A. Pengantar
Tidak ada sesuatu pun berkembang tanpa bantuan orang atau kelompok lain. Demikian juga terjadi dalam suatu kebudayaan atau peradaban. Jika kebudayaan atau peradaban ini ingin maju, maka salah satu cara yang terbaik adalah berhubungan dengan kelompok yang ada di luar dirinya. Hal ini nampak jelas dalam masyarakat Jepang. Seandainya masyarakat Jepang tetap menutup diri tarhadap dunia luar maka kemungkinan besar Jepang tidak akan maju seperti sekarang ini.
Hal yang sama juga dialami oleh umat Islam. Para tokoh modernis Islam menyadari bahwa Islam tidak akan maju kalau Islam tidak menerima, meminjam, menyerap, dan mengambil alih unsur-unsur positif dari kebudayaan lain dan memasukanya kedalam kebudayaanya sendiri. Berkat kesadaran ini maka sejak awal pertumbuhannya peradaban Islam tidak mengalami kesulitan untuk membangun hubungan antara dunia Arab-Islam dengan dunia sekitarnya. Bahkan Al-Quran mendorong umat Islam generasi awal untuk menimba, mengambilalih dan memanfaatkan khazanah intelektual budaya dan peradaban yang mendahuluinya.
Usaha pertama yang dilakukan oleh para intelektual Islam adalah menerjemahkan khazanah intelektual Yunani kuno kemudian diserap kedalam khazanah intelektual Islam. Pada awalnya proses penyerapan ini mendapat banyak tantangan dari tokoh-tokoh konservatif yang tidak menginginkan supaya Islam menyerap kebudayaan lain karena dianggap tidak sesuai dengan nilai-nilai islami. Salah seorang filsuf Islam yang sangat berpengaruh dalam perkembangan filsafat Islam adalah Al-Farabi. Disini penulis akan menguraikan tentang siapa itu Al-Farabi, pemikiran dan pengaruhnya bagi perkembangan filsafat Islam.
Dalam uraian ini akan diperdalam pemikiran Al-Farabi tentang Negara Utama atau Kota Utama. Dalam kota utama ini Al-Farabi menguraikan bagaimana interaksi antara manusia yang membentuk perkumpulan atau kelompok yang didalamnya bertujuan untuk bekerjasama dalam mendapatkan kebahagiaan yang sesungguhnya.
B. Bibliografi Singkat dan Karya-Karya Al-Farabi
Al-Farabi (259-339 H/ 872-950 M) lahir di desa Wasij, selatan Samarkant-Asia tengah. Ayahnya adalah seorang opsir tentara keturunan Persia. Kemudian ia Hijrah bersama kedua orang tuanya ke Baghdad. Di sana ia mencapai kematangan yang maksimal dalam ilmu pengetahuanya. Al-Farabi meninggalkan Baghdad untuk selamanya setelah Jenderal Tuzun dari Dialam membunuh Khalifah Muttaqi pada tahun 940. Ia mendapat gelar kehormatan sebagai guru yang kedua dimana guru yang pertama dialamatkan kepada Aristoteles. Hal ini terjadi karena ia adalah tokoh yang paling terkemuka dalam bidang logika dan lainya.
Karya-karya Al-Farabi antara lain: Kitab Ara Ahl al-Madinah al-Fadilah(tentang pandangan-pandangan penduduk Kota Utama) Kitab Ihsa al-Ulum(tentang perincian pengetahuan) Risalah fi al-Aql (tentang akal) Risalah fi Isbat al-Mufariqat (tentang wujud-wujud rohaniah) Tahsil as-Sa adah (tentang upaya mewujudkan kebahagiaan), Mah`il Falsaffiyah wa Ajwibah `anha(tentang masalah-masalah filsafat dan jawabanya) al-Ibanah `an Gard Aristutalis (tentang pemikiran Aristoteles) dan kitab at-Taufiq bain Aflatun wa Aristu au al-Jam bain Ra`yai al-Hakimain (tentang persesuaian pendapat Plato dengan Aristoteles).[1]
C. Pemikiran Al-Farabi[1]
a. Tuhan dan Sifat-sifat-Nya.
