Orang-orang
yang di mulutnya penuh kata cinta, sebagian di antaranya adalah drakula
yang haus darah. Orang yang memegang parang di tangan kanannya, adalah
ia yang mengelus lembut seorang anak dengan tangan kirinya. Orang-orang
yang mengucapkan nama Tuhan, adalah dia yang mengumbar kekejaman. Dan
jam yang berdetak di rumah, di pergelangan tangan, di kantor-kantor
stasiun televisi, stasiun radio, adakah masih menjadi petunjuk pasti
tentang waktu.
Pun demikian dengan timbangan yang ada di
toko-toko emas, di pasar, di rumah sakit, sampai yang dibawa keliling
oleh penjaja timbangan, apakah semua juga masih menjadi petunjuk tepat
soal berat.
Nada fa, sol, la, yang Anda dengar, jangan-jangan
juga telah geseh menjadi fi, sel, dan le, karena garpu tala yang biasa
digunakan sebagai tanda nada boleh jadi telah memuai atau bahkan
menyusut.
Waktu, timbangan, pendengaran, dan juga pandangan mata, makin tak jelas ukurannya. Kian kabur batas-batasnya.
Situasi
inilah yang mungkin mendorong sebagian orang bertindak di luar
batas-batas kemanusiaan. Istri tega membunuh suami, suami tega
memperkosa anaknya sendiri, anak tega membantai bibinya. Sebuah situasi
chaos yang membuat manusia bingung menentukan ukuran dan tanda.
Dan
entah kesintingan apa lagi yang belum pernah kita lihat di bumi ini.
Bahkan mereka yang mengaku punya agama yang sama, punya Tuhan yang sama,
punya alkitab dan nabi yang sama, juga saling membenci dan melukai.
Maka
ingatlah kita pada kekerasan yang terjadi di Madura. Ratusan orang
menyerang sebuah desa kecil yang dihuni pemeluk Syiah. Membakar rumah,
menganiaya, membunuh satu orang dan melukai puluhan lainnya. Tak hanya
itu, para penyerang kemudian mengusir warga desa itu karena dianggap
murtad.
Duh...! Yang tak kalah mengejutkan adalah, polling
Lingkaran Survei Indonesia menemukan: hampir satu dari empat orang
Indonesia bisa mentolerir kekerasan, untuk menegakkan apa yang mereka
yakini sebagai kebenaran agama.
Buru-buru Kokom mematikan
televisi. Semakin lama dia terpaku di depan layar kaca, kian kacaulah
otaknya. Gosip artis, berita politik, berita tentang bencana alam,
hedeh... semua bersaling-silang di benak Kokom.
Sempat juga
terlintas di pikiran Kokom, jangan-jangan dirinya sudah tidak waras.
Awalnya, istri Juha ini sangsi dengan bobot badannya yang mendadak
membengkak usai menimbang di tempat praktek seorang dokter anak.
Ya,
ya, Kokom juga tahu persis dirinya sedang mengandung. Tapi ia yakin,
percepatan bobot badannya tak sedrastis itu. Lantaran curiga itulah, ia
pergi ke rumah bidan di belakang rumahnya. Hasilnya, tak seberat hasil
timbangan sebelumnya.
Ketika berjalan dari rumah bidan Aminah,
hatinya juga mulai diliputi kesangsian. Jangan-jangan, timbangan yang
kedua juga salah, ’Ini perlu pembanding’ , katanya dalam hati.
Untunglah,
sebelum sampai ke rumah, seorang penjual jasa penimbangan lewat. Kokom
pun bergegas memanggilnya. Dan pada timbangan ketiga itu, hati Kokom tak
kurang kecewanya. Sebab, ini kali hasilnya pun berbeda.
Apa yang
terjadi kemudian? Kokom pun mulai curiga terhadap semua hal yang
dilihat dan dirasakannya. Lima buah jam dinding di rumah, tak ada yang
sama menit dan detiknya. Bahkan adzan di televisi sebagai tanda baginya
untuk mendirikan shalat, pun berbeda-beda antara satu stasiun televisi
dengan lainnya.
Lepas dari urusan yang tampak, Kokom mulai
beranjak ke perasaannya. Maka ia pun mulai menyangsikan cinta suaminya.
Jangan-jangan..., kata Kokom dalam hati..., suamiku cuma baik di muka
tapi busuk di hati. Jangan-jangan, di luar ia punya pacar baru.
Jangan-jangan...
Makin dipikir, makin dirasa, tambah
menggununglah perasaan curiga Kokom terhadap suaminya. Itulah soal,
seharian itu Kokom ngendon terus di kamar.
Sebagai suami yang
baik, Juha memaklumi betul kondisi isterinya yang sedang hamil muda.
Bahkan, ia pun siap tenaga untuk pergi ke pasar jika tiba-tiba
istrinya--entah atas nama perutnya sendiri atau atas nama ngidam-- perlu
mangga muda atau buah-buahan asam lainnya.
Setelah sore
menjelang, sementara sang istri masih berada di kamar, Juha pun mulai
gerah hatinya. ’Nggak biasanya istri gue kayak gini,’ Juha bersungut
sambil berjalan menemui istrinya.
