Bab I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang Masalah
Konstitusi adalah dasar terbentuknya suatu negara hukum (rechtsstaat). Konstitusi, dalam pengertian ini, merupakan konsensus/kesepakatan umum (general agreement) atau persetujuan di antara mayoritas rakyat mengenai bangunan yang diidealkan berkenaan dengan negara. Organisasi negara itu diperlukan warga masyarakat politik agar kepentingan mereka bersama dapat dilindungi atau dipromosikan melalui pembentukan dan penggunaan mekanisme yang disebut negara.[1]
Gagasan tentang kesepakatan sebagai suatu hal yang penting bagi terbentuknya negara perlu ditegaskan, mengingat semua manusia dalam keadaan alamianya (state of nature) adalah individu yang bebas, setara, dan merdeka.[2] Negara tanpa kesepakatan bersama akan diwarnai dengan permusuhan dan pertikaian. Meminjam istilah Thomas Hobbes, “manusia akan menjadi serigala bagi sesamanya, (akan ada) perang semua melawan semua” (homo homini lupus, bellum omnium contra omnes).[3] Kesepakatan bersama inilah yang memberikan jaminan terhadap kebebasan setiap individu dan harta miliknya.
Dalam suatu negara hukum (rechtsstaat), konstitusi merupakan landasan yang amat penting. Ia menentukan bentuk dan tujuan suatu negara. Konstitusi suatu negara hukum harus juga mengatur secara tegas dan jelas prinsip-prinsip yang dianut oleh negara hukum, di antaranya prinsip pembagian kekuasaan, independensi lembaga Judisial, dan prinsip perlindungan terhadap Hak Asasi Manusia (HAM).
Secara historis, dalam konteks Indonesia, Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang berlaku sekarang ini telah beberapa kali mengalami dinamika perkembangan yang kompleks. Bahkan, dapat dikatakan bahwa UUD NRI Tahun 1945 ini telah berubah 300 persen dari naskah aslinya.[4] Dinamika perkembangan ini tentu saja memperlihatkan evolusi kesadaran masyarakat Indonesia, khususnya para elit politiknya, dalam menentukan bentuk dan tujuan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Namun, prinsip negara hukum yang dianut RI pada saat ini masih jauh dari harapan. Kasus sengketa kewenangan antarlembaga negara yang kewenangannya diatur oleh konstitusi, dan penegakan hukum secara tebang pilih, cukup memberikan potret buram lemahnya hukum di tanah air. Untuk itu, langkah-langkah perbaikan harus segera diambil, agar hukum “tetap menjadi panglima” di negeri tercinta ini.
2. Perumusan Masalah
Manusia adalah makhluk sosial (homo socialis). Dalam mengorganisasikan dirinya ke dalam suatu komunitas sosial tertentu, setiap manusia perlu menekan egoismenya untuk dapat menjalin kebersamaan dengan sesamanya. Agar kepentingan masing-masing pihak tidak berbenturan satu sama lain, maka diperlukan kesepakatan/konsensus bersama tentang apa yang mesti dilakukan dalam sebuah komunitas sosial.
Masyarakat modern yang telah mengorganisasikan dirinya dalam sebuah negara sangat membutuhkan panduan yang jelas bagi aktivitasnya sehari-hari sebagai warga negara. Panduan tersebut sangat berguna karena tanpanya pengorganisasian suatu negara akan mengalami stagnasi, bahkan menimbulkan huru-hara yang dapat mengancam eksistensi negara bersangkutan.
Berdasarkan latar belakang masalah sebagaimana diuraikan di atas, penulis mencoba merumuskan beberapa pokok permasalahan melalui beberapa pertanyaan pokok, sebagai berikut:
a. Mengapa konstitusi dipandang sebagai dasar bentuknya sebuah negara hukum?
b. Langkah-langkah apa yang perlu dilakukan untuk memantapkan legitimasi hukum dalam suatu negara?
