BAB I
P E N D A H U L U A N
1.Latar Belakang
Berawal dari keprihatinan akan banyaknya kasus yang merugikan kepentingan konsumen serta didukung oleh ketidakberdayaan konsumen, maka kehadiran produk perundang-undangan untuk melindungi kepentingan konsumen sangat diperlukan. Pemerintah, DPR, dan sejumlah lembaga yang memberikan perhatian kepada perlindungan konsumen kemudian berupaya untuk merumuskan produk hukum yang memberikan perlindungan yang memadai kepada konsumen di Indonesia. Pada akhirnya lahirlah UU No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yang disahkan pada tanggal 20 April 1999, dan mulai efektif setahun setelahnya (20 April 2000).[1]
Akhir-akhir ini kasus perlindungan konsumen semakin mendapatkan perhatian luas oleh masyarakat. Salah satu kasus yang menghebohkan adalah kasus Prita Mulyasari Versus RS Omni Internasional yang bermula dari pelayanan yang buruk oleh RS Omni Internasional kepada Prita, yang kemudian mengakibatkan Prita ditahan oleh aparat berwenang karena melakukan pencemaran nama baik melalui media elektronik. Tidak hanya sektor jasa, sektor penyediaan produk (barang) pun tidak lepas dari kasus-kasus perlindungan konsumen.
Dalam rangka memberantas dan menertibkan peredaran produk obat-obatan dan makanan, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) secara rutin melakukan penyelidikan dan penyidikan dalam ruang lingkup kewenangannya. Pada tahun 2002, telah dilakukan penyelidikan dan penyidikan kepada 1578 kasus pelanggaran, tahun 2003 terhadap 2671 kasus, dan pada tahun 2004 terhadap 1694 kasus.[2] Evaluasi yang dilakukan Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) menyebutkan bahwa selama tahun 2004, bidang pengaduan YLKI menerima 457 pengaduan konsumen (melalui surat dan datang langsung). Dari banyaknya kasus tersebut, sepuluh besar komoditas yang diadukan ke YLKI berturut-turut adalah bidang perumahan 76 pengaduan, listrik 67 pengaduan, PDAM 66 pengaduan, jasa telekomunikasi 54 pengaduan, bank 38 pengaduan, produk elektronik 24 pengaduan, jasa transportasi 19 pengaduan, asuransi 18 pengaduan, leasing 15 pengaduan, produk makanan/minuman 10 pengaduan. Pusat data YLKI mencatat kasus keracunan makanan di Indonesia sepanjang tahu 2004 lebih dari 53 kejadian, dengan korban lebih dari 2.000 orang, baik yang dirawat di rumah sakit maupun tidak.[3]
2.Perumusan Masalah
Memperhatikan banyaknya korban yang diakibatkan oleh praktek-praktek curang pelaku usaha, muncul pertanyaan: jenis gugatan manakah yang cocok untuk mengadili pelaku usaha, yang oleh karena pelanggaran yang dilakukannya dalam penyediaan barang dan/atau jasa, telah menimbulkan korban masal di pihak konsumen? Undang-undang No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen memberikan sejumlah alternatif penyelesaian masalah perlindungan konsumen, yaitu melalui mekanisme penyelesaian di luar pengadilan, dan mekanisme penyelesaian di dalam pengadilan. Khusus penyelesaian sengketa melalui pengadilan tersedia alternatif gugatan secara perorangan, class action, dan legal standing. Makalah kecil ini merupakan suatu kajian hukum atas mekanisme gugatan class action dan legal standing atas kasus perlindungan konsumen menurut Undang-undang Perlindungan konsumen.
