Friday, March 4, 2011

“Pelaksanaan Prinsip Good Corporate Governance Pada Badan Layanan Umum (BLU) Transjakarta”


BAB I
P E N D A H U L U A N

1.   Latar Belakang Masalah
               Kemacetan merupakan salah satu masalah yang sangat krusial di Kota Jakarta. Bahkan masalah ini juga dialami oleh beberapa kota satelit Jakarta seperti Depok, Bogor, Tangerang, dan Bekasi. Kemacetan ini umumnya terjadi pada saat sebelum dan sesudah jam kantor (07.00-09.00. WIB dan 17.00-20.00). Bahkan pada jalur tertentu kemacetan terjadi hampir setiap saat.
               Ada sejumlah faktor yang menyebabkan parahnya kemacetan di Jakarta. Faktor-faktor tersebut, antara lain[1]:
a.    Pertumbuhan jumlah kendaraan (18%) tidak diimbangi dengan pertumbuhan jalan raya (1%).
b.    Terjadi peningkatan jumlah komuter yang menyerbu Jakarta (sekitar 2 juta orang per hari).
c.    Putaran arah (U-turn) tidak didesain dengan baik. Hampir pada setiap u-turn terjadi kemacetan. Banyak kasus kendaraan melakukan u-turn sampai 2 atau 3 jalur sedangkan lebar jalan hanya 4 jalur.
d.    Banyak kendaraan umum menurunkan penumpangnya di tengah jalan.
e.    Rusaknya rambu-rambu lalu lintas, khususnya lampu lalu lintas.
f.     Rendahnya disiplin para pemakai jalan.
Mengingat krusialnya masalah ini, maka pemerintah Provinsi DKI Jakarta dituntut untuk mencari solusi yang tepat, cepat, dan terencana.
               Pada tahun 2003, diadakanlah Studi Pola Transportasi Makro DKI. Studi tersebut menghasilkan beberapa rencana yang bakal ditempuh pemerintah untuk mengatasi masalah kemacetan di Jakarta, antara lain, pengadaan subway, busway, dan transportasi sungai. Dari beberapa proyek yang direncanakan, sampai dengan saat ini, proyek yang berhasil diwujudkan adalah pengadaan busway yang mulai beroperasi sejak tahun 2004. Riset yang dilakukan oleh The Japan International Cooperation pada tahun 2006 memperkirakan akan terjadi perpindahan 14% (812.000 orang) pengguna kendaraan pribadi kepada busway.[2] Akan tetapi hasil riset ini belum dapat terwujud karena kualitas pelayanan busway terus merosot dari hari ke hari. Masalah yang dikeluhkan antara lain terkait dengan kenyamanan halte, jarak kedatangan dan keberangkatan bus, kapasitas penampungan bus, dan meningkatnya angka kecelakaan lalu lintas bus. Pada akhirnya, sejumlah mantan pengguna kendaraan pribadi memutuskan untuk kembali lagi menggunakan kendaraan pribadinya.
               Memburuknya pelayanan busway diakibatkan oleh buruknya kinerja pengelolanya. Mengingat pengelolaan busway Transjakarta dijalankan oleh pemerintah provinsi DKI Jakarta dalam kerja samanya dengan beberapa perusahaan swasta, maka buruknya pelayanan busway tersebut diakibatkan oleh karena tidak diaplikasikannya prinsip-prinsip Good Governance (GG).[3] Prinsip-prinsip GG memuat hal-hal pokok yang harus ditempuh pemerintah dalam rangka peningkatan kualitas pelayanannya di bidang publik.
               Makalah ini merupakan suatu kajian GG dan GCG atas kinerja pemerintah provinsi DKI Jakarta dan beberapa pihak swasta yang menjalankan bisnis transportasi busway Transjakarta. Secara pribadi, penulis berharap kiranya makalah ini dapat memberikan manfaat bagi kemajuan pelayanan busway Transjakarta.

