Thursday, July 30, 2020

PILKADA DINASTI POLITIK

Catatan Lepas Nick Doren - Lewoloba
Ilustrasi Dinasti Politik

Oleh

Moch Nurhasim

(Peneliti pada Pusat Penelitian Politik LIPI)

Dominannya politik kekerabatan dalam pemilihan kepala daerah di Indonesia bukanlah isu baru. Ini semua sebagai dampak dari mandeknya proses kaderisasi partai kita sehingga politik kekerabatan telah mengisi ruang kosong proses kaderisasi politik di era Reformasi. Bedanya, di era Orde Baru ada ”konsentrasi” politik kekerabatan pada sedikit orang, sementara di era Reformasi politik kekerabatan telah meluas hingga tingkat paling rendah (hingga desa).

Fenomena calon kepala daerah yang diisi oleh kerabat politik di tingkat nasional dan lokal menandakan perkembangan politik kita terjebak orientasi dangkal. Pertimbangan kalah menang dalam pilkada jauh lebih menonjol ketimbang perhitungan penyiapan kader-kader politik secara jangka panjang.

Akibatnya, pengisian jabatan-jabatan politik yang penting tak bisa lepas dari kepentingan politik keluarga. Sebut saja beberapa nama yang maju pada pilkada 9 Desember 2020 mendatang, yaitu Gibran Rakabuming Raka (putra Presiden Jokowi), Hanindhito Himawan Pramono (putra Sekretaris Kabinet PramonoAnung), SitiNur Azizah (putri Wakil Presiden Ma’ruf Amin), dan sejumlah keluarga tokoh politik tingkat nasional hingga lokal.

Representasi simbolik

Model kandidasi politik pilkada yang kental dinasti politik telah mengubah makna representasi politik. Hanna Fenichel Pitkin dalam buku klasiknya, Representation, menyebut ada tiga jenis representasi, yakni deskriptif, simbolik, dan agen. Deskriptif berkaitan dengan keinginan orang banyak, sementara simbolik lebih menjadi representasi dari sebuah kepentingan, dan agen mencerminkan kepentingan aktor agar bertindak seperti keinginan para pemilihnya dalam pemilu.

Representasi simbolik adalah cermin dari proses kandidasi politik yang eksklusif, ditentukan oleh segelintir elite. Meskipun ada penolakan dari bawah—tingkat dewan pimpinan cabang (DPC), misalnya—keputusan dewan pimpinan pusat (DPP) tidak boleh diganggu gugat. Kondisi demikian terjadi akibat pola kandidasi politik tak pernah mencerminkan demokrasi internal partai yang sebenarnya.

Ruang demokrasi internal partai cenderung dikooptasi oleh kepentingan politik elite. Selain dikooptasi, demokrasi internal partai diubah substansinya menjadi musyawarah segelintir orang dalam memutuskan masa depan partai di satu sisi dan masa depan kepemimpinan politik yang akan berdampak pada masyarakat luas di sisi yang lain.

Apa dampaknya? Proses kandisasi politik—khususnya pada penentuan calon kepala daerah di tingkat lokal, tidak perlu merespons keinginan kader partai. Kepentingan simbolik, siapa yang akan dicalonkan, adalah hak ketua umum partai. Karena itu, penentuan calon kepala daerah menjadi misteri karena rekomendasi ketua umum dan sekjen partai menjadi surat sakti yang bisa mengalahkan prosedur internal yang telah dianut oleh partai politik.

Dalam banyak kasus, proses pencalonan terkadang di luar nalar. Umumnya calon kepala daerah yang berasal dari kerabat politik atau politik kekerabatan diajukan melalui beberapa proses, di antaranya pertama, penguasaan struktur partai di tingkat kabupaten dan/atau provinsi baru kemudian mengajukan diri sebagai calon dalam proses seleksi internal partai (khususnya di tingkat DPP).

Kedua, politik jalan pintas yang biasanya disebabkan kerabat politiknya memiliki hubungan kedekatan dengan ketua umum partai atau orang penting di partai. Ketiga, melalui agen khusus yang memiliki akses ke ketua umum partai.

Ketiga pola di atas umumnya sering terjadi pada proses kandidasi penentuan calon kepala daerah. Perdebatan lalu mencuat ke permukaan, apakah pola-pola tersebut salah? Terhadap hal itu, ada tiga hal yang perlu menjadi perhatian.

