Saturday, March 26, 2011

Kulturkampf

Secara harafiah, Kulturkampf berarti perjuangan budaya (culture struggle). Berkaitan dengan dunia kekristenan Eropa abad IX, Kulturkampf merupakan sebuah kebijakan yang ditempuh pemerintah Prussia (Jerman) untuk melepaskan diri dari keterkungkungan yang disebabkan oleh agama (Katolik Roma). Gerakan ini terjadi pada kurun waktu tahun 1871-1878, di bawah kepemimpinan konselir Jerman: Otto von Bismarck. Kulturkampf lahir manakala terjadi disputasi antara Ultramontana Gereja Katolik dan Liberalisme. Dalam kturun waktu ini, agama Katolik merupakan sebuah kekuatan sosial yang berjuang menangkal sekularisasi yang sedang diupayakan pemerintah Jerman. Proyek sekularisasi ini termanifestasi dalam aksi penutupan biara dan sekolah swasta Katolik. Keadaan ini menuntut kalangan Katolik untuk membidani dan melahirkan sebuah partai politik yang dinamakan sebagai Partai Zentrum. Ironisnya, dalam konvensi Katolik di Mainz (1870), Frederich Baudri dan Mgr. Ketteler mengakui kaisar dan kekaisaran, kendatipun di kemudian hari keduanya mengakui konsili ekumenis Bali.

Ludwig Windthost, pemimpin partai Zentrum mengungkapkan bahwa orang Katolik Jerman harus mendukung kepausan karena di bawah Charlemagne (kaisar pertama Jerman), kepausan mendapatkan jaminan keamanan yang mencukupkan. Di sisi lain, Bismarck berupaya untuk merebut kembali mimpi-mimpi kedaulatan Jerman lepas dari bayang-bayang Gereja. Ia menjalankan politik pemisahan negara dan agama, dan mengesampingkan Gereja dari dunia pendidikan. Pokoknya, Bismarck berupaya menempatkan Gereja di bawah pengaruh agama. Demi maksud ini pula, Bismarck menjalankan konsep politik liberal melalui kebijakan yang sangat antipati terhadap kaum religius,  klerus, dan biarawan,  misalnya melarang imam yang sedang bertugas untuk tidak masuk ke dalam dunia publik yang dapat membahayakan masyarakat luas.

Sebagai catatan akhir dari kulturkampf, perlu kita ketahui bahwa kulturkampf menurut hakekatnya merupakan penganiayaan terhadap Gereja. Perlawanan kelompok Katolik Jerman terhadap kulturkampf dipelopori oleh Felix von LoŃ‘. Pada tanggal 11 Mei 1873, ditetapkanlah Undang-Undang Mei yang isinya antara lain memberikan wewenang kepada pemerintah untuk mengadakan supervisi terhadap semua lembaga pendidikan calon imam, mewajibkan mahasiswa teologi untuk mengikuti ujian negara di bidang filsafat, sejarah, dan sastra Jerman. Undang-undang ini berakibat pada penutupan banyak seminari. Para uskup dan imam di Jerman melakukan “aksi diam” menentang Undang-undang Mei. Paus Pius IX menulis surat kepada Wilhelm I pada tanggal 7 Agustus 1873 yang isinya yang mengungkapkan bahwa siapa saja yang telah dibabtis, berada di bawah kuasa Paus. Surat ini sangat menyakitkan hati Wilhelm I. kendatipun UU Mei tidak dijalankan, penganiayaan terhadap imam dan uskup tetap berjalan.

No comments:

Post a Comment