BAB II
P E M B A H A S A N
Dalam upayanya untuk menuntut keadilan konsumen memiliki sejumlah alternatif penyelesaian masalah, baik di dalam maupun di luar pengadilan. Salah satu cara penyelesaian masalah perlindungan konsumen di luar pengadilan adalah melalui Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK). Menurut pasal 49 ayat 1 (satu) Undang-undang Perlindungan Konsumen, pemerintah membentuk BPSK di tingkat II untuk penyelesaian sengketa di luar pengadilan. BPSK menjalankan fungsinya sebagai mediator, konsiliator, dan arbiter berdasarkan pasal 49, pasal 50, dan pasal 54 ayat 1 (satu) Undang-undang Perlindungan Konsumen jo. Pasal 2 Surat Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan No. 350/MPP/Kep/12/2001tanggal 10 Desemeber 2001 tentang Pelaksanaan Tugas dan Wewenang BPSK. Pasal 4 ayat 2 (dua) SK Memperindag ini mengatur bahwa penyelesaian sengketa oleh BPSK ini didasarkan pada pilihan bebas para pihak.
Dalam rangka menuntut keadilan di hadapan pengadilan atas kerugian yang diakibatkan oleh pelaku usaha, tersedia tiga cara menggugat bagi konsumen, yaitu 1) konsumen menggugat sendiri secara langsung ke pengadilan, b) menggugat secara class action, dan 3) menggugat secara legal standing. Sebagaimana diuraikan di atas, makalah ini merupakan suatu penjelasan atas gugatan secara class action dan legal standing. Di kalangan praktisi hukum, acapkali kedua istilah ini membingungkan atau masih dipahami secara keliru. Secara pribadi penulis merasa penting untuk memberikan perhatian khusus kepada dua model gugatan ini mengingat adanya kekeliruan pandangan mengenai dua jenis gugatan yang jelas berbeda tersebut.
1.Class Action
Class action dikenal juga dengan istilah gugatan perwakilan kelompok. Terdapat sejumlah definisi mengenai class action, yang berbeda dalam hal perumusan tetapi memiliki esensi yang sama. Sejumlah ahli hukum Indonesia memberikan rumusan atas Class Action sebagai berikut.
Menurut Mas Achmad Santosa class action (gugatan perwakilan) merupakan prosedur beracara dalam perkara perdata yang memberikan hak prosedural bagi satu atau sejumlah orang (jumlah yang tidak banyak) bertindak sebagai penggugat untuk memperjuangkan kepentingan ratusan, ribuan atau jutaan orang lainnya yang mengalami kesamaan penderitaan atau kerugian. Seseoramnh atau sejumlah orang yang tampil sebagai penggugat disebut sebagai wakil kelas (representative class), sedangkan sejumlah orang banyak yang diwakilinya disebut dengan class members.[4]
Az. Nasution pun memberikan pengertian dan persyaratan mengenai class action. Menurutnya, gugatan kelompok (class action) yang dapat diadili oleh Pengadilan adalah gugatan yang: (a) penggugatnya berjumlah besar, sehingga tidak praktis apabila digunakan secara perkara biasa, (b) seorang atau beberapa orang dari kelompok itu mengajukan gugatannya sebagai perwakilan, (c) terdapat masalah hukum dan fakta gugatan atau perlawanan bersama, dan (d) wakil yang bersidang harus mampu mempertahankan kepentingan kelompok.[5]
Erman Rajagukguk, dkk., memberikan pengertian mengenai class action sebagai suatu cara yang diberikan kepada sekelompok orang yang mempunyai kepentingan dalam suatu masalah yang sama, baik seorang atau lebih anggotanya menggugat atau digugat sebagai perwakilan kelompok tanpa setiap anggota kelompoknya terlibat secara langsung dalam proses peradilan. Selain itu ada juga yang memberikan pengertian gugatan perwakilan (class action) sebagai suatu metode atau cara bagi orang perorangan yang mempunyai tuntutan yang sejenis untuk bergabung bersama mengajukan tuntutan agar lebih efisien dan seseorang yang akan turut serta dalam gugatan perwakilan (class actions) harus memberikan persetujuan kepada perwakilan. Lebih lanjut Erman Rajagukguk, dkk., menyatakan bahwa keterlibatan pengadilan dalam gugatan class action sangatlah besar. Setiap perwakilan, untuk maju ke pengadilan, harus mendapat persetujuan dari Pengadilan dengan memperhatikan: a) class action merupakan tindakan yang paling baik untuk mengajukan gugatan; b) mempunyai kesamaan tipe tuntutan yang sama; c) penggugatnya sangat banyak; dan d) perwakilan layak/patut.[6]
