan kaki ke dalam, jauh seh,,makanya lebih baik sewa ojek ajah kemungkinan sekitar Rp. 20.000 an.

Biaya retribusi masuk adalah Rp. 2000,- per sepeda motor. Hari minggu biasanya pantai ini penuh dikunjungi, karna itu jika ingin kencan dengan pasir putih dan suara ombaknya saja datanglah pada hari kerja,,,pantai ini akan sepi dan keindahannya makin mempesona.

Pantai watotena terletak dibawah gunung boleng yang menjulang tinggi sekitar 1.700m di atas permukaan laut. Cuaca yang cukup ekstrim di NTT juga sangat berpengaruh pada tinggi dan besarnya gelombang di pantai ini.










Warga setempat berharap pemerintah dapat mengelola potensi wisata ini secara profesional. Sebab, bukan tidak mungkin pantai ini akan menarik minat wisatawan domestik maupun internasional.





Tuesday, September 13, 2011

Ada Pasar Suap dalam Penegakan Hukum


Dalam proses penegakan hukum di Indonesia, advokat bukanlah pembuat keputusan. Namun, dalam proses penegakan hukum itu, ternyata ada pasar suap di negeri ini yang bisa dimanfaatkan penegak hukum, termasuk advokat yang mengabaikan etika dan kode etik.

Demikian dikatakan penasihat Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi), Abdul Hakim Garuda Nusantara, saat bersama pengurus pusat Peradi berkunjung ke Redaksi Harian Kompas di Jakarta, Senin (12/9/2011).

Rombongan pengurus Peradi dipimpin Ketua Umumnya Otto Hasibuan. Mereka diterima Pemimpin Redaksi Harian Kompas, Rikard Bagun. Dalam pertemuan itu, Peradi menyampaikan keinginannya untuk bisa mewujudkan penegakan hukum di Indonesia yang bebas dari penyuapan.

Peradi berkeinginan penegakan hukum di negeri ini bebas dari kolusi, korupsi, dan nepotisme. "Sebenarnya untuk mewujudkan hukum yang berkeadilan di negeri ini, bisa dilakukan besok. Tak perlu menunggu waktu lama. Presiden tinggal berinisiatif mengumpulkan jajaran penegak hukum, polisi, jaksa, hakim, dan advokat, serta bersama-sama berkomitmen menegakkan hukum yang bersih dan berkeadilan. Komitmen itu harus sungguh-sungguh dijalankan," imbuh Otto.

Pasar suap itu, lanjut Abdul Hakim, adalah adanya pihak berperkara yang ingin memenangkan perkaranya dengan cara menyuap penegak hukum. Di sisi lain, ada penegak hukum yang bersedia membelokkan hukum dan keadilan dengan imbalan suap.

"Dalam 10 tahun terakhir, kita harus mengakui adanya sejumlah perubahan di bidang hukum ke arah yang lebih baik. Namun, pasar suap itu masih tetap ada," kata mantan Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) itu.

Redaktur Pelaksana Harian Kompas Budiman Tanuredjo pun mengakui masih adanya pasar suap dalam proses penegakan hukum di negeri ini. Pasar itu bisa mengubah pasal, sehingga merugikan rasa keadilan masyarakat dan pencari keadilan yang tak memiliki modal.

Menurut Otto, anggota Peradi ingin benar-benar mewujudkan penegakan hukum yang bersih dan berkeadilan, tanpa melakukan tindakan curang, seperti penyuapan. Namun, memang tak ada jaminan bila anggota Peradi melakukan proses penegakan hukum yang bersih, pihak lawan tak melakukan penyuapan.
Saat ini, yang baru berhasil dilakukan Peradi, adalah proses rekruitmen calon advokat yang benar-benar bebas dari korupsi, kolusi, dan nepotisme. Keberhasilan ini juga diakui secara internasional.

Monday, September 12, 2011

Chandra M. Hamzah, Musuh Ataukah Sahabat Koruptor?




Entah kebetulan ataukah tidak dalam setiap kali kasus hukum, ketika nama KPK dituding terlibat, nama Wakil Ketua KPK Chandra M Hamzah tidak pernah absen. Di urutan kedua adalah nama Deputi Bidang Penindakan KPK Ade Raharja.

Setidaknya ada empat kasus hukum dalam kurun waktu tiga tahun ini nama Chandra M Hamzah selalu disebut sebagai pihak yang menerima uang suap, atau menghambat jalannya proses hukum yang seharusnya dilakukan oleh KPK.

Yang pertama adalah kasus penyuapan dengan aktor utamanya Anggodo Widjojo yang sempat bikin heboh di tahun 2009-2010 itu. Dalam kasus itu Anggodo mengaku bahwa dia telah memberi uang suap sejumlah Rp 6 miliar kepada dua pimpinan KPK Chandra M Hamzah dan Bibit Samad Rianto. Rp. 5 miliar diserahkan melalui Deputi Bidang Penindakan KPK Ade Raharja, dan Rp 1 miliar diserahkan langsung kepada Chandra. Uang suap itu diberikan supaya KPK menghentikan penyidikan kasus korupsi PT Masara Radiokom (milik Anggoro Widjojo, kakak Anggodo) dalam proyek Sistem Komunikasi Radio Terpadu (SKRT).