Al-Farabi dalam menguraikan tentang pandangan politiknya, menyatakan bahwa upaya pertama yang dilakukan oleh manusia adalah mengetahuinya adanya pencipta bagi alam dengan segala bagianya melalui pengamatan, kemudian mempertanyakan apakah masing-masing bagian dari wujud ini mempunyai sebab atau bukan. Melalui proses pengamatan ini orang akan tahu bahwa ada sebab bagi tiap sesuatu. Hendaknya orang mempertanyakan apakah sebab-sebab itu berlanjut tanpa akhir atau atau sebaliknya. Menurut Al-Farabi, adalah mustahil bahwa sebab-sebab itu berlanjut tanpa akhir karena apa yang tak berakhir tidak bisa diketahui. Jadi sebab itu ada akhirnya. Sebab yang paling akhir dari sebab-sebab itu adalah Tuhan Yang Maha Esa.
Untuk mengetahui Tuhan Yang Maha Esa ini adalah mengamati fenomena yang ada di sekitar kita. Maka kita akan menemui dua kenyataan yakni yang utama dan yang hina. Maka yang paling pantas untuk Tuhan Yang Maha Esa adalah sifat yang paling utama. Tuhan Yang Maha Esa menurut Al-Farabi, Maha sempurna, bersih dari segala macam kekurangan, dan suci dari sebab-sebab, seperti sebab materi, sebab bentuk, sebab pelaku, dan sebab tujuan. Ia bukan materi dan karena itu pada hakikatnya ia adalah akal aktual. Ia memikirkan diri-Nya, maka ia adalah akal, aktivitas memikir dan yang dipikirkan secara aktual. Ia adalah pengatur sekalian alam.
b. Penciptaan Alam Secara Emanasi
Menurut Al-Farabi, alam diciptakan oleh Tuhan secara emanasi. Maksudnya bahwa hanya Tuhan saja yang ada dengan sendiri-Nya, tanpa sebab dari luar diri-Nya, oleh karena itu Ia disebut yang harus ada karena diri-Nya sendiri. Dari-Nya memancar segenap alam ciptaanNya baik yang bersifat rohani maupun yang bersifat jasmani. Segenap alam ada karena dipancarkan oleh Tuhan. Emanasi alam dari Tuhan terjadi sebagai akibat aktivitas Tuhan memikirkan diriNya. Hal itu menjadi sebab bagi pemancaran segenap alam ciptaanNya.
Al-Farabi juga memahami alam semesta yang bersifat fisik terdiri atas 10 lapis dengan satu bumi sebagai pusat dan sembilan langit. Dengan mengembangkan teori emanasi Plotinus, Al-Farabi menghasilkan teori emanasi sebagai berikut: Tuhan (wujud I) karena memikirkan diriNya memancarkan akal I (wujud II). Akal I karena memikirkan Tuhan memancarkan akal II (wujud III), karena memikirkan dirinya sendiri memancarkan lingkaran langit pertama. Akal II karena memikirkan Tuhan memancarkan akal III (wujud IV) karena memikirkan dirinya sendiri memancarkan lingkaran langit kedua yang penuh dengan bintang-bintang tetap. Akal III karena memikirkan Tuhan memancarkan akal IV (wujud V) karena memikirkan dirinya sendiri memancarkan lingkaran langit ketiga tempat beradanya bola Saturnus. Akal IV karena memikirkan Tuhan, memancarkan akal V (wujud VI) karena memikirkan dirinya sendiri memancarkan langit keempat tempat beradanya bola Jupiter. Akal V memikirkan Tuhan memancarkan akal VI (wujud VII) memikirkan dirinya memancarkan langit kelima tempat beradanya bola Mars. Akal VI karena memikirkan Tuhan memancarkan akal VII (wujud VIII) karena memikirkan dirinya memancarkan langit keenam tempat beradanya bola Matahari. Akal VII karena memikirkan Tuhan memancarkan akal VIII (wujud IX) karena memikirkan dirinya memancarkan langit ketujuh tempat beradanya bola Venus. Akal VIII memikirkan Tuhan memancarkan akal IX karena memikirkan dirinya sendiri memancarkan langit kedelapan tempat beradanya bola Merkuri. Akal IX karena memikirkan Tuhan memancarkan akal X dan karena memikirkan dirinya sendiri memancarkan langit kesembilan tempat beradanya bola Bulan. Akal X karena memikirkan Tuhan dan dirinya hanya memancarkan bumi dan jiwa-jiwa yang berada di lingkungan bumi. Akal I sampai X disebut oleh Al-Farabi sebagai sesuatu yang terpisah dari materi atau rohani yang pada hakikatnya adalah akal-akal dan objek-objek pemikiran.