Bab II
PEMBAHASAN
1. Konstitusi Sebagai Kesepakatan Bersama Seluruh Warga Negara
Menurut John Locke, sebagaimana telah diuraikan di muka, suatu negara terbentuk atas dasar konsensus/kesepakatan bersama (general agreement) seluruh warga negara. Konsep kesepakatan sebagai landasan terbentuknya suatu negara, terlebih dahulu telah dikemukakan oleh Thomas Hobbes, kendatipun memiliki perbedaan pandangan dengan Locke tentang state of nature manusia. Kesepakatan bersama merupakan prinsip dasar (konstitusi) yang amat berguna untuk menjamin kebebasan, dan keamanan setiap individu beserta hak miliknya. Egoisme masing-masing individu untuk menguasai sesamanya telah “diserahkan”[5] ke pihak ketiga, yaitu negara (=penguasa), yang memiliki legitimasi untuk mengatur dan mengarahkan setiap individu, bahkan dengan kekuatan yang memaksa.
Secara etimologis, kata “konstitusi” sebagaimana yang kita kenal pada saat ini berasal dari dua kata, yaitu kata “politea” (bahasa Yunani), dan kata “jus/ius” (bahasa Latin)yang berarti hukum atau prinsip. Secara luas, kedua kata ini dapat diartikan sebagai:
“all the innumerable characteristics which determine that state’s peculiar nature, and these include its whole economic and social texture as well as matters governmental in our narrower modern sense. It is a purely descriptive term, and as inclusive in its meaning as our own use of the word ‘constitution’ when we speak generally of a man’s constitution or of the constitution of matter”[6]
Dalam bahasa Yunani tidak dikenal istilah yang mencerminkan kata ius ataupun constitutio sebagaimana dimengerti oleh tradisi Romawi yang datang kemudian. Para filsuf Yunani Kuno memahami konstitusi dalam arti yang sama seperti yang kita kenal pada saat ini, yaitu prinsip dasar pengorganisasian sebuah negara.[7] Dalam tradisi Romawi, kata konstitusi diartikan sebagai “the acts of legislation by the emperor”. Bersamaan dengan banyaknya pemahaman tentang hukum Romawi yang diadopsi ke dalam hukum Gereja Katolik (Codex Iuris Canonici), maka kitab-kitab hukum Romawi dan hukum Kanonik dianggap sebagai penggunaan paling awal kata konstitusi dalam sejarah.[8]
Dalam perkembangan selanjutnya, konsepsi konstitusi mengalami evolusi pengertian. Dalam beberapa bahasa dunia, kata konstitusi (Ingg.: Constitution, Jerm.: Verfassung) terbedakan dari undang-undang dasar (Jerm.:Grundgesetz, Blnd: Grondwet). Oleh karena kesalahpahaman, terutama karena pengaruh paham kodifikasi yang menghendaki semua hukum agar tertulis di dalam dokumen tertentu, maka konstitusi dipandang sebagai undang-undang dasar. Undang-undang dasar dalam pengertian yang tekstual semacam ini sesuai dengan pendefinisian yang dilakukan oleh Brian Thompson,”....a constitution is a document which contains the rules for the operation of an organisation.”[9]
Di zaman modern, Amerika Serikat adalah negara pertama yang merumuskan konstitusi dalam sebuah naskah.[10] Hal ini sangat berbeda dengan apa yang terjadi di Inggris, di mana tidak dikenal konstitusi yang tertulis dalam sebuah naskah tertentu.[11]
Menurut Hermann Heller, undang-undang dasar yang tertulis dalam satu naskah yang bersifat politis, sosiologis, dan bahkan bersifat juridis, hanyalah merupakan salah satu bentuk atau sebagian saja dari pengertian konstitusi yang lebih luas, yaitu konstitusi yang hidup di tengah-tengah masyarakat. Artinya, di samping konstitusi yang tertulis itu, segala nilai-nilai normatif yang hidup dalam kesadaran masyarakat luas, juga termasuk ke dalam pengertian konstitusi yang luas itu.[12]
Di sisi lain, Hans Kelsen berpandangan bahwa konstitusi adalah bentuk legal dari norma dasar. Norma sendiri merupakan nilai-nilai hidup yang dihayati oleh suatu masyarakat, yang validitasnya berasal dari sosok ilahi (=God). Dari semua norma yang dihayati ini, terdapat sebuah “norma dasar” yang berfungsi sebagai satu-satunya sumber dan pengikat bagi norma-norma lain yang telah melahirkan stabilitas sistem kemasyarakatan. Norma dasar yang dipositifkan berperan sebagai konstitusi, yang padanya semua sistem hukum dan sistem kemasyarakatan mendasarkan dirinya.[13]
Konsensus yang menjamin tegaknya konstitusionalisme di zaman modern pada umumnya dipahami bersandar pada tiga elemen kesepakatan (consensus), yaitu[14]:
1. Kesepakatan tentang tujuan atau cita-cita bersama (the general goals of society or general acceptance of the same philosophy of government).