Yang Kedua dan ketiga adalah kasus Nazaruddin yang masih terus bergulir ini. Ketika masih dalam status buronan, Nazaruddin pernah mengaku bahwa ada pertemuan rahasia antara Chandra M Hamzah, Ade Raharja, dan Anas Urbaningrum, agar kasus korupsi Wisma Atlet yang “telanjur” terbongkar ke publik itu hanya dibatasi sampai pada dirinya saja. Sebagai imbalannya, Anas cs akan mendukung mereka untuk tetap berada dalam jajaran pimpinan KPK. Tentu saja itu tidaklah gratis.

Kemudian pada tanggal 6 September 2011 lalu, Yulianis, Direktur Keuangan Grup Permai (milik Nazaruddin), dalam pemeriksaan terhadap dirinya di Komite Etik KPK, mengaku bahwa setiap hari boss-nya itu menerima rata-rata Rp 30 miliar dari berbagai perusahaan miliknya. Uang itu kemudian antara lain dibagi-bagikan kepada banyak pejabat tinggi tertentu. Yulianis tidak tahu secara detail kepada siapa saja uang-uang pelicin itu dibagi-bagikan, karena meskipun dia mencatat semua pengeluaran, Nazaruddin hanya memberi kode dengan inisial penerima-penerima uang tersebut. Salah satunya adalah penerima dengan kode inisial “CDR”, yang diduga salah seorang petinggi KPK.

Siapa itu CDR? Pada tanggal 8 September 2011 Nazaruddin yang mengakhiri masa bungkamnya kepada Komite Etik KPK mengaku bahwa CDR itu identik dengan Chandra M Hamzah. Dalam pengakuan lainnya, Nazar juga mengatakan bahwa dia pernah melakukan lima kali pertemuan rahasia dengan Chandra M Hamzah dan Ade Raharja dalam kaitannya dengan proyek e-KTP dan seragam baju hansip senilai Rp 7 triliun. Pertemuan-pertemuan itu dilakukan dimaksud untuk menyerahkan sejumlah uang dari pemilik perusahaan pemenang tender kedua proyek tersebut. Katanya, bagian Chandra US$100.000, yang belum sempat diserahkan.

Dalam dua kasus penyuapan dengan aktor utamanya Anggodo Widjojo dan Nazaruddin ini, entah ini juga kebetulan ataukah bukan, muncul informasi yang sama: Kedua pelaku penyuapan ini sama-sama ingin membunuh Chandra M Hamzah.

Sebenarnya, kalau mau dilihat dari urgensi membunuh Chandra, apa sih sebenarnya keuntungan bagi Anggodo dan Nazaruddin? Selain karena mungkin saking jengkelnya mereka berdua kepada Chandra?
Biasanya, kalau orang mau membunuh orang lain itu maksudnya adalah untuk membungkam selamanya orang tersebut. Karena orang tersebut menyimpan rahasia tertentu yang berbahaya bagi dirinya. Adakah syarat ini dipenuhi oleh Chandra? Apakah rahasia berbahaya yang dimiliki oleh Chandra yang dapat membahayakan Anggodo dan Nazaruddin? Justru sebaliknya, dua orang inilah yang sesungguhnya menyimpan rahasia yang berbahaya bagi reputasi Chandra sebagai seorang pimpinan KPK. Rahasia mana telah mereka ungkapkan menurut versi mereka.

*

Selain kasus-kasus penyuapan tersebut di atas, lagi-lagi nama Chandra M Hamzah pernah disebut-sebut, ketika KPK tidak kunjung melakukan pemeriksaan terhadap PT Garuda Indonesia. Padahal laporan-laporan dugaan terjadinya kasus korupsi di perusahaan penerbangan terbesar milik negara itu sudah dilaporkan lama sekali. Karena laporan-laporannya tak kunjung ditindaklanjuti KPK, maka Dewan Pimpinan Pusat Serikat Karyawan PT Garuda Indonesia (Sekarga) pernah pada 18 April 2011 mendatangi dan menyerahkan suratnya kepada KPK yang menanyai nasib laporan mereka itu.

Ada tiga laporan dugaan korupsi di PT Garuda Indonesia yang pernah disampaikan oleh Dewan Pimpinan Pusat Sekarga kepada KPK. Yakni, yang pertama, laporan tanggal 7 Januari 2009 tentang indikasi penyimpangan atas restrukturisasi kredit Garuda Indonesia di Bank BNI sebesar Rp. 270 miliar.

