Suasana di Pemakaman Umum Lewoloba |
Tahun 2015 menjadi tahun yang sangat memilukan hati. Banyak peristiwa kedukaan terjadi di Desa Lewoloba. Tidak kurang dari 8 (delapan) orang telah meninggal dunia. Beberapa catatan kematian yang dapat disebutkan di sini, antara lain :
1. 10 April 2015 : Alm. Bpk. Paulus Katan Hurint.
2. 28 Agst 2015 : Alm. Bpk. Petrus Bala Hurint.
3. - - Agst. 2015: Alm. Sdri. Philomena Doren.
4. 20 Spt 2015 : Alm. Bpk. Karolus Kia Koten.
5. 14 Okt 2015 : Alm. Bpk. Yosep Peku Doren.
6. 23 Okt. 2015: Alm. Bpk. Petrus Enga Kelen.
7. 04 Nov. 2015: Alm. Bpk. Bernardus Berkama Nuhan.
8. 26 Nov. 2015: Alm. Ibu Lusia Maran / Sia Bato
Ketika air mata dukacita sebuah keluarga belum "kering", peristiwa dukacita kembali mendatangi keluarga lain. Masyarakat Desa pun harus bahu membahu meringakan beban hidup keluarga-keluarga yang kehilangan orang kekasih mereka.
Dari sudut pandang iman, peristiwa dukacita adalah peralihan manusia dari dunia yang fana ini kepada dunia yang kekal, di mana arwah orang yang meninggal akan bersatu dengan Sang Penciptanya. Di sana lah mereka akan berjumpa dengan Allah dalam keadaan-Nya yang sebenarnya. Iman Katolik menegaskan bahwa kematian tidak hanya dipandang sebagai peristiwa sedih semata, tetapi juga harus dilihat sebagai peristiwa sukacita penuh kemuliaan karena kematian merupakan pintu gerbang menuju sorga. Dalam rangka memohon kemurahan hati Tuhan untuk sementara menghentikan dukacita ke atas manusia, diadakanlah Rosario Pembebasan di Gereja Stasi Hati Amat Kudus Tuhan Yesus Lewoloba. Sejauh ini, umat terlihat sangat antusias mengikuti acara keagamaan ini.
Apabila ditilik dari sudut pandang sosial kemasyarakatan, kematian yang bertubi-tubi menimbulkan keresahan sosial. Ada ketidakberesan di tengah masyarakat yang patut diduga sebagai penyebab utama kematian, entah karena lingkungan yang tidak sehat atau ada ketidakberesan dalam adat Lewotanah. Di tengah masyarakat yang nilai kegotongroyongannya masih kuat melekat, orang per orangan akan meninggalkan segala aktivitas dan kesibukannya demi membantu keluarga yang dilanda peristiwa dukacita. Banyak pekerjaan yang harus ditinggalkan sehingga pada gilirannya akan berdampak pada persoalan ekonomi masyarakat.
Bagi masyarakat yang kuat memegang adat Lewotanah, kematian berkaitan erat dengan ke-alpa-an masyarakat dalam memperhatikan persembahan untuk leluhur Lewotanah. Biasanya setiap tahun diadakan "Soro Nein" (persembahan) kepada leluhur Lewotanah pada tempat-tempat yang dianggap keramat. Apabila kewajiban ini dilalaikan, maka akan terjadi bencana dan kutukan dari Lewotanah yang menyebabkan Lewo menjadi "panas" (Pelate Putuk). Untuk itu pada 12 November lalu, sejumlah tokoh adat dan pemuda Lewoloba naik ke Ile Mandiri untuk mempersembahkan kurban persembahan bagi Leluhur Lewotanah.
Seremoni Adat Lewoloba di Pemakaman Lia Nurat di Puncak Gunung Ile Mandiri |
Semoga kita tetap saling menguatkan dalam iman, pengharapan dan kasih agar kematian tidak menjadi momok yang menakutkan, tetapi dipandang sebagai sebuah peristiwa manusiawi yang mampu menampakkan kemuliaan Tuhan.
No comments:
Post a Comment