Ketentuan mengenai class action di dalam Undang-undang Perlindungan Konsumen terdapat di dalam pasal 46 ayat 1 (satu) huruf b. Pasal 46 mengatur bahwa gugatan atas pelanggaran pelaku usaha dapat dilakukan oleh:[7] a) Seorang konsumen yang dirugikan atau ahli waris yang bersangkutan;b) kelompok konsumen yang mempunyai kepentingan yang sama;c) lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat yang memenuhi syarat, yaitu berbentuk badan hukum atau yayasan, yang dalam anggaran dasarnya menyebutkan dengan tegas bahwa tujuan didirikannya organisasi tersebut adalah untuk kepentingan perlindungan konsumen dan telah melaksanakan kegiatan sesuai dengan anggaran dasarnya; d)pemerintah dan/atau instansi terkait apabila barang dan/atau jasa yang dikonsumsi atau dimanfaatkan mengakibatkan kerugian materi yang besar dan/atau korban yang tidak sedikit.
Pasal 45 ayat 2 (dua) Undang-undang Perlindungan Konsumen menentukan bahwa mekanisme penyelesaian sengketa dapat dipilih secara sukarela oleh para pihak yang bersengketa, yaitu melalui melalui pengadilan atau di luar pengadilan (alternatif). Akan tetapi, seandainya penyelesaian sengketa di luar pengadilan masih belum ditemukan titik temu oleh salah satu pihak atau keduabelah pihak, maka gugatan melalui pengadilan dapat ditempuh.
Untuk melaksanakan hukum material sebagaimana dirumuskan di atas, telah dikeluarkan hukum formal dalam bentuk Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) No. 1 tahun 2002 tentang Acara Gugatan Perwakilan Kelompok. Ketentuan Hukum Acara Perdata lainnya tetapi berlaku, selain daripada apa yang telah diatur di dalam PERMA ini (pasal 10).
2.Legal Standing
Legal standing seringkali disebut juga sebagai hak gugatan organisasi (ius standi). Standing secara luas dapat diartikan sebagai akses orang perorangan, kelompok/organisasi di pengadilan sebagai Pihak Penggugat. Legal standing, Standing to Sue, Ius Standi, Locus Standi dapat diartikan sebagai hak seseorang, sekelompok orang atau organisasi untuk tampil di pengadilan sebagai penggugat dalam proses gugatan perdata (Civil Proceding)[8]
Secara konvensional hak gugat hanya bersumber pada prinsip “tiada gugatan tanpa kepentingan hukum” (point d’interest point d’action). Kepentingan hukum (legal interest) yang dimaksud di sini adalah kepentingan yang berkaitan dengan kepemilikan (propietary interest) atau kepentingan material berupa kerugian yang dialami secara langsung (injury in fact). Perkembangan hukum konsep hak gugat konvensional berkembang secara pesat seiring pula dengan perkembangan hukum yang menyangkut hajad hidup orang banyak (public interest law) di mana seorang atau sekelompok orang atau organisasi dapat bertindak sebagai penggugat walaupun tidak memiliki kepentingan hukum secara langsung, tetapi dengan didasari oleh suatu kebutuhan untuk memperjuangkan kepentingan, masyarakat luas atas pelanggaran hak-hak publik seperti lingkungan hidup, perlindungan konsumen, hak-hak sipil dan politik.[9]
Salah satu kasus terkait legal standing yang mendapatkan perhatian luas oleh masyarakat adalah gugatan legal standing lima Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) terhadap perusahaan rokok, media massa, dan biro iklan yang dituduh melakukan pelanggaran jam tayang di televisi dan memuat gambar rokok/bungkus rokok di media cetak. Lima LSM tersebut antara lain: Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Yayasan Jantung Indonesia (YJI), Yayasan Lembaga Menanggulangi Masalah Merokok (YLM3), Yayasan Wanita Indonesia Tanpa Tembakau (YWITT), dan Yayasan Kanker Indonesia (YKI). Namun, gugatan ditolak majelis hakim karena memiliki bukti-bukti yang lemah. Sekalipun demikian, para penggugat kemudian mengajukan banding. [10]
