Negarakertagama merupakan kakawin yang menceritakan kisah Raja Majapahit, Hayam Wuruk yang melakukan pelesiran ke daerah Blambangan dan dalam perjalanan pulang beliau singgah di Singosari. Dalam naskah ini juga dikisahkan peranan patih Gajah Mada sebagai perdana Mentri yang mumpuni. Masih dalam naskah Negarakertagama ini dikisahkan bahwa Prabu Hayam Wuruk sebagai penguasa yang sangat adil dalam memerintah dan taat menjalankan aturan agama. Sebagai contoh Raja Hayam Wuruk menghukum mati Demung Sora yang merupakan seorang menterinya, karena dianggap bersalah setelah membunuh Mahesa Anabrang yang ternyata tidak berdosa (lempir ke 73). Dengan demikian Demung Sora telah telah melanggar pasal Astadusta dari kitab Undang undang Kitab Kutara Manawadarmasastra itu. Naskah Negarakertagama yang merupakan karya pujangga besar empu Prapanca ini kini tersimpan di Perpustakaan Nasional RI dan menjadi salah satu koleksi kebanggaannya.
Berikut adalah terjemahan lengkap kitab Negarakertagama:
“Om awignam astu namas sidam”
Sembah
puji dari hamba yang hina ini ke bawah telapak kaki sang pelindung
jagat. Raja yang senantiasa tenang tenggelam dalam samadi, raja segala
raja, pelindung orang miskin, mengatur segala isi negara. Sang
dewa-raja, lebih diagungkan dari yang segala manusia, dewa yang tampak
di atas tanah. Merata, serta mengatasi segala rakyatnya, nirguna bagi
kaum Wisnawa, Iswara bagi Yogi, Purusa bagi Kapila, hartawan bagi
Jambala, Wagindra dalam segala ilmu, dewa Asmara di dalam cinta berahi.
Dewa Yama di dalam menghilangkan penghalang dan menjamin damai dunia.
Demikianlah
pujian pujangga sebelum menggubah sejarah raja, kepada Sri Nata Rajasa
Nagara, raja Wilwatikta yang sedang memegang tampuk tahta. Bagai titisan
Dewa-Batara beliau menyapu duka rakyat semua. Tunduk setia segenap bumi
Jawa bahkan seluruh nusantara. Pada tahun 1256 Saka, beliau lahir untuk
jadi pemimpin dunia. Selama dalam kandungan di Kahuripan telah tampak
tanda keluhuran. Bumi gonjang-ganjing, asap mengepul-ngepul, hujan abu,
guruh halilintar menyambar-nyambar. Gunung Kelud gemuruh membunuh
durjana, penjahat musnah dari negara. Itulah tanda bahwa Sanghyang Siwa
sedang menjelma bagai raja besar. Terbukti, selama bertakhta seluruh
tanah Jawa tunduk menadah perintahnya. Wipra, satria, waisya, sudra,
keempat kasta sempurna dalam pengabdian. Durjana berhenti berbuat jahat
takut akan keberanian Sri Nata. Sang Sri Padukapatni yang ternama adalah
nenek Sri Paduka. Seperti titisan Parama Bagawati memayungi jagat raya.
Selaku wikuni tua tekun berlatih yoga menyembah Buda. Tahun 1272
kembali beliau ke Budaloka. Ketika Sri Padukapatni pulang ke Jinapada
dunia berkabung. Kembali gembira bersembah bakti semenjak Sri Paduka
mendaki takhta. Girang ibunda Tri Buwana Wijaya Tungga Dewi mengemban
takhta bagai rani di Jiwana resmi mewakili Sri Narendraputra.
Beliau
bersembah bakti kepada ibunda Sri Padukapatni. Setia mengikuti ajaran
Buda, menyekar yang telah mangkat. Ayahanda Sri Paduka Prabu ialah Prabu
Kerta Wardana. Keduanya teguh beriman Buda demi perdamaian praja.
Paduka Prabu Kerta Wardana bersemayam di Singasari. Bagai Ratnasambawa
menambah kesejahteraan bersama. Teguh tawakal memajukan kemakmuran
rakyat dan negara. Mahir mengemudikan perdata bijak dalam segala kerja.
Putri Rajadewi Maharajasa, ternama rupawan. Bertakhta di Daha, cantik
tak bertara, bersandar enam guna. Adalah bibi Sri Paduka, adik maharani
di Jiwana. Rani Daha dan rani Jiwana bagai bidadari kembar.
Laki
sang rani Sri Wijayarajasa dari negeri Wengker. Rupawan bagai titisan
Upendra, mashur bagai sarjana. Setara raja Singasari, sama teguh di
dalam agama. Sangat mashurlah nama beliau di seluruh tanah Jawa. Adinda
Sri Paduka Prabu di Wilwatikta : Putri jelita bersemayam di Lasem. Putri
jelita Daha cantik ternama. Indudewi putri Wijayarajasa. Dan lagi putri
bungsu Kerta Wardana. Bertakhta di Pajang, cantik tidak bertara. Putri
Sri Baginda Jiwana yang mashur. Terkenal sebagai adinda Sri Paduka.
Telah dinobatkan sebagai raja tepat menurut rencana. Laki tangkas rani
Lasem bagai raja daerah Matahun. Bergelar Rajasa Wardana sangat bagus
lagi putus dalam daya raja dan rani terpuji laksana Asmara dengan
Pinggala. Sri Singa Wardana, rupawan, bagus, muda, sopan dan perwira
bergelar raja Paguhan, beliaulah suami rani Pajang. Mulia pernikahannya
laksana Sanatkumara dan dewi Ida. Bakti kepada raja, cinta sesama,
membuat puas rakyat. Bre Lasem menurunkan putri jelita Nagarawardani
Bersemayam sebagai permaisuri Pangeran Wirabumi. Rani Pajang menurunkan
Bre Mataram Sri Wikrama Wardana bagaikan titisan Hyang Kumara, wakil
utama Sri Narendra.
Putri
bungsu rani Pajang memerintah daerah Pawanuhan. Berjuluk Surawardani
masih muda indah laksana lukisan. Para raja pulau Jawa masing-masing
mempunyai negara. Dan Wilwatikta tempat mereka bersama menghamba
Srinata. Melambung kidung merdu pujian Sang Prabu, beliau membunuh
musuh-musuh. Bak matahari menghembus kabut, menghimpun negara di dalam
kuasa. Girang janma utama bagai bunga kalpika, musnah durjana bagai
kumuda. Dari semua desa di wilayah negara pajak mengalir bagai air. Raja
menghapus duka si murba sebagai Satamanyu menghujani bumi. Menghukum
penjahat bagai dewa Yama, menimbun harta bagaikan Waruna. Para telik
masuk menembus segala tempat laksana Hyang Batara Bayu. Menjaga pura
sebagai dewi Pretiwi, rupanya bagus seperti bulan. Seolah-olah Sang
Hyang Kama menjelma, tertarik oleh keindahan pura. Semua para putri dan
isteri sibiran dahi Sri Ratih. Namun sang permaisuri, keturunan
Wijayarajasa, tetap paling cantik paling jelita bagaikan Susumna, memang
pantas jadi imbangan Sri Paduka.
Berputralah
beliau putri mahkota Kusuma Wardani, sangat cantik rupawan jelita mata,
lengkung lampai, bersemayam di Kabalan. Sang menantu Sri Wikrama
Wardana memegang hakim perdata seluruh negara. Sebagai dewa-dewi mereka
bertemu tangan, menggirangkan pandang. Tersebut keajaiban kota : tembok
batu merah, tebal tinggi, mengitari pura. Pintu barat bernama Pura
Waktra, menghadap ke lapangan luas, bersabuk parit. Pohon brahmastana
berkaki bodi berjajar panjang, rapi berbentuk aneka ragam. Di situlah
tempat tunggu para tanda terus menerus meronda jaga paseban. Di sebelah
utara bertegak gapura permai dengan pintu besi penuh berukir. Di sebelah
timur : panggung luhur, lantainya berlapis batu putih-putih mengkilat.
Di bagian utara, di selatan pekan rumah berjejal jauh memanjang sangat
indah.
Di
selatan jalan perempat : balai prajurit tempat pertemuan tiap Caitra.
Balai agung Manguntur dengan balai Witana di tengah, menghadap padang
watangan. Yang meluas ke empat arah, bagian utara paseban pujangga dan
Mahamantri Agung. Bagian timur paseban pendeta Siwa-Buda yang bertugas
membahas upacara. Pada masa grehana bulan Palguna demi keselamatan
seluruh dunia. Di sebelah timur pahoman berkelompok tiga-tiga mengitari
kuil Siwa. Di selatan tempat tinggal wipra utama tinggi bertingkat
menghadap panggung korban. Bertegak di halaman sebelah barat, di utara
tempat Buda bersusun tiga. Puncaknya penuh berukir, berhamburan bunga
waktu raja turun berkorban. Di dalam, sebelah selatan Manguntur tersekat
dengan pintu, itulah paseban. Rumah bagus berjajar mengapit jalan ke
barat, disela tanjung berbunga lebat. Agak jauh di sebelah barat daya:
panggung tempat berkeliaran para perwira. Tepat di tengah-tengah halaman
bertegak mandapa penuh burung ramai berkicau. Di dalam di selatan ada
lagi paseban memanjang ke pintu keluar pura yang kedua.
Dibuat
bertingkat tangga, tersekat-sekat, masing-masing berpintu sendiri.
Semua balai bertulang kuat bertiang kokoh, papan rusuknya tiada tercela.
Para prajurit silih berganti, bergilir menjaga pintu, sambil bertukar
tutur. Inilah para penghadap : pengalasan Ngaran, jumlahnya tak
terbilang, Nyu Gading Jenggala-Kediri, Panglarang, Rajadewi, tanpa
upama. Waisangka kapanewon Sinelir, para perwira Jayengprang, Jayagung
dan utusan Pareyok Kayu Apu, orang Gajahan dan banyak lagi. Begini
keindahan lapangan watangan luas bagaikan tak berbatas. Mahamantri
Agung, bangsawan, pembantu raja di Jawa, di deret paling muka.
Bayangkari tingkat tinggi berjejal menyusul di deret yang kedua. Di
sebelah utara pintu istana di selatan satria dan pujangga. Di bagian
barat : beberapa balai memanjang sampai mercudesa.
Penuh
sesak pegawai dan pembantu serta para perwira penjaga. Di bagian
selatan agak jauh: beberapa ruang, mandapa dan balai. Tempat tinggal
abdi Sri Baginda Paguhan bertugas menghadap. Masuk pintu kedua,
terbentang halaman istana berseri-seri. Rata dan luas dengan rumah indah
berisi kursi-kursi berhias. Di sebelah timur menjulang rumah tinggi
berhias lambang kerajaan itulah balai tempat terima tatamu Srinata di
Wilwatikta. Inilah pembesar yang sering menghadap di balai witana :
Wredamentri, tanda Mahamantri Agung, pasangguhan dengan pengiring Sang
Panca Wilwatikta : mapatih, demung, kanuruhan, rangga. Tumenggung lima
priyayi agung yang akrab dengan istana. Semua patih, demung negara
bawahan dan pengalasan.
Semua
pembesar daerah yang berhati tetap dan teguh. Jika datang berkumpul di
kepatihan seluruh negara lima Mahamantri Agung, utama yang mengawal
urusan negara. Satria, pendeta, pujangga, para wipra, jika menghadap
berdiri di bawah lindungan asoka di sisi witana. Begitu juga dua
darmadyaksa dan tujuh pembantunya. Bergelar arya, tangkas tingkahnya,
pantas menjadi teladan. Itulah penghadap balai witana, tempat takhta
yang terhias serba bergas. Pantangan masuk ke dalam istana timur agak
jauh dan pintu pertama. Ke Istana Selatan, tempat Singa Wardana,
permaisuri, putra dan putrinya. Ke Istana Utara. tempat Kerta Wardana.
Ketiganya bagai kahyangan semua rumah bertiang kuat, berukir indah,
dibuat berwarna-warni Cakinya dari batu merah pating berunjul, bergambar
aneka lukisan. Genting atapnya bersemarak serba meresapkan pandang
menarik perhatian. Bunga tanjung kesara, campaka dan lain-lainnya
terpencar di halaman. Teratur rapi semua perumahan sepanjang tepi
benteng. Timur tempat tinggal pemuka pendeta Siwa Hyang Brahmaraja.
Selatan Buda-sangga dengan Rangkanadi sebagai pemuka. Barat tempat para
arya Mahamantri Agung dan sanak-kadang adiraja.
Di
timur tersekat lapangan menjulang istana ajaib. Raja Wengker dan rani
Daha penaka Indra dan Dewi Saci. Berdekatan dengan istana raja Matahun
dan rani Lasem. Tak jauh di sebelah selatan raja Wilwatikta. Di sebelah
utara pasar: rumah besar bagus lagi tinggi. Di situ menetap patih Daha,
adinda Sri Paduka di Wengker. Batara Narpati, termashur sebagai tulang
punggung praja. Cinta taat kepada raja, perwira, sangat tangkas dan
bijak. Di timur laut rumah patih Wilwatikta, bernama Gajah Mada.
Mahamantri Agung wira, bijaksana, setia bakti kepada negara. Fasih
bicara, teguh tangkas, tenang, tegas, cerdik lagi jujur. Tangan kanan
maharaja sebagai penggerak roda negara. Sebelah selatan puri, gedung
kejaksaan tinggi bagus. Sebelah timur perumahan Siwa, sebelah barat
Buda. Terlangkahi rumah para Mahamantri Agung, para arya dan satria.
