Kisruh antara tagihan buruh dan pajak dalam kepailitan memang sebuah
dilema yang tidak pernah habis untuk dibahas. Bahkan di kalangan para
kurator dan akademisi maupun pengamat kepailitan. Berbagai macam
pandangan pun dilontarkan demi membuat terang kedudukan buruh dan pajak
sebagai kreditor preferen.
Ini terbukti dari situasi sebuah pelatihan tentang kepailitan yang diadakan hukumonline,
Kamis (4/7). Dalam acara yang bertajuk ‘Memahami Tahapan dan Teknik
Pemberesan Harta Debitor Pailit’ ini lebih banyak mendiskusikan tentang
posisi buruh dari sebuah kepailitan.
Para peserta masih dibingungkan dengan seberapa istimewanya buruh
dibandingkan pajak sebagai kreditor. Padahal, buruh dan pajak secara
jelas dinyatakan sebagai kreditor preferen. Meskipun sama-sama preferen,
praktiknya pajak tetap lebih didahulukan daripada buruh. Bahkan, pajak
lebih diutamakan daripada kreditor separatis itu sendiri.
“Praktiknya memang sulit ketika hendak membagikan budel pailit. Harus
ada kompromi,” tutur James Purba sebagai pembicara dalam acara pelatihan
ini.
Alasan James memosisikan pajak sebagai kreditor tertinggi lantaran UU No. 6 Tahun 1983 yang terakhir diubah dengan UU No. 16 Tahun 2009
tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan menyatakan dengan tegas
bahwa pajak mendahului dari kreditor lainnya. Sedangkan kedudukan buruh
dalam kepailitan tidak dinyatakan secara tegas.
Pendapat ini ditentang pengamat hukum perburuhan Umar Kasim.
Menurutnya, perlu kehati-hatian dalam melihat posisi buruh. Ia
mengatakan buruh tidak serta merta sebagai kreditor preferen. Perlu
dibedakan antara upah buruh dan hak buruh lainnya.
Menurutnya, upah buruh mendapat tempat yang sama dengan fee kurator dan
biaya kepailitan lainnya, termasuk pajak. Adapun dasar hukum
pemikirannya adalah Pasal 39 ayat (2) UU No 37 Tahun 2004
tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Pasal
tersebut mengatur bahwa upah terutang para pekerja baik sebelum maupun
sesudah putusan pernyataan pailit diucapkan merupakan utang harta
pailit.
Sedangkan hak-hak buruh lainnya baru dikategorikan sebagai kreditor
preferen. Hak-hak lain yang dimaksud merujuk pada Pasal 95 ayat (4) UU No 13 Tahun 2003
tentang Ketenagakerjaan, seperti tunjangan hari raya, bonus
produktivitas, uang makan, dan transportasi. Terhadap hak ini, buruh
baru memperolehnya setelah kurator membaginya terlebih dahulu kepada
kreditor separatis.
Meskipun Umar Kasim menyatakan upah buruh setara dengan fee kurator dan
pajak, ia memutuskan untuk melihat kondisi ketika dihadapkan dengan
pilihan upah buruh atau pajak yang didahulukan.
Menurutnya, apabila merujuk kepada kepentingan orang banyak, Umar
memilih pajak harus didahulukan. Soalnya, buruh sifatnya hanya untuk
kepentingan kelompok. Namun, jika melihat segi kemanfaatan, Umar lebih
memilih buruh karena buruh perlu makan.
Keistimewaan kedudukan pajak dipertegas oleh kurator Nien Rafles
Siregar. Rafles mengimbau untuk membaca dan memahami undang-undang
secara lengkap. Sebelum mengacu ke UU Kepailitan, persoalan mengenai
kedudukan para kreditor bermula dari Pasal 1132 KUHPerdata. Pasal
tersebut mengatur bahwa hasil penjualan barang-barang milik debitor
dibagi menurut perbandingan piutang masing-masing kecuali bila di antara
para kreditur itu ada alasan-alasan sah untuk didahulukan.