Dalam laporan itu antara lain disebutkan bahwa pada masa Abdulgani menjadi direktur utama Garuda, ada pinjaman Garuda di Bank BNI sebesar Rp 270 miliar dengan bunga pinjaman 1,5 persen per bulan. Tetapi dalam perjalanan pembayaran cicilan tersebut oleh direktur keuangan Garuda saat itu Emirsyah Satar (kini direktur utama Garuda) melakukan perubahan, sehingga bunga cicilan yang dibayar menjadi 2,5 persen per bulan. Diduga ada tindak pidana di sini.

Kedua, laporan tanggal 20 Januari 2010 tentang indikasi adanya penyimpangan biaya promosi Garuda.

Ketiga, laporan tanggal 15 Desember 2010 tentang indikasi penyimpangan pengelolaan sistem IT di Garuda. Semula biayanya sekitar Rp 1,3 miliar - Rp. 3 miliar per bulan ketika dikelola sendiri. Sejak 2005-2009 ketika dilakukan kerjasama dengan Lufthansa System biayanya melonjak menjadi Rp. 9,2 miliar per bulan. Lufthansa dinilai serikat pekerja Garuda bukanlah pemain di bidang bisnis IT penerbangan, dan dinilai gagal membangun sistem yang dijanjikan padahal dalam perjanjian dijanjikan upgrade sistem IT Garuda (matanews.com, 25 April 2011).

Namun anehnya, KPK tak kunjung bergerak. Ternyata, selama ini Garuda telah melakukan kerjasama dengan firma hukum Assegaf Hamzah & Rekan. Firma hukum tersebut menjadi konsultan hukum resmi dari Garuda Indonesia. Dan yang mengejutkan sekaligus membuat muncul dugaan penyebab tak kunjung bergeraknya KPK memeriksa Garuda adalah ternyata salah satu pendiri dan pemilik firma hukum itu adalah Chandra M Hamzah, sang Wakil Ketua KPK. Diduga kuat Chandra-lah sebagai penyebab terhambatnya KPK melakukan pemeriksaan terhadap Garuda.

Meskipun Chandra pernah membela diri dengan mengatakan bahwa dia sudah tidak lagi di firma hukum tersebut sejak menjadi Wakil Ketua KPK, tetapi apakah sungguh-sungguh setelah itu tidak ada kaitan sedikitpun antara dirinya dengan firma hukum yang dia didirikan itu? Apakah dengan keluar dari firma itu dijamin sedikitpun tidak ada konflik kepentingan di dalamnya ketika KPK harus memeriksa Garuda, sedangkan firma hukum tersebut masih menjadi rekanan Garuda?

Kalau pun benar demikian, lalu pertanyaannya: Kenapa KPK sedemikian lama tak kunjung mau memeriksa Garuda Indonesia? Padahal laporan-laporan yang masuk sudah cukup dijadikan bukti permulaannya?

*

Ketika Nazaruddin berhasil ditangkap dan dipulangkan dari Kolumbia pun, lagi-lagi nama Chandra M Hamzah menjadi perhatian.

Pertama, ketika Nazaruddin diserahkan kepada KPK. Dalam pernyataannya semula pihak KPK mengatakan bahwa Wakil Ketua KPK Chandara M Hamzah tetap diizinkan memeriksa Nazaruddin. Padahal nama Chandra ikut disebut-sebutkan Nazaruddiin sebagai penerima suap dari Nazaruddin. Bagaimana bisa Chandra ikut memeriksa dia?

Setelah muncul beberapa protes, barulah KPK meralat pernyataannya dengan mengatakan Chandra tidak diizinkan ikut memeriksa Nazaruddin.

Yang kedua adalah ketika segel tas Nazaruddin dibuka, dan isi tasnya dikeluarkan semuanya dalam jumpa pers yang dilakukan KPK. Pada waktu itu, lagi-lagi orang merasa janggal, kenapa Chandra M Hamzah ikut hadir dan duduk di sana. Bukankah, kala itu, ditenggarai pula isi tas tersebut berisi bukti-bukti antara lain tentang pertemuan rahasia Nazaruddin dengan dia?

Tetapi lepas dari boleh-tidaknya Chandra ikut hadir sewaktu tas tersebut dibuka di depan publik, kalau kita memperhatikan dengan saksama wajah-wajah pejabat yang hadir di sana, siapakah yang kelihatan sekali berwajah tegang? Bahkan sangat tegang?

Kebetulan saya memperhatikannya melalui siaran langsung televisi waktu itu. Dia yang berwajah sangat tegang waktu itu bukan orang lain, lagi-lagi adalah Chandra M Hamzah. Mungkin Anda tidak sempat memperhatikannya, tetapi dari wajah-wajah Chandra yang terekam di gambar yang saya sertakan di bawah ini bisa membuat Anda mengambil kesimpulan sendiri.