Perbedaan ragam pelbagai rumah menambah indahnya pura. Semua rumah
memancarkan sinar warnanya gilang-cemerlang. Menandingi bulan dan
matahari, indah tanpa upama. Negara-negara di nusantara dengan Daha
bagai pemuka. Tunduk menengadah, berlindung di bawah kuasa Wilwatikta.
Kemudian
akan diperinci demi pulau negara bawahan, paling dulu Melayu: Jambi,
Palembang, Toba dan Darmasraya. Pun ikut juga disebut Daerah Kandis,
Kahwas, Minangkabau, Siak, Rokan, Kampar dan Pane Kampe, Haru serta
Mandailing, Tamihang, negara perlak dan padang Lawas dengan Samudra
serta Lamuri, Batan, Lampung dan juga Barus. Itulah terutama
negara-negara Melayu yang telah tunduk. Negara-negara di pulau
Tanjungnegara : Kapuas-Katingan, Sampit, Kota Ungga, Kota Waringin,
Sambas, Lawai ikut tersebut. Kadandangan, Landa, Samadang dan Tirem tak
terlupakan. Sedu, Barune, Kalka, Saludung, Solot dan juga Pasir Barito,
Sawaku, Tabalung, ikut juga Tanjung Kutei. Malano tetap yang terpenting
di pulau Tanjungpura.
Di
Hujung Medini, Pahang yang disebut paling dahulu. Berikut Langkasuka,
Saimwang, Kelantan serta Trengganu Johor, Paka, Muar, Dungun, Tumasik,
Kelang serta Kedah Jerai, Kanjapiniran, semua sudah lama terhimpun. Di
sebelah timur Jawa seperti yang berikut: Bali dengan negara yang penting
Badahulu dan Lo Gajah. Gurun serta Sukun, Taliwang, pulau Sapi dan
Dompo Sang Hyang Api, Bima. Seram, Hutan Kendali sekaligus. Pulau Gurun,
yang juga biasa disebut Lombok Merah. Dengan daerah makmur Sasak
diperintah seluruhnya. Bantayan di wilayah Bantayan beserta kota Luwuk.
Sampai Udamakatraya dan pulau lain-lainnya tunduk. Tersebut pula
pulau-pulau Makasar, Buton, Banggawi, Kunir, Galian serta Salayar,
Sumba, Solot, Muar. Lagi pula Wanda (n), Ambon atau pulau Maluku, Wanin,
Seran, Timor dan beberapa lagi pulau-pulau lain. Berikutnya inilah nama
negara asing yang mempunyai hubungan Siam dengan Ayodyapura, begitu pun
Darmanagari Marutma. Rajapura begitu juga Singasagari Campa, Kamboja
dan Yawana ialah negara sahabat.
Pulau
Madura tidak dipandang negara asing. Karena sejak dahulu menjadi satu
dengan Jawa. Konon dahulu Jawa dan Madura terpisah meskipun tidak sangat
jauh. Semenjak nusantara menadah perintah Sri Paduka, tiap musim
tertentu mempersembahkan pajak upeti. Terdorong keinginan akan menambah
kebahagiaan. Pujangga dan pegawai diperintah menarik upeti.
Pujangga-pujangga yang lama berkunjung di nusantara. Dilarang
mengabaikan urusan negara dan mengejar untung. Seyogyanya, jika
mengemban perintah ke mana juga, harus menegakkan agama Siwa, menolak
ajaran sesat. Konon kabarnya para pendeta penganut Sang Sugata dalam
perjalanan mengemban perintah Sri Baginda, dilarang menginjak tanah
sebelah barat pulau Jawa. Karena penghuninya bukan penganut ajaran Buda.
Tanah
sebelah timur Jawa terutama Gurun dan Bali, boleh dijelajah tanpa ada
yang dikecualikan. Bahkan menurut kabaran begawan Empu Barada, serta
raja pendeta Kuturan telah bersumpah teguh. Para pendeta yang mendapat
perintah untuk bekerja, dikirim ke timur ke barat, di mana mereka sempat
melakukan persajian seperti perintah Sri Nata. Resap terpandang mata
jika mereka sedang mengajar. Semua negara yang tunduk setia menganut
perintah. Dijaga dan dilindungi Sri Nata dari pulau Jawa. Tapi yang
membangkang, melanggar perintah dibinasakan pimpinan angkatan laut yang
telah mashur lagi berjasa. Telah tegak teguh kuasa Sri Nata di Jawa dan
wilayah nusantara. Di Sri Palatikta tempat beliau bersemayam,
menggerakkan roda dunia. Tersebar luas nama beliau, semua penduduk puas,
girang dan lega. Wipra pujangga dan semua penguasa ikut menumpang
menjadi mashur. Sungguh besar kuasa dan jasa beliau, raja agung dan raja
utama. Lepas dari segala duka mengenyam hidup penuh segala kenikmatan.
Terpilih semua gadis manis di seluruh wilayah Jenggala Kediri. Berkumpul
di istana bersama yang terampas dari negara tetangga. Segenap tanah
Jawa bagaikan satu kota di bawah kuasa Sri Paduka.
Ribuan
orang berkunjung laksana bilangan tentara yang mengepung pura. Semua
pulau laksana daerah pedusunan tempat menimbun bahan makanan. Gunung dan
rimba hutan penaka taman hiburan terlintas tak berbahaya. Tiap bulan
sehabis musim hujan beliau biasa pesiar keliling. Desa Sima di sebelah
selatan Jalagiri, di sebelah timur pura. Ramai tak ada hentinya selama
pertemuan dan upacara prasetyan. Girang melancong mengunjungi Wewe
Pikatan setempat dengan candi lima. Atau pergilah beliau bersembah bakti
ke hadapan Hyang Acalapati. Biasanya terus menuju Blitar, Jimur
mengunjungi gunung-gunung permai.
Di
Daha terutama ke Polaman, ke Kuwu dan lingga hingga desa Bangin. Jika
sampai di Jenggala, singgah di Surabaya, terus menuju Buwun. Pada tahun
1275 Saka, Sang Prabu menuju Pajang membawa banyak pengiring. Tahun 1276
ke Lasem, melintasi pantai samudra. Tahun 1279, ke laut selatan
menembus hutan. Lega menikmati pemandangan alam indah Lodaya, Tetu dan
Sideman. Tahun 1281 di Badrapada bulan tambah. Sri Nata pesiar keliling
seluruh negara menuju kota Lumajang. Naik kereta diiring semua raja Jawa
serta permaisuri dan abdi Mahamantri Agung, tanda, pendeta, pujangga,
semua para pembesar ikut serta.
Juga
yang menyamar, Empu Prapanca, girang turut mengiring paduka Maharaja.
Tak tersangkal girang sang kawi, putra pujangga, juga pencinta kakawin.
Dipilih Sri Paduka sebagai pembesar kebudaan mengganti sang ayah. Semua
pendeta Buda ramai membicarakan tingkah lakunya dulu. Tingkah sang kawi
waktu muda menghadap raja berkata, berdamping, tak lain. Maksudnya
mengambil hati, agar disuruh ikut beliau ke mana juga. Namun belum mampu
menikmati alam, membinanya, mengolah dan menggubah. Karya kakawin,
begitu warna desa sepanjang marga terkarang berturut. Mula-mula melalui
Japan dengan asrama dan candi-candi ruk-rebah. Sebelah timur Tebu, hutan
Pandawa, Daluwang, Bebala di dekat Kanci.
Ratnapangkaja
serta Kuti, Haji, Pangkaja memanjang bersambung-sambungan. Mandala
Panjrak, Pongglang serta Jingan. Kuwu, Hanyar letaknya di tepi jalan.
Habis berkunjung pada candi pasareyan Pancasara, menginap di Kapulungan.
Selanjutnya sang kawi bermalam di Waru, di Hering, tidak jauh dari
pantai. Yang mengikuti ketetapan hukum jadi milik kepala asrama Saraya.
Tetapi masih tetap dalam tangan lain, rindu termenung-menung menunggu.
Seberangkat Sri Nata dari Kapulungan, berdesak abdi berarak. Sepanjang
jalan penuh kereta, penumpangnya duduk berimpit-impit. Pedati di muka
dan di belakang, di tengah prajurit berjalan kaki. Berdesak-desakan,
berebut jalan dengan binatang gajah dan kuda.
Tak
terhingga jumlah kereta, tapi berbeda-beda tanda cirinya. Meleret
berkelompok-kelompok, karena tiap mentri lain lambangnya. Rakrian sang
Mahamantri Agung Patih Amangkubumi penata kerajaan. Keretanya beberapa
ratus berkelompok dengan aneka tanda. Segala kereta Sri Nata Pajang
semua bergambar matahari. Semua kereta Sri Nata Lasem bergambar
cemerlang banteng putih. Kendaraan Sri Nata paha bergambar Dahakusuma
mas mengkilat. Kereta Sri Nata Jiwana berhias bergas menarik perhatian.
Kereta Sri Nata Wilwatikta tak ternilai, bergambar buah mala. Beratap
kain geringsing, berhias lukisan mas, bersinar meran indah. Semua
pegawai, parameswari raja dan juga rani Sri Sudewi. Ringkasnya para
wanita berkereta merah berjalan paling muka.
Kereta
Sri Nata berhias mas dan ratna manikam paling belakang. Jempana-jempana
lainnya bercadar beledu, meluap gemerlap. Rapat rampak prajurit
pengiring Jenggala Kediri, Panglarang, Sedah Bayangkari gemruduk
berbondong-bondong naik gajah dan kuda. Pagi-pagi telah tiba di Pancuran
Mungkur, Sri Nata ingin rehat. Sang rakawi menyidat jalan, menuju
Sawungan mengunjungi kerabat. Larut matahari berangkat lagi tepat waktu
Sri Paduka lalu. Ke arah timur menuju Watu Kiken, lalu berhenti di
Matanjung. Dukuh sepi kebudaan dekat tepi jalan, pohonnya jarang-jarang.
Berbeda-beda namanya Gelanggang, Badung, tidak jauh dari Barungbung.
Tak terlupakan Ermanik, dukuh teguh-taat kepada Yanatraya. Puas sang
darmadyaksa mencicipi aneka jamuan makan dan minum.
Sampai
di Kulur, Batang di Gangan Asem perjalanan Sri Baginda. Hari mulai
teduh, surya terbenam, telah gelap pukul tujuh malam Sri Paduka memberi
perintah memasang tenda di tengah-tengah sawah. Sudah siap habis makan,
cepat-cepat mulai membagi-bagi tempat. Paginya berangkat lagi menuju
Baya, rehat tiga hari tiga malam. Dari Baya melalui Katang, Kedung Dawa,
Rame, menuju Lampes, Times. Serta biara pendeta di Pogara mengikut
jalan pasir lemak-lembut. Menuju daerah Beringin Tiga di Dadap, kereta
masih terus lari. Tersebut dukuh kasogatan Madakaripura dengan
pemandangan indah. Tanahnya anugerah Sri Paduka kepada Gajah Mada,
teratur rapi. Di situlah Sri Paduka menempati pasanggrahan yang tehias
sangat bergas. Sementara mengunjungi mata air, dengan ramah melakukan
mandi bakti.
Sampai
di desa Kasogatan, Sri Paduka dijamu makan minum. Pelbagai penduduk
Gapuk, Sada, Wisisaya, Isanabajra, Ganten, Poh, Capahan, Kalampitan,
Lambang, Kuran, Pancar, We, Petang. Yang letaknya di lingkungan biara,
semua datang menghadap. Begitu pula desa Tunggilis, Pabayeman ikut
berkumpul. Termasuk Ratnapangkaja di Carcan, berupa desa perdikan.
Itulah empat belas desa Kasogatan yang berakuwu. Sejak dahulu delapan
saja yang menghasilkan bahan makanan. Fajar menyingsing, berangkat lagi
Sri Paduka melalui Lo Pandak, Ranu Kuning, Balerah, Bare-bare, Dawohan,
Kapayeman, Telpak, Baremi, Sapang serta Kasaduran. Kereta berjalan
cepat-cepat menuju Pawijungan. Menuruni lurah, melintasi sawah, lari
menuju Jaladipa, Talapika, Padali, Arnon dan Panggulan. Langsung ke
Payaman, Tepasana ke arah kota Rembang. Sampai di Kemirahan yang
letaknya di pantai lautan.
Di
Dampar dan Patunjungan Sri Paduka bercengkerama menyisir tepi lautan.
Ke jurusan timur turut pasisir datar, lembut-limbur dilintasi kereta.
Berhenti beliau di tepi danau penuh teratai, tunjung sedang berbunga.
Asyik memandang udang berenang dalam air tenang memperlihatkan dasarnya.
Terlangkahi keindahan air telaga yang lambai-melambai dengan lautan.
Danau ditinggalkan menuju Wedi dan Guntur tersembunyi di tepi jalan.
Kasogatan Bajraka termasuk wilayah Taladwaja sejak dulu kala. Seperti
juga Patunjungan, akibat perang belum kembali ke asrama. Terlintas
tempat tersebut, ke timur mengikut hutan sepanjang tepi lautan. Berhenti
di Palumbon berburu sebentar, berangkat setelah surya larut.
Menyeberangi sungai Rabutlawang yang kebetulan airnya sedang surut.
Menuruni lurah Balater menuju pantai lautan lalu bermalam lagi. Pada
waktu fajar menyingsing, menuju Kunir Basini, di Sadeng bermalam.
Malam
berganti malam, Sri Paduka pesiar menikmati alam Sarampuan.