2. Kesepakatan tentang the rule of law sebagai landasan pemerintahan atau penyelenggaraan negara (the basis of government).
3. Kesepakatan tentang bentuk institusi-institusi dan prosedur-prosedur ketatanegaraan (the form of institutions and procedures).
Berdasarkan sejumlah pemahaman tentang kosntitusi sebagaimana diuraikan di atas, penulis berkesimpulan demikian: konstitusi adalah kesepakatan bersama di antara mayoritas warga negara tentang prinsip-prinsip dasar pengorganisasian sebuah negara, baik ditulis maupun tidak, yang ditarik dari sejumlah norma yang hidup masyarakat. Perubahan terhadap konstitusi ini tidak dapat dilakukan oleh lembaga legislatif biasa, melainkan dilakukan oleh lembaga yang lebih tinggi, yang di dalamnya terdapat keterwakilan seluruh elemen masyarakat. Berubah atau tidaknya konstitusi ini sangat tergantung pada faktor kekuatan politik suatu negara, karena konstitusi sendiri merupakan suatu produk politik. [15]
2. Membangun Negara Hukum Demokratis Atas Dasar Konstitusi
Berlakunya suatu konstitusi sangat tergantung pada prinsip kedaulatan yang diakui setiap negara. Jika kedaulatan berada di tangan raja, maka legitimasi konstitusi tidak lain berasal dari raja tersebut. Sedangkan, jika kedaulatan berada di tangan rakyat, maka legitimasi konstitusi tersebut sangat tergantung dari rakyat. Rakyat dapat menentukannya secara langsung melalui sebuah referendum, sebagaimana dilakukan di Irlandia pada tahun 1937; atau melalui para wakilnya yang duduk di parlemen. Dalam pembahasan ini, penulis membatasi diri untuk hanya membahas negara hukum demokratis yang legitimasi landasan konstitusinya berasal dari rakyat.
Gagasan tentang negara hukum (Rule of Law / Rectsstaat) dipelopori oleh seorang sarjana hukum Inggris, A. V. Dicey. Istilah ini menyatakan bahwa yang memerintah dan memimpin suatu negara adalah hukum, bukan orang/individu tertentu. Istilah Rule of Law harus dibedakan dari Rule by Law. Istilah terakhir ini menegaskan sisi instrumentalistis hukum yang sangat terbuka bagi penyalahgunaan kekuasaan oleh individu tertentu, yang dapat jatuh pada sebuah sistem pemerintahan yang didasarkan pada kekuasaan (maachtstaat). Rule of Law menggarisbawahi suatu sistem hukum yang didasarkan pada konstitusi yang dibentuk bersama oleh mayoritas warga negara.[16]
Negara hukum umumnya disebut juga sebagai negara konstitusional (constitutional state), yaitu negara yang dibatasi oleh konstitusi. Dalam konteks yang sama, gagasan negara demokrasi atau kedaulatan rakyat disebut pula dengan constitutional democracy atau negara demokrasi yang didasarkan atas hukum. Berpatok pada konstitusi sebagai dasar, maka prinsip-prinsip dasar suatu negara hukum memuat beberapa hal, antara lain:
a. Hukum sebagai dasar
b. pembagian kekuasaan
c. peradilan yang bebas
d. perlindungan terhadap Hak-hak Asasi Manusia (HAM)
C.F.Strong menambahkan beberapa elemen penting suatu negara hukum demokratis, yaitu 1)bebas untuk menyatakan pilihan di dalam pemilihan umum (pemilu), 2) bebas menyatakan pendapat, dan 3) kebebasan pers. [17]
Prinsip hukum sebagai dasar, dimaksudkan bahwa hukum adalah patokan bertindak bagi penguasa negara dan setiap warga negara. Prinsip pembagian kekuasaan dimaksudkan untuk menghindari terjadinya konsentrasi kekuasaan hanya pada tangan satu pihak. Prinsip peradilan yang bebas dimaksudkan untuk menjamin tegaknya hukum di suatu negara, demi menghindari adanya intervensi pemerintahan di dalam lembaga yudisial. Perlindungan terhadap HAM penting karena prinsip perlindungan terhadap nilai kemanusiaan adalah prinsip pokok yang turut mendasari terbentuknya suatu negara. Prinsip kebebasan juga merupakan suatu prinsip penting dalam suatu negara hukum demokratis karena pada dasarnya manusia adalah makhluk bebas dan merdeka. Pembatasan kebebasan memang perlu dilakukan, tetapi hal itu harus dilakukan atas dasar prinsip-prinsip hukum yang sudah disepakati bersama.