2.   Perumusan Masalah
               Kemacetan merupakan salah satu masalah serius yang sedang dihadapi oleh Kota Jakarta. Untuk mengatasi masalah ini, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta berupaya untuk menemukan solusi yang tepat. Lantas, sejumlah perencanaan dibuat untuk mengatasi masalah ini, di antaranya yaitu rencana pengadaan subway, busway, dan transportasi sungai. Sampai dengan saat ini, dari sejumlah rencana pengadaan yang telah dibuat, hanya busway-lah yang berhasil diadakan. Sejak pengoperasiannya pada tahun 2004, proyek ini hanya sukses berjalan selama tiga tahun pertama. Setelah itu, pelayanan busway memperlihatkan kemunduran. Terkait sistem pengelolaan, kemunduran ini diakibatkan oleh karena tidak berjalannya prinsip-prinsip tata kelola pemerintahan (Good Governance) yang baik. Untuk itu, perbaikan sistem pengelolaan busway Transjakarta harus segera dilakukan agar persoalan kemacetan yang selama ini dikeluhkan oleh masyarakat dapat segera teratasi.
               Untuk menjawab persoalan yang diangkat di dalam makalah ini, berikut ini penulis mengajukan sejumlah pertanyaan penelitian pokok, sebagai berikut:
a.    Mengapa Good Governance diperlukan dalam pengelolaan suatu institusi pemerintahan?
b.    Sejauh mana efektivitas busway Transjakarta dalam upaya penanggulangan masalah kemacetan di Jakarta?
c.    Faktor-faktor apa saja yang menyebabkan kemunduran pelayanan busway Transjakarta?
d.    Bagaimanakah pengelolaan busway Transjakarta apabila ditinjau dari sudut pandang Good Governance ?
e.    Langkah-langkah perbaikan mana sajakah yang dibutuhkan untuk kemajuan pelayanan busway Transjakarta?

3.   Tujuan Penulisan
               Makalah ini dikerjakan untuk memenuhi sebagian prasyarat yang dibutuhkan untuk mendapatkan nilai akhir semester untuk matakuliah Good Corporate Governance (GCG). Selain tujuan akademis tersebut di atas, makalah ini pun ditujukan kepada segenap pembaca agar meningkatkan kepedualiannya kepada pelayanan busway Transjakarta dan memberikan sumbangsih yang relevan demi peningkatan kualitas pelayanan jasa transportasi ini. Secara pribadi, penulis pun berharap semoga makalah yang sederhana dan kurang sempurna ini dapat memberikan masukan kepada para pengelola busway Transjakarta untuk mengambil langkah-langkah strategis dan konkret demi perbaikan pelayanan jasa transportasi ini.

4.   Tinjauan Pustaka
               Dalam membahas masalah busway Transjakarta ini, penulis menggunakan sejumlah sumber buku yang relevan. Selain itu, penulis pun menggunakan sejumlah artikel, karangan, dan berita yang diambil dari sejumlah majalah cetak maupun elektronik untuk memperkaya pembahasan, membantu penemuan akar masalah, dan merumuskan sejumlah solusi yang dibutuhkan untuk memecahkan masalah yang sedang dihadapi.

5.   Metode Penelitian
               Penelitian yang dilakukan penulis, yang kemudian tertuang di dalam tulisan ini, adalah sebuah metode penelitian kepustakaan. Terkait dengan metode ini, penulis mengacukan diri pada sejumlah buku dan esai ilmiah yang didapatkan di ruang perpustakaan kampus dan media on-line (internet). Untuk meng-update penulisan makalah ini, penulis mengakses sejumlah berita yang relevan dari beberapa media cetak dan elektronik.
               Dengan kerendahan hati sebagai seorang akademisi, penulis mengakui keterbatasan penulis karena “tidak dapat” melakukan penelitian lapangan (field research) sebagaimana yang diharapkan oleh dosen pengampuh matakuliah Good Corporate Governance (GCG). Penulis telah berupaya mengontak sahabat penulis yang bekerja pada BLU Transjakarta untuk mendapatkan akses ke instansi tersebut, tetapi upaya ini tidak membuahkan hasil. Penulis pun telah mengirimkan sebuah surat elektronik kepada bagian informasi BLU Transjakarta tetapi tidak mendapatkan balasan. Untuk itu penulis mengharapkan pengertian baik dari segenap pembaca.