Sepeninggal-nya beliau menjelang kota Bacok bersenang-senang di pantai.
Heran memandang karang tersiram riak gelombang berpancar seperti hujan.
Tapi sang rakawi tidak ikut berkunjung di Bacok, pergi menyidat jalan.
Dari Sadeng ke utara menjelang Balung, lerus menuju Tumbu dan Habet.
Galagah, Tampaling, beristirahat di Renes seraya menanti Sri Paduka.
Segera berjumpa lagi dalam perjalanan ke Jayakreta-Wanagriya. Melalui
Doni Bontong. Puruhan, Bacek, Pakisaji, Padangan terus ke Secang.
Terlintas Jati Gumelar, Silabango. Ke utara ke Dewa Rame dan Dukun. Lalu
berangkat lagi ke Pakembangan. Di situ bermalam, segera berangkat.
Sampailah beliau ke ujung lurah Daya. Yang segera dituruni sampai
jurang. Dari pantai ke utara sepanjang jalan. Sangat sempit sukar amat
dijalani. Lumutnya licin akibat kena hujan. Banyak kereta rusak sebab
berlanggar.
Terlalu
lancar lari kereta melintas Palayangan. Dan Bangkong dua desa tanpa
cerita terus menuju Sarana, mereka yang merasa lelah ingin berehat.
Lainnya bergegas berebucalan menuju Surabasa. Terpalang matahari
terbenam berhenti di padang lalang. Senja pun turun, sapi lelah dilepas
dari pasangan. Perjalanan membelok ke utara melintas Turayan.
Beramai-ramai lekas-lekas ingin mencapai Patukangan. Panjang lamun
dikisahkan kelakuan para mentri dan abdi. Beramai-ramai Sri Paduka telah
sampai di desa Patukangan. Di tepi laut lebar tenang rata terbentang di
barat Talakrep Sebelah utara pakuwuan pesanggrahan Sri Baginda. Semua
Mahamantri Agung mancanagara hadir di pakuwuan. Juga jaksa Pasungguhan
Sang Wangsadiraja ikut menghadap. Para Upapati yang tanpa cela, para
pembesar agama. Panji Siwa dan Panji Buda faham hukum dan putus sastera.
Sang adipati Suradikara memimpin upacara sambutan.
Diikuti
segenap penduduk daerah wilayah Patukangan. Menyampaikan persembahan,
girang bergilir dianugerahi kain Girang rakyat girang raja, pakuwuan
berlimpah kegirangan. Untuk pemandangan ada rumah dari ujung memanjang
ke lautan. Aneka bentuknya, rakit halamannya, dari jauh bagai pulau.
Jalannya jembatan goyah kelihatan bergoyang ditempuh ombak. Itulah
buatan sang arya bagai persiapan menyambut raja. Untuk mengurangi sumuk
akibat teriknya matahari Sri Paduka mendekati permaisuri seperti
dewa-dewi. Para putri laksana apsari turun dari kahyangan. Hilangnya
keganjilan berganti pandang penuh heran cengang. Berbagai-bagai
permainan diadakan demi kesukaan. Berbuat segala apa yang membuat
gembira penduduk. Menari topeng. bergumul, bergulat, membuat orang
kagum. Sungguh beliau dewa menjelma sedang mengedari dunia. Selama
kunjungan di desa Patukangan Para Mahamantri Agung dari Bali dan Madura.
Dari
Balumbung, kepercayaan Sri Paduka Mahamantri Agung seluruh Jawa Timur
berkumpul. Persembahan bulu bekti bertumpah-limpah. Babi, gudel, kerbau,
sapi, ayam dan anjing. Bahan kain yang diterima bertumpuk timbun. Para
penonton tercengang-cengang memandang. Tersebut keesokan hari pagi-pagi.
Sri Paduka keluar di tengah-tengah rakyat. Diiringi para kawi serta
pujangga. Menabur harta membuat gembira rakyat. Hanya pujangga yang
menyamar Empu Prapanca sedih tanpa upama Berkabung kehilangan kawan
kawi-Buda Panji Kertayasa. Teman bersuka-ria, ternan karib dalam upacara
gama. Beliau dipanggil pulang, sedang mulai menggubah arya megah.
Kusangka tetap sehat, sanggup mengantar aku ke mana juga. Beliau tahu
tempat-tempat mana yang layak pantas dilihat. Rupanya sang pujangga
ingin mewariskan karya megah indah. Namun mangkatlah beliau, ketika aku
tiba, tak terduga. Itulah lantarannya aku turut berangkat ke desa Keta.
Melewati Tal Tunggal, Halalang panjang. Pacaran dan Bungatan Sampai Toya
Rungun, Walanding, terus Terapas, lalu beralam. Paginya berangkat ke
Lemah Abang, segera tiba di Keta.
Tersebut
perjalanan Sri Baginda ke arah barat. Segera sampai Keta dan tinggal di
sana lima hari. Girang beliau melihat lautan, memandang balai kambang.
Tidak lupa menghirup kesenangan lain sehingga puas. Atas perintah sang
arya semua Mahamantri Agung menghadap. Wiraprana bagai kepala upapati
Siwa-Buda. Mengalir rakyat yang datang sukarela tanpa diundang. Membawa
bahan santapan, girang menerima balasan. Keta telah ditinggalkan. Jumlah
pengiring malah bertambah. Melintasi Banyu Hening, perjalanan sampai
Sampora. Terus ke Daleman menuju Wawaru, Gebang, Krebilan. Sampai di
Kalayu Sri Paduka berhenti ingin menyekar. Kalayu adalah nama desa
perdikan kasogatan. Tempat candi pasareyan sanak kadang Sri Paduka
Prabu.
Penyekaran
di pasareyan dilakukan dengan sangat hormat. “Memegat sigi” nama
upacara penyekaran itu. Upacara berlangsung menepati segenap aturan.
Mulai dengan jamuan makan meriah tanpa upama. Para patih mengarak Sri
Paduka menuju paseban. Genderang dan kendang bergetar mengikuti gerak
tandak. Habis penyekaran raja menghirup segala kesukaan. Mengunjungi
desa-desa disekitarnya genap lengkap. Beberapa malam lamanya berlumba
dalam kesukaan. Memeluk wanita cantik dan meriba gadis remaja. Kalayu
ditinggalkan, perjalanan menuju Kutugan. Melalui Kebon Agung, sampai
Kambangrawi bermalam. Tanah anugerah Sri Nata kepada Tumenggung Nala.
Candinya Buda menjulang tinggi, sangat elok bentuknya. Perjamuan
Tumenggung Empu Nala jauh dari cela. Tidak diuraikan betapa lahap Sri
Baginda bersantap. Paginya berangkat lagi ke Halses, Berurang,
Patunjungan. Terus langsung melintasi Patentanan, Tarub dan Lesan.
Segera
Sri Paduka sampai di Pajarakan, di sana bermalam empat hari. Di tanah
lapang sebelah selatan candi Buda beliau memasang tenda. Dipimpin Arya
Sujanotama para mantri dan pendeta datang menghadap. Menghaturkan
pacitan dan santapan, girang menerima anugerah uang. Berangkat dari situ
Sri Paduka menuju asrama di rimba Sagara. Mendaki bukit-bukit ke arah
selatan dan melintasi terusan Buluh. Melalui wilayah Gede, sebentar lagi
sampai di asrama Sagara. Letaknya gaib ajaib di tengah-tengah hutan
membangkitkan rasa kagum rindu. Sang pujangga Empu Prapanca yang memang
senang bermenung tidak selalu menghadap. Girang melancong ke taman
melepaskan lelah melupakan segala duka. Rela melalaikan paseban
mengabaikan tata tertib para pendeta. Memburu nafsu menjelajah rumah
berbanjar-banjar dalam deretan berjajar. Tiba di taman bertingkat, di
tepi pesanggrahan tempat bunga tumbuh lebat.
Suka
cita Empu Prapanca membaca cacahan (pahatan) dengan slokanya di dalam
cinta. Di atas tiap atap terpahat ucapan seloka yang disertai nama
Pancaksara pada penghabisan tempat terpahat samar-samar, menggirangkan.
Pemandiannya penuh lukisan dongengan berpagar batu gosok tinggi.
Berhamburan bunga nagakusuma di halaman yang dilingkungi selokan Andung,
karawira, kayu mas, menur serta kayu puring dan lain-lainnya. Kelapa
gading kuning rendah menguntai di sudut mengharu rindu pandangan. Tiada
sampailah kata meraih keindahan asrama yang gaib dan ajaib. Beratapkan
hijuk, dari dalam dan luar berkesan kerasnya tata tertib. Semua para
pertapa, wanita dan priya, tua muda nampaknya bijak. Luput dari cela dan
klesa, seolah-olah Siwapada di atas dunia.
Habis
berkeliling asrama, Sri Paduka lalu dijamu. Para pendeta pertapa yang
ucapannya sedap resap. Segala santapan yang tersedia dalam pertapan. Sri
Paduka membalas harta. membuat mereka gembira. Dalam pertukaran kata
tentang arti kependetaan. Mereka mencurahkan isi hati, tiada tertahan.
Akhirnya cengkerma ke taman penuh dengan kesukaan Kegirang-girangan para
pendeta tercengang memandang. Habis kesukaan memberi isyarat akan
berangkat. Pandang sayang yang ditinggal mengikuti langkah yang pergi.
Bahkan yang masih remaja putri sengaja merenung. Batinnya : dewa asmara
turun untuk datang menggoda. Sri Paduka berangkat, asrama tinggal
berkabung. Bambu menutup mata sedih melepas selubung. Sirih menangis
merintih, ayam raga menjerit. Tiung mengeluh sedih, menitikkan air
matanya. Kereta lari cepat, karena jalan menurun. Melintasi rumah dan
sawah di tepi jalan. Segera sampai Arya, menginap satu malam. Paginya ke
utara menuju desa Ganding. Para mentri mancanegara dikepalai
Singadikara, serta pendeta Siwa-Buda.
Membawa
santapan sedap dengan upacara. Gembira dibalas Sri Paduka dengan mas
dan kain. Agak lama berhenti seraya istirahat. Mengunjungi para penduduk
segenap desa. Kemudian menuju Sungai Gawe, Sumanding, Borang, Banger,
Baremi lalu lurus ke barat. Sampai Pasuruan menyimpang jalan ke selatan
menuju Kepanjangan. Menganut jalan raya kereta lari beriring-iring ke
Andoh Wawang ke Kedung Peluk dan ke Hambal, desa penghabisan dalam
ingatan. Segera Sri Paduka menuju kota Singasari bermalam di balai kota.
Empu Prapanca tinggal di sebelah barat Pasuruan. Ingin terus melancong
menuju asrama. Indarbaru yang letaknya di daerah desa. Hujung Berkunjung
di rumah pengawasnya, menanyakan perkara tanah asrama. Lempengan Serat
Kekancingan pengukuh diperlihatkan, jelas setelah dibaca. Isi Serat
Kekancingan : tanah datar serta lembah dan gunungnya milik wihara.
Begitupula sebagian Markaman, ladang Balunghura, sawah Hujung Isi Serat
Kekancingan membujuk sang pujangga untuk tinggal jauh dari pura. Bila
telah habis kerja di pura, ingin ia menyingkir ke Indarbaru. Sebabnya
terburu-buru berangkat setelah dijamu bapa asrama karena ingat akan
giliran menghadap di balai Singasari. Habis menyekar di candi makam, Sri
Paduka mengumbar nafsu kesukaan. Menghirup sari pemandangan di Kedung
Biru, Kasurangganan dan Bureng.
Pada
subakala Sri Paduka berangkat ke selatan menuju Kagenengan. Akan
berbakti kepada pasareyan batara bersama segala pengiringnya Harta.
perlengkapan. makanan. dan bunga mengikuti jalannya kendaraan. Didahului
kibaran bendera,sdisambut sorak-sorai dari penonton. Habis penyekaran,
Baginda keluar dikerumuni segenap rakyat. Pendeta Siwa-Buda dan para
bangsawan berderet leret di sisi beliau. Tidak diceritakan betapa rahap
Sri Paduka bersantap sehingga puas. Segenap rakyat girang menerima
anugerah bahan pakaian yang indah. Tersebut keindahan candi makam,
bentuknya tiada bertara.
Pintu
masuk terlalu lebar lagi tinggi, bersabuk dari luar. Di dalam
terbentang halaman dengan rumah berderet di tepinya. Ditanami aneka
ragam bunga, tanjung, nagasari ajaib. Menara lampai menjulang tinggi di
tengah-tengah, terlalu indah. Seperti gunung Meru dengan arca Batara
Siwa di dalamnya. Karena Girinata putra disembah bagai dewa batara. Datu
leluhur Sri Naranata yang disembah di seluruh dunia. Sebelah selatan
candi pasareyan ada candi sunyi terbengkalai. Tembok serta pintunya yang
masih berdiri, berciri kasogatan lantai di dalam. Hilang kakinya bagian
barat, tinggal yang timur. Sanggar dan pemujaan yang utuh, bertembok
tinggi dari batu merah. Di sebelah utara, tanah bekas kaki rumah
sudahlah rata. Terpencar tanamannya nagapuspa serta salaga di halaman.
Di luar gapura pabaktan luhur, tapi telah longsor tanahnya. Halamannya
luas tertutup rumput, jalannya penuh dengan lumut laksana wanita sakit
merana lukisannya lesu-pucat. Berhamburan daun cemara yang ditempuh
angin, kusut bergelung. Kelapa gading melulur tapasnya, pinang letih
lusuh merayu.
