Tuesday, September 25, 2012

OJK Sebagai Lembaga Baru Yang Menggantikan Bapepam-LK


Tanggal 27 Oktober 2011 merupakan moment bersejarah bagi dunia hukum, ekonomi, dan keuangan Indonesia, karena pada tanggal ini DPR RI mengesahkan UU No. 21 tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Sepanjang penyusunan dan pengesahannya UU OJK mendapakan reaksi penolakan yang kuat dari Bank Indonesia (BI).[1] Otoritas Jasa Keuangan (OJK) adalah sebuah lembaga yang dibentuk berdasarkan UU No. 21 tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan. OJK merupakan sebuah lembaga yang independen dan bebas dari campur tangan Pihak lain, yang mempunyai fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan, pengawasan, pemeriksaan, dan penyidikan (Pasal 1 ayat 1) terhadap Lembaga-lembaga Jasa Keuangan. Lembaga-lembaga Jasa Keuangan tersebut, antara lain mencakup: lembaga yang melaksanakan kegiatan di sektor Perbankan, Pasar Modal, Perasuransian, Dana Pensiun, Lembaga Pembiayaan, dan Lembaga Jasa Keuangan lainnya (Pasal 1 ayat 4).

Jumlah institusi keuangan yang akan diawasi oleh OJK adalah sekitar 3.681 unit dengan kapitalisasi senilai Rp7,778 triliun, setara dengan PDB Indonesia. Melihat hal ini tentu saja sektor keuangan akan menjadi riskan jika terjadi mis-management atau “salah urus” oleh OJK.

Sejak pendiriannya, independensi lembaga adalah persoalan serius yang seringkali mengundang kritik banyak pihak. Dari 6 anggota Dewan Komisioner yang dipilih secara independen, hanya satu yang berasal dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Sisanya merupakan “orang lama” Bank Indonesia dan Bapepam-LK. Selain itu anggota Ex-officio yang berasal dari Bank Indonesia dan Kementerian Keuangan dianggap rentan sebagai “pintu masuk” bagi politisi untuk mengintervensi urusan OJK, sekalipun keberadaan mereka dimaksudkan untuk memastikan terpeliharanya kepentingan nasional dalam rangka persaingan global dan kesepakatan internasional, kebutuhan koordinasi, dan pertukaran informasi dalam rangka menjaga dan memelihara stabilitas sistem keuangan. [2]

Untuk melaksanakan tugas pengaturan (Pasal 8 UU OJK), OJK berwenang untuk:
  1. menetapkan peraturan pelaksanaan Undang-untang OJK;
  2. menetapkan peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan;
  3. menetapkan peraturan dan keputusan OJK;
  4. menetapkan peraturan mengenai pengawasan di sektor jasa keuangan;
  5. menetapkan kebijakan mengenai pelaksanaan tugas OJK;
  6. menetapkan peraturan mengenai tata cara penetapan perintah tertulis terhadap Lembaga Jasa Keuangan dan pihak tertentu;
  7. menetapkan peraturan mengenai tata cara penetapan pengelola statuter pada Lembaga Jasa Keuangan;
  8. menetapkan struktur organisasi dan infrastruktur, serta mengelola, memelihara, menatausahakan kekayaan dan kewajiban; dan
  9. menetapkan peraturan mengenai tata cara pengenaan sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan.
Untuk melaksanakan tugas pengawasan (Pasal 9), OJK berwenang untuk:
a. menetapkan kebijakan operasional pengawasan terhadap kegiatan jasa     keuangan;
b. mengawasi pelaksanaan tugas pengawasan yang dilaksanakan oleh Kepala Eksekutif;
c.  melakukan pengawasan, pemeriksaan, penyidikan, perlindungan Konsumen, dan tindakan lain terhadap Lembaga Jasa Keuangan, pelaku, dan / atau penunjang jasa keuangan sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan;
d.   memberikan perintah tertulis kepada Lembaga Jasa Keuangan dan / atau pihak tertentu;
e.   melakukan penunjukan pengelola statuter;
f.    menetapkan penggunaan pengelola statuter;
g.  menetapkan sanksi administratif terhadap pihak yang melakukan pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan; dan
h.   memberikan dan / atau mencabut:
     1.      izin usaha;
     2.      izin orang perseorangan;
     3.      efektifnya pernyataan pendaftaran;
     4.      surat tanda terdaftar;
     5.      persetujuan melakukan kegiatan usaha;
     6.      pengesahan;
     7.      persetujuan atau penetapan pembubaran; dan
     8.      penetapan lain sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan.