BAB II
GOOD GOVERNANCE (GG) SEBAGAI PRINSIP dasar PENGELOLAAN pemerintahan YANG BAIK

1.   prinsip-prinsip tata kelola pemerintahan yang baik (gOOD GOVERNANCE)
               Gagasan tentang pentingnya Tata Kelola Pemerintahan yang Baik (Good Governance – selanjutnya disingkat GG) di Indonesia merupakan sebuah hasil dari Gerakan Reformasi yang telah dimulai sejak tahun 1998. Tuntutan Reformasi ini sangat beralasan sebab pada masa Orde Baru di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto, kekuasaan penyelenggaraan negara berpusat di tangan presiden; lembaga tertinggi dan lembaga-lembaga tinggi negara tidak berfungsi dengan maksimal; tertutupnya akses masyarakat untuk memberikan kontrol sosial kepada pemerintah. Penyelenggaran pemerintahan dan pelayanan publik pada waktu itu hanya merupakan produk dari pemerintahan yang tamak dan arogan, serta tidak mempedulikan keterlibatan masyarakat di dalam pemerintahan.
               Lima tahun pasca bergulirnya Gerakan Reformasi, Good Governance dan Clean Government yang pernah diperjuangkan belum menunjukkan hasil yang memuaskan. Lembaga-lembaga eksekutif atau birokrasi yang semula dibentuk untuk menyelesaikan masalah-masalah publik justeru menjadi sumber masalah. Persoalan ini, oleh G.E. Caiden disebut sebagai “bureaupathologies.”[4] Sementara itu, lembaga legislatif yang dibangun untuk mengartikulasikan dan memperjuangkan kepentingan rakyat dan mengontrol kinerja pemerintah juga menjadi sumber masalah karena rendahnya kemampuan dan komitmen terhadap kepentingan masyarakat, serta seringkali dikooptasi oleh berbagai pihak yang tidak bertanggung jawab. Dan lembaga yudisial yang dibentuk untuk menegakkan keadilan semakin lama semakin tidak memiliki kewibawaan karena mudah “dibeli” oleh pihak-pihak yang berkuasa atau yang mampu membayar tawarannya.
               Buruknya tata kelola pemerintahan sebagaimana yang telah dipaparkan di atas membutuhkan adanya perubahan yang mendasar di berbagai bidang. Perubahan ini telah diakomodasikan di dalam GBHN 1999-2004 dan di dalam sejumlah forum yang terorganisir seperti demonstrasi yang terorganisir, seminar, dialog, dan diskusi ilmiah oleh kelompok cendikiawan dan masyarakat yang peduli terhadap masa depan Indonesia. “Kebangkrutan” institusional ini mendorong munculnya ide-ide gemilang demi perombakan kinerja aparat dan institusi pemerintahan. [5]
               Menurut Masyarakat Transparansi Indonesia (MTI), kunci utama untuk memahami Good Governance  adalah pemahaman atas prinsip-prinsip yang mendasarinya. Prinsip-prinsip inilah yang berperan sebagai barometer untuk mengukur kinerja suatu pemerintahan. Berikut ini penulis bermaksud memaparkan sejumlah prinsip yang mendasari sebuah tata kelola pemerintahan yang baik.[6]
a.   Partisipasi masyarakat: semua warga masyarakat mempunyai suara dalam pengambilan keputusan, baik secara langsung maupun melalui lembaga-lembaga perwakilan yang sah yang mewakili kepentingan mereka. Partisipasi menyeluruh tersebut dibangun berdasarkan kebebasan berkumpul dan mengungkapkan pendapat, serta kepastian untuk berpartisipasi secara konstruktif.
b.   Tegaknya supremasi hukum: kerangka hukum harus adil dan diberlakukan tanpa pandang bulu, termasuk di dalamnya hukum-hukum yang menyangkut hak asasi manusia.
c.    Transparasi: transparansi dibangun atas dasar informasi yang bebas. Seluruh proses pemerintah, lembaga-lembaga, dan informasi perlu dapat diakses oleh pihak-pihak yang berkepentingan, dan informasi yang tersedia harus memadai agar dapat dimengerti dan dipantau.
d.   Peduli pada stakeholder: lembaga-lembaga dan seluruh proses pemerintah harus berusaha melayani semua pihak yang berkepentingan.
e.   Berorientasi pada consensus: tata pemerintahan yang baik menjembatani kepentingan-kepentingan yang berbeda demi terbangunnya suatu konsensus menyeluruh dalam hal apa yang terbaik bagi kelompok-kelompok masyarakat, dan bila mungkin, konsensus dalam hal kebijakan-kebijakan dan prosedur-prosedur.
f.    Kesetaraan: semua warga masyarakat mempunyai kesempatan memperbaiki atau mempertahankan kesejahteraan mereka.
g.   Efektifitas dan efisiensi: proses-proses pemerintahan dan lembaga-lembaga membuahkan hasil sesuai kebutuhan warga masyarakat dan dengan menggunakan sumber-sumber daya yang ada seoptimal mungkin.
h.   Akuntabilitas: para pengambil keputusan di pemerintah, sektor swasta, dan organisasi masyarakat bertanggungjawab, baik kepada masyarakat maupun kepada lembaga-lembaga yang berkepentingan.
i.     Visi strategis: para pemimpin dan masyarakat memiliki perspektif yang luas dan jauh ke depan atas tata pemerintahan yang baik dan pembangunan manusia, serta kepekaan akan apa saja yang dibutuhkan untuk mewujudkan perkembangan tersebut. Selain itu mereka juga harus memiliki pemahaman atas kompleksitas kesejarahan, budaya, dan sosial yang menjadi dasar bagi perspektif tersebut.

