Wednesday, May 27, 2020

DAMPAK RENMINBI DIGITAL

Mata Uang China
Mata Uang China

Oleh

J. Soedrajad Djiwandono

(Guru Besar Ekonomi Emeritus  Universitas Indonesia )

Dalam tulisan di kolom opini harian ini, 13 Mei 2020, saya sudah membahas rencana uji coba penggunaan mata uang China renminbi (RMB) digital atau eRMB dan sejumlah permasalahan terkait.

Sebelumnya, saya juga sudah dua kali membahas permasalahan mata uang digital (digital currancy atau crypto currency) di kolom opini, yakni ”Bitcoin yang Menghebohkan” (Kompas,12/12/2017) dan ”Bitcoin Memang Bikin Ribet” (Kompas, 30/1/2018). Permasalahan ini terus bergulir dan kali ini saya ingin melanjutkan pembahasan saya.

South China Morning Post (SCMP, 5/5/2020) menurunkan tulisan Shannon van Sant yang berpendapat serupa dengan yang saya perkirakan bahwa kalau eRMB diperkenalkan, untuk sementara akan beredar dua macam RMB, dalam bentuk uang kertas yang sekarang dan dalam bentuk digital. Menurut penulis tersebut, sementara orang boleh menukarkan RMB yang dimiliki, baik dalam uang kertas maupun dalam dana yang disimpan dalam rekening di bank, ke dalam eRMB. Dengan demikian selain bahwa nilai eRMB dikaitkan (pegged) dengan uang kertas RMB, keduanya menjadi uang resmi dalam sistem pembayaran di China. Penukaran ini juga boleh dilakukan untuk semua uang yang dimiliki masyarakat dalam saldo mereka pada WeChat, Alipay, serta sistem aplikasi pembayaran yang lain.

Dewasa ini, di China, terdapat 600 juta pemakai Alipay yang dimiliki dan dioperasikan oleh Ant Financial dan di luar itu masih ada berbagai platform jasa pembayaran yang lain yang digunakan jutaan orang di negara tersebut. Artinya jelas bahwa masyarakat China semakin terbiasa dengan sistem pembayaran yang menggunakan aplikasi lewat telepon genggam (smartphones) mereka, atau cara pembayaran tanpa uang tunai (cashless).

Pengalaman di kampus NTU Singapura tempat saya mengajar juga saya rasakan, terutama sekitar satu tahun terakhir ini. Pada waktu membayar makan dan minuman di kafetaria setiap makan siang, saya sering merasa menjadi orang aneh karena membayar makanan saya dengan uang kertas. Kebanyakan mahasiswa/mahasiswi membayar hanya dengan menempelkan ponsel mereka pada alat pemindai (code scanner) di tempat pembayaran.

Demikian pula saat membayar ongkos naik taksi setiap harinya pergi-pulang kerja dengan uang tunai, saya kadang mendengar pengemudinya bertanya dengan nada kesal, ”Are you paying in cash?” yang biasanya saya jawab dengan ketus juga, ’And why not?’.

Saya sadar menjadi orang tua yang menjadi ”misfit” karena perubahan tata cara bayar-membayar ini. Sekali-sekali sikap saya sebagai guru ekonomi moneter keluar dengan nyeletuk, ”This is a legal tender issued by your government, you know.” Tentu saja saya kalah karena zaman memang sudah berubah, penggunaan uang kertas diganti dengan digital, pembayaran tanpa uang kertas atau cashless.

 Dampak dari eRMB

Itu adalah gambaran era digital yang memang sudah jelas merupakan bagian dari kehidupan ekonomi-keuangan baru di dalam masyarakat di mana-mana. Apalagi di China yang berada di garis terdepan dalam perubahan ini. China memegang rekor paling atas dalam hal besarnya jumlah penggunaan telepon genggam di seluruh dunia. Karena itu, masyarakat China semakin terbiasa dengan pembayaran tanpa uang tunai, wireless payment, menggantikan pembayaran melalui uang kertas.