C. Filsafat Jiwa Manusia
Al-Farabi membuat sintesa antara pandangan Plato dan Aristoteles tentang jiwa manusia. Mengikuti pandangan Aristoteles, Al-Farabi mengatakan bahwa jiwa manusia adalah bentuk bagi tubuhnya. Tidak hanya itu, kemudian ia mengikuti Plato ia mengatakan bahwa jiwa manusia adalah substansi imateri yang tidak hancur dengan hancurnya badan. Namun Al-Farabi tidak mengakui pra-eksistensi jiwa manusia. Ia melihat bahwa jiwa manusia dipancarkan oleh akal X dimana suatu tubuh sudah siap untuk menerimanya. Ia juga menolak reinkarnasi jiwa.
Jiwa manusia juga memiliki potensi, dimana yang pertama yang mengaktual dalam jiwa manusia adalah potensi makan kemudian mengindera. Selanjutnya mengaktualisasi potensi berpikir yang memungkinkan manusia untuk berpikir dan menangkap apa-apa yang ditangkap oleh akal untuk membedakan segala sesuatu.
a.D. Filsafat Kenabian
Al-Farabi selalu berusaha untuk melawan pandangan yang meniadakan kenabian. Ia seorang rasionalis yang tidak mengingkari adanya wahyu Tuhan. Menurut Al-Farabi, kenabian adalah sesuatu yang diperoleh manusia utama yang disebut nabi. Jiwa para nabi telah berada dalam siap menerima ajaran-ajaran yang diwahyukan Tuhan melalui akal aktif. Pendapat lain yang dikemukakan oleh Al-Farabi tentang adanya nabi dan rasul adalah kenyataan bahwa pada akal dan potensi-potensi jiwa manusia, terdapat perbedaan keunggulan aktualitas. Dengan demikian tidak mustahil bahwa diantara umat manusia terdapat seorang yang hatinya mampu menerima wahyu.
Nabi memiliki jiwa dengan daya yang kudus atau suci sehingga tunduk daya alam makro dan mikro. Dengan jiwa yang kudus itu jiwa nabi dapat melakukan mukjisat. Dengan mengajukan teori nabi dan filsuf yang sama-sama berkomunikasi dengan akal yang aktif, dapat dipahami bahwa Al-Farabi menunjukkan sumber ajaran agama yang dibawa oleh nabi dan sumber filsafat yang dihasilkan oleh filsuf adalah sama. Karena itu kebenaran keduanya, pasti tidak bertentangan.
b.E. Akhlak, Politik, dan Hidup Sesudah Mati
Pandangan Al-Farabi tentang akhlak dan politik tidak dapat dilepaskan dari teorinya tentang jiwa manusia. Pembangunan akhlak dan politik bertujuan terwujudnya jiwa-jiwa yang utama, yang berbahagia baik dalam kehidupan sekarang maupun yang akan datang yang menjadi tujuan hidup tertinggi dari manusia. Selain itu perhatian Al-Farabi juga berpusat pada masyarakat kota. Ia membedakan kota utama dengan kota-kota yang tidak utama seperti kota bodoh, kota durhaka, dan kota sesat. Kemudian Al-Farabi mengaitkan pandangannya ini dengan keadaan jiwa manusia.
Al-Farabi juga seperti Aristoteles memandang keutamaan itu berada pada posisi tengah. Yakni antara posisi ekstrem yang terlalu berlebihan dan terlalu kurang. Ada empat aspek keutamaan yang harus dimiliki orang jika ia memang menginginkan kebahagiaan sejati yakni: keutamaan-keutamaan hasil pemikiran teoretis, praktis, sikap mental, dan perbuatan.