Dengan demikian, pembagunan sebuah negara hukum demokratis berdasarkan konstitusi, tidak bisa tidak, memperhatikan sejumlah prinsip-prinsip dasar sebagaimana diuaikan di atas. Pelanggaran terhadap prinsip-prinsip tersebut akan menggiring suatu negara kepada kehancuran, di mana tidak ada satu pun hukum yang dapat dijadikan sebagai pedoman bertindak. Meminjam istilah Emile Durkheim, situasi kekacuan komunitas sosial yang diakibatkan karena ketiadaan hukum yang dijadikan pegangan bertindak merupakan sebuah anomie.
Bab III
P E N U T U P
1. Kesimpulan
Konstitusi adalah kesepakatan bersama di antara mayoritas warga negara tentang prinsip-prinsip dasar pengorganisasian sebuah negara, baik ditulis di dalam sebuah dokumen maupun tidak, yang ditarik dari sejumlah norma yang hidup masyarakat. Dalam perkembangan sejarah umat manusia, konstitusi mengalami evolusi pemikiran yang dinamis. Mengingat manusia adalah makhluk sosial yang tidak bisa hidup sendiri (homo socialis), maka dalam kehidupan sosial atau relasinya dengan sesama, ia membutuhkan sejumlah norma sebagai pegangan. Pada langkah selanjutnya, dalam rangka pengorganisasian diri dan perlindungan terhadap diri sendiri serta harta milik, seorang individu melakukan kesepakatan (consensus) dengan individu lain untuk menyerahkan sejumlah hak mereka kepada penguasa negara untuk mengatur mereka. Pada tahapan ini, kesepakatan yang dibuat sudah memiliki nilai normatif, yaitu bahwa setiap pelanggaran atasnya dapat dikenakan sanksi.
Menurut bentuknya, konstitusi terbedakan menjadi konstitusi tertulis dan konstitusi tidak tertulis. Negara yang pertama kali menuliskan konstitusinya dalam sebuah naskah adalah negara Amerika Serikat. Sedangkan sejumlah negara yang tidak mengenal konstitusi yang dituliskan pada sebuah naskah resmi adalah Inggris, Israel, dan Saudi Arabia. Terkait hal ini, ada ahli yang berpendapat bahwa konstitusi yang tertulis “mereduksi” makna konstitusi yang sesungguhnya, yaitu sejumlah norma dasar yang hidup di masyarakat, yang memiliki sifat konstitusional. Perubahan terhadap konstitusi tidak dapat dilakukan oleh lembaga legislatif biasa, melainkan harus oleh sebuah lembaga spesifik yang memiliki kewenangan yang lebih tinggi dari lembaga legislatif biasa.
Dalam rangka pembangunan negara hukum demokratis yang konstitusional, suatu negara harus memperhatikan sejumlah landasan pokok berdirinya suatu konstitusi, yaitu prinsip hukum sebagai panglima, pembagian kekuasaan, peradilan yang bebas, dan perlindungan terhadap HAM. Negara yang tidak memperhatikan prinsip-prinsip ini tidak dapat dikategorikan sebagai negara hukum demokratis yang mendasarkan dirinya pada konstitusi. Dengan demikian, kokohnya suatu negara hukum sangat tergantung pada sejumlah prinsip ini.