Buluh
gading melepas kainnya, layu merana tak ada hentinya. Sedih mata yang
memandang, tak berdaya untuk menyembuhkannya. Kecuali menanti Hayam
Wuruk sumber hidup segala makhluk. Beliau mashur bagai raja utama, bijak
memperbaiki jagad. Pengasih bagi yang menderita sedih, sungguh titisan
batara. Tersebut lagi, paginya Sri Paduka berkunjung ke candi Kidal.
Sesudah menyembah batara, larut hari berangkat ke Jajago. Habis
menghadap arca Jina, beliau berangkat ke penginapan. Paginya menuju
Singasari, belum lelah telah sampai Bureng. Keindahan Bureng : telaga
bergumpal airnya jernih. Kebiru-biruan, di tengahnya candi karang
bermekala. Tepinya rumah berderet, penuh pelbagai ragam bunga. Tujuan
para pelancong penyerap sari kesenangan. Terlewati keindahannya,
berganti cerita narpati. Setelah reda terik matahari, melintas tegal
tinggi.
Rumputnya
tebal rata, hijau mengkilat, indah terpandang. Luas terlihat laksana
lautan kecil berombak jurang. Seraya berkeliling kereta lari
tergesa-gesa. Menuju Singasari, segera masuk ke pesanggrahan. Sang
pujangga singgah di rumah pendeta Buda, sarjana. Pengawas candi dan
silsilah raja, pantas dikunjungi. Telah lanjut umurnya, jauh melintasi
seribu bulan. Setia, sopan, darah luhur, keluarga raja dan mashur. Meski
sempurna dalam karya, jauh dari tingkah tekebur. Terpuji pekerjaannya,
pantas ditiru keinsafannya. Tamu diterima dengan girang dan ditegur :
“Wahai orang bahagia, pujangga besar pengiring raja, pelindung dan
pengasih keluarga yang mengharap kasih. Jamuan apa yang layak bagi
paduka dan tersedia?” Maksud kedatangannya: ingin tahu sejarah leluhur
para raja yang dicandikan, masih selalu dihadap. Ceriterakanlah mulai
dengan Batara Kagenengan. Ceriterakan sejarahnya jadi putra Girinata.
Paduka
Empuku menjawab : “Rakawi maksud paduka sungguh merayu hati. Sungguh
paduka pujangga lepas budi. Tak putus menambah ilmu, mahkota hidup.
Izinkan saya akan segera mulai. Cita disucikan dengan air sendang
tujuh”.
Terpuji
Siwa! Terpuji Girinata! Semoga terhindar aral, waktu bertutur. Semoga
rakawi bersifat pengampun. Di antara kata mungkin terselib salah. Harap
percaya kepada orang tua. Kurang atau lebih janganlah dicela. Pada tahun
1104 Saka ada raja perwira yuda Putra Girinata, konon kabarnya lahir di
dunia tanpa ibu. Semua orang tunduk, sujud menyembah kaki bagai tanda
bakti. Sri Ranggah Rajasa nama beliau, penggempur musuh pahlawan bijak.
Daerah luas sebelah timur gunung Kawi terkenal subur makmur. Di situlah
tempat putra Sang Girinata menunaikan darmanya. Menggirangkan budiman,
menyirnakan penjahat, meneguhkan negara, ibukota negara bernama
Kotaraja, penduduknya sangat terganggu. Tahun 1144 Saka, beliau melawan
raja Kediri Sang Adiperwira Kretajaya, putus sastra serta tatwopadesa.
Kalah, ketakutan, melarikan diri ke dalam biara terpencil. Semua
pengawal dan perwira tentara yang tinggal, mati terbunuh. Setelah kalah
Narpati Kediri, Jawa di dalam ketakutan. Semua raja datang menyembah
membawa tanda bakti hasil tanah. Bersatu Jenggala Kediri di bawah kuasa
satu raja sakti. Cikal bakal para raja agung yang akan memerintah pulau
Jawa. Makin bertambah besar kuasa dan megah putra sang Girinata.
Terjamin keselatamatan pulau Jawa selama menyembah kakinya. Tahun 1149
Saka beliau kembali ke Siwapada. Dicandikan di Kagenengan bagai Siwa, di
Usana bagai Buda.
Batara
Anusapati putra Sri Paduka, berganti dalam kekuasaan. Selama
pemerintahannya. tanah Jawa kokoh sentosa, bersembah bakti. Tahun 1170
Saka beliau pulang ke Siwaloka. Cahaya beliau diujudkan arca Siwa
gemilang di candi pasareyan Kidal. Batara Wisnu Wardana, putra Sri
Paduka, berganti dalam kekuasaan. Beserta Narasinga bagai Madawa dengan
Indra memerintah negara Beliau memusnahkan perusuh Linggapati serta
segenap pengikutnya. Takut semua musuh kepada beliau sungguh titisan
Siwa di bumi. Tahun 1176 Saka, Batara Wisnu menobatkan putranya. Segenap
rakyat Kediri Jenggala berduyun-duyun ke pura mangastubagia. Prabu
Kerta Negara nama gelarannya, tetap demikian seterusnya. Daerah Kotaraja
bertambah makmur, berganti nama praja Singasari. Tahun 1192, Raja Wisnu
berpulang. Dicandikan di Waleri berlambang arca Siwa, di Jajago arca
Buda. Sementara itu Batara Nara Singa Murti pun pulang ke Surapada.
Dicandikan di Wengker, di Kumeper diarcakan bagai Siwa mahadewa.
Tersebut Sri Paduka Kertanagara membinasakan perusuh, penjahat. Bernama
Cayaraja, gugur pada tahun Saka 1192. Tahun 1197 Saka, Sri Paduka
menyuruh tundukkan Melayu. Berharap Melayu takut kedewaan beliau tunduk
begitu sahaja.
Tahun
1202 Saka, Sri Paduka Prabu memberantas penjahat Mahisa Rangga, karena
jahat tingkahnya dibenci seluruh negara. Tahun 1206 Saka, mengirim
utusan menghancurkan Bali. Setelah kalah rajanya menghadap Sri Paduka
sebagai orang tawanan. Demikianlah dari empat jurusan orang lari
berlindung di bawah Sri Paduka. Seluruh Pahang, segenap Melayu tunduk
menekur di hadapan beliau. Seluruh Gurun, segenap Bakulapura lari
mencari perlindungan. Sunda Madura tak perlu dikatakan, sebab sudah
terang setanah Jawa. Jauh dari tingkah alpa dan congkak, Sri Paduka
waspada, tawakal dan bijak. Faham akan segala seluk beluk pemerintahan
sejak zaman Kali. Karenanya tawakal dalam agama dan tapa untuk teguhnya
ajaran Buda. Menganut jejak para leluhur demi keselamatan seluruh praja.
Menurut
kabar sastra raja Pandawa memerintah sejak zaman Dwapara. Tahun 1209
Saka, beliau pulang ke Budaloka. Sepeninggalnya datang zaman Kali, dunia
murka, timbul huru hara. Hanya batara raja yang faham dalam nam guna,
dapat menjaga jagad. Itulah sebabnya Sri Paduka teguh bakti menyembah
kaki Sakyamuni. Teguh tawakal memegang Pancasila, laku utama, upacara
suci Gelaran Jina beliau yang sangat mashur ialah Sri Jnanabadreswara.
Putus dalam filsafat, ilmu bahasa dan lain pengetahuan agama.
Berlumba-lumba beliau menghirup sari segala ilmu kebatinan. Pertama-tama
tantra Subuti diselami, intinya masuk ke hati.
Melakukan
puja, yoga, samadi demi keselamatan seluruh praja. Menghindarkan
tenung, mengindahkan anugerah kepada rakyat murba. Di antara para raja
yang lampau tidak ada yang setara beliau. Faham akan nam guna, sastra,
tatwopadesa, pengetahuan agama Adil, teguh dalam Jinabrata dan tawakal
kepada laku utama. Itulah sebabnya beliau turun-temurun menjadi raja
pelindung. Tahun 1214 Saka, Sri Paduka pulang ke Jinalaya. Berkat
pengetahuan beliau tentang upacara, ajaran agama. Beliau diberi gelaran :
Yang Mulia bersemayam di alam Siwa-Buda. Di pasareyan beliau bertegak
arca Siwa-Buda terlampau indah permai. Di Sagala ditegakkan pula arca
Jina sangat bagus dan berkesan. Serta arca Ardanareswari bertunggal
dengan arca Sri Bajradewi. Teman kerja dan tapa demi keselamatan dan
kesuburan negara Hyang Wairocana-Locana bagai lambangnya pada arca
tunggal, terkenal.
Tatkala
Sri Paduka Kertanagara pulang ke Budabuana. Merata takut, duka, huru
hara, laksana zaman Kali kembali. Raja bawahan bernama Jayakatwang,
berwatak terlalu jahat berkhianat, karena ingin berkuasa di wilayah
Kediri. Tahun 1144 Saka, itulah sirnanya raja Kertajaya atas perintah
Siwaputra Jayasaba berganti jadi raja. Tahun Saka 1180, Sastrajaya raja
Kediri. Tahun 1193, Jayakatwang raja terakhir. Semua raja berbakti
kepada cucu putra Girinata. Segenap pulau tunduk kepada kuasa Prabu
Kerta Negara. Tetapi raja Kediri Jayakatwang membuta dan mendurhaka.
Ternyata damai tak baka akibat bahaya anak piara Kali. Berkat keulungan
sastra dan keuletannya jadi raja sebentar. Lalu ditundukkan putra Sri
Paduka, ketenterarnan kembali. Sang menantu Raden Wijaya, itu gelarnya
yang terkenal di dunia Bersekutu dengan bangsa Tartar, menyerang melebur
Jayakatwang.
Sepeninggal
Jayakatwang jagad gilang cemerlang kembali. Tahun 1216 Saka, Raden
Wijaya menjadi raja. Disembah di Majapahit, kesayangan rakyat, pelebur
musuh. Bergelar Sri Baginda Kerta Rajasa Jaya Wardana. Selama Kerta
Rajasa Jaya Wardana duduk di takhta, seluruh tanah Jawa bersatu padu,
tunduk menengadah. Girang memandang pasangan Sri Paduka empat jumlahnya.
Putri Kertanagara cantik-cantik bagai bidadari. Sang Parameswari Tri
Buwana yang sulung, luput dari cela. Lalu parameswari Mahadewi, rupawan
tidak bertara Prajnya Paramita Jayendra Dewi, cantik manis menawan hati.
Gayatri, yang bungsu, paling terkasih digelari Rajapatni. Pernikahan
beliau dalam kekeluargaan tingkat tiga. Karena Batara Wisnu dengan
Batara Nara Singa Murti. Akrab tingkat pertama, Narasinga menurunkan
Dyah Lembu Tal Sang perwira yuda, dicandikan di Mireng dengan arca Buda.
Dyah Lembu Tal itulah bapa Sri Baginda. Dalam hidup atut runtut sepakat
sehati. Setitah raja diturut, menggirangkan pandang. Tingkah laku
mereka semua meresapkan. Tersebut tahun Saka 1217, Sri Paduka menobatkan
putranya di Kediri. Perwira, bijak, pandai, putra Indreswari. Bergelar
Sri Paduka putra Jayanagara. Tahun Saka 1231, Sang Prabu mangkat,
ditanam di dalam pura Antahpura, begitu nama pasareyan beliau. Dan di
pasareyan Simping ditegakkan arca Siwa.
Beliau
meninggalkan Jayanagara sebagai raja Wilwatikta. Dan dua orang putri
keturunan Rajapatni, terlalu cantik. Bagai dewi Ratih kembar,
mengalahkan rupa semua bidadari. Yang sulung jadi rani di Jiwana, yang
bungsu jadi rani Daha. Tersebut pada tahun Saka 1238, bulan Madu Sri
Paduka Jayanagara berangkat ke Lumajang menyirnakan musuh. Kotanya
Pajarakan dirusak, Nambi sekeluarga dibinasakan. Giris miris segenap
jagad melihat keperwiraan Sri Paduka. Tahun Saka 1250, beliau berpulang.
Segera dimakamkan di dalam pura berlambang arca Wisnuparama. Di Sila
Petak dan Bubat ditegakkan arca Wisnu terlalu indah. Di Sukalila
terpahat arca Buda sebagai jelmaan Amogasidi.
Tahun
Saka 1256, Rani Jiwana Wijaya Tungga Dewi bergilir mendaki takhta
Wilwatikta. Didampingi raja putra Singasari atas perintah ibunda
Rajapatni. Sumber bahagia dan pangkal kuasa. Beliau jadi pengemban dan
pengawas raja muda, Sri Paduka Wilwatikta. Tahun Saka 1253 sirna musuh
di Sadeng, Keta diserang. Selama bertakhta, semua terserah kepada
Mahamantri agung bijak, Mada namanya. Tahun Saka 1265, raja Bali yang
alpa dan rendah budi diperangi, gugur bersama balanya. Menjauh segala
yang jahat, tenteram”.
Begitu
ujar Dang Acarya Ratnamsah. Sungguh dan mengharukan ujar Sang Kaki.
Jelas keunggulan Sri Paduka di dunia. Dewa asalnya, titisan Girinata.
Barang siapa mendengar kisah raja. Tak puas hatinya, bertambah baktinya.
Pasti takut melakukan tindak jahat. Menjauhkan diri dari tindak
durhaka.
Paduka
Empu minta maaf berkata : “Hingga sekian kataku, sang rakawi. Semoga
bertambah pengetahuanmu. Bagai buahnya, gubahlah puja sastra”.