Eksistensi Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dalam mendorong perkembangan perlindungan konsumen diakui oleh Undang-undang Perlindungan Konsumen. Pasal 44 ayat 1 (satu) Undang-undang Perlindungan Konsumen mengatur bahwa, “Pemerintah mengakui lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat yang memenuhi syarat.” Pasal 44 ayat 2 (dua) Undang-undang Perlindungan Konsumen membebani tugas kepada LSM untuk:
- menyebarkan informasi dalam rangka meningkatkan kesadaran atas hak dan kewajiban dan kehatihatian konsumen dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa;
- memberikan nasihat kepada konsumen yang memerlukannya;
- bekerja sama dengan instansi terkait dalam upaya mewujudkan perlindungan konsumen;
- membantu konsumen dalam memperjuangkan haknya, termasuk menerima keluhan atau pengaduan konsumen;
- melakukan pengawasan bersama pemerintah dan masyarakat terhadap pelaksanaan perlindungan konsumen.
Hak untuk melakukan gugatan legal standing di dalam sengketa perlindungan konsumen diatur di dalam pasal 46 ayat 1 (satu) c, dengan ketentuan bahwa lembaga swadaya yang melakukan gugatan tersebut adalah lembaga swadaya yang:
1)berbentuk badan hukum / yayasan;
2)dalam anggaran dasarnya menyebutkan dengan tegas tujuan didirikannya organisasi tersebut adalah untuk keperluan perlindungan kosumen, dan
3)telah melaksanakan kegiatan sesuai dengan anggaran dasarnya.
Hukum acara dalam gugatan legal standing mengacu kepada Hukum Acara Perdata yang berlaku. Proses pertama yang dilakukan oleh majelis hakim dalam persidangan ini adalah mencoba memeriksa kelengkapan administrasi baik itu penggugat maupun tergugat berkenaan dengan surat kuasa maupun surat ijin (advokat) serta melakukan pengecekan secara cermat apakah semua penggugat (kuasanya) dan Tergugat (kuasanya) sudah hadir pada persidangan, jika belum lengkap maka majelis hakim akan menunda sidang untuk memangil kembali seluruh pihak, termasuk yang tidak hadir dipanggil kembali untuk menghadap pada hari dan waktu yang ditetapkan dalam persidangan pertama. Jika pada sidang kedua hal yang sama berlaku maka persidangan ditunda kemabli, baru pada pemanggilan ketiga ada para pihak tidak hadir maka proses persidangan dilanjutkan (sudah dipanggil secara patut). Setelah tahapan ini, maka proses beracara akan dilanjutkan dengan penetapan, perdamaian, pembacaan gugatan (eksepsi, replik, duplik), putusan sela, pemeriksaan alat bukti, kesimpulan, dan putusan.[11]
3.Perbedaan Class Action dan Legal Standing
Dari uraian mengenai class action dan legal stading di atas, terdapat perbedaan prinsipil di antara keduanya, antara lain:
1.Dalam gugatan perwakilan (class action) :
a.seluruh anggota kelas (class representatives dan class members) sama-sama langsung mengalami atau menderita suatu kerugian,
b.tuntutannya dapat berupa ganti kerugian berupa uang (monetary damage) dan/atau tuntutan pencegahan (remedy) atau tuntutan berupa perintah pengadilan untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu (injunction) yang sifatnya deklaratif.
2.Dalam hak gugatan organisasi (legal standing):
a.organisasi tersebut tidak mengalami kerugian langsung; kerugian dalam konteks gugatan organisasi (legal standing) lebih dilandasi suatu pengertian kerugian yang bersifat publik.
b.tuntutan organisasi (legal standing) tidak dapat berupa ganti kerugian berupa uang, kecuali ganti kerugian yang telah dikeluarkan organisasi untuk penanggulangannya objek yang dipermasalahkannya dan tuntutannya hanya berupa permintaan pemulihan (remedy) atau tuntutan berupa perintah pengadilan untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu (injunction) yang bersifat deklaratif.
