Saturday, July 6, 2013

Buruh Amat Sulit Hadapi Pajak di Kepailitan

Kisruh antara tagihan buruh dan pajak dalam kepailitan memang sebuah dilema yang tidak pernah habis untuk dibahas. Bahkan di kalangan para kurator dan akademisi maupun pengamat kepailitan. Berbagai macam pandangan pun dilontarkan demi membuat terang kedudukan buruh dan pajak sebagai kreditor preferen.
Ini terbukti dari situasi sebuah pelatihan tentang kepailitan yang diadakan hukumonline, Kamis (4/7). Dalam acara yang bertajuk ‘Memahami Tahapan dan Teknik Pemberesan Harta Debitor Pailit’ ini lebih banyak mendiskusikan tentang posisi buruh dari sebuah kepailitan.
Para peserta masih dibingungkan dengan seberapa istimewanya buruh dibandingkan pajak sebagai kreditor. Padahal, buruh dan pajak secara jelas dinyatakan sebagai kreditor preferen. Meskipun sama-sama preferen, praktiknya pajak tetap lebih didahulukan daripada buruh. Bahkan, pajak lebih diutamakan daripada kreditor separatis itu sendiri.
“Praktiknya memang sulit ketika hendak membagikan budel pailit. Harus ada kompromi,” tutur James Purba sebagai pembicara dalam acara pelatihan ini.
Alasan James memosisikan pajak sebagai kreditor tertinggi lantaran UU No. 6 Tahun 1983 yang terakhir diubah dengan UU No. 16 Tahun 2009 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan menyatakan dengan tegas bahwa pajak mendahului dari kreditor lainnya. Sedangkan kedudukan buruh dalam kepailitan tidak dinyatakan secara tegas.
Pendapat ini ditentang pengamat hukum perburuhan Umar Kasim. Menurutnya, perlu kehati-hatian dalam melihat posisi buruh. Ia mengatakan buruh tidak serta merta sebagai kreditor preferen. Perlu dibedakan antara upah buruh dan hak buruh lainnya.
Menurutnya, upah buruh mendapat tempat yang sama dengan fee kurator dan biaya kepailitan lainnya, termasuk pajak. Adapun dasar hukum pemikirannya adalah Pasal 39 ayat (2) UU No 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Pasal tersebut mengatur bahwa upah terutang para pekerja baik sebelum maupun sesudah putusan pernyataan pailit diucapkan merupakan utang harta pailit.
Sedangkan hak-hak buruh lainnya baru dikategorikan sebagai kreditor preferen. Hak-hak lain yang dimaksud merujuk pada Pasal 95 ayat (4) UU No 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, seperti tunjangan hari raya, bonus produktivitas, uang makan, dan transportasi. Terhadap hak ini, buruh baru memperolehnya setelah kurator membaginya terlebih dahulu kepada kreditor separatis.
Meskipun Umar Kasim menyatakan upah buruh setara dengan fee kurator dan pajak, ia memutuskan untuk melihat kondisi ketika dihadapkan dengan pilihan upah buruh atau pajak yang didahulukan.
Menurutnya, apabila merujuk kepada kepentingan orang banyak, Umar memilih pajak harus didahulukan. Soalnya, buruh sifatnya hanya untuk kepentingan kelompok. Namun, jika melihat segi kemanfaatan, Umar lebih memilih buruh karena buruh perlu makan.
Keistimewaan kedudukan pajak dipertegas oleh kurator Nien Rafles Siregar. Rafles mengimbau untuk membaca dan memahami undang-undang secara lengkap. Sebelum mengacu ke UU Kepailitan, persoalan mengenai kedudukan para kreditor bermula dari Pasal 1132 KUHPerdata. Pasal tersebut mengatur bahwa hasil penjualan barang-barang milik debitor dibagi menurut perbandingan piutang masing-masing kecuali bila di antara para kreditur itu ada alasan-alasan sah untuk didahulukan.
Untuk menentukan alasan yang sah didahulukan merujuk pada Pasal 1133 KUHPerdata yang mengatur bahwa hak untuk didahulukan di antara para kreditur bersumber pada hak istimewa, pada gadai dan pada hipotek.
Sedangkan hak istimewa melihat kepada Pasal 1134 KUHPerdata. Pasal tersebut telah mengatur bahwa kreditor yang memiliki hak istimewa adalah kreditor yang menyebabkan kedudukannya lebih tinggi daripada lainnya karena undang-undang semata-mata berdasarkan sifat piutang itu. Gadai dan hipotek lebih tinggi daripada hak istimewa, kecuali dalam hal undang-undang dengan tegas menentukan kebalikannya.
“Kata-kata ‘kecuali dalam hal UU dengan tegas menentukan kebalikannya’ inilah yang menyebabkan pajak lebih tinggi daripada kreditor lainnya. Karena Pasal 21 UU Perpajakan secara tegas menyebutkan dia (pajak, red) lebih tinggi daripada kreditor separatis,” ucap Rafles kepada hukumonline dalam kesempatan yang sama.
Terkait dengan frasa “kreditor yang diistimewakan yang kedudukannya lebih tinggi daripada kreditor separatis” sebagaimana dimaksud dari Pasal 60 ayat (2) UU Kepailitan, Rafles juga mengatakan kreditor yang dimaksud adalah pajak. Berdasarkan ketentuan pasal ini, semakin tegas bahwa pajak lebih tinggi daripada separatis. Bahkan, pajak dapat meminta hasil penjualan atas benda yang dijaminkan kepada separatis.
Asuransi Kepailitan Buruh
Peraturan yang dibuat memang terkesan miris. Sebagian besar buruh menjadi korban dari kepailitan, kalah dari pajak dan separatis. Namun, Rafles mengatakan untuk melihat permasalahan buruh secara keseluruhan.
Tidak hanya buruh dari perusahaan yang dipailitkan yang menjadi korban, tetapi perusahaan kecil yang menjadi kreditor juga memiliki tenaga kerja yang harus diperhatikan. Terkadang, perusahaan kecil yang memiliki piutang ini juga terkena dampak dari perusahaan yang dipailitkan tersebut.
Melihat persoalan ini, Rafles menyatakan menaikkan sifat tagihan buruh itu sendiri bukanlah sebuah solusi. Soalnya, apabila sifat tagihan buruh ditinggikan iklim investasi Indonesia akan amburadul. Tidak ada investor yang mau berinvestasi. Alhasil, tingkat pengangguran semakin tinggi. Tidak ada penyerapan tenaga kerja karena tidak ada modal.
“Yang namanya usaha butuh modal. Gimana ada penyerapan tenaga kerja jika tidak ada modal. Makanya pemegang jaminan ditinggikan karena mereka memberi modal,” tutur Rafles lagi.
Adapun solusi yang ditawarkan Rafles adalah mengasuransikan para buruh khusus kepailitan. Melalui asuransi ini, ketika perusahaan pailit, para buruh merasa terbantu dengan asuransi kepailitan. Sedangkan mekanisme dari asuransi itu sendiri, Rafles belum bisa menjawab secara detail. Hanya saja, pengusaha dan buruh dapat duduk bersama dan menentukan bagaimana mekanisme pembayaran premi. “Apakah pengusaha yang membayar premi asuransinya sebesar 1-2% atau 50:50 dengan buruh,” pungkasnya.

No comments:

Post a Comment