Kampus saya, NTU, sudah beberapa waktu terakhir berkampanye melaksanakan hal ini sehingga membayar satu mangkuk mi atau sepiring chicken rice pun memakai ponsel yang bagi orang kuno seperti saya belum terbiasa.

Bank sentral China, People Bank of China (PBOC), telah melaksanakan uji coba penggunaan RMB digital atau eRMB, atau disebut juga Central Bank Digital Currency (CBDC) di empat kota; Shenzhen, Suzhou, Chengdu, dan Xiong’an, kota satelit di selatan Beijing.

Sebagai uang yang dimaksudkan untuk menggantikan uang kertas RMB, eRMB tidak berbeda dengan uang kertas RMB yang merupakan alat pembayaran resmi di masyarakat. Dengan demikian, eRMB adalah uang resmi atau fiat money, yang dikeluarkan oleh PBOC, tentunya dengan suatu fiat atau edict, aturan perundangan. Namun, sebagai uang digital, eRMB diciptakan melalui proses algoritme komputasi yang sangat kompleks yang dinamakan blockchain.

Sebagai uang digital, eRMB mempunyai kelebihan dalam hal pengamanan (terhadap pemalsuan), dan karena transparannya, proses dalam bayar-membayar tidak akan terjadi penggunaannya sampai lebih dari satu kali. Dengan demikian, berbagai keunggulan dari uang digital yang disebutkan oleh para penciptanya waktu Bitcoin dan sejenisnya diperkenalkan, juga dimiliki oleh eRMB. Selain itu eRMB sebagai uang yang resmi dikeluarkan PBOC merupakan fiat money yang dipercaya masyarakat.

Sejak mulai dikenal di masyarakat tahun 2009, digital currency menjadi tantangan otoritas moneter sebagai lembaga yang berwenang mengeluarkan fiat money. Bank-bank sentral di dunia belum mempunyai pendapat yang seragam, ada yang menolak bahkan melarang, ada yang membiarkannya beredar di masyarakat. Bank Indonesia, misalnya, pada Desember 2017 tidak mengakui uang digital sebagai alat pembayaran dan sebagai aset finansial untuk diperdagangkan.

 Libra dan uang digital resmi

Tantangan uang digital ini lebih terasa sejak Mark Zuckerberg, chairman dan CEO Facebook, pada Oktober 2019 mengumumkan bahwa Facebook sedang menyusun rencana untuk menerbitkan uang digital yang disebut Libra. Bos Facebook ini mengatakan, Libra akan mempunyai nilai yang stabil, berbeda dengan uang digital lain.

Mengapa demikian? Sebab, meskipun tak dikeluarkan oleh suatu otoritas yang sah (bank sentral), Libra didukung sejumlah lembaga keuangan, seperti Mastercard, Visa, dan Paypal, yang tergabung dalam Libra Association. Libra juga disebutkan 50 persen berbasis dollar Amerika Serikat (AS). Karena itu, Libra akan merupakan uang digital yang nilainya stabil.

Salah satu kelemahan dari Bitcoin dan sejenisnya adalah nilainya sangat berfluktuasi, tidak stabil. Ini dianggap mendorong kegiatan spekulatif, selain teknik penggunaannya yang menggunakan huruf sandi, orang tidak mengetahui identitas lawan komunikasinya. Hal ini dikhawatirkan mudah dimanfaatkan perbuatan yang menyerempet hukum; seperti illicit financing, bahkan dipakai untuk pembiayaan terorisme. Menurut Mark Zuckerberg, dengan Libra, orang akan dapat melakukan transaksi dana tanpa harus memiliki rekening bank, semudah mengirim surat elektronik (e-mail). Ini jelas merupakan suatu tantangan buat otoritas moneter dan pengawasan mengingat dewasa ini ada sekitar 1,7 miliar pengguna Facebook.