2.   PIHAK-PIHAK YANG TERLIBAT DI DALAM TATA KELOLA PEMERINTAHAN YANG BAIK
               Prinsip-prinsip GG sebagaimana yang dipaparkan di atas memiliki dampak yang memuaskan pada tataran praktis manakala ditopang oleh sejumlah lembaga yang bersentuhan langsung dengan pelayanan publik.  Lembaga-lembaga dimaksud, antara lain:

1.   Negara:
               Negara merupakan salah satu elemen utama dalam penerapan GG. Peran negara sangat dibutuhkan untuk dapat merealisasikan prinsip-prinsip tata kelola pemerintahan yang baik. Peran negara dimaksud meliputi:
1.    menciptakan kondisi politik, ekonomi, dan sosial yang stabil;
2.    membuat peraturan yang efektif dan berkeadilan;
3.    menyediakan public service yang efektif dan accountable;
4.    menegakkan HAM;
5.    melindungi lingkungan hidup;
6.    mengurus standar kesehatan dan standar keselamatan publik

2.   Sektor Swasta:
               Pengelolaan pemerintahan yang hanya bersumber pada negara tidak akan berjalan maksimal sebagaimana yang diharapkan. Dalam kasus tertentu, pemerintah memiliki sumber daya yang terbatas untuk meng-cover  kesulitan yang dihadapinya di bidang pelayanan publik. Untuk itu, pemerintah perlu menggandeng sektor swasta yang ruang geraknya telah menjangkau dan melewati batas teritorial suatu negara (beyond the national border); yang memungkinkannya mendapatkan dana yang dibutuhkan untuk pelayanan publik dalam waktu yang tidak terlalu lama. Peran yang dapat dimainkan oleh sektor swasta, antara lain:
1.    Menjalankan industri;
2.    Menciptakan lapangan kerja;
3.    Menyediakan insentif bagi karyawan;
4.    Meningkatkan standar kehidupan masyarakat;
5.    Memelihara lingkungan hidup;
6.    Menaati peraturan;
7.    Melakukan transfer ilmu pengetahuan dan teknologi pada masyarakat;
8.    Menyediakan kredit bagi pengembangan UKM.

