Penangkapan terhadap Hakim Syarifuddin oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menunjukkan betapa bobroknya lembaga peradilan di Indonesia. Secara terang benderang publik melihat borok di lembaga peradilan tanah air dan semakin tidak mempercayai lembaga tersebut.
Indonesia Corruption Watch (ICW) dalam penelitiannya menemukan adanya pola mafia peradilan yang terjadi dari tingkat pertama, banding, sampai kasasi. Peneliti ICW, Febri Diansyah, Minggu (5/6/2011), di kantor ICW, Jakarta, menjelaskan bahwa di dalam tahap mendaftarkan perkara, pola terjadi yakni permintaan uang jasa. "Uang itu ditujukan agar perkara mendapatkan nomor perkara awal, jadi panitera harus diberikan uang pelicin," ungkap Febri. Di dalam tahap persidangan, pola mafia peradilan yang dilakukan yakni dengan penentuan majelis hakim favorit. Biasanya untuk perkara-perkara "basah", ketua PN akan turun tangan dan bertindak langsung sebagai ketua majelis hakim. Selanjutnya, panitera diminta menghubungi hakim tertentu yang bisa diajak kerja sama. Pengacara langsung bertemu dengan ketua PN untuk menentukan majelis hakim. Pada tahapan putusan, pola mafia yang dilakukan adalah dengan menegosiasikan putusan. Vonis dapat diatur melalui jaksa dalam sistem paket atau langsung ke hakim. Lalu, hakim meminta uang kepada terdakwa dengan imbalan akan meringankan vonis. Modus yang dilakukan juga dengan menunda putusan sebagai isyarat agar terdakwa menghubungi hakim. Negosiasi lain yang diambil adalah terdakwa tidak perlu hadir saat pembacaan putusan karena semua sudah diurus pengacara.Dalam hal ini, uang dapat mengatur hakim untuk melanggar batasan hukum minimal yang diatur undang-undang. Selain itu, di dalam proses peradilan banding, pola mafia peradilan terjadi saat menegosiasikan putusan. "Mereka bisa langsung menghubungi hakim untuk memengaruhi putusan," tutur Febri.
Melalui kasus Syarifuddin, publik melihat bahwa penegakan hukum di negeri ini berada di tubir jurang kegagalan. Penangkapan Syarifuddin semakin membuktikan hukum tidak berjalan karena lembaga yang mesti mengawalnya malah korup.
Ada dua titik yang paling bahaya kalau dijangkiti oleh korupsi. Pertama, sektor penegakan hukum karena dia mengawal, memutus, dan memproses kejahatan. Sektor kedua adalah politik karena sektor ini menempatkan orang sebagai menteri dan birokrasi kelas atas yang hari ini mengambil keputusan di negeri ini. Kalau dari penegak hukum, polisi dengan rekening gendutnya, kejaksaan antara lain dengan kasus jaksa Urip Tri Gunawan. Sekarang juga terjadi di pengadilan. Makanya, ini bukan lagi persoalan personal individu penegak hukum, tetapi sudah kelembagaan. Setelah reformasi kekuasaan kehakiman memang tak lagi diintervensi oleh eksekutif karena Mahkamah Agung (MA) berdiri sendiri sebagai cabang kekuasaan negara yang mandiri. Namun, kekuasaan kehakiman tak mendapat pengawasan eksternal dengan bagus meski konstitusi memberi peluang terhadap Komisi Yudisial (KY) mengawasi hakim. Di tengah perjalanan, KY dilemahkan. Beberapa kewenangannya dibatalkan oleh MK dan, ironinya, pemohonnya saat itu adalah sejumlah hakim agung. Selain itu, masih ada pula resistensi dari status quo di MA. Keberadaan KY tidak sebagai partner memperbaiki institusi pengadilan. MA malah resisten dan tak mau diawasi, malah ada instruksi agar hakim agung tak usah menghadiri panggilan KY.
Di kepolisian dan kejaksaan juga tak banyak berbeda. Malah Presiden sebagai pemegang kekuasaan eksekutif tertinggi seperti tak banyak berbuat terhadap kasus yang mendera kepolisian dan kejaksaan. Kasus rekening gendut di kepolisian tak pernah ditindaklanjuti. Sementara di kejaksaan, Presiden tak mampu menunjuk jaksa agung yang punya iktikad dan komitmen terhadap pemberantasan korupsi. Penangkapan politisi, jaksa, dan hakim semestinya jadi catatan Presiden membersihkan institusi yang ada di bawahnya langsung. Presiden tak berupaya maksimal saat ada kasus rekening gendut di kepolisian. Dalam kasus jaksa bermasalah, Presiden tak punya iktikad untuk memilih jaksa agung yang punya komitmen dan tanpa kompromi memberantas korupsi.
Link: Inilah Pola Mafia Peradilan
Link: Inilah Pola Mafia Peradilan
No comments:
Post a Comment