Di berbagai belahan dunia telah berkembang pula gagasan mengenai Hak Gugat Warga Negara (citizen law suit). Gugatan citizen law suit merupakan gugatan untuk memperjuangkan kepentingan publik karena negara tidak melakukan kewajibannya untuk melindungi hak-hak asasi warga negaranya. Dalam jenis gugatan ini, warga negara yang mengajukan gugatan tidak perlu membuktikan dirinya sebagai pihak yang memiliki kepentingan hukum atau pihak yang mengalami kerugian ril.
BAB III
P E N U T U P
Filosofi yang melatarbelakangi terbentuknya Undang-undang perlindungan konsumen adalah bahwa konsumen pada umumnya berada pada posisi yang lemah di hadapan para pelaku usaha, dan oleh sebab itu maka ia harus dilindungi dari tindakan kesewenangan pelaku usaha. Akhir-akhir ini korban yang muncul dari praktek usaha yang tidak sehat semakin meningkat. Para korban tidak hanya menderita secara fisik, tetapi ada juga yang harus kehilangan nyawanya. Kesemberonohan dalam praktek usaha yang tidak sehat harus diatur, dan kepentingan korban (konsumen) harus dilindungi/dibela.
Terhadap kasus-kasus terkait perlindungan konsumen, Undang-undang Perlindungan Konsumen menyediakan sejumlah alternatif penyelesaian. Alternatif penyelesaian sengketa dimaksud dapat ditempuh melalui jalur pengadilan atau di luar pengadilan. Mekanisme penyelesaian sengketa di luar pengadilan dapat ditempuh melalui Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) yang dipilih secara sukarela oleh para pihak yang bersengketa. Penyelesaian sengketa melalui BPSK berbentuk mediasi dan konsiliasi, dan arbitrase. Manakala penyelesaian masalah melalui BPSK menemukan jalan buntu, maka penyelesaian atas masalah tersebut dapat dilakukan di pengadilan, setelah disepakati oleh salah satu atau kedua belah pihak yang bersengketa.
Para pihak dapat memilih untuk menyelesaikan sengketanya di pengadilan umum. Gugatan atas kasus perlindungan konsumen melalui pengadilan dapat ditempuh melalui tiga cara yaitu, a) menggugat sendiri secara langsung, b) menggugat secara class action, dan c) menggugat secara legal standing. Kedua mekanisme gugatan terakhir, yaitu class action dan legal standing, acapkali dipahami secara keliru. Gugatan class action adalah gugatan oleh seseorang atau sejumlah orang mengatasnamakan kelompok yang merasa dirugikan oleh objek sengketa yang sama. Sedangkan gugatan legal standing adalah gugatan oleh lembaga yang memiliki keprihatinan kepada isu perlindungan konsumen. Lembaga swadaya masyarakat yang melakukan gugatan legal standing bermaksud agar pemerintah mengubah kebijakan-kebijakannya yang dinilai merugikan kepentingan konsumen. Selain ketiga jenis gugatan tersebut di atas, ada juga gugatan yang dikenal sebagai gugatan civil lawsuit, yaitu gugatan oleh seseorang atau sekelompok warga negara karena negara dianggap tidak sanggup melindungi kepentingan warga negaranya.
Daftar Pustaka
a.Sumber Buku/Karangan Ilmiah
Nasution, Az. Hukum Perlindungan Konsumen, (Bandung: Mandar Maju, 1999)
Rajagukguk, Erman, et.al. Hukum Perlindungan Konsumen, (Bandung: PT. Mandar Maju, 2000).
Santosa, Mas Achmad, dkk., Makalah Topic 7, Civil Liability for Environmental Damage Indonesia, yang disampaikan dalam pelatihan hukum lingkungan di Indonesia bekerjasama dengan Australia, Desember 1999 – September 2000, ICEL.