3.   Masyarakat Madani
               Keterlibatan masyarakat dalam pengelolaan pemerintahan sangat dibutuhkan. Harus diakui bahwa pengelolaan pemerintahan yang dipahami selama ini adalah pengelolaan yang berpusat pada birokrasi eksektutif (birokrasi sentris). Kalangan birokrat ini tentu saja menjalankan kegiatannya berdasarkan petunjuk rezim pemerintahan yang dipilih oleh rakyat. Konsekuensinya, rakyat tinggal menjalankan  saja apa yang telah diatur dan ditentukan oleh pemerintahan yang legitimasinya didapatkan dari rakyat sendiri.  Akan tetapi, paradigma baru di dalam GG memberikan tempat khusus bagi masyarakat madani. Peran masyarakat tersebut, antara lain:
1.    Manjaga agar hak-hak masyarakat terlindungi;
2.    Mempengaruhi kebijakan;
3.    Berfungsi sebagai sarana checks and balances pemerintah;
4.     Mengawasi penyalahgunaan kewenangan sosial pemerintah;
5.    Mengembangkan SDM;
6.    Berfungsi sebagai sarana berkomunikasi antar anggota masyarakat.
               Selain prinsip-prinsip GG dan pihak-pihak yang berperan penting di dalam pengelolaan pemerintahan sebagaimana disebutkan di atas, terdapat juga sejumlah hal lain yang harus diperhatikan, yaitu a) validitas penilaian kinerja pemerintahan yang ada, dan b) fokus penilaian kinerja pemerintahan, dan c) sistem penilaian kinerja pemerintahan mendatang.