Dalam pandangan politiknya, Al-Farabi menjelaskan bahwa manusia adalah makhluk sosial. Manusia butuh hidup bermasyarakat dan perlu bekerjasama saling membantu untuk mencapai tujuan hidup, yakni kebahagiaan.
Mengenai hidup manusia sesudah mati, Al-Farabi berpendapat bahwa kehidupan manusia di akhirat bersifat rohaniah, tanpa jasmani. Manusia pada hakikatnya jiwanya bukan tubuhnya. Dan yang pantas disebut jiwa manusia adalah jiwa yang memiliki akal praktis dan teoretis secara aktual. Bila jiwa belum memiliki keduanya, maka sama dengan jiwa binatang.
Kualitas jiwa manusia berbeda-beda berdasarkan prinsip keadilanya, kebahagiaan atau kesengsaraan yang dialami jiwa manusia itu sesuai dengan kualitas kesucian dan keutamaan jiwa manusia. Jiwa kekal yang berada di dalam kebahagiaan adalah jiwa penduduk kota utama, dan itulah jiwa utama, yang mengetahui kebenaran, keutamaan dan kebahagiaan sejati. Adapun jiwa yang kekal dalam kesengsaraan di akhirat adalah jiwa yang durhaka yang berpaling dari keutamaan.
D. Negara Utama
Negara utama kata Al-Farabi tidak ubahnya dengan susunan tubuh manusia yang sehat dan lagi sempurna. Masing-masing anggota berusaha dan bekerjasama untuk menyempurnakan dan memenuhi segala kebutuhan hidup bersama. Sebagaimana halnya tubuh manusia yang mempunyai anggota-anggota yang masing-masing berbeda-beda tugas dan kesanggupanya, dan di atas semuanya itu ada satu anggota yang merupakan kepala dari seluruhnya yaitu jantung. Maka begitu juga halnya negara. Masing-masing rakyatnya mempunyai tugas dan kepandaian yang berbeda-beda yang diperintah oleh seorang kepala negara atau penguasa. [1]
Penguasa tertinggi ini benar-benar memiliki berbagai ilmu dan setiap jenis pengetahuan. Ia mampu mengetahui segala macam yang dilakukanya. Ia mampu membimbing dengan baik sehingga orang melakukan apa yang diperintahkanya. Ia mampu memanfaatkan orang-orang yang memiliki kemampuan. Ia mampu menentukan, mendefinisikan, dan mengarahkan tindakan-tindakan ini ke arah kebahagiaan. Hal ini hanya terdapat pada orang yang memiliki kecenderungan alami yang besar lagi unggul, bila jiwanya bersatu dengan akal aktif. Orang seperti ini adalah pangerang sejati. Dialah orang yang dikatakan menerima wahyu. Pemerintahan orang seperti ini adalah pemerintahan tertinggi; pemerintahan yang lainya berkedudukan dibawahnya dan berasal darinya.
Dengan demikian pengusasa tertinggi adalah nabi atau imam pemberi hukum. Mereka menggariskan pendapat dan tindakan untuk komunitasnya melalui wahyu dari Tuhan. Dengan kata lain orang-orang seperti ini adalah orang-orang yang selain sempurna fisik, mental dan jiwanya-memiliki keahlian yang sempurna dalam kearifan teoritis dan praktis yakni keahlian memerintah dan politik.[2]
Dalam karya-karya politiknya, Al-Farabi memaparkan bahwa susunan berbagai asosiasi(politik) manusia baik dalam ukuran yang berbeda, maupun diantara bagian-bagian yang sama di satu pihak benar-benar menyerupai susunan individu-individu manusia dan di lain pihak menyerupai susunan segala alam semesta, mulai dari benda-benda samawi sampai ke benda-benda material. Semua hubungan ini mengarah pada suatu hubungan yang tertinggi yakni hubungan kerjasama antara anggota masing-masing asosiasi yang berbeda ukurannya itu. Dalam kerjasama itu setiap bagian melaksanakan fungsinya sendiri yang khas, yang berhubungan dengan dan melengkapi serta saling bergantung pada fungsi-fungsi bagian-bagian atau anggota-anggota yang lain. Dan anggota-anggota asosiasi yang lebih kecil berhubungan dengan dan melengkapi serta saling bergantung pada asosiasi yang lebih besar. Dengan demikian kebutuhan setiap bagian saling dipenuhi oleh satu sama lain karena tidak mampu memenuhi kebutuhanya sendiri.