Kenapa Chandra setegang itu, kalau benar dan sungguh yakin tidak ada apa-apa antara dia dengan Nazaruddin, dengan semua isi barang di dalam tas tersebut? Sekarang, kembali ke pertanyaan awal: Apakah hanya kebetulan, kalau di hampir setiap kali kasus hukum yang menuding orang KPK itu terlibat, nama Chandra M Hamzah selalu disebut?



Apakah publik selama ini telah tertipu dengan pernah mendukung dan mengangkat sosok Chandra M Hamzah sebagai salah satu tokoh pahlawan terbersih pembasmi kejahatan korupsi? Apakah sedikitnya satu juta orang di Face Book yang pernah tergabung dalam “Gerakan 1.000.000 Facebookers Dukung Chandra Hamzah” ternyata telah mendukung orang yang salah?


Apakah Chandra M Hamzah itu, musuh ataukah sahabat Koruptor? ***


Oleh Daniel H.T.
Sumber: Kompasiana

Friday, September 9, 2011

QudSI


aku adalah mutiara yang tersembunyi,
tirai dan hazanah adalah singgasana keangkuhanku.

aku bersabda melalui puisi,
aku dikenali melalui arti.

makna dan ambigu,
ketidak-mengertian adalah hakikat keberadaanku.

aku ditafsir seribu pencinta,
tapi yang mencinta tak akan pernah mengerti cintaku.

aku,
aku adalah sang rusa pendiksi.

cinta adalah diriku,
dan nafa...


By. Shiny Ane

Monday, September 5, 2011

Jenis - jenis Minuman Keras



Di bawah ini hanya sekedar informasi jenis - jenis minuman keras sangat banyak jenisnya jenis - jenis minuman keras hanya untuk sekedar pengetahuan dan jangan disalahgunakan, adapaun jenis minuman keras tersebut yaitu :


Bourbon/Wisky
Bourbon adalah sebutan untuk wiski khas Amerika yang dibuat di Bourbon County, Kentucky, Amerika Serikat. Menurut hukum AS, bahan baku bourbon harus paling sedikit terdiri dari 51% jagung, dan selebihnya hingga sekitar 70% adalah gandum dan/atau rye, serta malt (jelai yang dibuat berkecambah).


Liqueur
Liqueur terkenal paling fleksibel dan dapat diminum dengan berbagai cara. Mau diminum begitu saja, dicampur dengan jenis lain hingga on the rocks. Tak heran tak ada yang mengalahkan jumlah variasi minuman liqueur dalam jajaran minuman beralkohol lainnya. Liqueur juga biasa diminum sebagai digestif, bahkan dicampur ke dalam kopi. Yang paling terkenal tentu Margarita, campuran liqueur Grand Marnier atau Cointreau. Contoh lain yang paling sering dipesan di bar adalah Screwdriver (campuran vodka dan orange juice).

Brandy
Tak ada yang tak kenal Cognac atau Remy Martin, sejenis brandy yang biasa dikemas dalam botol kristal mewah. Cognac paling muda dikenal dengan istilah VS (very superior), berumur sekitar 3-4 tahun. Sedang jenis lain XO atau Napoleon berumur lebih tua, setidaknya 6 tahun. Tak heran harganya pun jauh lebih mahal.

Cognac bisa diminum begitu saja atau dengan campuran. Misalnya mineral water, tonic, cola bahkan ginger ale! Bahkan di China, cognac terkenal sebagai salah satu aphrodisiac. Minuman cocktail dari brandy yang terkenal misalnya: California Kiss campuran brandy California dan Galliano liqueur), atau Armagnac Daisy (campuran Janneau VS armagnac, jus lemon, grenadine, dan Perrier).

Tequila 

Sebelum Margarita populer, dulunya bangsa Meksiko gemar mencampur Tequilla dengan jus tomat, jus lemon, jus jeruk, madu, chili, tabasco, dan saos menjadi sejenis cocktail bernama Sangrita. Selain Margarita dan sangrita, masih ada minuman coctail lain yang perlu dicoba: Tequilla Sunrise (campuran blanco tequilla, jus jeruk, grenadine). Di Mexico, tequilla biasa diminum dengan hidangan hors d’oeuvre.
Gin
Gin banyak dipakai dalam long drinks dan cocktail, dan tak ada yang mengalahkan Gin and Tonic (G&T). Meski berasal dari Amerika Selatan, tapi orang Inggris mempopulerkan gin yang dicampur tonic water sebagai social drink. Selain dicampur dengan tonic, gin juga enak dipadukan dengan cola. Minuman cocktail yang terbuat dari gin misalnya Gin & Sin (campuran gin, jus lemon, jus jeruk, grenadine). Sedang pink cocktail dari Raffles Hotel bernama Singapore Sling (campuran gin, cherry brandy, jus nanas, jus jeruk nipis, Cointreau, Benedictine liqueur, grenadine, Angosturra bitters) dulu biasa digunakan pria untuk menarik perhatian para wanita.