a.   Validitas Penilaian Kinerja Pemerintahan
               Penilaian kinerja pemerintahan merupakan suatu persoalan pokok yang harus diperhatikan dalam GG. Suatu tata kelola pemerintahan bergerak dari keadaan semula yang kurang maksimal, menuju kepada keadaan baru yang lebih maksimal. Untuk itu diperlukan suatu langkah khusus dalam GG untuk  melakukan review  atau peninjauan kembali terhadap prinsip pengelolaan pemerintahan yang dijalankan selama ini. Kemajuan yang pernah dicapai pada masa sebelumnya patut diapresiasi, sedangkan kelemahan atau kemunduran yang terjadi hendaknya diperhatikan untuk segera diambil langkah perbaikan atasnya.
               Di Indonesia, tradisi menilai kinerja pemerintahan masih didasarkan pada paradigma birokrasi klasik dimana kinerja diukur dari kemampuan lembaga pemerintahan mendanai input, dan dari sampai seberapa jauh lembaga pemerintahan mengikuti proses serta target yang telah ditentukan, tetapi sangat minim perhatian diberikan kepada pencapaian hasil akhir atau tujuan. Tradisi ini dapat diamati dari upaya-upaya lembaga pemerintahan selama ini khususnya dalam penyediaan dana dan sarana serta fasilitas program atau proyek, kepatuhan suatu lembaga terhadap berbagai aturan dan prosedur formal, dan perluasan jangkauan kelompok sasaran atau penerima program atau proyek. Paradigma ini juga masih mewarnai penilaian kinerja individual atau aparat sebagaimana terdapat dalam DP3 (Daftar Penilaian Prestasi Pegawai), yang mengutamakan pengukuran kesetiaan, prestasi kerja, tanggung jawab, ketaatan, kejujuran, kerjasama, prakarsa, dan kepemimpinan.
               Berbagai kritikan telah dilontarkan kepada standar penilaian prestasi kerja atau standar evaluasi kinerja aparat pemerintah yang digunakan selama ini terutama menyangkut kelemahan teoritis atau paradigmatis, metodologis, dan sering bersifat politis dan subyektif. Kelemahan teoritis atau paradigmatis dapat diamati dari ketidakjelasan paradigma yang digunakan dalam standar evaluasi kinerja (construct validity). Apakah kinerja yang hendak diukur di dalam standar evaluasi tersebut didasarkan pada paradigma tertentu, misalnya “reinventing government” yang menekankan hasil akhir dan bukan proses atau input. Kelemahan metodologis dapat dilihat dari isi standard penilaian yang digunakan (content validity), yaitu apakah elemen-elemen yang dinilai benar-benar menggambarkan kinerja seorang aparat secara benar dan utuh. Kelemahan yang sama juga dilihat dari ketepatan empiris yang dihasilkan (empirical validity) yaitu apakah hasil pengukuran dengan menggunakan standar kinerja tersebut dapat menjamin kebenaran secara empiris, sehingga tidak terdapat keragu-raguan untuk menggunakan hasilnya baik untuk keperluan promosi, mutasi, maupun pemberian insentif.
               Diakui pula oleh banyak kalangan bahwa standar evaluasi kinerja yang digunakan selama ini amat bersifat politis dan “subyektif”. Banyak kasus konflik yang timbul antara bawahan dengan atasan karena atasan tidak transparan dalam menjelaskan bagaimana ia memberi penilaian. Disamping itu, penilaian yang dilakukan sulit dinilai sebagai kinerja yang “murni” seorang aparat karena selalu diasumsikan adanya dukungan suasana dan lingkungan kerja, dan tersedianya sarana dan fasilitas. Padahal, seseorang baru dapat berprestasi kalau dalam melaksanakan pekerjaannya ia tidak dihambat oleh dukungan fasilitas, peralatan, suasana kantor, delegasi kewenangan, dsb. Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa gambaran yang sebenarnya tentang kinerja lembaga dan aparat pemerintahan selama ini sulit diketahui. Implikasinya, sulit juga diberikan saran atau input untuk melakukan perbaikan kinerja, misalnya berkenaan dengan keterampilan, pengetahuan, keahlian, sistem penempatan, dukungan kepemimpinan, struktur, dan manajemen. Meskipun demikian, kinerja aparat maupun lembaga selama ini dapat diamati secara tidak langsung dari berbagai kritikan dan pernyataan cendekiawan dan masyarakat, khususnya pernyataan tentang ketidakpuasan dalam pelayanan publik, serta merosotnya tingkat kepercayaan masyarakat baik terhadap lembaga maupun aparat eksekutif, legislatif, dan yudikatif.
               Keluhan-keluhan ini telah berlangsung begitu lama dan kurang mendapatkan tanggapan dan perhatian yang serius dari pihak penguasa. Hal ini memberi kesan bahwa ada pihak-pihak tertentu yang ingin terus memanfaatkan kelemahan dari standar penilaian yang ada. Akibat fatal yang timbul adalah tindakan koreksi yang seharusnya dilakukan untuk mencapai tujuan tidak dianggap penting, bahkan lebih fatal lagi dianggap tidak berkaitan dengan perbaikan masa depan. Dengan kata lain, bila keadaan ini dibiarkan maka proses belajar tidak terjadi, yang berarti profesionalisme, moral dan etos kerja pemerintahan dan aparatnya tidak bakal berubah, dan peningkatan kinerja pemerintahan hanyalah menjadi janji yang muluk belaka.
               Uraian singkat di atas menunjukkan bahwa di masa mendatang harus ada tindakan nyata dalam memperbaiki standard penilaian kinerja pemerintahan, dengan memusatkan perhatian pada peningkatan validitas teoritis/paradigmatis dan metodologis, serta pengurangan penggunaan penilaian yang bersifat politis dan subyektif. Komitmen untuk membenahi kualitas standard penilaian kinerja ini harus segera ditunjukkan dan direalisasikan dalam bentuk penyusunan standard kinerja pemerintahan yang baru.

