Wednesday, July 24, 2019

Ada yang Hilang dari Kasus Baiq Nuril


"​​​​​​​Dalam kasus Nuril, ada beberapa hal penting yang tidak diperhatikan oleh polisi, jaksa dan bahkan hakim"
Baiq Nuril sejatinya adalah korban. Ini diakui oleh Pemerintah Republik Indonesia. Tidak kurang Presiden Jokowi sendiri yang menyarankan agar Nuril mengajukan amnesti sehingga sebagai pimpinan eksekutif tertinggi Presiden bisa memberikan amnesti, yang memang dalam domain kekuasaannya.

Tapi coba tinjau sejenak. Agaknya ada yang tidak masuk akal sehat di sini. Nuril diseret ke ranah hukum pidana oleh Kepolisian Republik Indonesia. Baiq kemudian didakwa dan dituntut oleh Kejaksaan Republik Indonesia. Sangkaan dan tuduhannya sama, Nuril  dianggap telah melanggar UU ITE. Siapapun tahu bahwa Kepolisian dan Kejaksaan adalah bagian dari eksekutif, kedua lembaga ini tunduk kepada Presiden.

Berdasarkan laporan yang diterima, Kepolisian dan kemudian Kejaksaan, sesuai dengan tupoksi-nya masing-masing menyelidiki, menyidik, menyangka, mendakwa dan menuntut Nuril di pengadilan sehingga akhirnya, oleh Mahkamah Agung, Nuril dihukum penjara 6 bulan dan harus membayar denda Rp500 juta. Keputusan itu adalah keputusan akhir dari rangkaian proses hukum peradilan kita, keputusan Peninjauan Kembali. Hukum telah mempertontonkan kuasanya.


Proses hukum di sistem peradilan berakhir sudah. Ada pelaksanaan hukum positif secara "efektif" di sini, karena semua perangkat hukum negara bergerak sesuai dengan fungsinya masing-masing sebagaimana ditetapkan oleh Undang-undang. Masalahnya, dan ini masalah  besar, kenapa Nuril yang kita tahu adalah korban pelecehan lisan menjadi pihak yang dinyatakan bersalah, dan kemudian dihukum? Sementara pihak yang diduga sebagai pelaku pelecehan hanya mendapat hukuman administratif. Orang lantas bertanya, kemana perginya keadilan?

Salah satu dari persoalan kita adalah kita ini terbiasa mencari biang kesalahan yang salah satunya adalah UU ITE yang perlu diubah sehingga kita punya perangkat UU yang secara tegas lebih memungkinkan polisi, jaksa dan hakim melihat kasusnya bukan saja dari sudut yang sangat legalistik. Kesalahan lainya, karena kepolisian dan kejaksaan berada di bawah eksekutif, mengapa sejak awal pemerintah tidak menghentikan proses hukum terhadap Nuril?

Kalau kedua lembaga ini sudah menyerahkannya ke pengadilan agar Nuril diadili, maka semuanya menjadi sudah terlambat karena pemerintah tidak bisa intervensi ke dalam proses peradilan. Kesalahan lainnya, kalau memang sudah terang benderang bahwa Nuril adalah korban, dan tindakannya yang dianggap tindak pidana bisa dilihat sebagai merupakan reaksi frustrasi karena pelecehan yang diterimanya, kenapa jaksa penuntut umum tidak menuntut agar Nuril dilepaskan atau dibebaskan?

Banyak pendapat yang menyatakan bahwa Jaksa diperbolehkan menuntut agar terdakwa dilepas atau dibebaskan, manakala ia yakin bahwa tindak pidana tidak terjadi, atau suatu tindakan bukan merupakan tindak pidana, atau bukti-bukti yang diajukan kurang kuat, atau bahkan bilamana suatu tindak pidana merupakan suatu tindakan bela diri dari pelakunya.  

Dalam kasus Nuril, ada beberapa hal penting yang tidak diperhatikan oleh polisi, jaksa dan bahkan hakim. Pertama, dalam suatu tindak pidana, unsur mens rea harus ada.  Harus ada niat jahat, atau suasana batin untuk melakukan tindak pidana. Dan kemudian juga harus jelas apa motif dari terdakwa untuk melakukan tindak pidana itu. Kita bisa dengan mudah membayangkan bahwa niat jahat, suasana batin untuk melanggar atau motif tersebut tidak muncul dari Nuril.

Kedua, tujuan proses hukum pidana adalah mencari kebenaran materil. Dalam kasus Nuril, jelas bahwa ia adalah korban yang karena tekanan batin yang dideritanya, memberi informasi kepada seorang temannya tentang kejadian yang dialaminya. Itulah kebenaran materil yang harus menjadi dasar dari tuntutan jaksa dan keputusan hakim. Bukan bahwa suatu perbuatan telah memenuhi unsur-unsur suatu pasal dengan sanksi pidana. Ketiga, kita bicara tentang nurani, rasa keadilan, dan sikap berani untuk tidak selalu berada di jalur legalistik dari para penegak hukum kita.

Kalau semua itu dipahami, dicerna dan dilakukan secara bijak oleh polisi, jaksa atau hakim, kita tidak perlu meributkan sekarang ini masalah apakah Nuril harus diberi amnesti atau grasi. Media sosial tidak perlu menjadikan ini masalah yang harus membelah masyarakat.

Dunia hukum tidak harus menjadi cercaan masyarakat karena dianggap tidak mampu menerapkan hukum dalam konteks yang setepat-tepatnya. Yaitu bahwa hukum itu tidak buta. Hukum bukan huruf-huruf mati dalam kitab-kitab. Hukum itu menyelesaikan masalah yang timbul secara proporsional. Dan bahwa hukum itu bisa mengayomi mereka yang jelas-jelas menjadi korban pelanggaran hukum dan ketidakadilan, bukan sebaliknya.

Sentul, 14 Juli 2019 - ats

Sumber : Baiq Nuril

1 comment:

  1. Depo 20ribu bisa menang puluhan juta rupiah
    mampir di website ternama I O N Q Q
    paling diminati di Indonesia,
    di sini kami menyediakan 9 permainan dalam 1 aplikasi
    ~bandar poker
    ~bandar-Q
    ~domino99
    ~poker
    ~bandar66
    ~sakong
    ~aduQ
    ~capsa susun
    ~perang baccarat (new game)
    segera daftar dan bergabung bersama kami.Smile
    Whatshapp : +85515373217

    ReplyDelete