Setiap kebutuhan memenuhi satu kebutuhan yang khas, dan untuk memenuhi kebutuhan yang khas itulah bagian itu dibentuk. Dan yang memenuhi kebutuhan-kebutuhan yang lain adalah bagian-bagian yang lain. Melalui kegiatan saling melengkapi dan saling menopang ini, maka pada giliranya akan dibawa kepada pencapaian kebahagiaan.
Menurut Al-Farabi peringkat kepemimpinan pada setiap asosiasi itu dibutuhkan untuk menjalankan dan mengoordinasikan kerjasama. Tidak setiap orang mempunyai kapasitas yang sama untuk memimpin. Dan tidak setiap fungsi atau keahlian yang ditampilkan oleh satu bagian dari asosiasi mempunyai nilai yang sama dengan keseluruhanya dan juga tingkat kecanggihan yang sama. Dengan demikian hubungan antara bagian tidak saja bersifat horisontal atau pararel tetapi juga vertikal dan hierarkis. Semakin tinggi suatu bagian dalam struktur hierarkisnya semakin tinggi pula posisi otoritas yang dipegangnya. Disamping itu ia juga mampu melaksanakan fungsinya karena bagian itu memikul tanggung jawab yang besar.
Apakah pemerintahan seperti ini mungkin?
Bagi Al-Farabi, pemerintahan seperti ini ada. Hal ini terjadi karena orang-orang yang diperintah oleh pemerintahan penguasa seperti ini adalah orang-orang yang utama, baik dan bahagia, seakan-akan para warga itu sendiri berpotensi untuk menjadi penguasa-pengusa utama. Namun, jika tidak ada pengganti setelah penguasa utama yang memenuhi persyaratan seperti ini perlu diterapkan hukum-hukum yang digariskan oleh penguasa-penguasa sebelumnya, menuliskannya, melestarikanya, dan memerintah kota berdasarkan hukum-hukumnya, akan menjadi pangerang berdasarkan hukum(Sunnah). Hal ini berdasarkan pemikiran bahwa pemimpin utama di sebuah kota utama mengandung konotasi yang sama.
Ada juga kemungkinan sekelompok orang yang secara bersama-sama memperlihatkan kemampuan mereka untuk memenuhi persyaratan menjadi penguasa utama, atau mungkin seorang yang berada di bawah tingkatan kedua dari segi kualitas yang mengetahui hukum-hukum yang telah digariskan oleh penguasa-penguasa yang lalu asalkan ia sendiri bajik dan memiliki pandangan-pandangan yang sehat sehingga dapat menafsirkan dan menerapkan hukum dalam situasi yang baru, juga memiliki kemampuan persuasif.
Namun seringkali sulit menemukan semua persyaratan ini ada pada satu orang, karena orang seperti ini hanya ada pada satu masa tertentu saja, maka harus ada aturan yang lebih lunak. Yakni seseorang yang memenuhi sebagian besar persyaratan ini dapat menjadi penguasa terbaik kedua. Jika tidak ada juga seorang yang menjadi penguasa terbaik kedua, maka sekelompok orang yang secara bersama-sama memenuhi semua persyaratan dapat menjadi penguasa. Dan kalau ini tidak ada juga maka satu orang atau dua orang filosof atau lebih yang mampu mengikuti, menafsirkan, mengembangkan, dan menerapkan hukum dan adat yang telah dimapankan oleh penguasa utama sebelumnya sesuai dengan situasi yang baru.
Bagaimana cara kerja kota utama ?