Pertama, apakah partai memiliki standar pengujian terhadap setiap kandidat yang mendaftar secara akuntabel? Artinya, dalam menentukan seseorang sebagai kandidat yang terpilih bergantung pada kriteria yang adil sebagai basis pertimbangan partai dalam menentukan calon. Kedua, apakah prosesnya terbuka atau tertutup? Dan ketiga, siapa yang dominan terlibat dalam proses penentuan calon kepala daerah?

Sebagai contoh, dalam politik di Amerika Serikat, politik keluarga menjadi salah satu unsur yang tak bisa dilepaskan dalam kandidasi politik, baik dalam mencari sosok calon presiden, senator dan anggota DPR, maupun gubernur. Yang berbeda ialah setiap calon memiliki kesempatan yang sama untuk diuji, baik secara elektoral maupun kemampuan politiknya.

Pengujian calon ditentukan melalui pemilu pendahuluan pada internal partai. Setiap calon memiliki kesempatan yang sama, konstituen dan kader partailah yang berhak menentukan siapa calon yang akan diusung oleh partai.

Sementara pada kasus partai-partai di negara-negara Eropa, prosesnya tidak terbuka seperti di Amerika Serikat. Partai di Eropa lebih memilih cara demokrasi ”terbatas” secara internal. Mekanisme yang dikembangkan adalah setiap calon (kandidat) akan dipilih oleh delegasi dari partai yang berasal dari kader, pengurus, dan elite-elite partai. Proses penjaringan dan penentuan kandidat melibatkan banyak orang.

Bagaimana dengan kasus Indonesia? Rasanya sudah menjadi rahasia umum, kedua pola proses kandidasi politik di atas, baik praktik di Amerika Serikat maupun di sejumlah negara di Eropa, tidak dijadikan sebagai pembelajaran (benchmarking).

Indonesia memiliki pola sendiri, di luar kedua pola yang disebut di atas. Ciri utama dari pola kandidasi politik partai di Indonesia adalah pola eksklusif yang cenderung tertutup. Sumber kader yang dipilih bisa sama dari politik kekerabatan seperti di Amerika atau kawasan lain, tetapi mekanisme pemilihan yang membedakannya.

Pola kandidasi politik di Indonesia lebih cenderung pada pola oligarki partai karena dalam prosesnya hanya melibatkan sedikit orang. Beberapa partai menggunakan panitia seleksi (nominating committee), tetapi hasil akhir penentunya adalah ketua umum.

Ketua umum partai menjadi penentu segalanya. Ciri demikian tidak bisa disepadankan dengan demokrasi internal di negara yang demokrasinya sudah maju. Dalam wujud yang lebih praktis, cara kandidasi politik demikian umumnya dikemas sebagai demokrasi internal yang cacat karena oligarki dan kepentingan simbolik elite partai jauh lebih dominan ketimbang kepentingan-kepentingan representasi yang lebih luas.

Cek kosong kandidasi

Oleh karena itu, model kandidasi politik yang berkembang di Indonesia dapat dikatakan sebagai cek kosong kandidasi. Apa maksudnya? Pemilih tidak memiliki akses untuk terlibat, apalagi dilibatkan dalam proses politik yang amat penting. Jangankanpemilih, pengurus partai di tingkat lokal pun jarang yang didengar suaranya, apalagi dilibatkan dalam musyawarah.

Alasan penentuan kandidat yang didasarkan pada kerabat politik terkadang dimanipulasi dengan politik pencitraan elektabilitas. Modal sebagai anak,menantu, istri, keponakan, dan cucu dari tokoh-tokoh politik tertentu dijual dalam pilkada.Gaya berpolitik demikian ibarat mendayung politik dalam ruangpolitik tradisional.

Para elite politik memanfaatkan kondisi budaya yang masih permisif terhadap anak pejabat, anak orang kaya, anak kiai, anak tokoh-tokoh besar, dan lainnya. Politik kekerabatan kemudian dikemas dalam narasi yang tidak mendidik, bukan program dan pengalaman politik yang ditawarkan, melainkan jejaring patron-klien politik yang lebih ditonjolkan.

Kondisi politik demikian akan menimbulkan munculnya kader-kader partai dadakan dan kader karbitan. Kehadiran mereka telah memotong dan merusak sistem pengaderan internal partai politik. Dan, yang lebih mengenaskan, apabila pengisian jabatan-jabatan politik strategis lebih condong pada politik kekerabatan justru mendorong perubahan organisasi partai dari organisasi politik bersama menjadi organisasi politik dinasti atau keluarga.

Diambil dari Harian KOMPAS, Kamis, 30 Juli 2020

No comments:

Post a Comment