2. Saran
a. Dalam konteks Indonesia, yang disemaraki dengan kasus penyuapan dan penegakan hukum yang tebang pilih, maka dibutuhkan suatu sistem recruitment penegak hukum yang ketat.
b. Perlu ditanamkan budaya cinta hukum kepada segenap generasi muda melalui suatu kurikulum pendidikan yang komprehensif dan terpadu.
c. Komisi-komisi negara yang dibentuk untuk menjaga tegaknya negara hukum harus dimaksimalkan berdasarkan fungsinya. Cth. Ombudsman yang seharusnya menjadi lembaga yang efektif untuk menciptakan penyelenggaraan negara yang baik, terlihat tidak banyak “bergerak” dalam kerangka tugasnya.
Daftar Acuan
a. Sumber Buku
Andrews, William G. Constitutions and Constitutionalism, Edisi Ketiga, (New Jersey: Van Nostrand Company, 1968).
Arinanto, Satya. Indonesia: Democratization of Constitutional and Political Life since the 1992 General Election and the 1993 Plenary Session of the People’s Consultative Assembly, dalam Asia-Pacific Constitutional Yearbook 1993, Cheryl Saunders and Graham Hassal (ed.), (Melbourne: Centre for Comparative Constitutional Studies, University of Melbourne, 1995).
Asshidiqqie, Jimly. Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, Jilid 1 (Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, 2006).
Barendt, Eric. An Introduction to Constitutional Law (Oxford: Oxford University Press, 1998), dalam Satya Arinanto, Politik Hukum 1, Edisi Pertama, (Jakarta: Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2001).
Howard McIlwain, Charles. Constitutionalism: Ancient and Modern ( Ithaca, New York: Cornel University Press, 1966 )
Kelsen, Hans. General Theory of Law and State, Penerj. Anders Wedberg, (New York: Russel and Russel, 1961), dalam Satya Arinanto, Politik Hukum 1, Edisi Pertama, (Jakarta: Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2001).
Locke, John. The Second Treatise of Government. Ed. Thomas P. Pardon, (New York: The Bobbs-Merrill Company. Inc., 1952). Dalam Satya Arinanto, Politik Hukum 1, Edisi Pertama, (Jakarta: Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2001).
Mahfud M.D., Moh. Perkembangan Politik Hukum (Studi Tentang Pengaruh Konfigurasi Politik Terhadap Produk Hukum di Indonesia), Disertasi, (Yogyakarta: Pascasarjana FH-UGM, 1993).
Schmitt, Carl. The Concept of The Political, Penerj. George Schwab, judul asli Der Begriff Des Politischen, (First Published in 1932),(Cambridge, Massachussets, and London, England: The MIT Press, 1996).
Thompson, Brian. Textbook on Constitutional and Administrative Law, edisi ke-3, (London: Blackstone Press ltd, 1997).
b. Sumber Lain
Asshiddiqie, Jimly. Konstitusi dan Hak Asasi Manusia, diakses dari http://www.jimly.com/ pada tanggal 11 Mei 2010.
______ Ideologi, Pancasila, dan Konstitusi, data ini dikutip dari http://www.jimly.com/, diakses pada tanggal 12 Mei 2010.
[1] Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Hak Asasi Manusia, dikutip dari http://www.jimly.com/, diakses pada tanggal 11 Mei 2010, hlm. 6.
[2] Hal ini ditegaskan oleh John Locke. Baginya manusia, menurut kodrat alamianya (state of nature), merupakan individu yang bebas, setara, dan merdeka. Langkah yang tepat bagi setiap individu untuk “mengamankan” kodrat alamianya tersebut adalah dengan melakukan “kesepakatan” dengan individu lain untuk membentuk suatu komunitas yang nyaman, aman, dan damai. Kesepakatan tersebut juga memberikan jaminan perlindungan bagi hak milik masing-masing individu. John Locke, The Second Treatise of Government, ed. Thomas P. Pardon (New York: The Bobbs-Merrill Company. Inc., 1952), dalam Satya Arinanto, Politik Hukum 1, Edisi Pertama, (Jakarta: Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2001), hlm. 3.
