Tanggal 27 Oktober
2011 merupakan moment bersejarah bagi dunia hukum, ekonomi, dan keuangan
Indonesia, karena pada tanggal ini DPR RI mengesahkan UU No. 21 tahun 2011
tentang Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Sepanjang penyusunan dan pengesahannya UU
OJK mendapakan reaksi penolakan yang kuat dari Bank Indonesia (BI).
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) adalah sebuah lembaga yang dibentuk berdasarkan UU
No. 21 tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan. OJK merupakan sebuah lembaga
yang independen dan bebas dari campur tangan Pihak lain, yang mempunyai fungsi,
tugas, dan wewenang pengaturan, pengawasan, pemeriksaan, dan penyidikan (Pasal
1 ayat 1) terhadap Lembaga-lembaga Jasa Keuangan. Lembaga-lembaga Jasa Keuangan
tersebut, antara lain mencakup: lembaga yang melaksanakan kegiatan di sektor
Perbankan, Pasar Modal, Perasuransian, Dana Pensiun, Lembaga Pembiayaan, dan
Lembaga Jasa Keuangan lainnya (Pasal 1 ayat 4).
Jumlah institusi
keuangan yang akan diawasi oleh OJK adalah sekitar 3.681 unit dengan
kapitalisasi senilai Rp7,778 triliun, setara dengan PDB Indonesia. Melihat hal
ini tentu saja sektor keuangan akan menjadi riskan jika terjadi mis-management atau “salah urus” oleh
OJK.
Sejak pendiriannya,
independensi lembaga adalah persoalan serius yang seringkali mengundang kritik
banyak pihak. Dari 6 anggota Dewan Komisioner yang dipilih secara independen,
hanya satu yang berasal dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Sisanya merupakan
“orang lama” Bank Indonesia dan Bapepam-LK. Selain itu anggota Ex-officio yang berasal dari Bank
Indonesia dan Kementerian Keuangan dianggap rentan sebagai “pintu masuk” bagi
politisi untuk mengintervensi urusan OJK, sekalipun keberadaan mereka
dimaksudkan untuk memastikan terpeliharanya kepentingan nasional dalam rangka
persaingan global dan kesepakatan internasional, kebutuhan koordinasi, dan
pertukaran informasi dalam rangka menjaga dan memelihara stabilitas sistem
keuangan.
Untuk melaksanakan tugas pengaturan (Pasal 8 UU OJK), OJK
berwenang untuk:
- menetapkan peraturan pelaksanaan Undang-untang OJK;
- menetapkan peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan;
- menetapkan peraturan dan keputusan OJK;
- menetapkan peraturan mengenai pengawasan di sektor jasa keuangan;
- menetapkan kebijakan mengenai pelaksanaan tugas OJK;
- menetapkan peraturan mengenai tata cara penetapan perintah tertulis terhadap Lembaga Jasa Keuangan dan pihak tertentu;
- menetapkan peraturan mengenai tata cara penetapan pengelola statuter pada Lembaga Jasa Keuangan;
- menetapkan struktur organisasi dan infrastruktur, serta mengelola, memelihara, menatausahakan kekayaan dan kewajiban; dan
- menetapkan peraturan mengenai tata cara pengenaan sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan.
Untuk melaksanakan tugas pengawasan (Pasal 9), OJK
berwenang untuk:
a. menetapkan kebijakan operasional pengawasan terhadap kegiatan jasa keuangan;
b. mengawasi pelaksanaan tugas pengawasan yang dilaksanakan oleh Kepala
Eksekutif;
c. melakukan pengawasan, pemeriksaan, penyidikan, perlindungan Konsumen, dan
tindakan lain terhadap Lembaga Jasa Keuangan, pelaku, dan / atau penunjang jasa
keuangan sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan di sektor jasa
keuangan;
d. memberikan perintah tertulis kepada Lembaga Jasa Keuangan dan / atau pihak
tertentu;
e. melakukan penunjukan pengelola statuter;
f. menetapkan penggunaan pengelola statuter;
g. menetapkan sanksi administratif terhadap pihak yang melakukan pelanggaran
terhadap peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan; dan
h. memberikan dan / atau mencabut:
1. izin usaha;
2. izin orang perseorangan;
3. efektifnya pernyataan pendaftaran;
4. surat tanda terdaftar;
5. persetujuan melakukan kegiatan usaha;
6. pengesahan;
7. persetujuan atau penetapan pembubaran; dan
8. penetapan lain sebagaimana
dimaksud dalam peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan.
