"Dalam kasus Nuril, ada beberapa hal penting yang tidak diperhatikan oleh polisi, jaksa dan bahkan hakim"
Baiq Nuril sejatinya adalah korban. Ini diakui oleh Pemerintah
Republik Indonesia. Tidak kurang Presiden Jokowi sendiri yang
menyarankan agar Nuril mengajukan amnesti sehingga sebagai pimpinan
eksekutif tertinggi Presiden bisa memberikan amnesti, yang memang dalam
domain kekuasaannya.
Tapi coba tinjau sejenak. Agaknya ada yang tidak masuk akal sehat di
sini. Nuril diseret ke ranah hukum pidana oleh Kepolisian Republik
Indonesia. Baiq kemudian didakwa dan dituntut oleh Kejaksaan Republik
Indonesia. Sangkaan dan tuduhannya sama, Nuril dianggap telah melanggar
UU ITE. Siapapun tahu bahwa Kepolisian dan Kejaksaan adalah bagian dari
eksekutif, kedua lembaga ini tunduk kepada Presiden.
Berdasarkan laporan yang diterima, Kepolisian dan kemudian Kejaksaan,
sesuai dengan tupoksi-nya masing-masing menyelidiki, menyidik,
menyangka, mendakwa dan menuntut Nuril di pengadilan sehingga akhirnya,
oleh Mahkamah Agung, Nuril dihukum penjara 6 bulan dan harus membayar
denda Rp500 juta. Keputusan itu adalah keputusan akhir dari rangkaian
proses hukum peradilan kita, keputusan Peninjauan Kembali. Hukum telah
mempertontonkan kuasanya.
Proses hukum di sistem peradilan berakhir sudah. Ada pelaksanaan
hukum positif secara "efektif" di sini, karena semua perangkat hukum
negara bergerak sesuai dengan fungsinya masing-masing sebagaimana
ditetapkan oleh Undang-undang. Masalahnya, dan ini masalah besar,
kenapa Nuril yang kita tahu adalah korban pelecehan lisan menjadi pihak
yang dinyatakan bersalah, dan kemudian dihukum? Sementara pihak yang
diduga sebagai pelaku pelecehan hanya mendapat hukuman administratif.
Orang lantas bertanya, kemana perginya keadilan?
Salah satu dari persoalan kita adalah kita ini terbiasa mencari biang
kesalahan yang salah satunya adalah UU ITE yang perlu diubah sehingga
kita punya perangkat UU yang secara tegas lebih memungkinkan polisi,
jaksa dan hakim melihat kasusnya bukan saja dari sudut yang sangat
legalistik. Kesalahan lainya, karena kepolisian dan kejaksaan berada di
bawah eksekutif, mengapa sejak awal pemerintah tidak menghentikan proses
hukum terhadap Nuril?
Kalau kedua lembaga ini sudah menyerahkannya ke pengadilan agar Nuril
diadili, maka semuanya menjadi sudah terlambat karena pemerintah tidak
bisa intervensi ke dalam proses peradilan. Kesalahan lainnya, kalau
memang sudah terang benderang bahwa Nuril adalah korban, dan tindakannya
yang dianggap tindak pidana bisa dilihat sebagai merupakan reaksi
frustrasi karena pelecehan yang diterimanya, kenapa jaksa penuntut umum
tidak menuntut agar Nuril dilepaskan atau dibebaskan?
Banyak pendapat yang menyatakan bahwa Jaksa diperbolehkan menuntut
agar terdakwa dilepas atau dibebaskan, manakala ia yakin bahwa tindak
pidana tidak terjadi, atau suatu tindakan bukan merupakan tindak pidana,
atau bukti-bukti yang diajukan kurang kuat, atau bahkan bilamana suatu
tindak pidana merupakan suatu tindakan bela diri dari pelakunya.
Dalam kasus Nuril, ada beberapa hal penting yang tidak diperhatikan oleh polisi, jaksa dan bahkan hakim. Pertama, dalam suatu tindak pidana, unsur mens rea
harus ada. Harus ada niat jahat, atau suasana batin untuk melakukan
tindak pidana. Dan kemudian juga harus jelas apa motif dari terdakwa
untuk melakukan tindak pidana itu. Kita bisa dengan mudah membayangkan
bahwa niat jahat, suasana batin untuk melanggar atau motif tersebut
tidak muncul dari Nuril.
Kedua, tujuan proses hukum pidana adalah mencari kebenaran
materil. Dalam kasus Nuril, jelas bahwa ia adalah korban yang karena
tekanan batin yang dideritanya, memberi informasi kepada seorang
temannya tentang kejadian yang dialaminya. Itulah kebenaran materil yang
harus menjadi dasar dari tuntutan jaksa dan keputusan hakim. Bukan
bahwa suatu perbuatan telah memenuhi unsur-unsur suatu pasal dengan
sanksi pidana. Ketiga, kita bicara tentang nurani, rasa
keadilan, dan sikap berani untuk tidak selalu berada di jalur legalistik
dari para penegak hukum kita.
Kalau semua itu dipahami, dicerna dan dilakukan secara bijak oleh
polisi, jaksa atau hakim, kita tidak perlu meributkan sekarang ini
masalah apakah Nuril harus diberi amnesti atau grasi. Media sosial tidak
perlu menjadikan ini masalah yang harus membelah masyarakat.
Dunia hukum tidak harus menjadi cercaan masyarakat karena dianggap
tidak mampu menerapkan hukum dalam konteks yang setepat-tepatnya. Yaitu
bahwa hukum itu tidak buta. Hukum bukan huruf-huruf mati dalam
kitab-kitab. Hukum itu menyelesaikan masalah yang timbul secara
proporsional. Dan bahwa hukum itu bisa mengayomi mereka yang jelas-jelas
menjadi korban pelanggaran hukum dan ketidakadilan, bukan sebaliknya.
Sentul, 14 Juli 2019 - ats
Sumber : Baiq Nuril
Depo 20ribu bisa menang puluhan juta rupiah
ReplyDeletemampir di website ternama I O N Q Q
paling diminati di Indonesia,
di sini kami menyediakan 9 permainan dalam 1 aplikasi
~bandar poker
~bandar-Q
~domino99
~poker
~bandar66
~sakong
~aduQ
~capsa susun
~perang baccarat (new game)
segera daftar dan bergabung bersama kami.Smile
Whatshapp : +85515373217