Habis
jamuan rakawi dengan sopan. Minta diri kembali ke Singasari. Hari surut
sampai pesanggrahan lagi. Paginya berangkat menghadap Sri Paduka.
Tersebut Sri Paduka Prabu berangkat berburu. Lengkap dengan senjata,
kuda dan kereta. Dengan bala ke hutan Alaspati, rimba belantara rungkut
rimbun penuh gelagah rumput rampak. Bala bulat beredar membuat
lingkaran. Segera siap kereta berderet rapat. Hutan terkepung,
terperanjat kera menjerit burung ribut beterbangan berebut dulu.
Bergabung sorak orang berseru den membakar. Gemuruh bagaikan deru lautan
mendebur. Api tinggi menyala menjilat udara. Seperti waktu hutan
Alaspati terbakar. Lihat rusa-rusa lari lupa daratan. Bingung berebut
dahulu dalam rombongan. Takut miris menyebar, ingin lekas lari. Malah
manengah berkumpul tumpuk timbun. Banyaknya bagai banteng di dalam
Gobajra Penuh sesak, bagai lembu di Wresabapura Celeng, banteng, rusa,
kerbau, kelinci. Biawak, kucing, kera, badak dan lainnya. Tertangkap
segala binatang dalam hutan. Tak ada yang menentang, semua bersatu.
Srigala gagah, yang bersikap tegak-teguh. Berunding dengan singa sebagai
ketua.
Izinkanlah
saya bertanya kepada raja satwa. Sekarang raja merayah hutan, apa yang
diperbuat? Menanti mati sambil berdiri ataukah kita lari. Atau tak
gentar serentak melawan, jikalau diserang? Seolah-olah demikian kata
srigala dalam rapat. Kijang menjawab : “Hemat patik tidak ada jalan lain
kecuali lari. Lari mencari keselamatan diri sedapat mungkin”. Kaswari,
rusa dan kelinci setuju. Banteng berkata : “Amboi! Celaka kijang,
sungguh binatang hina lemah. Bukanlah sifat perwira lari, atau menanti
mati. Melawan dengan harapan menang, itulah kewajiban.” Kerbau, lembu
serta harimau setuju dengan pendapat ini. Jawab singa : “Usulmu berdua
memang pantas diturut, Bung. Tapi harap dibedakan, yang dihadapi baik
atau buruk. Jika penjahat, terang kita lari atau kita lawan. Karena
sia-sia belaka, jika mati terbunuh olehnya. Jika kita menghadapi
tripaksa, resi Siwa-Buda. Seyogyanya kita ikuti saja jejak sang pendeta.
Jika menghadapi raja berburu, tunggu mati saja. Tak usah engkau merasa
enggan menyerahkan hidupmu. Karena raja berkuasa mengakhiri hidup
makhluk. Sebagai titisan Batara Siwa berupa narpati. Hilang segala
dosanya makhluk yang dibunuh beliau. Lebih utama dari pada terjun ke
dalam telaga. Siapa di antara sesama akan jadi musuhku? Kepada tripaksa
aku takut, lebih utama menjauh. Niatku, jika berjumpa raja, akan
menyerahkan hidup. Mati olehnya, tak akan lahir lagi bagai binatang.
Bagaikan
katanya: “Marilah berkumpul!” Kemudian serentak maju berdesak. Prajurit
darat yang terlanjur langkahnya. Tertahan tanduk satwa, lari kembali.
Tersebutlah prajurit berkuda. Bertemu celeng sedang berdesuk kumpul.
Kasihan! Beberapa mati terbunuh. Dengan anaknya dirayah tak berdaya.
Lihatlah celeng jalang maju menerjang. Berempat, berlima, gemuk, tinggi,
marah. Buas membekos-bekos, matanya merah. Liar dahsyat, saingnya
seruncing golok. Tersebut pemburu kijang rusa riuh seru-menyeru.
Ada
satu yang tertusuk tanduk, lelah lambat jalannya. Karena luka kakinya,
darah deras meluap-luap. Lainnya mati terinjak-injak, menggelimpang
kesakitan. Bala kembali berburu, berlengkap tombak serta lembing.
Berserak kijang rusa di samping bangkai bertumpuk timbun. Banteng serta
binatang galak lainnya bergerak menyerang. Terperanjat bala raja
bercicir lari tunggang langgang. Ada yang lari berlindung di jurang,
semak, kayu rimbun. Ada yang memanjat pohon, ramai mereka berebut
puncak. Kasihanlah yang memanjat pohon tergelincir ke bawah Betisnya
segera diseruduk dengan tanduk, pingsanlah! Segera kawan-kawan datang
menolong dengan kereta. Menombak, melembing, menikam, melanting,
menjejak-jejak. Karenanya badak mundur, meluncur berdebak gemuruh. Lari
terburu, terkejar, yang terbunuh bertumpuk timbun. Ada pendeta Siwa-Buda
yang turut menombak, mengejar. Disengau harimau, lari diburu binatang
mengancam. Lupa akan segala darma, lupa akan tata sila. Turut melakukan
kejahatan, melupakan darmanya.
Tersebut
Sri Paduka telah mengendarai kereta kencana. Tinggi lagi indah ditarik
lembu yang tidak takut bahaya, menuju hutan belantara, mengejar buruan
ketakutan. Yang menjauhkan diri lari bercerai-berai meninggalkan
bangkai. Celeng. kaswari, rusa dan kelinci tinggal dalam ketakutan. Sri
Paduka berkuda mengejar yang riuh lari bercerai-berai. Mahamantri Agung,
tanda dan pujangga di punggung kuda turut memburu binatang jatuh
terbunuh tertombak, terpotong. tertusuk, tertikam. Tanahnya luas lagi
rata, hutannya rungkut di bawah terang. Itulah sebabnya kijang dengan
mudah dapat diburu kuda. Puaslah hati Sri Paduka sambil bersantap
dihadap pendeta. Bercerita tentang caranya berburu, menimbulkan gelak
tawa. Terlangkahi betapa narpati sambil berburu menyerap sari keindahan
gunung dan hutan, kadang-kadang kepayahan kembali ke rumah perkemahan.
Membawa
wanita seperti cengkeraman, di hutan bagai menggempur, negara tahu
kejahatan satwa, beliau tak berdosa terhadap darma ahimsa. Tersebut
beliau bersiap akan pulang, rindu kepada keindahan pura. Tatkala
subakala berangkat menuju Banyu Hanget, Banir dan Talijungan. Bermalam
di Wedwawedan, siangnya menuju Kuwarahan, Celong dan Dadamar Garuntang,
Pagar Telaga, Pahanjangan, sampai di situ perjalanan beliau. Siangnya
perjalanan melalui Tambak, Rabut, Wayuha terus ke Balanak menuju
Pandakan, Banaragi, sampai Pandamayan beliau lalu bermalam Kembal! ke
selatan, ke barat, menuju Jejawar di kaki gunung berapi. Disambut
penoton bersorak gembira, menyekar sebentar di candi makam. Adanya candi
pasareyan tersebut sudah sejak zaman dahulu. Didirikan oleh Sri
Kertanagara, moyang Sri Paduka Prabu. Di situ hanya jenazah beliau
sahaja yang dimakamkan. Karena beliau dulu memeluk dua agama Siwa-Buda.
Bentuk candi berkaki Siwa berpuncak Buda, sangat tinggi. Di dalamnya
terdapat arca Siwa, indah tak dapat dinilai. Dan arca Maha Aksobya
bermahkota tinggi tidak bertara. Namun telah hilang, memang sudah layak,
tempatnya: di Nirwana.
Konon
kabarnya tepat ketika arca Hyang Aksobya hilang, ada pada Sri Paduka
guru besar, mashur. Pada Paduka putus tapa, sopan suci penganut pendeta
Sakyamuni Telah terbukti bagai mahapendeta terpundi sasantri. Senang
berziarah ke tempat suci, bermalam dalam candi. Hormat mendekati Hyang
arca suci, khidmat berbakti sembah. Menimbul-kan iri di dalam hati
pengawas candi suci. Ditanya mengapa berbakti kepada arca dewa Siwa.
Pada Paduka menjelaskan sejarah candi pasareyan suci. Tentang adanya
arca Aksobya indah, dahulu di atas. Sepulangnya kembali lagi ke candi
menyampaikan bakti. Kecewa! tercengang memandang arca Maha Aksobya
hilang. Tahun Saka 1253 itu hilangnya arca. Waktu hilangnya halilintar
menyambar candi ke dalam.
Benarlah
kabuan pendeta besar bebas dari prasangka. Bagaimana membangun kembali
candi tua terbengkalai?. Tiada ternilai indahnya, sungguh seperti surga
turun. Gapura luar, mekala serta bangunannya serba permai. Hiasan di
dalamnya naga puspa yang sedang berbunga. Di sisinya lukisan putri
istana berseri-seri. Sementara Sri Paduka girang cengkerma menyerap
pemandangan. Pakis berserak sebar di tengah tebat bagai bulu dada. Ke
timur arahnya di bawah terik matahari Sri Paduka. Meninggalkan candi
Pekalongan girang ikut jurang curam. Tersebut dari Jajawa Sri Paduka
berangkat ke desa padameyan. Berhenti di Cunggrang, mencahari
pemandangan, masuk hutan rindang. Ke arah asrama para pertapa di lereng
kaki gunung menghadap jurang. Luang jurang ternganga-nganga ingin
menelan orang yang memandang.
Habis
menyerap pemandangan, masih pagi kereta telah siap. Ke barat arahnya
menuju gunung melalui jalannya dahulu. Tiba di penginapan Japan, barisan
tentara datang menjemput yang tinggal di pura iri kepada yang gembira
pergi menghadap. Pukul tiga itulah waktu Sri Paduka bersantap
bersama-sama. Paling muka duduk Sri Paduka lalu dua paman berturut
tingkat raja Matahun dan Paguhan bersama permaisuri agak jauhan. Di sisi
Sri Paduka, terlangkahi berapa lamanya bersantap. Paginya pasukan
kereta Sri Paduka berangkat lagi. Sang pujangga menyidat jalan ke Rabut,
Tugu, Pengiring. Singgah di Pahyangan, menemui kelompok sanak kadang.
Dijamu sekadarnya, karena kunjungannya mendadak. Banasara dan Sangkan
Adoh tesah lama dilalui. Pukul dua Sri Paduka telah sampai di perbatasan
kota Sepanajng jalan berdesuk-desuk, gajah, kuda, pedati. Kerbau,
banteng dan prajurit darat sibuk berebut jalan. Teratur rapi mereka
berarak di dalam deretan. Narpati Pajang, permaisuri dan pengiring
paling muka. Di belakangnya tidak jauh, berikut Narpati Lasom.
Terlampau
indah keretanya, menyilaukan yang memandang. Rani Daha, rani Wengker
semuanya urut belakang. Disusul rani Jiwana bersama laki dan pengiring.
Bagai penutup kereta Sri Paduka serombongan besar. Diiring beberapa ribu
perwira dan para mentri. Tersebut orang yang rapat rampak menambak tepi
jalan Berjejal ribut menanti kereta Sri Paduka berlintas.
Tergopoh-gopoh wanita ke pintu berebut tempat. Malahan ada yang lari
telanjang lepas sabuk kainnya. Yang jauh tempatnya, memanjat kekayu
berebut tinggi. Duduk berdesak-desak di dahan, tak pandang tua muda.
Bahkan ada juga yang memanjat batang kelapa kuning. Lupa malu dilihat
orang, karena tepekur memandang. Gemuruh dengung gong menampung Sri
Paduka Prabu datang. Terdiam duduk merunduk segenap orang di jalanan.
Setelah raja lalu berarak pengiring di belakang. Gajah. kuda, keledai,
kerbau berduyun beruntun-runtun.
Yang
berjalan rampak berarak-arak. Barisan pikulan bejalan belakang. Lada,
kesumba, kapas, buah kelapa. Buah pinang, asam dan wijen terpikul. Di
belakangnya pemikul barang berat. Sengkeyegan lambat berbimbingan
tangan. Kanan menuntun kirik dan kiri genjik. Dengan ayam itik di
keranjang merunduk. Jenis barang terkumpul dalam pikulan. Buah kecubung,
rebung, seludang, cempaluk. Nyiru, kerucut, tempayan, dulang, periuk.
Gelaknya seperti hujan panah jatuh. Tersebut Sri Paduka telah masuk
pura. Semua bubar ke rumah masing-masing. Ramai bercerita tentang hal
yang lalu Membuat girang semua sanak kadang. Waktu lalu Sri Paduka tak
lama di istana. Tahun Saka 1282, Badra pada. Beliau berangkat menuju
Tirib dan Sempur. Nampak sangat banyak binatang di dalam hutan. Tahun
Saka 1283 Waisaka, Sri Paduka Prabu berangkat menyekar ke Palah. Dan
mengunjungi Jimbe untuk menghibur hati. Di Lawang Wentar, Blitar
menenteramkan cita. Dari Blitar ke selatan jalannya mendaki.
Pohonnya
jarang, layu lesu kekurangan air. Sampai Lodaya bermalam beberapa hari.
Tertarik keindahan lautan, menyisir pantai. Meninggalkan Lodaya menuju
desa Simping. Ingin memperbaiki candi pasareyan leluhur. Menaranya
rusak, dilihat miring ke barat. Perlu ditegakkan kembali agak ke timur.