OJK dipimpin oleh
sembilan orang Dewan Komisioner yang memimpin secara kolektif kolegial. Pasal
10 ayat 4 mengatur bahwa 9 anggota DK ini terdiri atas:
a. seorang Ketua merangkap anggota;
b. seorang Wakil Ketua sebagai Ketua Komite Etik merangkap anggota;
c. seorang Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan merangkap anggota;
d. seorang Kepala Eksekutif Pengawas Pasar Modal merangkap anggota;
e. seorang Kepala Eksekutif Pengawas Perasuransian, Dana Pensiun, Lembaga Pembiayaan, dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya merangkap anggota;
f. seorang Ketua Dewan Audit merangkap anggota;
g. seorang anggota yang membidangi edukasi dan perlindungan Kosumen;
h. seorang anggota Ex-officio dari
Bank Indonesia yang merupakan anggota Dewan Gubernur Bank Indonesia; dan
i. seorang anggota Ex-officio
dari Kementrian Keuangan yang merupakan pejabat setingkat eselon I.
Para anggota DK ini
tidak dapat diberhentikan sebelum masa jabatannya berakhir, kecuali
apabila yang bersangkutan (Pasal 17 ayat
1):
a. meninggal dunia;
b. mengundurkan diri;
c. masa jabatannya telah berakhir dan tidak dipilih kembali;
d. berhalangan tetap sehingga tidak dapat melaksanakan tugas atau
diperkirakan secara medis tidak dapat melaksanalan tugas lebih dari 6 (enam)
bulan berturut-turut;
e. tidak menjalankan tugasnya sebagai anggota Dewan Komisioner lebih dari 3
(tiga) bulan berturut-turut tanpa alasan yang dapat dipertanggungjawabkan;
f. tidak lagi menjadi anggota Dewan Gubernur Bank Indonesia bagi anggota Ex-officio Dewan Komisioner yang berasal
dari Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (4) huruf h;
g. tidak lagi menjadi pejabat setingkat eselon I pada Kementerian Keuangan
bagi anggota Ex-officio Dewan
Komisioner yang berasal dari Kementerian Keuangan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 10 ayat (4) huruf i;
h. memiliki hubungan keluarga sampai derajat kedua dan / atau semenda dengan
anggota Dewan Komisioner lain dan tidak ada satu pun yang mengundurkan diri
dari jabatannya;
i. melanggar kode etik; atau
j. tidak lagi memenuhi salah satu syarat sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 16 dan melanggar larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22.
Untuk meningkatkan
independensi DK OJK, Undang-undang OJK mengatur beberapa larangan yang harus
dipatuhi DK OJK sebagaimana diatur di dalam Pasal 22 dan Pasal 23, antara lain:
larangan memiliki benturan kepentingan di Lembaga Jasa Keuangan yang diawasi
oleh OJK dan larangan menjadi anggota partai politik. Setiap orang perseorangan
yang menjabat atau pernah menjabat sebagai anggota DK, pejabat atau pegawai OJK
dituntut untuk menjaga kerahasiaan informasi, kecuali dalam rangka pelaksanaan
fungsi, tugas, dan wewenangnya berdasarkan keputusan OJK atau diwajibkan oleh
undang-undang (Pasal 33 ayat 1).