Di luar hal tersebut di atas, ada usulan untuk dikeluarkannya uang digital resmi. Di AS ada usulan dari anggota Kongres dari Partai Republik, French Hill, dari Arkansas, bersama anggota Kongres dari Partai Demokrat dari Illinois, Bill Foster, yang meminta Ketua Federal Reserve (bank sentral AS) Jerome Powell menciptakan dollar AS digital. Dan di Eropa, Mark Carney, waktu masih menjabat sebagai Gubernur Bank of England (bank sentral Inggris), tahun lalu, juga mengusulkan dikeluarkannya suatu digital currency oleh sejumlah bank sentral secara bersama.

Meskipun usulan-usulan tersebut belum ada yang menjadi kenyataan, saya kira telah mendorong mengkristalnya keputusan Pemerintah China untuk mengeluarkan eRMB. Saya melihat bahwa kompetisi yang tampak jelas adalah dari rencana akan terbitnya Libra. China tidak ingin ketinggalan sebelum dollar AS yang terus mendominasi sistem pembayaran dunia akan lebih diperkuat lagi dengan Libra yang berbasiskan dollar AS.

Menurut Shannon van Sant, PBOC sejak 2014 telah melakukan studi untuk penciptaan RMB dalam digital. Dengan berbagai usulan yang bermunculan untuk dikeluarkannya uang resmi digital, ataupun uang digital dengan nilai stabil seperti Libra, China mungkin merasa terpicu untuk cepat mengeluarkan eRMB. Maka, diputuskanlah untuk melakukan uji coba penggunaan eRMB di empat kota tadi.

Nasib dollar AS

Bagaimanakah nasib dollar AS dalam sistem pembayaran dunia dengan keluarnya eRMB? Saya kira tergantung pada bagaimana penilaian pelaku pasar terhadap uang baru ini. Kebiasaan pelaku pasar melaksanakan pembayaran dalam transaksi perdagangan dan investasi dengan menggunakan suatu jenis
mata uang dalam quotation harga komoditas—misalnya perdagangan minyak dan energi selalu dalam dollar AS— mungkin akan terpengaruh, meskipun saya kira tidak akan secara drastis.

Saya sudah mencatat sebelumnya bahwa keinginan China agar renminbi diterima secara global tentu sudah ada sejak China resmi menjadi anggota Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) tahun 2001. Dengan kemajuan perekonomiannya yang bertumbuh luar biasa selama puluhan tahun melalui peningkatan investasi di sektor infrastruktur dan perdagangan internasionalnya yang terus meningkat, China menjadi negara dengan perekonomian terbesar kedua di dunia, menggeser Jepang di 2010.

Dan ditahun 2016, yuan atau renminbi dimasukkan dalam jajaran mata uang elite dunia berdasarkan keputusan Dana Moneter  internasional(IMF) yang menjadikan RMB sebagai mata uang yang digunakan untuk menentukan nilai Special Drawing Right (SDR) dengan timbangan 10,92 persen, bersama mata uang kuat lainnya.Yang paling besar perannya adalah dollar AS (41,73 persen), disusul euro (30,93 persen), yen (8,33 persen) dan poundsterling (8,09 persen).

Sebetulnya, dalam kenyataannya, apakah penentuan timbangan dalam penghitungan SDR buat negara-negara besar tersebut sesuai dengan peran mata uang masing-masing dalam sistem pembayaran dunia, juga tidak jelas. Kegunaan SDR itu sendiri sebagai alat untuk menyimpan cadangan devisa juga sudah tidak tepat lagi. SDR diciptakan IMF pada 1969 dalam kondisi perekonomian dunia yang kurang pasti karena sistem moneter dunia yang berlaku saat itu dan SDR pada dasarnya hanya merupakan satuan hitung.

Akan tetapi, kedudukan suatu mata uang menjadi bagian dari basis penghitungan nilai SDR jelas mempunyai arti tersendiri sebagai pengakuan oleh IMF bahwa perekonomian negara dengan mata uang tersebut mempunyai bobot yang diperhitungkan.