Al-Farabi menyatakan bahwa pertama-tama penduduknya dibagi menjadi kelompok-kelompok berdasarkan kelebihan-kelebihan mereka yaitu; berdasarkan kecenderungan-kecenderungan alamiah mereka dan berdasarkan kebiasaan-kebiasaan karakter yang telah mereka bentuk yakni masing-masing diberi kedudukan sebagai yang diperintah atau yang memerintah. Yang dimulai dengan peringkat penguasa yang tertinggi. Kemudian secara berangsur-angsur turun, sampai kepada peringkat yang diperintah, yang tidak memiliki elemen memerintah dan dibawah peringkat ini tidak ada lagi peringkat. Dengan demikian bagian-bagian kota akan saling berkaitan dan serasi serta diperintah dengan cara akan lebih mengutamakan sebagian atas sebagian yang lain. Dengan cara inilah kota utama sama dengan makhluk alamiah. Pangeran kota ini akan seperti sebab utama yakni Allah yang menjadi sebab bagi adanya makhluk-makhluk atau wujud-wujud lain.
Bagaimana mencapai kebahagiaan di dalam kota utama ini?
Bagi Al-Farabi kebahagiaan akan dapat dicapai hanya melalui lenyapnya keburukan-keburukan tidak hanya keburukan yang timbul secara sukarela tetapi juga keburukan yang muncul secara alamiah dari kota-kota dan bangsa-bangsa dan bila keduanya berhasil memperoleh kebaikan-kebaikan, baik kebaikan yang terjadi secara alamiah maupun kebaikan yang terjadi berkat karsa.
Selain kota utama, Al-Farabi juga menguraikan kota-kota lain yang bukan atau berlawanan dengan kota utama yakni: kota jahiliah (al-madinah al-jahiliyyah) yakni kota yang warganya tidak tahu tentang kebahagiaan yang sebenarnya. Pikiran tentang hal ini memang tidak pernah terlintas di benak mereka. Bahkan jika mereka diarahkan secara benar kepadanya mereka tetap tidak memahaminya atau tetap tidak percaya kepadanya. Hal-hal yang mereka kenali adalah hal-hal secara superfisial dianggap sebagai baik diantara apa yang dianggap sebagai tujuan-tujuan hidup seperti kesehatan tubuh, kemakmuran, menikmati kesenangan-kesenangan, kebebasan untuk memenuhi nafsu-nafsu dan lain-lain. Menurut pandangan para warga “kota jahiliah” masing-masing hal itu adalah jenis kebahagiaan dan jenis kebahagiaan yang terbesar adalah jumlah total dari semuanya itu.
Al-Farabi membagi “kota jahiliah” menjadi enam yaitu:
Pertama “kota kebutuhan dasar”. Di dalamnya para warga bekerjasama untuk menghasilkan kebutuhan dasar bagi kelangsungan hidup dan kesehatan badan, seperti makanan, minuman, pakaian, perumahan dan hubungan seksual. Kedua “kota jahat”. Di dalamnya para warga bekerjasama untuk meraih kekayaan dan kemakmuran secara berlebih-lebihan dan di sisi lain tidak mau membelanjakanya kecuali untuk kebutuhan-kebutuhan badani. Ketiga “kota rendah”. Di dalamnya para warga memburu kesenangan, dan hanya kesenangan belaka. Sebagai konsekuensinya, para warga kota ini mementingkan hiburan dan hura-hura. Keempat “kota kehormatan”(timokratik). Tujuan para warga kota ini adalah meraih kehormatan, pujian, dan kesenangan di antara bangsa-bangsa untuk diistemewakan dan diperlakukan dengan penuh penghargaan, melalui kata-kata dan maupun perbuatan dan untuk meraih kemuliaan serta keagungan. Kelima “kota despotik” di dalamnya warga bekerjasama dengan satu tujuan: berkuasa atas orang lain dan mencegah agar orang lain tak berkuasa atasnya. Keenam “kota demokratik”. Adalah kota yang tujuan penduduknya adalah kebebasan, dimana setiap penduduk melakukan apa yang dikehendakinya tanpa sedikitpun dikekang kehendaknya.
