Aktivis dari Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan
(Komnas Perempuan) mengatakan rencana Pemerintah Kota Lhokseumawe,
Provinsi Nangroe Aceh Darrusalam – tempat dimana diterapkan Syariat
Islam – yang akan menerbitkan Peraturan Daerah (Perda) melarang
perempuan duduk mengangkang saat berbonceng di sepeda motor adalah
sebagai bentuk kekerasan terhadap perempuan.
“Apa yang ingin dikedepankan dari pelarangan ini? Kalau berbasis
asumsi moralis yang dikaitkan dengan seksualitas, lagi-lagi kebijakan
ini membangun prejudice terhadap perempuan”, kata Yuniyanti Chuzaifah,
Ketua Komnas Perempuan kepada ucanews.com hari ini, Kamis (3/1).
Sebelumnya, wacana tentang Perda ini diembuskan oleh Walikota
Lhokseumawe Suaidi Yahya saat ceramah menyambut tahun baru 2013.
Menurutnya, kebijakan ini merupakan bentuk upaya pelestarikan budaya
Islam di dalam masyarakat yang terancam hilang.
Pemerintah, lanjutnya, akan berkonsulatsi dengan pelbagai kalangan,
termasuk ulama tentang Perda ini. Selain larangan duduk mengangkang,
ujar Yahya, saat dibonceng di atas motor perempuan juga akan dilarang
mengenakan celana jenis jeans.
“Sebenarnya dalam Islam, perempuan dilarang memakai jeans,” katanya.
Ia menambahkan, ada sanksi yang akan dikenakan bagi yang melanggar, namun ia menolak menyebutkan jenis sanksinya.
Chuzaifah menilai Perda ini tidak memperhitungkan hak-hak perempuan.
“Sebelum membuat regulasi itu, bisakah ditanya ke perempuan, dari
segi keamanan dan aspek ergonomis, posisi duduk mana yang lebih tepat
dan rasional terutama dari aspek keselamatan berkendara?”, tegasnya.
Senada dengan itu, Yustina Rostiawati, Ketua Bidang Pendidikan Komnas
Perempuan mengatakan, “prinsip peraturan dibuat seharusnya untuk
kemaslahatan publik dan bersifat melindungi bukan mengatur pembatasan
gerak pihak tertentu saja”.
“Apa sudah tidak ada lagi yang mesti diurus agar lebih baik, misalnya
soal pendidikan, atau kesehatan, soal kesejahteraan masyarakat,” kata
Rostiawati.
Keberadaan Perda diskriminatif masih menjadi persoalan serius di
sejumlah daerah. Komnas Perempuan mencatat, hingga tahun 2012, terdapat
282 Perda di seluruh Indonesia yang mendiskreditkan perempuan.
Dari 282 Perda yang dipantau sejak 2008 itu, sekitar 207 di antaranya
secara langsung diskriminatif terhadap perempuan, seperti memaksakan
cara berbusana dan ekspresi keagamaan, mengkriminalkan perempuan lewat
pengaturan prostitusi, dan membatasi ruang gerak perempuan lewat aturan
jam malam dengan mewajibkan perempuan didampingi bila bepergian.
Pada 6 September tahun ini, Putri, seorang remaja 16 tahun di Langsa,
Aceh Timur nekad bunuh diri setelah terjaring razia oleh Polisi Syariat
yang mendapatinya keluar pada malam hari. Ia diduga merasa terbeban
karena dicap sebagai pelacur. Melalui surat yang ditemukan ayahnya dalam
tas, Putri mengaku, ia tidak berbuat mesum, tetapi hanya duduk begadang
bersama teman-temannya usai menyaksikan konser organ tunggal di
kampungnya pada 3 September.
Selain itu, seorang ibu rumah tangga di Tangerang, Banten ditangkap
oleh Satpol PP pada malam hari karena diduga sebagai pekerja seks
komersial, padahal ia baru pulang kerja. Akibatnya, timbul stigma
masyarakat yang menganggapnya sebagai PSK. Wanita itu pun mengalami
tekanan psikologis dan akhirnya meninggal.
Ryan Dagur, Jakarta
No comments:
Post a Comment