OJK dipimpin oleh sembilan orang Dewan Komisioner yang memimpin secara kolektif kolegial. Pasal 10 ayat 4 mengatur bahwa 9 anggota DK ini terdiri atas:
a.   seorang Ketua merangkap anggota;
b.   seorang Wakil Ketua sebagai Ketua Komite Etik merangkap anggota;
c.   seorang Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan merangkap anggota;
d.   seorang Kepala Eksekutif Pengawas Pasar Modal merangkap anggota;
e.  seorang Kepala Eksekutif Pengawas Perasuransian, Dana Pensiun, Lembaga   Pembiayaan, dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya merangkap anggota;
f.    seorang Ketua Dewan Audit merangkap anggota;
g.   seorang anggota yang membidangi edukasi dan perlindungan Kosumen;
h.  seorang anggota Ex-officio dari Bank Indonesia yang merupakan anggota Dewan Gubernur Bank Indonesia; dan
i.  seorang anggota Ex-officio dari Kementrian Keuangan yang merupakan pejabat setingkat eselon I.

Para anggota DK ini tidak dapat diberhentikan sebelum masa jabatannya berakhir, kecuali apabila  yang bersangkutan (Pasal 17 ayat 1):
a.    meninggal dunia;
b.    mengundurkan diri;
c.    masa jabatannya telah berakhir dan tidak dipilih kembali;
d.   berhalangan tetap sehingga tidak dapat melaksanakan tugas atau diperkirakan secara medis tidak dapat melaksanalan tugas lebih dari 6 (enam) bulan berturut-turut;
e.  tidak menjalankan tugasnya sebagai anggota Dewan Komisioner lebih dari 3 (tiga) bulan berturut-turut tanpa alasan yang dapat dipertanggungjawabkan;
f.    tidak lagi menjadi anggota Dewan Gubernur Bank Indonesia bagi anggota Ex-officio Dewan Komisioner yang berasal dari Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (4) huruf h;
g.   tidak lagi menjadi pejabat setingkat eselon I pada Kementerian Keuangan bagi anggota Ex-officio Dewan Komisioner yang berasal dari Kementerian Keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (4) huruf i;
h.  memiliki hubungan keluarga sampai derajat kedua dan / atau semenda dengan anggota Dewan Komisioner lain dan tidak ada satu pun yang mengundurkan diri dari jabatannya;
i.    melanggar kode etik; atau
j.   tidak lagi memenuhi salah satu syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 dan melanggar larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22.