“kota fasiq”(al-madinah al-fasiqah) “kota yang berubah” (al-madinah al-mubaddilah) dan “kota sesat” (al-madinah al-dhalalah).[3]
Dengan demikian bagi Al-Farabi negara lahir atas persetujuan bersama dari penduduk suatu masyarakat kota yang saling bertukaran di dalam kebutuhan hidupnya. Jika kita menelusuri asal-usul dari konsep Al-Farabi tentang negara ini, maka kita akan menemukan kemiripanya dengan apa yang dikemukakan oleh Plato dalam bukunya Politeia yang menggambarkan tentang negara yang adil.[4]
Negara yang adil ini ditemukan dalam struktur yang ada di dalam negara dalam mengatur invidunya. Kemudian Plato menguraikan tentang invidu yang adil. Bagi Plato seperti halnya yang dikemukakan oleh Al-Farabi, Plato melihat bahwa individu yang adil adalah seorang pribadi dimana kekuatan akal budinya, keberanian, kehendak dan pengendalian diri dari nafsu-nafsunya berada dalam porsinya masing-masing yang seimbang sehingga ada dalam harmoni. Orang seperti ini tidak akan mengutamakan akal budi lebih dari nafsu-nafsu atau sebaliknya.[5] Orang seperti ini yang kita sebut sebagai pribadi yang ideal yang mampu memimpin masyarakat.
Tanggapan Kritis
Apakah ada persoalan mengenai ide Al-Farabi tentang Negara Utama?
Jika kita melihat uraian di atas, maka penulis berpendapat bahwa Al-Farabi secara normatif diinginkan namun secara empiris patut dicurigai. Maksudnya kita memang mengidealkan ada negara seperti itu dan ada individu seperti itu. Tapi kalau secara empiris dipraktekan dalam kehidupan masyarakat modern.
Bahwa jika ada pemimpin yang memaksakan idenya kepada masyarakat. Setiap keputusan atau kebijakan hanya diturunkan dari atas. Konsep tentang kebaikan itu hanya lahir dari apa yang diinginkan oleh sang pemimpin. Misalnya pemimpin yang berkuasa ini ingin membentuk suatu “kepribadian bangsa” tertentu. Persoalanya bukan kepribadian bangsa itu kurang bagus, namun cara untuk mencapainya itu yang menjadi persoalan. Yakni bahwa cara berpikir tertentu dari pemimpin itu kemudian dicetakan atau diterapkan kepada masyarakat.
Dalam situasi kemajemukan, hal ini merupakan sebuah paksaan yang luar biasa kalau orientasi nilai-nilai dari suatu kelas kemudian dijadikan orientasi nilai seluruh masyarakat.
Al-Farabi juga tidak sungguh-sungguh membedakan sektor negara dan sektor masyarakat. Bagi Al-Farabi, yang politis adalah yang sosial. Ini merupakan hal yang satu dan sama. Karena seluruh masyarakat mau diorganisasikan kedalam negara utama.
Yang kurang juga pada negara utama Al-Farabi adalah tidak ada mekanisme umpan balik dari yang dipimpin. Rakyat tidak memiliki kesempatan untuk menentukan pemimpin yang ideal bagi mereka. Hal ini terjadi karena pemimpin langsung berhadapan dengan Yang Ilahi. Jadi konsep pemimpin dan negara menjadi sakral.
Terimakasih Kepada Sdr. Ignas Bria Nahak atas tulisan ini.
Terimakasih Kepada Sdr. Ignas Bria Nahak atas tulisan ini.
Daftar Pustaka
Ahmad, Abidin, Zainal, H 1968, Negara Utama, Jakarta: PT Kinta.
Ahmad, Jamil 1987, Seratus Muslim Terkemuka, Jakarta: Pustaka Firdaus.
Ensiklopedi Tematis Dunia Islam 2002, Pemikiran dan Peradaban Vol. IV, Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeven.
Hardiman, F, Budi 2003, Diktat Filsafat Politik, Jakarta: STF Driyarkara.
Yamani, 2003 Filsafat Politik Islam, Bandung: Mizan.
[1] H. Zainal Abidin Ahmad, Negara utama. hal 43
[2] Yamani Filsafat Politik Islam hal. 62
[3] Op. cit, hal.68-70
[4] Ibid hal. 51
[5] F. Budi Hardiman Diktat kuliah Filsafat Politik. STF Dryarkara hal. 12
[1] Jamil Ahmad Seratus Muslim Terkemuka, hal. 312
No comments:
Post a Comment