[3] Berbeda dengan gagasan state of nature dari John Locke, Thomas Hobbes menyatakan bahwa manusia menurut kodratnya adalah individu yang dirasuki oleh keinginan untuk mengalahkan sesamanya. Demi keamanan diri dan hak miliknya, individu tersebut mengadakan “kesepakatan” untuk menyerahkan keinginannya untuk menguasai yang lain kepada pihak ketiga yang disebut Hobbes sebagai Leviathan, yang tidak lain adalah negara (=penguasa). Carl Schmitt, The Concept of The Political, Penerj. George Schwab, judul asli Der Begriff Des Politischen, (First Published in 1932),(Cambridge, Massachussets, and London, England: The MIT Press, 1996), hlm. 52-53.
[4] Sebelum diadakan perubahan, naskah UUD 1945 berisi 71 butir ketentuan ayat atau pasal. Tetapi sekarang, setelah mengalami 4 (empat) kali perubahan, ketentuan yang terkandung di dalamnya menjadi 199 butir. Dari rumusan ketentuan yang asli, hanya tersisa 25 butir saja yang sama sekali tidak berubah. Sedangkan selebihnya, yaitu 174 butir, sama sekali merupakan butir-butir ketentuan baru dalam UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Artinya, meskipun namanya masih menggunakan nama lama dengan penegasan kembali dengan nama resmi “Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”, tetapi isinya sudah lebih dari 300 persen baru. Untunglah bahwa pembukaannya tidak mengalami perubahan, dan naskah standar yang dijadikan pegangan dalam melakukan perubahan itu adalah naskah UUD 1945 sesuai dengan Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Jimly Asshidiqqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, Jilid 1 (Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, 2006), hlm. 2-3.
[5] Dalam pandangan Hobbes, yang diserahkan adalah seluruh hak individu. Setelah menyerahkan hak-haknya, penguasa negara akan bertindak mutlak atas setiap individu. Teori Hobbes mengarah kepada terbentuknya Monarki Absolut. Berlawanan dengan pandangan Hobbes, Locke menyatakan bahwa tidak semua hak individu diserahkan kepada penguasa negara. Hak-hak yang diserahkan kepada negara adalah hak-hak yang berkaitan dengan perjanjian negara semata, sedangkan hak-hak lainnya tetap melekat pada masing-masing individu. Teori Locke mengarah kepada terbentuknya monarki konstitusional. Jimmly Asshidiqie, Konstitusi dan Hak Asasi Manusia, dikutip dari http://www.jimly.com/, diakses pada tanggal 11 Mei 2010, hlm. 7-8.
[6] Charles Howard McIlwain, Constitutionalism: Ancient and Modern ( Ithaca, New York: Cornel University Press, 1966), hlm. 26.
[7] Aristoteles, pemikir besar Yunani, melakukan pembedaan terhadap konstitusi dan hukum biasa dengan penggunaan dua istilah yang berbeda, yaitu politeia (konstitusi), dan nomoi (undang-undang biasa). Politeia memiliki kekuasaan yang lebih tinggi daripada nomoi karena politeia memiliki kekuasaan membentuk, sedangkan nomoi hanya merupakan materi yang hanya bisa dibentuk agar tidak tercerai berai. Menurut Aristoteles, “A constitution (or polity)may be defined as the organization of a polis, in respect of its offices generally, but esspecially in respect of that particular office which is sovereign in all issues”. Ernest Barker, Politics (New York-London: Oxford University Press, 1958), dalam Jimmly Asshiddiqie, Op. Cit., hlm. 90 dan 96.
[8] Charles Howard McIlwain, Op. Cit., hlm. 23.
[9] Brian Thompson, Textbook on Constitutional and Administrative Law, edisi ke-3, (London: Blackstone Press ltd., 1997), hal. 3.
[10] Sebagian besar negara-negara di dunia memiliki hukum tertulis sebagaimana yang dimiliki Amerika Serikat. Konstitusi tertulis ini antara lain mengatur kekuasaan parlemen, pemerintah, pengadilan, dan institusi penting negara lainnya. Konstitusi tertulis di sebagian negara mengatur juga tentang hak-hak dasar, seperti hak untuk bebas berbicara, dan hak untuk mendapatkan pengadilan yang adil. Salah satu ciri lain dari konstitusi tertulis adalah mengatur pembatasan kekuasaan legislatif dan eksekutif. Dalam kasus tertentu, pembatasan dimaksud dilakukan oleh pengadilan-pengadilan. Keputusan pengadilan ini merupakan bagian penting dari hukum konstitusional. Selain itu, terdapat sejumlah prosedur khusus bagi amandemen konstitusi; dokumen konstitusi tidak dapat secara mudah diamandemen oleh lembaga legislasi biasa. Eric Barendt, An Introduction to Constitutional Law (Oxford: Oxford University Press, 1998), dalam Satya Arinanto, Op.Cit., hlm. 107.