Untuk meningkatkan independensi DK OJK, Undang-undang OJK mengatur beberapa larangan yang harus dipatuhi DK OJK sebagaimana diatur di dalam Pasal 22 dan Pasal 23, antara lain: larangan memiliki benturan kepentingan di Lembaga Jasa Keuangan yang diawasi oleh OJK dan larangan menjadi anggota partai politik. Setiap orang perseorangan yang menjabat atau pernah menjabat sebagai anggota DK, pejabat atau pegawai OJK dituntut untuk menjaga kerahasiaan informasi, kecuali dalam rangka pelaksanaan fungsi, tugas, dan wewenangnya berdasarkan keputusan OJK atau diwajibkan oleh undang-undang (Pasal 33 ayat 1).
                        Otoritas Jasa Keuangan memiliki wewenang penyidikan sebagai Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) sebagaimana dimaksud di dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). PPNS OJK berwenang (Pasal 49 ayat 3):
a. menerima laporan, pemberitahuan, atau pengaduan dari seseorang tentang adanya tindak pidana di sektor jasa keuangan;
b. melakukan penelitian atas kebenaran laporan atau keterangan dengan tindak pidana di sektor jasa keuangan;
c.  melakukan penelitian terhadap setiap orang yang diduga melakukan atau terlibat dalam tindak pidana di sektor jasa keuangan;
d.  memanggil, memeriksa, serta meminta keterangan dan barang bukti dari setiap orang yang disangka melakukan, atau sebagai saksi dalam tindak pidana di sektor jasa keuangan;
e. melakukan  pemeriksaan atas pembukuan, catatan, dan dokumen lain berkenaan degan tindak pidana di sektor jasa keuangan;
f.   melakukan penggeledahan di setiap tempat tertentu yang diduga terdapat setiap barang bukti pembukuan, pencatatan, dan dokumen lain serta melakukan penyitaan terhadap barang yang dapat dijadikan bahan bukti dalam perkara pidana di sekitar jasa keuangan;
g. meminta data, dokumen, atau alat bukti lain, baik cetak maupun elektronik kepada penyelenggara jasa telekomunikasi;
h. dalam keadaan tertentu meminta kepada pejabat yang berwenang untuk melakukan pencegahan terhadap orang yang diduga telah melakukan tindak pidana di sektor jasa keuangan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
i.   meminta bantuan aparat penegak hukum lain;
j.  meminta keterangan dari bank tentang keadaan keuangan pihak yang diduga melakukan atau terlibat dalam pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan;
k. memblokir rekening pada bank atau lembaga keuangan lain dari pihak yang diduga melakukan atau terlibat dalam tindak pidana di sektor jasa keuangan;
l.   meminta bantuan ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan tindak pidana di sektor jasa keuangan; dan
m. menyatakan saat dimulai dan diberhentikannya penyidikan.

PPNS OJK dapat langsung menyampaikan hasil penyidikannya kepada Jaksa untuk dilakukan penuntutan. Setelah menerima hasil penyidikan ini, Jaksa harus menindaklanjutinya dalam waktu 90 hari setelah laporan hasil penyidikan itu diterimanya. Batas waktu ini penting demi menghindari “mandeg”-nya proses penegakan hukum di tingkat kejaksaan. Dalam rangka penegakan hukum, OJK diharuskan untuk bekerja sama dengan penegak hukum lainnya.

UU OJK memuat sejumlah ketentuan pidana sebagaimana diatur di dalam Pasal 52, Pasal 53, dan Pasal 54. Pasal 52 memuat ancaman pidana kepada orang perorangan dan korporasi yang melanggar ketentuan tentang kerahasiaan informasi. Pasal 53 memuat ancaman pidana kepada orang perseorangan dan korporasi yang sengaja mengabaikan, tidak memenuhi, atau menghambat pelaksanaan kewenangan OJK. Sedangkan Pasal 54 memuat ancaman pidana kepada orang perseorangan dan korporasi yang sengaja mengabaikan dan / atau tidak melaksanakan perintah tertulis sebagaimana dimaksud dalam pasal 9 huruf d atau tugas untuk menggunakan pengelola statuter sebagaimana dimaksud di dalam Pasal 9 huruf f.

Menurut ketentuan peralihan Pasal 55 ayat 1, fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan dan pengawasan kegiatan jasa keuangan di sektor Pasar Modal dan Lembaga Keuangan beralih ke OJK terhitung sejak 31 Desember 2012. Sedangkan fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan dan pengawasan kegiatan jasa keuangan di sektor perbankan beralih ke OJK terhitung sejak 31 Desember 2013.  Sebelum batas waktu ini tercapai, lembaga-lembaga berwenang tetap menjalankan tugasnya seperti biasa, tetapi menyampaikan laporan kegiatannya kepada OJK. Pasal 70 mengatur bahwa pada saat UU OJK berlaku, undang-undang terkait (termasuk Undang-undang Pasar Modal) tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dan belum diganti berdasarkan UU OJK ini.


[1] “Apa Itu Lembaga ‘Super Body’ OJK?”, diakses dari http://www.imq21.com/news/read/50023/20120301/122739/Apa-Itu-Lembaga-Super-Body-OJK-.html pada tanggal 28 Agustus 2012.
[2] Luluk Permatasari, “Pro Kontra Terbentuknya OJK”, di-posting pada tanggal 31 Juli 2012, diakses dari http://bem.feb.ugm.ac.id/index.php/publication/kajian/84-pro-kontra-terbentuknya-ojk pada tanggal 28 Agustus 2012. 

No comments:

Post a Comment