Prof Dr Maria Farida SH MH, Seorang Tokoh Katolik yang Juga Seorang Hakim Konstitusi |
"Menjadi seorang Katolik, sekaligus menjadi tokoh nasional di masa Reformasi berbeda dengan tokoh-tokoh Katolik di masa lalu. Saat ini, tokoh-tokoh Katolik lebih mengedepankan nilai-nilai ke-Katolik-annya ketimbang menonjolkan identitasnya di hadapan publik. Tanpa menguragi esensi iman kita sebagai seorang Katolik, hal-hal yang prinsipil untuk kepentingan umum harus tetap dipertahankan.." - Nick Doren.
Berbicara tentang tokoh berlabel Katolik mungkin tidak terlalu
relevan di kalangan tokoh Katolik era reformasi saat ini. Kebanyakan
mereka cenderung lebih memilih bekerja diam-diam. Tapi, hal itu tidak
berarti mereka tidak menampilkan nilai-nilai ke-Katolik-an. Mereka lebih
menampilkan nilai, ketimbang identitas.
Akibat cara kerja diam-diam tersebut, kalangan umat Katolik, mungkin
juga Gereja merasa pesimis karena fakta bahwa jumlah tokoh Katolik
menurun di era reformasi ini.
Hal ini menggugah Benny Sabdo, seorang wartawan Majalah HIDUP, menulis buku tentang Kiprah Tokoh Katolik di Era Reformasi, yang
memuat kisah tokoh katolik yang berjuang di medan kerja berbeda-beda,
seperti politik, pendidikan, hukum, bisnis, pers dan ormas Katolik.
“Saya menulis buku ini didorong oleh rasa kesal karena tokoh Katolik
generasi saat ini tidak ada dan kini tinggal tokoh-tokoh Katolik yang
sudah senior,” katanya, pada acara bedah buku tersebut belum lama ini.
Buku itu membuktikan bahwa cukup banyak orang Katolik yang memilih bekerja diam-diam di era reformasi.
Sebanyak 23 tokoh Katolik ditulis dalam buku ini, namun mungkin
sekitar 60 persen dari mereka tidak dikenal publik, bahkan di kalangan
orang Katolik sendiri. Ini berbeda dengan era sebelum reformasi, para
tokoh Katolik lebih menonjolkan identitas agama mereka.
Hal ini diakui oleh Maria Farida Indrati Soeprapto, hakim di Mahkamah Konstitusi (MK).
“Kalau kami dulu tak membedakan agama dan saling berbaur meskipun
sedikit menonjolkan identitas kami, kini orang Katolik lebih bergerak
sendiri dan diam-diam sehingga banyak orang tak mengenal agama mereka,”
katanya.
Namun, di era reformasi, perempuan pertama Indonesia yang menjabat
sebagai hakim MK ini mengatakan ia termasuk salah satu orang Katolik
yang bekerja diam-diam sebagai seorang dosen di Fakultas Hukum
Universitas Indonesia (UI).
Tapi, komitmen pada nilai-nilai ke-Katolik-an yang ditunjukkannya
membuat dia diusulkan dan didukung oleh berbagai kalangan yang
kebanyakan non-Katolik untuk dicalonkan sebagai hakim konstitusi.
“Saya bisa masuk di MK justru karena banyaknya dukungan dan dorongan
dari orang non-Katolik karena mereka tahu cara kerja saya untuk
kepentingan umum,” kata satu-satunya hakim MK yang mengajukan dissenting opinion (perdapat berbeda) saat uji materi UU Pornografi dan UU Penodaan Agama ini.
Farida mengatakan, ia bukan membela kelompok minoritas atau mereka
yang termarginal tapi demi penegakan hukum, kebenaran dan rasa keadilan.
Guru Besar Ilmu Perundang-Undangan ini mengatakan, komitmen, kejujuran dan keberanian diperlukan melalui kerja nyata.
“Karya kita yang justru menunjukkan bahwa kita adalah orang Katolik
termasuk menyuarakan keadilan dan kebenaran. Ini yang saya sering
lakukan termasuk MK. Kerja nyata itu yang paling penting,” ungkapnya.
Cara ini juga dilakukan para tokoh Katolik yang diam-diam, mereka
ikut memberikan kontribusi untuk membangun bangsa, sekalipun mereka
tidak terlalu terpublikasikan. “Ketika judicial review
undang-undang di gedung Mahkamah Konstitusi, saya baru tahu cukup banyak
tokoh Katolik. Apakah ini menunjukkan bahwa orang Katolik tak suka
menonjolkan diri, dan mau rela berkarya di tengah sesama,” kata Farida.
Alasan lain yang membuat orang Katolik bekerja diam-diam karena
mereka kuatir akan menghadapi kendala. Menurut Farida, orang Katolik
akan mengalami kendala kalau terlalu menonjolkan identitasnya.
“Saat ini kita mungkin bisa tonjolkan identitas ke-Katolik-an, tapi
saya pikir akan menghadapi kendala,” kata Farida, yang menjadi hakim
konstitusi di MK sejak 16 Agustus 2008.
Pernyataan Farida diakui oleh Adrianus Meliala, kriminolog dari UI.
Ia mengakui situasi era Ignatius Yoseph Kasimo, pendiri Partai Katolik
dan Reformasi berbeda. “Kalau kita bandingkan dengan dunianya Kasimo,
berbeda dengan sekarang karena kini jauh lebih sulit dan banyak
tantangan dan saingan”, kata guru besar UI itu.
Meliala mengusulkan agar para tokoh Katolik yang berkerja diam-diam
harus dipublikasikan juga, misalnya melalui media. “Kalau mau tulis
tokoh, jangan tulis orang yang berhasil, tapi mereka yang bekerja secara
diam-diam karena perjuangan mereka menghadapi banyak tantangan,”
katanya.
Untuk menghadapi tantangan dan kendala orang Katolik harus
benar-benar menyiapkan diri untuk memiliki keahlian dalam bidang
tertentu karena keahlian ini yang dibutuhkan. “Kita perlu memiliki
keahlian di bidang kita masing-masing sehingga kita mampu bersaing
dengan orang lain,” kata Meliala.
Di tengah tantangan dan kendala justru orang Katolik terdorong
menjadi garam bagi orang lain dengan berjuang untuk kepentingan umum,
bukan kelompok atau pribadi. “Kita tetap menjadi garam dan terang
melalui nilai-nilai ke-Katolik-an demi kepentingan umum,” kata Farida.
No comments:
Post a Comment