Vodka
Vodka sangat terkenal di negara-negara Eropa dan berkadar alkohol tinggi. Biasanya rata-rata mengandung alkohol sekitar 40-50 persen abv (alcohol by volume). Bahkan vodka dari Rusia, Spyritus Rektyfikowany, mengandung kadar alkohol hingga 95 persen! Biarpun termasuk golongan minuman keras, di Eropa vodka biasa diminum dengan hidangan makan malam, seperti caviar dan menu seafood. Menurut kepercayaan Polandia, vodka bisa memperlancar pencernakan.

Vodka Inggris yang tanpa aroma biasanya dicampur dengan minuman lain, untuk menjaga aroma dan rasa campuran itu. Minuman cocktail vodka yang terkenal misalnya Cosmopolitan (campuran vodka, Cointreau, jus cranberry, jus jeruk dan orange bitters) dan Mirage (campuran vodka dengan jus jeruk nipis, jus lemon, ginger beer, strawberry liqueur). 



Saturday, August 20, 2011

Demokratisasi, Pemilukada dan Pengawasan Masyarakat

Oleh: Arie Sujito

Demokratisasi dan Pemilukada
Perhelatan politik mutakhir yang menjadi perhatian banyak pihak saat ini adalah pemilihan kepada daerah (Pemilukada) langsung. Dalam skema otonomi daerah, desentralisasi dan demokratisasi, Pemilukada ini memiliki makna strategis, khususnya berkenaan dengan agenda reformasi tata pemerintahan (governance reform).Pengalaman politik representasi yang diperankan DPR/D dalam hal pemilihan kepala negara atau daerah, nampaknya tidak memuaskan aspirasi masyarakat, karena kecenderungan lahirnya praktik manipulasi yang didorong oleh insterest politisi di parlemen itu. Melalui Pemilukada ini, secara normatif suara rakyat memperoleh keleluasaan terartikulasi. Institusional set-upsemacam itu mendasarkan keyakinan akan berkurangnya peluang keculasan, karena disana rakyat berkesempatan memilih sesuai kehendaknya, dibandingkan mewakilkannya kepada anggota parlemen. Lebih dari sekadar prosesi atau ritus politik, Pemilukada menjadi medan pertarungan antar kekuatan politik di masyarakat. Jika menggunakan mekanisme demokrasi secara benar maka hal ini menentukan prospek terbentuknya bangunan kekuasaan lima tahun mendatang.
Berdasarkan evaluasi sejauh ini mengenai proses elektoral, kita saksikan muncul gejala kemerosotan kualitas demokrasi. Misalnya menurunnya kepercayaan masyarakat pada instrumen-instrumen politik strategis seperti pada parpol dan parlemen, bahkan juga kepada rezim yang tengah memerintah. Kendatipun angka “partisipasi” pemilih tergolong tinggi, namun kualitas partisipasi masih dipertanyakan. Sekadar catatan: dalam pengalaman untuk ketiga kalinya sejak diterapkan Pemilukada langsung ternyata terjadi trend penurunan jumlah pemilih di berbagai daerah. Berbagai pelanggaran selama pemilu dan pembelokan arah perubahan pasca pemilu adalah sekian banyak bukti indikasi kemerosotan kualitas demokrasi di era sekarang. Secara umum, hal ini terjadi karena gagalnya proses transformasi demokrasi prosedural-formalis menuju demokrasi substantif, menurunkan keyakinan rakyat mengenai perubahan melalui sistem elektoral itu.
Pertanyaannya adalah (1) apakah Pemilukada ini akan berkontribusi pada kemajuan signifikan yang sekaligus mampu menjawab problem politik representasi yang gagal pada fase sebelumnya? Ataukah, justeru sebaliknya Pemilukada kian menebalkan keraguan rakyat pada perubahan sekaligus menjadi petunjuk gejala titik balik demokrasi? (2) Apakah Pemilukada ini mampu mendongkrak, lalu melahirkan terobosan baru bagi upaya peningkatan kualitas civic education? (3) bagaimana strategi untuk menuju perbaikan kualitas Pemilukada yang bertumpu pada pengawasan rakyat sebagai pemilih? (4) apa usulan untuk memperbaiki kualitas Pemilukada untuk demokrasi yang bermakna?
Normatif vs empirik
Pemilukada ini memang berkehendak baik, agar kekuasaan lahir dan terbentuk dari bawah dengan cara dipilih langsung. Calon Gubernur, Bupati atau Walikota, sebagaimana pemilu kepala daerah maupun presiden sebelum-sebelumnya, dikondisikan untuk berinteraksi langsung dengan pemilih (rakyat) dan bukan sekadar kepada parlemen yang seringkali hanya diwarnai bau konspiratif dan elitis. Penilaian mengenai trackrecord, kualitas program, keseriusan dan komitmen calon pemimpin daerah diuji oleh publik dengan harapan masyarakat mengenali siapa yang layak dipercaya memegang kekuasaan untuk masa lima tahun mendatang. Karena strategisnya proses ini, maka membutuhkan pertimbangan-pertimbangan rasional dan berhati-hati dalam menjatuhkan pilihan, dengan prinsip mengurangi tingkat spekulasi agar tidak terperosok pada praktik “memilih kucing dalam karung”.