Perbaikan disesuaikan dengan bunyi prasati, yang dibaca lagi. Diukur
panjang lebarnya, di sebelah timur sudah ada tugu. Asrama Gurung-gurung
diambil sebagai denah candi makam. Untuk gantinya diberikan Ginting,
Wisnurare di Bajradara. Waktu pulang mengambil jalan Jukung,
Inyanabadran terus ke timur. Berhenti di Bajralaksmi dan bermalam di
candi Surabawana. Paginya berangkat lagi berhenti di Bekel, sore sampai
pura Semua pengiring bersowang-sowang pulang ke rumah masing-masing.
Tersebut paginya Sri naranata dihadap para mentri semua. Di muka para
arya, lalu pepatih, duduk teratur di manguntur.
Patih
amangkubumi Gajah Mada tampil ke muka sambil berkata : “Sri Paduka akan
melakukan kewajiban yang tak boleh diabaikan. Atas Perintah sang rani
Sri Tri Buwana Wijaya Tungga Dewi supaya pesta serada Sri Padukapatni
dilangsungkan Sri Paduka. Di istana pada tahun Saka 1284 bulan
Badrapada. Semua pembesar dan wreda Mahamantri Agung diharap memberi
sumbangan.” Begitu kata sang patih dengan ramah, membuat gembira. Sri
Paduka Sorenya datang para pendeta, para budiman, sarjana dan mentri.
Yang dapat pinjaman tanah dengan Ranadiraja sebagai kepala Bersama-sama
membicarakan biaya di hadapan Sri Paduka. Tersebut sebelum bulan
Badrapada menjelang surutnya Srawana. Semua pelukis berlipat giat
menghias “tempat singa” di setinggil Ada yang mengetam baki makanan,
bokor-bokoran, membuat arca. Pandai emas dan perak turut sibuk bekerja
membuat persiapan. Ketika saatnya tiba tempat telah teratur sangat rapi.
Balai witana terhias indah di hadapan rumah-rumahan.
Satu
di antaranya berkaki batu karang bertiang merah. Indah dipandang semua
menghadap ke arah takhta Sri Paduka. Barat, mandapa dihias janur rumbai,
tempat duduk para raja. Utara, serambi dihias berlapis ke timur, tempat
duduk. Para isteri, pembesar, Mahamantri Agung, pujangga. Serta pendeta
Selatan, beberapa serambi berhias bergas untuk abdi. Demikian persiapan
Sri Paduka memuja Buda Sakti. Semua pendeta Buda berdiri dalam
lingkaran bagai saksi. Melakukan upacara, dipimpin oleh pendeta Stapaka.
Tenang, sopan budiman faham tentang sastra tiga tantra. Umurnya
melintasi seribu bulan, masih belajar tutur. Tubuhnya sudah rapuh,
selama upacara harus dibantu. Empu dari Paruh selaku pembantu berjalan
di lingkaran. Mudra, mantra dan japa dilakukan tepat menurut aturan.
Tanggal dua belas nyawa dipanggil dari surga dengan doa. Disuruh kembali
atas doa dan upacara yang sempurna. Malamnya memuja arca bunga bagai
penampung jiwa mulia. Dipimpin Dang Acarya, mengheningkan cipta,
mengucapkan puja.
Pagi
purnamakala arca bunga dikeluarkan untuk upacara. Gemuruh disambut
dengan dengung salung, tambur, terompet serta genderang. Didudukkan di
atas singasana, besarnya setinggi orang berdiri berderet beruntun-runtun
semua pendeta tua muda memuja. Berikut para raja, parameswari dan putra
mendekati arca. Lalu para patih dipimpin Gajah Mada maju ke muka
berdatang sembah. Para bupati pesisir dan pembesar daerah dari empat
penjuru. Habis berbakti sembah, kembali mereka semua duduk rapi teratur.
Sri Nata Paguhan paling dahulu menghaturkan sajian makanan sedap
Bersusun timbun seperti pohon, dan sirih bertutup kain sutera
Persembahan raja Matahun arca banteng putih seperti lembu. Nandini.
Terus menerus memuntahkan harta dan makanan dari nganga mulutnya. raja
Wengker mempersembahkan sajian berupa rumah dengan taman bertingkat
Disertai penyebaran harta di lantal balai besar berhambur-hamburan.
Elok
persembahan raja Tumapel berupa wanita cantik manis Dipertunjukkan
selama upacara untuk mengharu-rindukan hati. Paling haibat persembahan
Sri Paduka berupa gunung besar. Mandara Digerakkan oleh sejumlah dewa
dan danawa dahsyat menggusarkan pandang Ikan lambora besar
beriembak-lembak mengebaki kolam bujur lebar Bagaikan sedang mabuk
diayun gelombang, di tengah-tengah lautan besar. Tiap hari persajian
makanan yang dipersembahkan dibagi-bagi. Agar para wanita, Mahamantri
Agung, pendeta dapat makanan sekenyangnya Tidak terlangkahi para
kesatria, arya dan para abdi di pura. Tak putusnya makanan sedap nyaman
diedarkan kepada bala tentara. Pada hari keenam pagi Sri Paduka bersiap
mempersembahkan persajian. Pun para kesatria dan pembesar
mempersembahkan rumah- rumahan yang terpikul.
Dua
orang pembesar mempersembahkan perahu yang melukiskan kutipan kidung.
Seperahu sungguh besarnya, diiringi gong dan bubar mengguntur
menggembirakan. Esoknya patih mangkubumi Gajah Mada sore-sore menghadap
sambi menghaturkan. Sajian wanita sedih merintih di bawah nagasari
dibelit rajasa. Mahamantri Agung, arya, bupati, pembesar desa pun turut
menghaturkan persajian. Berbagai ragamnya, berduyun-duyun ada yang
berupa perahu, gunung, rumah, ikan. Sungguh-sungguh mengagumkan
persembahan Sri Paduka Prabu pada hari yang ketujuh. Beliau menabur
harta, membagi-bagi bahan pakaian dan hidangan, makanan. Luas merata
kepada empat kasta, dan terutama kepada para pendeta. Hidangan jamuan
kepada pembesar, abdi dan niaga mengalir bagai air. Gemeruduk dan
gemuruh para penonton dari segenap arah, berdesak-sesak. Ribut berebut
tempat melihat peristiwa di balai agung serta para luhur. Sri Nata
menari di balai witana khusus untuk para putri dan para istri. Yang
duduk rapat rapi berimpit ada yang ngelamun karena tercengang memandang.
Segala
macam kesenangan yang menggembirakan hati rakyat diselenggarakan.
Nyanyian, wayang, topeng silih berganti setiap hari dengan paduan suara.
Tari perang prajurit yang dahsyat berpukul-pukulan, menimbulkan
gelak-mengakak. Terutama derma kepada orang yang menderita membangkitkan
gembira rakyat. Pesta serada yang diselenggarakan serba meriah dan
khidmat. Pasti membuat gembira jiwa Sri Padukapatni yang sudah mangkat.
Semoga beliau melimpahkan barkat kepada Sri Paduka Prabu Sehingga jaya
terhadap musuh selama ada bulan dan surya. Paginya pendeta Buda datang
menghormati, memuja dengan sloka. Arwah Prajnyaparamita yang sudah
berpulang ke Budaloka. Segera arca bunga diturunkan kembali dengan
upacara. Segala macam makanan dibagikan kepada segenap abdi. Lodang lega
rasa Sri Paduka melihat perayaan langsung lancar. Karya yang masih
menunggu, menyempurnakan candi di Kamal Pandak. Tanahnya telah disucikan
tahun 1274. Dengan persajian dan puja kepada Brahma oleh Jnyanawidi.
Demikian
sejarah Kamal menurut tutur yang dipercaya. Dan Sri Nata Panjalu di
Daha, waktu bumi Jawa dibelah. Karena cinta Sinuwun Prabu Airlangga
kepada dua putranya. Ada pendeta Budamajana putus dalam tantra dan yoga.
Diam di tengah kuburan lemah Citra, jadi pelindung rakyat. Waktu ke
Bali berjalan kaki, tenang menapak di air lautan. Hyang Empu Barada nama
beliau, faham tentang tiga zaman. Girang beliau menyambut permintaan
Airlangga membelah negara. Tapal batas negara ditandai air kendi mancur
dari langit. Dari barat ke timur sampai laut, sebelah utara, selatan.
Yang tidak jauh, bagaikan dipisahkan oleh samudera besar. Turun dari
angkasa sang pendeta berhenti di pohon asam. Selesai tugas kendi suci
ditaruhkan di dusun Palungan. Marah terhambat pohon asam tinggi yang
puncaknya mengait jubah.
Mpu
Barada terbang lagi, mengutuk asam agar jadi kerdil. Itulah tugu batas
gaib, yang tidak akan mereka lalui. Itu pula sebabnya dibangun candi,
memadu Jawa lagi. Semoga Sri Paduka serta rakyat tetap tegak, teguh,
waspada. Berjaya dalam memimpin negara, yang sudah bersatu padu. Prajnya
Paramita Puri itulah nama candi pasareyan yang dibangun. Arca Sri
Padukapatni diberkahi oleh Sang pendeta Jnyanawidi. Telah lanjut usia,
faham akan tantra, menghimpun ilmu agama, laksana titisan Empu Barada,
menggembirakan hati Sri Paduka. Di Bayalangu akan dibangun pula candi
pasareyan Sri Padukapatni. Pendeta Jnyanawidi lagi yang ditugaskan
memberkahi tanahnya. Rencananya telah disetujui oleh sang Mahamantri
Agung demung. Boja Wisesapura namanya, jika candi sudah sempurna
dibangun. Candi pasareyan Sri Padukapatni tersohor sebagai tempat
keramat. Tiap bulan Badrapada disekar oleh para Mahamantri Agung dan
pendeta. Di tiap daerah rakyat serentak membuat peringatan dan memuja.
Itulah suarganya, berkat berputra, bercucu narendra utama.
Tersebut
pada tahun Saka 1285, Sri Paduka menuju Simping demi pemindahan candi
makam. Siap lengkap segala persajian tepat menurut adat. Pengawasnya
Rajaparakrama memimpin upacara. Faham tentang tatwopadesa dan
kepercayaan Siwa. Memangku jabatannya semenjak mangkat Kerta Rajasa.
Ketika menegakkan menara dan mekala gapura. Bangsawan agung Arya Krung,
yang diserahi menjaganya. Sekembalinya dari Simping segera masuk ke
pura. Terpaku mendengar AdiMahamantri Agung Gajah Mada gering. Pernah
mencurahkan tenaga untuk keluhuran Jawa. Di pulau Bali serta kota Sadeng
memusnahkan musuh. Tahun Saka 1253 beliau mulai memikul tanggung jawab.
Tahun 1286 Saka beliau mangkat, Sri Paduka gundah, terharu bahkan putus
asa.
Sang
dibyacita Gajah Mada cinta kepada sesama tanpa pandang bulu. Insaf
bahwa hidup ini tidak baka karenanya beramal tiap hari. Sri Paduka
segera bermusyawarah dengan kedua rama serta bunda. Kedua adik dan kedua
ipar tentang calon pengganti Ki Patih Mada. Yang layak akan diangkat
hanya calon yang sungguh mengenal tabiat rakyat. Lama timbang-menimbang,
tetapi seribu sayang tidak ada yang memuaskan. Sri Paduka berpegang
teguh, AdiMahamantri Agung Gajah Mada tak akan diganti. Bila karenanya
timbul keberatan beliau sendiri bertanggung jawab. Mernilih enam
Mahamantri Agung yang menyampaikan urusan negara ke istana. Mengetahui
segala perkara, sanggup tunduk kepada pimpinan. Sri Paduka. Itulah
putusan rapat tertutup. Hasil yang diperoleh perundingan. Terpilih
sebagai wredaMahamantri Agung. Karib Sri Paduka bernama Empu Tandi.
Penganut karib Sri Baginda. Pahlawan perang bernama Empu Nala.
Mengetahui budi pekerti rakyat.
Mancanegara
bergelar tumenggung. Keturunan orang cerdik dan setia. Selalu memangku
pangkat pahlawan. Pernah menundukkan negara Dompo. Serba ulet
menanggulangi musuh. Jumlahnya bertambah dua Mahamantri Agung. Bagai
pembantu utama Sri Paduka. Bertugas mengurus soal perdata. Dibantu oleh
para upapati. Empu Dami menjadi Mahamantri Agung muda. Selalu ditaati di
istana. Empu Singa diangkat sebagai saksi. Dalam segala perintah Sri
Paduka. Demikian titah Sri Baginda. Puas, taat teguh segenap rakyat.
Tumbuh tambah hari setya baktinya. Karena Sri Paduka yang memerintah.
Sri Paduka makin keras berusaha untuk dapat bertindak lebih. Dalam
pengadilan tidak serampangan, tapi tepat mengikut undang-undang. Adil
segala keputusan yang diambil, semua pihak merasa puas. Mashur nama
beliau, mampu menembus jaman, sungguhlah titiaan batara. Candi pasareyan
serta bangunan para leluhur sejak zaman dahulu kala. Yang belum siap
diselesaikan, dijaga dan dibina dengan saksama.
Yang
belum punya prasasti, disuruh buatkan Serat Kekancingan pada ahli
sastra. Agar kelak jangan sampai timbul perselisihan, jikalau sudah
temurun. Jumlah candi pasareyan raja seperti berikut, mulai dengan
Kagenengan. Disebut pertama karena tertua : Tumapel, Kidal, Jajagu,
Wedwawedan. Di Tuban, Pikatan, Bakul, Jawa-jawa, Antang Trawulan, Katang
Brat dan Jago. Lalu Balitar, Sila Petak, Ahrit, Waleri, Bebeg, Kukap,
Lumbang dan Puger. pasareyan rani : Kamal Pandak, Segala, Simping. Sri
Ranggapura serta candi Budi Kuncir. Bangunan baru Prajnya Paramita Puri.