Untuk menentukan alasan yang sah didahulukan merujuk pada Pasal 1133
KUHPerdata yang mengatur bahwa hak untuk didahulukan di antara para
kreditur bersumber pada hak istimewa, pada gadai dan pada hipotek.
Sedangkan hak istimewa melihat kepada Pasal 1134 KUHPerdata. Pasal
tersebut telah mengatur bahwa kreditor yang memiliki hak istimewa adalah
kreditor yang menyebabkan kedudukannya lebih tinggi daripada lainnya
karena undang-undang semata-mata berdasarkan sifat piutang itu. Gadai
dan hipotek lebih tinggi daripada hak istimewa, kecuali dalam hal
undang-undang dengan tegas menentukan kebalikannya.
“Kata-kata ‘kecuali dalam hal UU dengan tegas menentukan kebalikannya’
inilah yang menyebabkan pajak lebih tinggi daripada kreditor lainnya.
Karena Pasal 21 UU Perpajakan secara tegas menyebutkan dia (pajak, red)
lebih tinggi daripada kreditor separatis,” ucap Rafles kepada
hukumonline dalam kesempatan yang sama.
Terkait dengan frasa “kreditor yang diistimewakan yang kedudukannya
lebih tinggi daripada kreditor separatis” sebagaimana dimaksud dari
Pasal 60 ayat (2) UU Kepailitan, Rafles juga mengatakan kreditor yang
dimaksud adalah pajak. Berdasarkan ketentuan pasal ini, semakin tegas
bahwa pajak lebih tinggi daripada separatis. Bahkan, pajak dapat meminta
hasil penjualan atas benda yang dijaminkan kepada separatis.
Asuransi Kepailitan Buruh
Peraturan yang dibuat memang terkesan miris. Sebagian besar buruh menjadi korban dari kepailitan, kalah dari pajak dan separatis. Namun, Rafles mengatakan untuk melihat permasalahan buruh secara keseluruhan.
Peraturan yang dibuat memang terkesan miris. Sebagian besar buruh menjadi korban dari kepailitan, kalah dari pajak dan separatis. Namun, Rafles mengatakan untuk melihat permasalahan buruh secara keseluruhan.
Tidak hanya buruh dari perusahaan yang dipailitkan yang menjadi korban,
tetapi perusahaan kecil yang menjadi kreditor juga memiliki tenaga
kerja yang harus diperhatikan. Terkadang, perusahaan kecil yang memiliki
piutang ini juga terkena dampak dari perusahaan yang dipailitkan
tersebut.
Melihat persoalan ini, Rafles menyatakan menaikkan sifat tagihan buruh
itu sendiri bukanlah sebuah solusi. Soalnya, apabila sifat tagihan buruh
ditinggikan iklim investasi Indonesia akan amburadul. Tidak ada
investor yang mau berinvestasi. Alhasil, tingkat pengangguran semakin
tinggi. Tidak ada penyerapan tenaga kerja karena tidak ada modal.
“Yang namanya usaha butuh modal. Gimana ada penyerapan tenaga
kerja jika tidak ada modal. Makanya pemegang jaminan ditinggikan karena
mereka memberi modal,” tutur Rafles lagi.
Adapun solusi yang ditawarkan Rafles adalah mengasuransikan para buruh
khusus kepailitan. Melalui asuransi ini, ketika perusahaan pailit, para
buruh merasa terbantu dengan asuransi kepailitan. Sedangkan mekanisme
dari asuransi itu sendiri, Rafles belum bisa menjawab secara detail.
Hanya saja, pengusaha dan buruh dapat duduk bersama dan menentukan
bagaimana mekanisme pembayaran premi. “Apakah pengusaha yang membayar
premi asuransinya sebesar 1-2% atau 50:50 dengan buruh,” pungkasnya.
No comments:
Post a Comment