Dalam aturannya, kewenangan mengajukan bakal calon hanyalah ditangan parpol, itupun dengan mensyaratkan bagi parpol yang mendapatkan perolehan kursi minim 15%, atau dengan mekanisme gabungan antar parpol kecil (baik yang memperoleh kursi maupun tidak). Kemudian diubah, berdasarkan keputusan Mahkamah konstitusi (MK) diperbolehkannya calon independen (non parpol). Dalam Pemilukada ini, parpol dan kelompok atau organisasi masyarakat memiliki peluang sama memegang peran strategis untuk mengajukan calon. Jauh diatas spirit normatif itu, sayangnya parpol-parpol yang berkompetisi dan diharapkan menjadi mesin efektif pelaksanaan Pemilukada memang belum sesuai harapan. Pada umumnya parpol belum melakukan reformasi internal dengan cara memperbaiki struktur, program dan komitmennya dalam menjalankan demokrasi secara lebih baik. Mulai dari problem oligarkhi, perilaku korupsi, sampai rendahnya komitmen pada aspirasi pemilih. Tentu hal-hal tersebut menjadi masalah yang terus menghantui para pemilih jikalau dalam skema Pemilukada para parpol itu memiliki peran kunci. Partai-partai besar seperti PD, PDIP, Golkar, serta parpol sedang diantaranya PKB, PAN, PPP, PKS dst sejauh ini dalam mekanisme hubungan kelembagaan internal parpol sendiri masih terasa “kurang sehat” karena menggunakan cara-cara “komando” yakni determinasi kepentingan pengurus pusat atas aspirasi daerah. Mekanisme internal partai semacam itu rawan konspirasi dan manipulasi, karena mendistorsi aspirasi dari bawah dan mengurangi nilai demokrasi.
Demikian pula calon independen, juga tidak mudah mengais suara, karena ikatan sosial asosiasi warga dalam proses politik pemilu tidak mudah. Selain pendidikan politik belum berjalan dengan baik, faktor penurunan kepercayaan pada praktik pemilu juga terjadi. Tantangan serius dihadapi oleh calon independen, karena kecenderungan politik yang transaksional dan pragmatis membuat daya ungkit calon independen menghadapi kendala yang cukup berat. Jika gebrakan pendidikan politik dilakukan dengan baik, maka calon independen tentu menjadi jawaban alternatif yang layak diperhitungkan.
Dalam beberapa episode Pemilukada akhir-akhir ini nampaknyamakin menggejala gelagat “perdagangan politik” ditubuh parpol(politisi), yakni menggejalanya tindak pemerasan (uang dan janji jabatan) saat pengajuan bakal calon. Kendatipun atas nama kepentingan menghidupi parpol (padahal kecenderungan faktanya hanya untuk kepentingan elit parpol dan politisi itu), cara-cara ini jelas menutup peluang bagi mereka yang berkualitas baik tetapi tidak memiliki kecukupan modal (uang) dalam persaingan. Itulah distorsi nilai demokrasi yang menjadi paradoks dalam Pemilukada.Demikian pula, petualang dan pialang politik juga memanfaatkan calon independen untuk mendapatkan keuntungan ekonomi dalam proses elektoral yang transaksional. Wajar jika fakta-fakta itu kian menyusutkan partisipasi warga dalam Pemilukada.
Jika kita ringkas, berdasarkan pengalaman Pemilukada yang telah digelar di berbagai daerah, ternyata diliputi kecenderungan masalah serius, diantaranya: (1) makin terbuka dan ditoleransinya praktik money politic, yang terjadi antara pengurus parpol dan kandidat, serta antara politisi (tim) dengan pemilih. (2) seringnya sengketa hukum akibat penyelenggaraan Pemilukada yang buruk, ditandai perselisihan berlarut-larut antar kontestan kemudian dibawa ke Mahkamah Konstitusi. (3) maraknya konflik dan kekerasan massa pendukung yang kadangkala merembet pada perilaku distruktif, sehingga mengurangi makna dan kualitas Pemilukada. (4) ragam tindak keculasan dan manipulasi, baik itu bagian dari grand design kontestan, pendukung, maupun penyelenggara teknis (KPU, atau KPUD). Atas rangkaian masalah itu semua, dampak yang muncul adalah kecenderungan meningkatnya apatisme dan pragmatisme politik.
Demoralisasi politik