Di Bayatangu yang baru saja dibangun. Itulah dua puluh tujuh candi
raja. Pada Saka tujuh guru candra (1287) bulan Badra. Dijaga petugas
atas perintah raja. Diawasi oleh pendeta ahli sastra. Pembesar yang
bertugas mengawasi seluruhnya sang Wiradikara.
Orang
utama, yang saksama dan tawakal membina semua candi. Setia kepada Sri
Paduka, hanya memikirkan kepentingan bersama Segan mengambil keuntungan
berapa pun penghasilan candi makam. Desa-desa perdikan ditempatkan di
bawah perlindungan Sri Paduka. Darmadyaksa kasewan bertugas membina
tempat ziarah dan pemujaan. Darmadyaksa kasogatan disuruh menjaga biara
kebudaan. Mahamantri Agung her-haji bertugas memelihara semua pertapan.
Desa perdikan Siwa yang bebas dari pajak : biara relung Kunci,
Kapulungan Roma, Wwatan, Iswaragreha, Palabdi, Tanjung, Kutalamba,
begitu pula Taruna Parhyangan, Kuti Jati, Candi lima, Nilakusuma,
Harimandana, Utamasuka Prasada-haji, Sadang, Panggumpulan,
Katisanggraha, begitu pula Jayasika. Tak ketinggalan: Spatika, Yang
Jayamanalu, Haribawana, Candi Pangkal, Pigit Nyudonta, Katuda, Srangan,
Kapukuran, Dayamuka, Kalinandana, Kanigara Rambut, Wuluhan, Kinawung,
Sukawijaya, dan lagi Kajaha, demikian pula Campen, Ratimanatasrama,
Kula, Kaling, ditambah sebuah lagi Batu Putih.
Desa
perdikan kasogatan yang bebas dari pajak : Wipulahara, Kutahaji
Janatraya, Rajadanya, Kuwanata, Surayasa, Jarak, Lagundi serta Wadari
Wewe Pacekan, Pasaruan, Lemah Surat, Pamanikan, Srangan serta Pangiketan
Panghawan, Damalang, Tepasjita, Wanasrama, Jenar, Samudrawela dan
Pamulang. Baryang, Amretawardani, Wetiwetih. Kawinayan, Patemon serta
Kanuruhan Engtal, Wengker. Banyu Jiken, Batabata. Pagagan, Sibok dan
Engtal. Wengker, Banyu Jiken, Batabata. Pagagan, Sibok dan Padurungan.
Pindatuha, Telang, Suraba, itulah yang terpenting, sebuah lagi. Sukalila
Tak disebut perdikan tambahan seperti Pogara. Kulur, Tangkil dan
sebagainya. Selanjutnya disebut berturut desa kebudaan Bajradara :
Isanabajra, Naditata, Mukuh, Sambang, Tanjung. Amretasaba Bangbang,
Bodimula, Waharu Tampak, serta Puruhan dan Tadara Tidak juga terlangkahi
Kumuda. Ratna serta Nadinagara. Wungaiaya, Palandi, Tangkil.
Asahing,
Samici serta Acitahen Nairanjana, Wijayawaktra, Mageneng. Pojahan dan
Balamasin. Krat, Lemah Tulis, Ratnapangkaya, Panumbangan. serta
Kahuripan Ketaki, Telaga Jambala, Jungul ditambah lagi Wisnuwala. Badur,
Wirun, Wungkilur. Mananggung, Watukura serta Bajrasana Pajambayan.
Salanten, Simapura, Tambak Laleyan, Pilanggu Pohaji, Wangkali, Biru.
Lembah, Dalinan, Pangadwan yang terakhir. Itulah desa kebudaan Bajradara
yang sudah berprasasti. Desa keresian seperti berikut : Sampud, Rupit
dan Pilan Pucangan, Jagadita, Pawitra, masih sebuah lagi Butun. Di situ
terbentang taman didirikan lingga dan saluran air. Yang Mulia Mahaguru
demiklan sebutan beliau. Yang diserahi tugas menjaga sejak dulu menurut
Serat Kekancingan. Selanjutnya desa perdikan tanpa candi, di antaranya
yang penting : Bangawan, Tunggal, Sidayatra, Jaya Sidahajeng, Lwah Kali
dan Twas. Wasista, Palah, Padar, Siringan, itulah desa perdikan Siwa.
Wangjang,
Bajrapura. Wanara, Makiduk, Hanten, Guha dan Jiwa Jumpud. Soba,
Pamuntaran, dan Baru, perdikan Buda utama. Kajar, Dana Hanyar, Turas,
Jalagiri, Centing, Wekas Wandira, Wandayan. Gatawang : Kulampayan dan
Talu, pertapan resi. Desa perdikan Wisnu berserak di Batwan serta
Kamangsian Batu Tanggulian. Dakulut, Galuh, Makalaran, itu yang penting
Sedang, Medang. Hulun Hyan, Parung, langge, Pasajan, Kelut. Andelmat
Paradah, Geneng, Panggawan, sudah sejak lama bebas pajak. Terlewati
segala dukuh yang terpencar di seluruh Jawa. Begitu pula asrama tetap
yang bercandi serta yang tidak. Yang bercandi menerima bantuan tetap
dari Sri Paduka Prabu. Begitu juga dukuh pengawas, tempat belajar
upacara.
Telah
diteliti sejarah berdirinya segala desa di Jawa. Perdikan candi, tanah
pusaka, daerah dewa, biara dan dukuh. Yang berSerat Kekancingan
dipertahankan, yang tidak, segera diperintahkan. Pulang kepada dewan
desa di hadapan Sang Arya Ranadiraja. Segenap desa sudah diteliti
menurut perintah raja Wengker raja Singasari bertitah mendaftar jiwa
serta seluk salurannya. Petugas giat menepati perintah, berpegang kepada
aturan Segenap penduduk Jawa patuh mengindahkan perintah Sri Paduka
Prabu. Semua tata aturan patuh diturut oleh pulau Bali. Candi, asrama,
pesanggrahan telah diteliti sejarah tegaknya Pembesar kebudaan Badahulu.
Badaha lo Gajah ditugaskan. Membina segenap candi, bekerja rajin dan
mencatat semuanya. Perdikan kebudaan Bali seperti berikut, biara Baharu
(hanyar). Kadikaranan, Purwanagara, Wiharabahu, Adiraja, Kuturan. Itulah
enam kebudaan Bajradara, biara kependetaan. Terlangkahi biara dengan
bantuan negara seperti Aryadadi. Berikut candi pasareyan di Bukit Sulang
lemah lampung, dan Anyawasuda Tatagatapura, Grehastadara, sangat
mashur, dibangun atas Serat Kekancingan. Pada tahun Saka 1260 oleh Sri
Paduka Jiwana.
Yang
memberkahi tanahnya, membangun candinya : upasaka wreda mentri. Semua
perdikan dengan bukti prasasti dibiarkan tetap berdiri. Terjaga dan
terlindungi segala bangunan setiap orang budiman. Demikianlah tabiat
raja utama, berjaya, berkuasa, perkasa. Semoga kelak para raja sudi
membina semua bangunan suci. Maksudnya agar musnah semua durjana dari
muka bumi laladan. Itulah tujuan melintas, menelusur dusun-dusun sampai
di tepi laut. Menenteramkan hati pertapa, yang rela tinggal di pantai,
gunung dan hutan. Lega bertapa brata dan bersamadi demi kesejahteraan
negara. Besarlah minat Sri Paduka untuk tegaknya tripaksa. Tentang Serat
Kekancingan beliau besikap agar tetap diindahkan. Begitu pula tentang
pengeluaran undang-undang, supaya laku utama, tata gila dan adat-tutur
diperhatikan. Itulah sebabnya sang caturdwija mengejar laku utama. Resi,
Wipra, pendeta Siwa Buda teguh mengindahkan tutur.
Catur
asrama terutama catur basma tunduk rungkup tekun melakukan tapa brata,
rajin mempelajari upacara. Semua anggota empat kasta teguh mengindahkan
ajaran. Para Mahamantri Agung dan arya pandai membina urusan negara.
Para putri dan satria berlaku sopan, berhati teguh. Waisya dan sudra
dengan gembira menepati tugas darmanya. Empat kasta yang lahir sesuai
dengan keinginan. Hyang Maha Tinggi Konon tunduk rungkup kepada kuasa
dan perindah Sri Paduka Teguh tingkah tabiatnya, juga ketiga golongan
terbawah. Gandara, Mleca dan Tuca mencoba mencabut cacad-cacadnya.
Demikianlah tanah Jawa pada zaman pemerintahan Sri Nata. Penegakan
bangunan-bangunan suci membuat gembira rakyat Sri Paduka menjadi teladan
di dalam menjalankan enam darma. Para ibu kagum memandang, setuju
dengan tingkah laku Sang Prabu. Sri Nata Singasari membuka ladang luas
di daerah Sagala. Sri Nata Wengker membuka hutan Surabana, Pasuruan,
Pajang.
Mendirikan
perdikan Buda di Rawi, Locanapura, Kapulungan Sri Paduka sendiri
membuka ladang Watsari di Tigawangi. Semua Mahamantri Agung mengenyam
tanah palenggahan yang cukup luas Candi, biara dan lingga utama dibangun
tak ada putusnya. Sebagai tanda bakti kepada dewa, leluhur, para
pendeta. Memang benar budi luhur tertabur mengikuti jejak Sri Nata.
Demikianlah keluhuran Sri Paduka ekanata di Wilwatikta. Terpuji bagaikan
bulan di musim gugur, terlalu indah terpandang Durjana laksana tunjung
merah, sujana seperti teratai putih. Abdi, harta, kereta, gajah, kuda
berlimpah-limpah bagai samudera. Bertambah mashur keluhuran pulau Jawa
di seluruh jagad raya. Hanya Jambudwipa dan pulau Jawa yang disebut
negara utama Banyak pujangga dan dyaksa serta para upapati, tujuh
jumlahnya Panji Jiwalekan dan Tengara yang meronjol bijak di dalam
kerja. Mashurlah nama pendeta Brahmaraja bagai pujangga, ahli tutur.
Putus
dalam tarka, sempurna dalam seni kata serta ilmu naya Hyang brahmana,
sopan, suci, ahli weda menjalankan nam laku utama Batara Wisnu dengan
cipta dan mentera membuat sejahtera negara. Itulah sebabnya
berduyun-duyun tamu asing datang berkunjung Dari Jambudwipa, Kamboja,
Cina, Yamana, Campa dan Karnataka Goda serta Siam mengarungi lautan
bersama para pedagang Resi dan pendeta, semua merasa puas, menetap
dengan senang. Tiap bulan Palguna Sri Nata dihormat di seluruh negara.
Berdesak-desak para pembesar, empat penjuru, para prabot desa Hakim dan
pembantunya, bahkan pun dari Bali mengaturkan upeti. Pekan penuh sesak
pembeli, penjual, barang terhampar di dasaran. Berputar keliling gamelan
dalam tanduan diarak rakyat ramai Tiap bertabuh tujuh kali, pembawa
sajian menghadap ke pura Korban api, ucapan mantra dilakukan para
pendeta Siwa-Buda. Mulai tanggal delapan bulan petang demi keselamatan
Sri Paduka.
Tersebut
pada tanggal empatbelas bulan petang. Sri Paduka berkirap. Selama kirap
keliling kota busana. Sri Paduka serba kencana. Ditatatng jempana
kencana, panjang berarak beranut runtun. Mahamantri Agung, sarjana,
pendeta beriring dalam pakaian seragam. Mengguntur gaung gong dan
salung, disambut terompet meriah sahut-menyahut Bergerak barisan
pujangga menampung beliau dengan puja sloka. Gubahan kawi raja dari
pelbagai kota dari seluruh Jawa. Tanda bukti Sri Paduka perwira bagai
Rama, mulia bagai Sri Kresna. Telah naik Sri Paduka di takhta
mutu-manikam, bergebar pancar sinar. Seolah-olah Hyang Trimurti datang
mengucapkan puji astuti. Yang nampak, semua serba mulia, sebab Sri
Paduka memang raja agung. Serupa jelmaan. Sang Sudodanaputra dari Jina
bawana. Sri nata Pajang dengan sang permaisuri berjalan paling muka.
Lepas dari singasana yang diarak pengiring terlalu banyak.
Mahamantri
Agung Pajang dan Paguhan serta pengiring jadi satu kelompok. Ribuan
jumlahnya, berpakaian seragam membawa panji dan tunggul. raja Lasem
dengan permaisuri serta pengiring di belakangnya. Lalu raja Kediri
dengan permaisuri serta Mahamantri Agung dan tentara. Berikut maharani
Jiwana dengan suami dan para pengiring. Sebagai penutup Sri Paduka dan
para pembesar seluruh Jawa. Penuh berdesak sesak para penonton ribut
berebut tempat. Di tepi jalan kereta dan pedati berjajar rapat
memanjang. Tiap rumah mengibarkan bendera, dan panggung membujur sangat
panjang. Penuh sesak wanita tua muda, berjejal berimpit-impitan. Rindu
sendu hatinya seperti baru pertama kali menonton. Terlangkahi peristiwa
pagi, waktu Baginda mendaki setinggil. Pendeta menghaturkan kendi berisi
air suci di dulang berukir. Mahamantri Agung serta pembesar tampil ke
muka menyembah bersama-sama. Tanggal satu bulan Caitra bala tentara
berkumpul bertemu muka. Mahamantri Agung, perwira, para arya dan
pembantu raja semua hadir.