Otoritas Jasa Keuangan
memiliki wewenang penyidikan sebagai Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS)
sebagaimana dimaksud di dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
PPNS OJK berwenang (Pasal 49 ayat 3):
a. menerima laporan, pemberitahuan, atau pengaduan dari seseorang tentang
adanya tindak pidana di sektor jasa keuangan;
b. melakukan penelitian atas kebenaran laporan atau keterangan dengan tindak
pidana di sektor jasa keuangan;
c. melakukan penelitian terhadap setiap orang yang diduga melakukan atau
terlibat dalam tindak pidana di sektor jasa keuangan;
d. memanggil, memeriksa, serta meminta keterangan dan barang bukti dari
setiap orang yang disangka melakukan, atau sebagai saksi dalam tindak pidana di
sektor jasa keuangan;
e. melakukan pemeriksaan atas
pembukuan, catatan, dan dokumen lain berkenaan degan tindak pidana di sektor
jasa keuangan;
f. melakukan penggeledahan di setiap tempat tertentu yang diduga terdapat
setiap barang bukti pembukuan, pencatatan, dan dokumen lain serta melakukan
penyitaan terhadap barang yang dapat dijadikan bahan bukti dalam perkara pidana
di sekitar jasa keuangan;
g. meminta data, dokumen, atau alat bukti lain, baik cetak maupun elektronik
kepada penyelenggara jasa telekomunikasi;
h. dalam keadaan tertentu meminta kepada pejabat yang berwenang untuk
melakukan pencegahan terhadap orang yang diduga telah melakukan tindak pidana
di sektor jasa keuangan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
i. meminta bantuan aparat penegak hukum lain;
j. meminta keterangan dari bank tentang keadaan keuangan pihak
yang diduga melakukan atau terlibat dalam pelanggaran terhadap peraturan
perundang-undangan di sektor jasa keuangan;
k. memblokir rekening pada bank atau lembaga keuangan lain dari pihak yang
diduga melakukan atau terlibat dalam tindak pidana di sektor jasa keuangan;
l. meminta bantuan ahli dalam rangka pelaksanaan tugas
penyidikan tindak pidana di sektor jasa keuangan; dan
m. menyatakan saat dimulai dan diberhentikannya penyidikan.
PPNS OJK dapat langsung
menyampaikan hasil penyidikannya kepada Jaksa untuk dilakukan penuntutan.
Setelah menerima hasil penyidikan ini, Jaksa harus menindaklanjutinya dalam
waktu 90 hari setelah laporan hasil penyidikan itu diterimanya. Batas waktu ini
penting demi menghindari “mandeg”-nya proses penegakan hukum di tingkat
kejaksaan. Dalam rangka penegakan hukum, OJK diharuskan untuk bekerja sama
dengan penegak hukum lainnya.
UU OJK memuat sejumlah
ketentuan pidana sebagaimana diatur di dalam Pasal 52, Pasal 53, dan Pasal 54.
Pasal 52 memuat ancaman pidana kepada orang perorangan dan korporasi yang
melanggar ketentuan tentang kerahasiaan informasi. Pasal 53 memuat ancaman
pidana kepada orang perseorangan dan korporasi yang sengaja mengabaikan, tidak
memenuhi, atau menghambat pelaksanaan kewenangan OJK. Sedangkan Pasal 54 memuat
ancaman pidana kepada orang perseorangan dan korporasi yang sengaja mengabaikan
dan / atau tidak melaksanakan perintah tertulis sebagaimana dimaksud dalam
pasal 9 huruf d atau tugas untuk menggunakan pengelola statuter sebagaimana
dimaksud di dalam Pasal 9 huruf f.
Menurut ketentuan
peralihan Pasal 55 ayat 1, fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan dan
pengawasan kegiatan jasa keuangan di sektor Pasar Modal dan Lembaga Keuangan beralih
ke OJK terhitung sejak 31 Desember 2012. Sedangkan fungsi, tugas, dan wewenang
pengaturan dan pengawasan kegiatan jasa keuangan di sektor perbankan beralih ke
OJK terhitung sejak 31 Desember 2013.
Sebelum batas waktu ini tercapai, lembaga-lembaga berwenang tetap
menjalankan tugasnya seperti biasa, tetapi menyampaikan laporan kegiatannya
kepada OJK. Pasal 70 mengatur bahwa pada saat UU OJK berlaku, undang-undang
terkait (termasuk Undang-undang Pasar Modal) tetap berlaku sepanjang tidak
bertentangan dan belum diganti berdasarkan UU OJK ini.