Kita menyaksikan, kenyataan gejala massif terputusnya hubungan massa dengan parpol serta kemerosotan kepercayaan warga atas proses politik yang terus meluap dan tidak segera diatasi atau diselesaikan, maka dikhawatirkan Pemilukada tidak mampu mendongkrak partisipasi dan harapan masyarakat. Dalam kondisi semacam inilah kemungkinannya ada dua hal; pertama, terjadi gelombang pembangkangan melalui golput, ataukah kedua,menebalnya pragmatisme dengan praktik money politic yang kian liar. Dari pengalaman daerah-daerah yang menyelenggarakan Pemilukada selalu menjadi masalah yang memprihatinkan, sekaligus ironis. Betapapun aturan main sudah jelas, soal transparansi, kejujuran, anti money politic, non-violence dst, tetapi implementasi Pemilukada selalu dalam bayang-bayang manipulasi.
Kenyataan semacam ini jelas akan mengurangi makna strategis dan bobot demokrasi, atau berpotensi menjadi “demoralisasi politik”. Itulah yang dimaksudkan dengan kesenjangan antara arus formal dan arus substansial, karena Pemilukada nampaknya hanya bersandar pada institusional set-up (prosedural) tetapi mengabaikan keadaan struktural-empirik masyarakat (pemilih). Para politisi dan aktivis parpol nampaknya tidak sensitif pada keadaan semacam ini. Atau barangkali justru “menikmati” ketidakberesan arus politik yang terjadi. Jawaban atas masalah itu akan bisa mempengaruhi situasi, prospek atau masa depan perpolitikan daerah, antara perbaikan kualitas demokrasi lokal, ataukah menjadi titik balik hancurnya kepercayaan masyarakat pada demokrasi. Dengan begitu, jika gagal diterapkannya prinsip-prinsip demokrasi (partisipasi kritis, transparansi, konrol dan akuntabilitas) maka Pemilukada yang akan kita gelar kali ini juga sama halnya mengulang keadaan pemilu-pemilu sebelumnya, hanya menyedot energi rakyat dengan menghasilkan pemimpin yang “merasa kuat” karena dipilih rakyat, tetapi produk Pemilukada tidak menjadi garansi bupati atau walikota berpihak pada rakyat.
Pengawasan Masyarakat
Masyarakat sipil yang kritis dan aktif, bukan saja sekadar berperan memanfaatkan hak pilih melalui partisipasi di bilik suara saat Pemilukada. Namun, lebih-lebih kemampuan dirinya untuk mengontrol atau mengawasi jalannya Pemilukada secara keseluruhan. Tujuannya memastikan agar Pemilukada benar-benar berkualitas. Pengawasan ini sangat berharga dan penting artinya, karena beberapa alasan; (1) agar masyarakat sebagai pemilih benar-benar menjadi subjek politik yang menentukan, bukan sebagai objek yang seringkali diperalat secara manipulatif oleh pihak kontestan dan timnya, atau penyelenggara Pemilukada; (2) agar jalannya Pemilukada sesuai jalurnya, baik secara prosedural (berdasarkan peraturan) maupun nilai-nilai prinsip seperti kejujuran, adil, tanpa kekerasan, akuntabel, cerdas dan elegan; (3) agar pemilukada menjamin proses demokrasi bermakna positif (tidak sia-sia), jangan sampai hanya sekadar “ritual dan mekanis” kegiatan rutin-periodik lima tahunan.
Dalam hal pengawasan Pemilukada, dilakukan oleh empat pihak utama; (1) Panitia Pengawas (Panwas) yang melekat secara kelembagaan bagian dari skema penyelenggaraan pemilu; (2) Masyarakat sipil sebagai pemilih yang memiliki kedaulatan dalam Pemilukada; (3) Parpol sebagai agen institusional yang secara otoritatif formal berkepentingan pada jalannya Pemilukada; (4) Media massa, sebagai pilar dan institusi yang memungkinkan dilakukan upaya transparansi dan perluasan informasi kepada masyarakat.
Bagaimana masyarakat melakukan pengawasan? (1) di level basis atau komunitas, pemilih perlu membentuk kelompok pengawas yang berfungsi memantau jalannya Pemilukada, di berbagai tahapan pada dilingkungan dimana mereka tinggal. Pada prinsipnya diperlukan kesadaran kritis masyarakat baik pada tingkat individual (menjadi pemilih kritis) dan level kolektif (menjadi warga negara dan subjek politik), yang berperan aktif dan “merasa berkepentingan” pada jalannya Pemilukada yang berkualitas; (2) membangun jaringan antar komunitas untuk keperluan tukar menukar informasi serta merajut kepentingan bersama sesama pemilih, agar terwujud derajat relatif otonom sebagai pemilih tidak sekadar dikendalikan oleh kontestan; (3) menjalankan pendidikan politik untuk warga sebagai pemilih. Meskipun menggunakan suara dalam Pemilukada “sebagai hak”, akan tetapi hendaknya pemanfaatan hak didasari kalkulasi dampak atau risiko suatu pilihan, karenanya pemilih harus diyakinkan bagaimana memilih secara rasional, cerdas, dan melalui pertimbangan “nilai-nilai” demokrasi dan keyakinan diri yang tidak manipulatif.