[11] Jika konstitusi dimengerti sebagai hukum dasar yang tertulis dalam sebuah dokumen, maka tidak ada teks atau dokumen di Inggris yang dapat disebut sebagai Konstitusi. Kendatipun demikian, ada banyak hukum, yang isinya memiliki karakter kosntitusional, tidak pernah disatukan atau dikodifikasikan dlam suatu teks otoritatif tertentu. Parlemen Kerajaan Inggris Raya sangat dimungkinkan untuk selalu mengamandemen hukum-hukum, yang di negara-negra lain merupakan teks-teks yang konstitusional yang tidak dapat diubah oleh lembaga legislasi biasa. Hal ini merupakan ciri khas dari prinsip supremasi atau kedaulatan parlemen, yaitu bahwa parlemen bebas menetapkan hukum yang diinginkannya. Sekalipun termodifikasi oleh karena keanggotaannya dalam Uni Eropa, prinsip ini tetap menjadi prinsip hukum Inggris. Ibid.
[12] Heller membedakan konstitusi menjadi 3 macam, yaitu: a)konstitusi dalam pengertian sosial politik: konstitusi pada tahap ini dapat digambarkan sebagai kesepakatan-kesepakatan politik yang belum tertuang ke dalam bentuk hukum tertentu, melainkan terlihat di dalam perilaku nyata dalam kehidupan kolektif warga masyarakat; b) Konstitusi dalam pengertian hukum: konstitusi sudah mendapatkan bentuk hukum tertentu, sehingga pelanggaran atasnya menyebabkan dikenakan sanksi kepada pelanggarnya; c) Konstitusi dalam pengertian peraturan tertulis: konstitusi sudah terkena pengaruh paham kodifikasi hukum yang menghendaki agar berbagai norma hukum dapat dituliskan di dalam naskah yang bersifat resmi. Tujuannya adalah untuk mencapai kesatuan hukum (rechtseineheid), kesederhanaan hukum (rechtsvereenvoudiging), dan kepastian hukum (rechtszekerheid). Lih. Jimmly Asshiddiqie, Op., Cit., hlm. 124-125.
[13] Hans Kelsen, General Theory of Law and State, Penerj. Anders Wedberg, (New York: Russel and Russel, 1961), dalam Satya Arinanto, Op. Cit., hlm. 2-8.
[14] William G. Andrews, Constitutions and Constitutionalism, Edisi Ketiga, (New Jersey: Van Nostrand Company, 1968), hal. 9.
[15]Moh. Mahfud M.D., Perkembangan Politik Hukum (Studi Tentang Pengaruh Konfigurasi Politik Terhadap Produk Hukum di Indonesia), Disertasi, (Yogyakarta: Pascasarjana FH-UGM, 1993).
[16] Jimmly Asshiddiqie, Ideologi, Pancasila, dan Konstitusi, data ini dikutip dari http://www.jimly.com/, diakses pada tanggal 12 Mei 2010.
[17] Satya Arinanto, Indonesia: Democratization of Constitutional and Political Life since the 1992 General Election and the 1993 Plenary Session of the People’s Consultative Assembly, dalam Asia-Pacific Constitutional Yearbook 1993, Cheryl Saunders and Graham Hassal (ed.), (Melbourne: Centre for Comparative Constitutional Studies, University of Melbourne, 1995).
Mungkin Anda lelah membaca Tulisan Ini...
Nikmatilah:
Sajak Anto Lamury Yang Menyejukkan Hati !!
Mungkin Anda lelah membaca Tulisan Ini...
Nikmatilah:
Sajak Anto Lamury Yang Menyejukkan Hati !!
No comments:
Post a Comment