Tepat tanggal 20 September 2013, salah satu putera terbaik Lewoloba, Fransiskus Roy Hurint akhirnya dilantik menjadi Kepala Desa Lewoloba. Beliau menggantikan Bapak Yohanes Lewa Doren yang telah purna bakti. Suksesi kepemimpinan Desa yang terletak 8 km dr Kota Larantuka ini terbilang alot. Ketegangan selama tahapan pemilihan belum sepenuhnya diredam. Sebelumnya, Fransiskus Roy Hurint berkompeitisi dengan Yosep Ratu Doren untuk merebut posisi Kepala Desa Lewoloba.
Ada beberapa persoalan yang saya perhatikan menjelang pelantikan dan pada hari pelantikan kepala desa. Persoalan Pertama adalah ketidakpastian tanggal pelantikan. Semula, direncanakan pelantikan akan dilaksanakan pada tanggal 10 Agustus 2013, namun pada akhirnya berlangsung pada tanggal 20 bulan berikutnya. Masa transisi yang lama menimbulkan keresahan dan penilaian yang macam-macam di kalangan masyarakat. Bahkan ada sekelompok masyarakat yang menilai bahwa penundaan yang lama itu sengaja dilakukan oleh pihak tertentu untuk menghambat suksesi kepemimpinan. Dugaan-dugaan itu segera ditepis dengan keluarnya SK Pengangkatan Bupati Flores Timur yang diikuti dengan kepastian tanggal pelantikan.
Persoalan kedua berkaitan dengan ritual adat pelantikan. "Nugo Balik", tusukan sate yang pernah dikembalikan oleh bapa suku Mela Hurint, dipersoalkan oleh tokoh-tokoh adat. Nugo yang melambangkan persatuan adat yang dikembalikan tersebut dipandang sebagai suatu kesalahan adat yang harus dipulihkan jika Kepala Desa terpilih berkehendak untuk diurapi secara adat. Persoalan ini tidak dituntaskan sampai pada saat pelantikan, sehingga Kades baru tidak diurapi secara adat.
Persoalan ketiga muncul pada saat pelantikan. Suasana "panas" sudah mulai terjadi selama proses perarakan Kepala Desa terpilih dari rumahnya menuju ke Balai Desa Lewoloba. Sejumlah ibu-ibu dari suku Mela Hurint meneriaki lawan politik Kades terpilih dengan nada yang keras dan lantang. Mereka seolah tidak menerima berbagai perlakuan yang tidak layak yang ditujukan kepada saudara mereka, termasuk persoalan tidak di-adat-kannya Kepala Desa terpilih. Ketegangan berlanjut sampai kepada acara santap siang. Penyajian daging "RW" sebagai salah satu menu dianggap sebagai penghinaan, karena daging tersebut identik dengan suasana yang panas. Dalam sambutannya, Kepala Desa baru pun mengajak tetamu undangan yang ada untuk makan bersama di kediamannya.
Ada beberapa persoalan lagi yang menuntut adanya penyelesaian yang tuntas. Tetapi saya membatasi diri untuk hanya menuliskan sebagian saja dari banyaknya persoalan yang ada.
Tulisan ini tidak bertendensi untuk memihak kepada satu kelompok dan memojokkan kelompok lainnya. Ini adalah ungkapan keprihatinan golongan muda atas berbagai kekisruan dan ketegangam yang terjadi. Kini pemimpin kita sudah ada, tak ada gunanya lagi kita memposisikan diri sebagai lawan pemerintah. Terlalu riskan bagi kita untuk tetap bertahan sebagai lawan selama kurang lebih 6 tahun ke depan. Alangkah baiknya bagi kita untuk bersatu dan membangun Lewotanah tercinta, Lewoloba. Semoga demikian. Salam.
Ada beberapa persoalan yang saya perhatikan menjelang pelantikan dan pada hari pelantikan kepala desa. Persoalan Pertama adalah ketidakpastian tanggal pelantikan. Semula, direncanakan pelantikan akan dilaksanakan pada tanggal 10 Agustus 2013, namun pada akhirnya berlangsung pada tanggal 20 bulan berikutnya. Masa transisi yang lama menimbulkan keresahan dan penilaian yang macam-macam di kalangan masyarakat. Bahkan ada sekelompok masyarakat yang menilai bahwa penundaan yang lama itu sengaja dilakukan oleh pihak tertentu untuk menghambat suksesi kepemimpinan. Dugaan-dugaan itu segera ditepis dengan keluarnya SK Pengangkatan Bupati Flores Timur yang diikuti dengan kepastian tanggal pelantikan.
Persoalan kedua berkaitan dengan ritual adat pelantikan. "Nugo Balik", tusukan sate yang pernah dikembalikan oleh bapa suku Mela Hurint, dipersoalkan oleh tokoh-tokoh adat. Nugo yang melambangkan persatuan adat yang dikembalikan tersebut dipandang sebagai suatu kesalahan adat yang harus dipulihkan jika Kepala Desa terpilih berkehendak untuk diurapi secara adat. Persoalan ini tidak dituntaskan sampai pada saat pelantikan, sehingga Kades baru tidak diurapi secara adat.
Persoalan ketiga muncul pada saat pelantikan. Suasana "panas" sudah mulai terjadi selama proses perarakan Kepala Desa terpilih dari rumahnya menuju ke Balai Desa Lewoloba. Sejumlah ibu-ibu dari suku Mela Hurint meneriaki lawan politik Kades terpilih dengan nada yang keras dan lantang. Mereka seolah tidak menerima berbagai perlakuan yang tidak layak yang ditujukan kepada saudara mereka, termasuk persoalan tidak di-adat-kannya Kepala Desa terpilih. Ketegangan berlanjut sampai kepada acara santap siang. Penyajian daging "RW" sebagai salah satu menu dianggap sebagai penghinaan, karena daging tersebut identik dengan suasana yang panas. Dalam sambutannya, Kepala Desa baru pun mengajak tetamu undangan yang ada untuk makan bersama di kediamannya.
Ada beberapa persoalan lagi yang menuntut adanya penyelesaian yang tuntas. Tetapi saya membatasi diri untuk hanya menuliskan sebagian saja dari banyaknya persoalan yang ada.
Tulisan ini tidak bertendensi untuk memihak kepada satu kelompok dan memojokkan kelompok lainnya. Ini adalah ungkapan keprihatinan golongan muda atas berbagai kekisruan dan ketegangam yang terjadi. Kini pemimpin kita sudah ada, tak ada gunanya lagi kita memposisikan diri sebagai lawan pemerintah. Terlalu riskan bagi kita untuk tetap bertahan sebagai lawan selama kurang lebih 6 tahun ke depan. Alangkah baiknya bagi kita untuk bersatu dan membangun Lewotanah tercinta, Lewoloba. Semoga demikian. Salam.
No comments:
Post a Comment