Lembaran awal sejarah praktek pengujian undang-undang (judicial review) bermula di Mahkamah Agung/MA (Supreme Court) Amerika Serikat saat dipimpin John Marshal dalam kasus Marbury & Madison (1803). Kendatipun saat itu Konstitusi Amerika Serikat tidak mengatur pemberian kewenangan untuk melakukan judicial review kepada MA, tetapi dengan menafsirkan sumpah jabatan yang mengharuskannya untuk senantiasa menegakkan konstitusi, Marshal menganggap MA berwenang untuk menyatakan suatu undang-undang bertentangan dengan konstitusi.
Adapun secara teoritis, keberadaan Mahkamah Konstitusi baru diintrodusir pertama kali pada tahun 1919 oleh pakar hukum asal Austria, Hans Kelsen(1881-1973). Kelsen menyatakan bahwa pelaksanaan konstitusional tentang legislasi dapat secara efektif dijamin hanya jika suatu organ selain badan legislatif diberikan tugas untuk menguji apakah suatu produk hukum itu konstitusional atau tidak, dan tidak memberlakukannya jika menurut organ ini tidak konstitusional. Untuk itu perlu diadakan organ khusus yang disebut mahkamah konstitusi (constitutional court).
Bila ditelusuri dari sejarah penyusunan UUD 1945, ide Hans Kelsen mengenai pengujian undang-undang juga sebangun dengan ujian yang pernah diungkapkan oleh Muhammad Yamin dalam sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK). Muhammad Yamin mengusulkan bahwa seharusnya Balai Agung (atau Mahkamah Agung) diberikan wewenang untuk "membanding undang-undang" yang maksudnya tidak lain adalah kewenangan judicial review. Namun usulan Muhammad Yamin ini disanggah oleh Soepomo dengan alasan bahwa: 1) konsep dasar yang dianut di dalam UUD yang tengah disusun bukan konsep pemisahan kekuasaan (separation of power) melainkan konsep pembagian kekuasaan (distribution of power); selain itu, 2) tugas hakim adalah menerapkan undang-undang, bukan menguji undang-undang, dan 3) kewenangan hakim untuk melakukan pengujian undang-undang bertentangan dengan konsep supremasi Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Sehingga ide akan pengujian undang-undang terhadap undang-undang dasar yang diusulkan Yamin tersebut tidak diadopsi dalam UUD 1945. Meski gagal memperoleh persetujuan, ide Yamin tersebut menunjukan betapa sudah majunya pemikiran para penyusun undang-undang dasar kita saat itu.
Seiring dengan momentum perubahan UUD 1945 pada masa Reformasi (1999-2002), ide pembentukan Mahkamah Konstitusi di Indonesia makin menguat. Puncaknya terjadi pada tahun 2001, ketika ide pembentukan MK diadopsi dalam perubahan UUD 1945 yang dilakukan oleh MPR sebaimana dirumuskan dalam ketentuan Pasal 24 ayat (2) dan Pasal 24 (c) UUD 1945 dalam perubahan ketiga.
Selanjutnya untuk merinci dan menindaklanjuti amanat Konstitusi tersebut, Pemerintah bersama DPR membahas Rancangan Undang-undang tentang Mahkamah Konstitusi. Setelah dilakukan pembahasan beberapa waktu lamanya, akhirnya RUU tersebut disepakati bersama oleh pemerintah dan DPR dan disahkan dalam sidang paripurna DPR pada 13 Agustus 2003. Pada hari itu juga, UU tentang MK ini ditandatangani oleh Presiden Megawati Soekarnoputeri dan dimuat di dalam Lembaran Negara pada hari yang sama, kemudian diberi nomor UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Tahun 2003 Nomor 98, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4316). Ditilik dari aspek waktu, Indonesia adalah negara ke-78 yang membentuk MK dan sekaligus sebagai negara pertama di dunia yang membentuk lembaga ini pada abad ke-21. Tanggal 13 Agustus 2003 inilah yang kemudian disepakati para hakim konstitusi menjadi hari lahir MKRI.
Disadur dari buku "Profil Mahkamah Konstitusi", oleh Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, Cetakan ke-2, Juni 2009.