Soef, Mochamad. Pengingkaran Perlindungan Hak-hak Konsumen Pada Kasus Bahan Bakar Minyak, diposting pada tanggal 3 November 2009, diakses dari http://soef47.wordpress.com/ pada tanggal 20 Januari 2011.
(Tanpa nama penulis), Legal Standing – Hak Gugat Organisasi Lingkungan, (Makalah disampaikan pada Kursus Ham Pengacara 2007), diakses dari www.elsam.or.id pada tanggal 20 Januari 2011.
(Tanpa nama penulis), “Legal Standing Sesuai Hukum Positif”, Harian Kompas, (31 Maret 2003), diakses dalam bentuk pdf dari http://pkditjenpdn.depdag.go.id/ pada tanggal 20 Januari 2011.
Tjandrasari, Heri. Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) dan Upaya Perlindungan Hukum Kepada Konsumen (Jakarta: MaPPI-FHUI, tahun dan tanggal terbit tidak disebukan), diakses dari www.pemantauperadilan.com, pada tanggal 20 Januari 2011.
Yuliawati, Hastarini. Aspek Perlindungan Konsumen Terhadap Peredaran Daur Ulang Makanan Kadaluarsa, Skrispsi Bab IV, diakses dari http://eprints.ui.ac.id/ pada tanggal 20 Januari 2011.
b.Peraturan Perundang-undangan
Indonesia, Undang-undang tentang Perlindungan Konsumen, UU No. 8, LN No. 44 tahun 2009, TLN No. 3821, pasal 46.
[1] Heri Tjandrasari, Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) dan Upaya Perlindungan Hukum Kepada Konsumen, diterbitkan oleh MaPPI-FHUP, tahun dan tanggal terbit tidak disebukan, diakses dari www.pemantauperadilan.com, pada tanggal 20 Januari 2011.
[2]Hastarini Yuliawati, Aspek Perlindungan Konsumen Terhadap Peredaran Daur Ulang Makanan Kadaluarsa, Skrispsi Bab IV, diakses dari http://eprints.ui.ac.id/ pada tanggal 20 Januari 2011.
[3] Mochamad Soef, Pengingkaran Perlindungan Hak-hak Konsumen Pada Kasus Bahan Bakar Minyak, diposting pada tanggal 3 November 2009, diakses dari http://soef47.wordpress.com/ pada tanggal 20 Januari 2011. Penulis telah berupaya untuk mendapatkan data terbaru mengenai kasus-kasus seputar isu perlindungan konsumen tetapi belum mendapatkan data dimaksud.
[4] Mas Achmad Santosa, dkk., Makalah Topic 7, Civil Liability for Environmental Damage Indonesia, yang disampaikan dalam pelatihan hukum lingkungan di Indonesia bekerjasama dengan Australia, Desember 1999 – September 2000, ICEL.
[5] Az. Nasution, Hukum Perlindungan Konsumen, (Bandung: Mandar Maju, 1999), hlm. 237.
[6] Erman Rajagukguk, dkk., Hukum Perlindungan Konsumen, (Bandung: PT. Mandar Maju, 2000), hlm. 71.
[7] Indonesia, Undang-undang tentang Perlindungan Konsumen, UU No. 8, LN No. 44 tahun 2009, TLN No. 3821, pasal 46.
[8] (Tanpa nama penulis), Legal Standing – Hak Gugat Organisasi Lingkungan, (Makalah disampaikan pada Kursus Ham Pengacara 2007), diakses dari www.elsam.or.id pada tanggal 20 Januari 2011.
[9] Mas Ahmad Sentosa, Op. Cit., hlm. 94.
[10] (Tanpa nama penulis), “Legal Standing Sesuai Hukum Positif”, Harian Kompas, (31 Maret 2003), diakses dalam bentuk pdf dari http://pkditjenpdn.depdag.go.id/ pada tanggal 20 Januari 2011.
No comments:
Post a Comment