Fase-fase apa yang perlu diawasi, dan dalam hal apa? (1) Pendaftaran pemilih. Masyarakat hendaknya berperan aktif pada masa pendaftaran pemilih, tanpa harus tergantung KPUD. Bagaimanapun, tugas utama teknis memang oleh KPUD, tetapi kunci suksesnya juga ditentukan oleh kesadaran dan kemampuan pemilih berinisiatif, jangan haknya sebagai pemilih “hilang atau disembunyikan”; (2) Pengumuman daftar pemilih sementara dan tetap. Data yang dipakai, berdasarkan pengalaman selalu bermasalah dan out of date, sehingga rawan kekeliruan atau bahkan manipulasi, oleh siapapun juga. Untuk itu masyarakat sebagai pemilih hendaknya memperhatikan fase pengumuman ini untuk memastikan dirinya sebagai pemilih telah tercantum dan mendapatkan kartu pemilih; (3) Selama masa kampanye berlangsung. Fase ini seringkali terjadi pelanggaran, dan oleh karena itu pemilih harus berperan aktif memanfaatkan waktu kampanye sebaik mungkin. Ukuran pelanggaran bukan semata didasarkan pada aturan formal Pemilukada, tetapi yang lebih penting bagi pemilih adalah rujukan moralitas dan integritas diri penyelenggaraan pemilu yang jujur, elegan, cerdas, dan manusiawi; (4) Saat proses pemilihan (pemberian suara). Tahap ini perlu dipastikan agar tidak terjadi intimidasi, praktik penyuapan, serta ragam manipulasi pada pemilih; (5) Proses penghitungan sampai dengan penetapan hasil. Sebagai tahapan menentukan bagaimana kejujuran dipertaruhkan. Pemilih seringkali “kelewatan dan kecurian” karena kurangnya memperhatikan proses penghitungan sampai penetapan hasil, yang kadang rawan transaksional dan perubahan angka, yang berarti manipulasi suara oleh pihak-pihak manapun yang memanfaatkan situasi ketidakpekaan masyarakat.
Agenda Strategis
Untuk menuju Pemilukada berkualitas agar demokrasi bermakna, berikut ini beberapa hal penting yang perlu dipertimbangkan.
Pertama, perlunya memperkuat bargaining position rakyat dalam proses politik di tingkat lokal, untuk menghindari terjadinya distorsi partisipasi. Kendatipun partisipasi menjadi syarat berdemokrasi secara formal, namun dalam Pemilukada nanti partisipasi harus berorientasi lebih kritis, progresif dan terkonsolidasi. Partispasi bukan hanya perpijak pada kesadaran individual warga dan tidak pula hanya formalitas, namun hendaknya ditransformasikan menjadi kekuatan kolektif dengan cara memperkuat organisasi-organisasi kewargaan (politisasi rakyat) menghadapi arena Pemilukada. Pilihan aktivitas seperti pengawasan Pemilukada oleh masyarakat, mendorong dan memperkuat partisipasi kritis pemilih, serta model kontrak politik barangkali perlu diupayakan lagi dengan kualitas yang lebih maju.
Kedua, mencegah dan mengantisipasi kekerasan antar warga sebagai pemilih, yakni melalui cara pengelolaan, resolusi dan transformasi segala potensi dan bentuk aktual konflik agar tidak mengarah menjadi kekerasan. Berdasarkan pengalaman dalam pemilu sejauh ini, potensi kekerasan di masyarakat justeru sebagian besar bersumber dari ulah elit politik dengan cara-cara mobilisasi dan manipulasi atas partisipasi dengan memanfaatkan pragmatisme serta ketidakberdayaan warga. Kerentanan warga atas manipulasi elit politik perlu segera diatasi dengan membangun sejak awal aliansi-aliansi warga lintas komunitas, atau lintas sektor dengan basis kepentingan dan program yang sama. Dengan cara ini warga dikondisikan membangun solidaritas bersama atau bersatau, dibanding sentimen kelompok.
Ketiga, memastikan agar terjadinya perubahan menuju kondisi yang lebih baik pasca Pemilukada. Selain memikirkan proses pemilu, antisipasi pasca pemilu juga harus dilakukan demi mencegah kecenderungan ingkar para tokoh terpilih kepada rakyatnya. Caranya, masyarakat sipil didorong untuk aktif melakukan kontrol atas jalannya kekuasaan secara berkelanjutan melalui model extra-parlementer. Memperkuat kapasitas organisasi sipil sebagai bagian proses mengawal agenda kontrak politik yang telah dilakukan, bahkan juga membangun jembatan atau aliansi strategis masyarakat sipil dan parlemen lokal.
***