Ketika pintu kamar terbuka,
dilihatnya mata Kokom sedang menerawang ke langit-langit kamar.
Dan..olala, ada air mata di pipinya. Juha segera menangkap gelagat ada
yang tak beres pada istrinya.
Segera dihampiri pujaan hatinya itu seraya bertanya, "Ada apa denganmu cinta?"
’Nah
kan, cinta...mulutnya penuh kata cinta, padahal di hatinya kepingin
berbuat aniaya,’ kata Kokom dalam hati. Matanya tetap menerawang.
"Cinta, apa ada yang salah denganku?"
Kokom
diam. Hatinya makin kecut. Kini ia miringkan tubuhnya membelakangi sang
suami. Ia takut menatap pandang mata suaminya. Ia takut bisa membaca
isi hati suaminya. Kokom gentar jika menemukan semua kecurigaan di
otaknya menjadi kenyataan di mata suaminya.
"Kom...," ucap Juha.
Kokom masih diam, tapi hatinya mulai bergetar ketika nama pemberian
orang tuanya itu disebut oleh orang yang telah mendampingi hidupnya
selama ini.
Pelan-pelan, dengan ekor matanya, Kokom melirik
suaminya. ’Ia sedang tunduk. Sebentar lagi tentu ikut-ikutan menangis,’
ujar hati Kokom.
’Begitu selalu suamiku. Kalau tak berhasil
menguasai diriku, ia akan tunduk. Setelah itu ia akan nangis. Kalau
tangisnya pun belum mampu meredakan hatiku, dia akan segera pergi entah
ke mana,’ lanjut Kokom dalam hati.
Nah, sebelum sampai pada fase
meninggalkan dirinya, Kokom pun memberanikan diri memandang sempurna
mata suaminya. Mata mereka bersirobok. Masing-masing mulai mengukur dan
menakar kedalaman hati pasangannya.
Bagai seorang peselancar,
Kokom langsung melaju di antara gelombang mata hati suaminya. Ia mencoba
menemukan kesejatian suaminya. Kokom hanya kepingin yakin, orang yang
ada di hadapannya kini adalah seorang suami yang baik ataukah seorang
penjahat yang sekali waktu bisa saja mencekik lehernya sampai mati.
Tapi
lantaran Kokom cuma anak perempuan Abah Minan yang cuma lulusan SMU
yang tak pernah belajar psikologi apalagi ilmu kebatinan, mana bisa ia
menemukan kesejatian suaminya.
"Abang sayang sama Kokom, kagak?"
Mendengar
pertanyaan aneh itu, Juha bukannya terangsang untuk segera menjawab,
tapi malah muncul kecurigaan pada isterinya itu. Jangan-jangan...
Ya, jangan-jangan situasi ini seperti dalam puisi "Kupu Malam dan Biniku" karya Chairil Anwar,...
melayang ingatan ke biniku
lautan yang belum terduga
biar lebih kami tujuh tahun bersatu
barangkali tak setahuku
ia menipuku
Wah!
"Bang..., sebenarnya Abang cinta bener kagak sih sama Kokom?" gantian Juha yang kelu.
Ia tak tahu harus menjawab apa atas pertanyaan istrinya yang rada ganjil itu.
"Bang..."
"Lo ngidam apaan sih Kom? Aneh banget pertanyaannya."
"Kokom cuma pingin tahu, Abang bener cinta sama Kokom apa kagak?"
"Caranya ngukur gimana kalau abang bilang cinta atau sebaliknya?"
"Kata orang pinter, mata adalah jendela hati manusia. Aye pingin menatap mata Abang sepuasnya biar bisa ngukur perasaan Abang."
"Kalau ternyata di mata Abang kamu kagak menemukan apa-apa, gimana?"
"Kokom langsung menuju pusatnya. Kokom mau dengerin jantung lewat dada Abang."
Maka
benarlah. Urutan-urutan itu pun dilalui Kokom. Setelah pada mata Juha
ia tak menemukan apa pun untuk disimpulkan, ia pun memasang kupingnya
tepat di atas dada Juha.
Lalu, seperti laiknya seorang polisi, ia
pun menguji cinta suaminya itu dengan beberapa pertanyaan yang langsung
disambut oleh detak jantung suaminya, dug dug dug...
"Abang benar cinta kepada aye?"
dug dug dug
"Selama ini, Abang pernah nyeleweng kagak?"
dug dug dug-dug
"Pernah?"
dug dug dug-dug
"Kagak pernah?"
dug dug dug-dug
"Menurut Abang, aye cantik kagak?"
dug-dug dug dug-dug
"Seksi?"
dug-dug dug dug-dug
Sambil bertanya, tangan Kokom mulai gerayangan ke wilayah sensitif di tubuh Juha. Detak jantung Juha mulai kacau bunyinya.
dug-dug-dug-dug-dug
Juha
dan Kokom tak lagi bisa membedakan, dari mana suara dug-dug-dug itu
berasal. Dari suara bedug di mushala ataukah dari jantung mereka berdua
yang ini kali berbunyi dan berpacu tambah kencang.
dug-dug dug-dug dug-dug
@JodhiY