 Saya belum dapat  menunjukkan secara jelas dan pasti apa dampak nantinya terhadap sistem keuangan dan pembayaran dunia dengan keluarnya eRMB. Yang kiranya lebih pasti adalah bahwa China memang jelas akan meluncurkan uang digital eRMB ini. Kapan waktu  tepatnya, kita belum tahu. Akan tetapi, kalau dalam masa uji coba tidak didapatkan masalah dari segi teknisnya, saya kira tidak akan terlalu lama lagi.

Setelah mulai resmi berlaku, eRMB akan beredar bersama dengan uang kertas RMB, keduanya uang yang secara hukum resmi dan sah sebagai legal tender, alat pembayaran ataupun aset finansial.

Sampai berapa lama kedua bentuk uang ini akan beredar bersama? Mungkin hal ini akan berjalan secara bertahap. Nantinya, eRMB akan digunakan untuk menggantikan uang kertas RMB yang masih beredar. Orang boleh menukar RMB yang mereka miliki, baik dalam bentuk uang kertas, saldo rekening bank, maupun saldo dalam wallet dalam berbagai platform pembayaran digital dengan eRMB. Tentu saja tergantung bagaimana masyarakat menanggapi beredarnya eRMB itu sendiri. Kalau semua berduyun-duyun menggantikan semua tadi dengan eRMB, tentu prosesnya akan berjalan cepat, apalagi kalau ada keharusan untuk melakukannya.

Proses penggantian bisa juga melalui yang biasa dalam kebijakan pengedaran uang bank sentral. Uang kertas ada masa beredar secara alamiahnya, artinya sampai lusuh. Semua bank sentral mempunyai Kebijakan menggantikan uang lusuh dengan uang baru, sering disebut sebagai kebijakan clean money. Ini bukan penambahan uang beredar, karena uang lusuh itu dihancurkan dan diganti dengan yang baru. Perlu diingat, uang kertas itu baru menjadi bagian dari uang beredar kalau uang tersebut dikeluarkan dari kas bank sentral. Jadi, uang yang menumpuk di gudang bank sentral atau percetakan uang negara bukan uang beredar, baru menjadi uang beredar setelah keluar dari kas bank sentral.

Saya melihat pengembangan untuk memperkenalkan eRMB ini merupakan upaya China meningkatkan peran sebagai negara besar yang tentu mempunyai ambisi memainkan peran sebagai pemimpin dunia, sesuai dengan posisinya sebagai negara terbesar kedua setelah AS. Ini berjalan bersamaan dengan proyek besarnya melalui pembangunan infrastruktur yang mengingatkan masa kejayaan China dalam dinasti Han dalam Jalur Sutera (Silk Road) dengan memperluas melalui jalur laut dan yang lain dalam Inisiatif Sabuk dan Jalan (Belt and Road Initiative/BRI) ataupun dalam penguasaan teknologi informasi dan komunikasi (ICT) untuk masa depan.

Akan tetapi, dalam hal penggunaan renminbi sebagai alat pembayaran dalam perdagangan dan investasi dunia sebagaimana diketahui sampai sekarang peran dollar AS masih paling dominan. Menurut tulisan Shannon van Sant di atas, penggunaan yuan atau renminbi sebagai alat pembayaran dan penyimpanan cadangan baru sebesar 2 persen tahun lalu. Sementara dollar AS digunakan dalam 90 persen transaksi perdagangan di dunia dan sebesar 60 persen dalam pemupukan cadangan devisa negara-negara di dunia. Karena itu, jalan yang harus dilalui masih panjang.


Artikel ini diambil dari Harian KOMPAS, tanggal 27 Mei 2020, hlm. 6, OPINI.







2 comments:

  1. Izin promo ya Admin^^
    bosan tidak ada yang mau di kerjakan, mau di rumah saja suntuk,
    mau keluar tidak tahu mesti kemana, dari pada bingung
    mari bergabung dengan kami di ionqq^^com, permainan yang menarik dan menguras emosi
    ayo ditunggu apa lagi.. segera bergabung ya dengan kami...
    add Whatshapp : +85515373217 ^_~

    ReplyDelete