Kepala
daerah, ketua desa, para tamu dari luar kota. Begitu pula para
kesatria, pendeta dan brahmana utama. Maksud pertemuan agar para warga
mengelakkan watak jahat. Tetapi menganut ajaran raja Kapa Kapa, dibaca
tiap Caitra. Menghindari tabiat jahat, seperti suka mengambil milik
orang. Memiliki harta benda dewa, demi keselamatan masyarakat. Dua hari
kemudian berlangsung perayaan besar. Di utara kota terbentang lapangan
bernama Bubat. Sering dikunjungi Sri Paduka, naik tandu bersudut Singa.
Di arak abdi berjalan, membuat kagum tiap orang. Bubat adalah lapangan
luas lebar dan rata. Membentang ke timur setengah krosa sampai jalan
raya. Dan setengah krosa ke utara bertemu.tebing sungai. Dikelilingi
bangunan Mahamantri Agung di dalam kelompok. Menjulang sangat tinggi
bangunan besar di tengah padang. Tiangnya penuh berukir dengan isi
dongengan parwa. Dekat di sebelah baratnya bangunan serupa istana.
Tempat
menampung Sri Paduka di panggung pada bulan Caitra. Panggung berjajar
membujur ke utara menghadap barat. Bagian utara dan selatan untuk raja
dan arya. Para Mahamantri Agung dan dyaksa duduk teratur menghadap
timur. Dengan pemandangan bebas luas sepanjang jalan raya. Di situlah
Sri Paduka memberi rakyat santapan mata. Pertunjukan perang tanding,
perang pukul. desuk-mendesuk Perang keris, adu tinju tarik tambang,
menggembirakan. Sampai tiga empat hari lamanya baharu selesai.
Seberangkat Sri Paduka. sepi lagi, panggungnya dibongkar. Segala
perlombaan bubar, rakyat pulang bergembira. Pada Caitra bulan petang Sri
Paduka menjgmu para pemenang. Yang pulang menggondol pelbagai hadiah
bahan pakaian. Segenap ketua desa dan wadana tetap tinggal, paginya
mereka. Dipimpin Arya Ranadikara menghadap Sri Paduka minta diri di pura
Bersama Arya Mahadikara, kepala pancatanda dan padelegan. Sri Paduka
duduk di atas takhta, dihadap para abdi dan pembesar.
Berkatalah
Sri nata Wengker di hadapan para pembesar dan wedana : “Wahai,
tunjukkan cinta serta setya baktimu kepada Sri Paduka Prabu Cintailah
rakyat bawahanmu dan berusahalah memajukan dusunmu Jembatan, jalan raya,
beringin, bangunan dan candi supaya dibina. Terutama dataran tinggi dan
sawah, agar tetap subur, peliharalah Perhatikan tanah rakyat jangan
sampai jatuh di tangan petani besar. Agar penduduk jangan sampai terusir
dan mengungsi ke desa tetangga. Tepati segala peraturan untuk membuat
desa bertambah besar. Sri nata Kerta Wardana setuju dengan anjuran
memperbesar desa. Harap dicatat nama penjahat dan pelanggaran setiap
akhir bulan. Bantu pemeriksaan tempat durjana terutama pelanggar susila.
Agar
bertambah kekayaan Sri Paduka demi kesejahteraan negara. Kemudian
bersabda Sri Baginda Wilwatikta memberi anjuran : “Para budiman yang
berkunjung kemari, tidak boleh dihalang-halangi. Rajakarya terutama
bea-cukai, pelawang supaya dilunasi. Jamuan kepada para tetamu budiman
supaya diatur pantas. Undang-undang sejak pemerintahan ibunda harus
ditaati. Hidangan makanan sepanjang hari harus dimasak pagi-pagi. Jika
ada tamu loba tamak mengambil makanan, merugikan. Biar mengambilnya,
tetapi laporkan namanya kepada saya. Negara dan desa berhubungan rapat
seperti singa dan hutan. Jika desa rusak, negara akan kekurangan bahan
makanan. Kalau tidak ada tentara, negara lain mudah menyerang kita.
Karenanya peliharalah keduanya, itu perintah saya “
Begitu
perintah Sri Paduka kepada wadana, yang tunduk mengangguk Sebagai tanda
mereka sanggup mengindahkan perintah beliau. Mahamantri Agung upapati
serta para pembesar menghadap bersama. Tepat pukul tiga mereka berkumpul
untuk bersantap bersama. Bangunan sebelah timur laut telah dihiasi
gilang cemerlang. Di tiga ruang para wadana duduk teratur menganut
sudut. Santapan sedap mulai dihidangkan di atas dulang serba emas Segera
deretan depan berhadap-hadapan di muka Sri Paduka. Santapan terdiri
dari daging kambing, kerbau, burung, rusa, madu, Ikan, telur, domba
menurut adat agama dari zaman purba. Makanan pantangan : daging anjing,
cacing, tikus, keledai dan katak. Jika dilanggar mengakibatkan hinaan
musuh, mati dan noda. Dihidangkan santapan untuk orang banyak. Makanan
serba banyak serta serba sedap. Berbagai-bagai ikan laut dan ikan
tambak. Berderap cepat datang menurut acara. Daging katak, cacing,
keledai, tikus, anjing. Hanya dihidangkan kepada para penggemar. Karena
asalnya dari pelbagai desa.
Mereka
diberi kegemaran, biar puas. Mengalir pelbagai minuman keres segar.
Tuak nyiur, tal, arak kilang, brem, tuak rumbya. Itulah hidangan yang
utama. Wadahnya emas berbentuk aneka ragam. Porong dan guci berdiri
terpencar-pencar. Berisi aneka minuman keras dari aneka bahan. Beredar
putar seperti air yang mengelir. Yang gemar minum sampai muntah serta
mabuk. Meluap jamuan Sri Paduka dalam pesta. Hidangan mengalir
menghampiri tetamu. Dengan sabar segala sikap dizinkan. Penyombong,
pemabuk jadi buah gelak tawa. Merdu merayu nyanyian para biduan.
Melagukan puji-pujian Sri Paduka. Makin deras peminum melepaskan nafsu.
Habis lalu waktu, berhenti gelak gurau.
Pembesar
daerah angin membadut dengan para lurah. Diikuti lagu, sambil bertandak
memilih pasangan. Seolah tingkahnya menarik gelak, menggelikan
pandangan. Itulah sebabnya mereka memperoleh hadiah kain. Disuruh
menghadap Sri Paduka, diajak minum bersama. Mahamantri Agung upapati
berurut mengelir menyanyi. Nyanyian Menghuri Kandamuhi dapat bersorak
pujian. Sri Paduka berdiri, mengimbangi ikut melaras lagu. Tercengang
dan terharu hadirin mendengar suar merdu. Semerebak meriah bagai gelak
merak di dahan kayu. Seperti madu bercampur dengan gula terlalu sedap
manis. Resap menghalu kalbu bagai desiran buluh perindu. Arya Ranadikara
lupa bahwa Sri Paduka berlagu. Bersama Arya Ranadikara mendadak
berteriak. Bahwa para pembesar ingin belia menari topeng. “Ya!” jawab
beliau, segera masuk untuk persiapan.
Sri
Kerta Wardana tampil kedepan menari panjak. Bergegas lekas panggung di
siapkan ditengah mandapa. Sang permaisuri berhias jamang laras
menyanyikan lagu. Luk suaranya mengharu rindu, tinglahnya memikat hati.
Bubar mereka itu ketika Sri Paduka keluar. Lagu rayuan Sri Paduka
bergetar menghanyutkan rasa. Diiringkan rayuan sang permaisuri rapi
rupendah. Resap meremuk rasa, merasuk tulang sungsum pendengar. Sri
Paduka warnawan telah mengenakan tampuk topeng. Delapan pengirignya di
belakang, bagus, bergs, pantas. Keturunan Arya, bijak cerdas, sopan
tingkah lakunya. Itulah sebabnya benyolannya selalu kena. Tari sembilan
orang telah dimulai dengan banyolan. Gelak tawa terus menerus, sampai
perut kaku beku. Babak yang sedih meraih tangis, mengaduk haru dan
rindu. Tepat mengenai sasaran, menghanyutkan hati penonton. Silam
matahari waktu lingsir, perayaan berakhir. Para pembesar meminta diri
mencium duli paduka. Katanya :”lenyap duka oleh suka, hilang dari
bumi!”. Terlangkahi pujian Sri Paduka waktu masuk istana.
Demikianlah
suka mulia Sri Paduka Prabu di pura, tercapai segala cita. Terang Sri
Paduka sangat memperhatikan kesejahteraan rakyat dan negara. Meskipun
masih muda dengan suka rela berlaku bagai titisan Buda. Dengan laku
utama beliaumemadamkan api kejahatan durjana. Terus membumbung ke
angkasa kemashuran dan keperwiraan Sri Paduka. Sungguh beliau titisan
Batara Girinata untuk menjaga buana. Hilang dosanya orang yang
dipandang, dan musnah letanya abdi yang disapa. Itulah sebabnya
keluhuran beliau mashur terpuji di tiga jagad. Semua orang tinggi,
sedang, rendah menuturkan kata-kata pujian. Serta berdo’a agar Sri
Paduka tetap subur bagai gunung tempat berlindung. Berusia panjang
sebagai bulan dan matahari cemerlang menerangi bumi.
Semua
pendeta dari tanah asing menggubah pujian Sri Paduka. Sang pendeta
Budaditya menggubah rangkaian seloka Bogawali. Tempat tumpah darahnya
Kancipuri di Sadwihara di Jambudwipa. Brahmana Sri Mutali Saherdaya
menggubah pujian seloka indah. Begitu pula para pendeta di Jawa,
pujangga, sarjana sastra. Bersama-sama merumpaka seloka puja sastra
untuk nyanyian. Yang terpenting puja sastra di prasasti, gubahan upapati
Sudarma. Berupa kakawin, hanya boleh diperdengarkan di dalam istana.
Mendengar pujian para pujangga pura bergetar mencakar udara. Empu
Prapanca bangkit turut memuji Sri Paduka meski tak akan sampai pura.
Maksud
pujiannya, agar Sri Paduka gembira jika mendengar gubahannya. Berdoa
demi kesejahteraan negara, terutama Sri Paduka dan rakyat. Tahun Saka
1287 bulan Aswina hari purnama. Siaplah kakawin pujaan tentang
perjalanan jaya keliling negara. Segenap desa tersusun dalam rangkaian,
pantas disebut Desa Warnana. Dengan maksud, agar Sri Paduka ingat jika
membaca hikmat kalimat. Sia-sia lama bertekun menggubah kakawin menyurat
di atas daun lontar.
Yang
pertama “Tahun Saka”, yang kedua “Lambang” kemudian “Parwasagara”.
Berikut yang keempat “Bismacarana”, akhirnya cerita “Sugataparwa”.
Lambang dan Tahun Saka masih akan diteruskan, sebab memang belum siap.
Meskipun tidak semahir para pujangga di dalam menggubah kakawin.
Terdorong cinta bakti kepada Sri Paduka, ikut membuat puja sastra berupa
karya kakawin, sederhana tentang rangkaian sejarah desa. Apa boleh buat
harus berkorban rasa, pasti akan ditertawakan.
Nasib
badan dihina oleh para bangsawan, canggung tinggal di dusun. Hati
gundah kurang senang, sedih, rugi tidak mendengar ujar manis. Teman
karib dan orang budiman meninggalkan tanpa belas kasihan. Apa gunanya
mengenal ajaran kasih, jika tidak diamalkan? Karena kemewahan berlimpah,
tidak ada minat untuk beramal. Buta, tuli, tak nampak sinar memancar
dalam kesedihan, kesepian. Seyogyanya ajaran sang Begawan diresapkan
bagai sepegangan. Mengharapkan kasih yang tak kunjung datang, akan
membawa mati muda. Segera bertapa brata di lereng gunung, masuk ke dalam
hutan. Membuat rumah dan tempat persajian di tempat sepi dan bertapa.
Halaman rumah ditanami pohon kamala, asana, tinggi-tinggi. Memang
Kamalasana nama dukuhnya sudah sejak lama dikenal.
Prapanca
itu pra lima buah. Cirinya: cakapnya lucu. Pipinya sembab, matanya
ngeliyap. Gelaknya terbahak-bahak. Terlalu kurang ajar, tidak pantas
ditiru. Bodoh, tak menurut ajaran tutur. Carilah pimpinan yang baik
dalam tatwa. Pantasnya ia dipukul berulang kali. Ingin menyamai Empu
Winada. Mengumpulkan harta benda. Akhirnya hidup sengsara. Tapi tetap
tinggal tenang. Winada mengejar jasa. Tanpa ragu wang dibagi. Terus
bertapa berata. Mendapat pimpinan hidup. Sungguh handal dalam yuda.
Yudanya belum selesai. Ingin mencapai nirwana. Jadi pahlawan pertapa.
Beratlah
bagi para pujangga menyamai Winada, bertekun dalam tapa. Membalas
dengan cinta kasih perbuatan mereka yang senang menghina orang-orang
yang puas dalam ketetnangan dan menjauhkan diri dari segala tingkah,
menjauhkan diri dari kesukaan dan kewibawaan dengan harapan akan
memperoleh faedah. Segan meniru perbuatan mereka yang dicacad dan dicela
di dalam pura.
No comments:
Post a Comment