DOWNLOAD file DOCX di sini.
Larantuka, kota paling timur di Pulau Flores, Ibu kota
Kabupaten Flores Timur, Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT), resmi sebagai
"Sister City" atau kota kembar dengan Lisabon, Portugal. Peresmian
Larantuka sebagai kota kembar dengan Lisabon ini ditandai dengan
penandatanganan kesepakatan kerja sama antara pemerintah Portugal yang diwakili
Wali Kota Ourem Paulo Fonsesca dan Bupati Flores Timur, Yospeh Lagadoni Herin
di Jakarta, Rabu (23/5). Peristiwa bersejarah itu terjadi di Museum Nasional
Jakarta dan disaksikan langsung oleh Presiden Portugal Anibal Antonio Cavaco
Silva.
Gagasan kerja sama
sister ciry ini lahir di "ruang jamuan makan malam" ketika Bupati
Flores Timur menghadiri undangan makan malam dari Kedutaan Besar Portugal di
Jakarta, beberapa waktu lalu, setelah Dubes Portugal menghadiri Prosesi Jumat
Agung di Larantuka April lalu. Menurut Bupati Flores Timur, pada saat itu Dubes
Portugal Manuel Carlos Leitao Frota berjanji akan membantu mendorong realisasi
kerja sama antara pemerintah Portugal dan Pemerintah Kabupaten Flores Timur
menjadikan Larantuka sebagai "sister city" atau Kota Kembar dengan
Lisabon. Di Museum Nasional Jakarta pun, Manuel Carlos Leitao Frota berjanji
mempromosikan perayaan suci "Semana Santa" dan Prosesi Jumat Agung
atau "Sesta Vera" di Larantuka, Flores Timur di Lourdes.
Gagasan dari
"ruang jamuan makan malam" telah tertambat dalam rumusan-rumusan MoU.
Rumusan MoU tentu tidak sekelas dengan gurauan-gurauan di ruang makan. Kedua
belah pihak yang menandatangani MoU tentu telah memahami dokumen MoU. Dan,
pasti bahwa apa yang dipahami akan dikomunikasikan, bukan untuk sekedar tahu
atau menjadi tahu, melainkan agar "setiap orang yang terkait di dalamnya
atau yang menjadi bagian darinya bisa terlibat di dalamnya". Informasinya
pasti akan dikemas dengan sejelas-jelasnya agar setiap orang yang terkait di
dalamnya atau yang menjadi bagian darinya bisa mengetahui di mana posisinya,
apa perannya, apa sumbangsihnya.
Di pusat Kota Larantuka sudah ada dua
baliho besar yang berkaitan dengan sister city. Yang satu di taman kota,
berhadapan dengan Kantor Bank NTT Cabang Larantuka, di samping Gedung DPRD
Flores Timur, dekat kompleks pertokoan. Yang satunya lagi di sudut luar depan
Kantor Bupati Flores Timur. Ini merupakan dua tempat strategis untuk konteks
Larantuka. Pilihan tempat tentu bukan sekedar pilihan acak-acakan. Yang satu
dekat pusat perekonomian. Yang satunya dekat pusat pemerintahan. Baliho dan
pilihan tempatnya ini menjadi media dan tempat komunikasi dan informasi bagi
masyarakat Flores Timur dan masyarakat lain yang sedang “numpang lewat” di Kota
Larantuka.
Larantuka yang memiliki “sejarah keterkaitan spiritual” dengan bangsa
Portugis pada saatnya akan dibabtis menjadi tempat ziarah internasional, lebih
dari sekedar kota wisata religius. Para peziarah mancanegara dan domestik akan
datang ke Larantuka untuk memuaskan kebutuhan spiritualnya, lebih dari sekedar
berdarmawisata untuk menghabiskan kelebihan uang dari kantong pribadi. Kalau
Larantuka bisa mencapai satu atau dua persen dari rekor Lourdes yang bisa
menggaet lima sampai enam juta peziarah untuk mengunjunginya setiap tahunnya
tentu luar biasa.
Larantuka, kota ziarah yang akan sesaudara dengan Lisabon, akan menjadi
“pilihan” karena ada “sesuatu yang menarik” dalam dirinya. Salah satu “objek”
yang membuat orang tertarik adalah “Tuan Ma” yang pada tahun 2010 telah
mencapai usia kehadirannya di Larantuka 500 tahun. Arca Bunda Maria banyak
bentuk, corak dan rupanya. Namun, yang ada di Larantuka dipandang sebagai arca
yang khas. Khas sejarahnya, khas pula tradisi ritualnya. Wilayah kekhasan
inilah yang akan “dimasuki” para peziarah.
Selain “Tuan Ma”, peziarahpun akan menimba khazanah rohani dan aura
spiritual yang akan ditampilkan oleh mereka yang empunya tradisi dan mereka
yang telah membabtis diri sebagai pemegang tradisi. Kesaksian hidup mereka
merupakan bagian dari kekhasan Larantuka sebagai kota ziarah. Larantuka tentu
tidak ingin mempertontonkan kesenjangan antara isi tradisi dan praksis hidup
para penganutnya kepada para peziarah.
Menyambut sister city, “orang-orang Larantuka” perlu membabtis diri
menjadi orang-orang yang layak sebagai pemilik, penganut dan pencinta tradisi
spiritualnya. Orang yang layak adalah orang yang selalu merindukan
metanoia,yang selalu menginginkan transformasi diri dan komunitasnya berkat
pancaran isi tradisinya. Hemat saya, titik inilah yang menjadikan Larantuka
sebagai kota ziarah yang layak dikunjungi. Kerja berat siap menanti. Tidak
hanya pemerintah, Gereja pun perlu memiliki konsep-konsep sister city yang
dapat dipertanggungjawabkan.
Sister city tentu bukan proyek yang syarat bisnis untung ruginya. Sister
city tentu bukan aksi gagah-gagahan yang mencoba membuat Larantuka “tampil
beda”. Sister city tentu bukan sekedar “memoria” tentang keindahan sejarah dan
khazanah spiritual Gereja di masa lalu.
Sekiranya sister city nantinya “tidak dilihat semata” sebagai komoditas
ekonomis. Sekiranya pula, sister city nantinya “tidak semata dipandang” sebagai
komoditas politik elit-elit politik tertentu. Mereka yang menanam baliho tentu
tidak punya pikiran “dangkal” seperti ini. Mereka tentu sepakat kalau gurauan
di ruang jamuan makan menjadi awal dari sebuah sejarah baru bagi Larantuka:
Kota Rohani yang layak dihuni! Selamat menyambut sister city!
(Artikel ini ditulis oleh Sdr. Ansel Atasoge)
No comments:
Post a Comment