b.   Fokus Penilaian Kinerja Pemerintahan (Capacity Building)
               Prinsip-prinsip GG sebagaimana yang telah diuraikan di atas dipilih secara strategis berdasarkan kinerja lembaga pemerintahan pada periode sebelumnya. Dari kinerja pemerintahan sebelumnya tersebut, dipikirkanlah langkah-langkah strategis yang perlu dilakukan untuk perubahan yang lebih baik di masa yang akan datang. Langkah-langkah tersebut diterapkan dalam skala prioritas, yaitu diprioritaskan hanya pada bidang-bidang strategis yang langsung bersentuhan dengan nasib bangsa dan negara.
               “Capacity building” merupakan serangkaian strategi yang ditujukan untuk meningkatkan efisiensi, efektivitas, dan responsivitas dari kinerja pemerintahan, dengan memusatkan perhatian kepada dimensi: (1) pengembangan sumber daya manusia; (2) penguatan organisasi; dan (3) reformasi kelembagaan.[7] Dalam konteks pengembangan sumber daya manusia, perhatian diberikan kepada pengadaan atau penyediaan personel yang profesional dan teknis. Kegiatan yang dilakukan antara lain training, pemberian gaji/upah, pengaturan kondisi dan lingkungan kerja dan sistim perekrutan yang tepat. Dalam kaitannya dengan penguatan organisasi, pusat perhatian ditujukan kepada sistim manajemen untuk memperbaiki kinerja dari fungsi-fungsi dan tugas-tugas yang ada dan pengaruran struktur mikro. Aktivitas yang harus dilakukan adalah menata sistem insentif, pemanfaatan personel yang ada, kepemimpinan, komunikasi, dan struktur manajerial. Dan berkenaan dengan reformasi kelembagaan, perlu diberi perhatian terhadap perubahan sistem dan institusi-institusi yang ada, serta pengaruh struktur makro. Dalam hal ini aktivitas yang perlu dilakukan adalah melakukan perubahan “aturan main” dari sistim ekonomi dan politik yang ada, perubahan kebijakan dan aturan hukum, serta reformasi sistim kelembagaan yang dapat mendorong pasar dan berkembangnya masyarakat madani.
               Dimensi peningkatan kemampuan ini juga diungkapkan oleh beberapa pengarang lain. Menurut A. Fiszbein,[8] peningkatan kemampuan difokuskan pada: (1) kemampuan tenaga kerja (labor); (2) kemampuan teknologi yang diwujudkan dalam bentuk organisasi atau kelembagaan; dan (3) kemampuan “capital” yang diwujudkan dalam bentuk dukungan sumberdaya, sarana, dan prasarana. Sementara itu, D.Eade merumuskan peningkatan kemampuan dalam tiga dimensi, yaitu: (1) individu; (2) organisasi; dan (3) network. [9]Nampaknya pengembangan dimensi individu dan organisasi merupakan kunci utama atau titik strategis bagi perbaikan kinerja, tetapi masuknya dimensi network ini sangat penting karena melalui dimensi ini individu dan organisasi dapat belajar mengembangkan diri dan berinteraksi dengan lingkungannya.
               J.S.Edralin juga mengumpulkan berbagai pendapat yang menggambarkan pemahaman mereka tentang “capacity building”.[10] Misalnya, World Bank memfokuskan peningkatan kemampuan kepada: (1) pengembangan sumberdaya manusia, khususnya training, rekruitmen, pemanfaatan dan pemberhentian tenaga kerja profesional, manajerial dan teknis; (2) organisasi, yaitu pengaturan struktur, proses, sumber daya, dan gaya manajemen; (3) jaringan kerja interaksi organisasi, yaitu koordinasi kegiatan-kegiatan organisasi, fungsi jaringan kerja, dan interaksi formal dan informal; (4) lingkungan organisasi, yaitu aturan dan perundang-undangan yang mengatur pelayanan publik, tanggung jawab dan kekuasaan antara lembaga, kebijakan yang menghambat tugas-tugas pembangunan, dan dukungan keuangan dan anggaran; dan (5) lingkungan kegiatan yang luas, yaitu mencakup faktor politik, ekonomi, dan kondisi-kondisi yang berpengaruh terhadap kinerja.
               Sementara itu, UNDP memfokuskan pada tiga dimensi yaitu: (1) tenaga kerja (dimensi sumberdaya manusia), yaitu kualitas SDM dan cara SDM dimanfaatkan; (2) modal (dimensi phisik) yaitu menyangkut peralatan, bahan-bahan yang diperlukan, dan gedung; dan (3) teknologi yaitu organisasi dan gaya manajemen, fungsi perencanaan, pembuatan keputusan, pengendalian dan evaluasi, serta sistim informasi manajemen. Dan United Nations memusatkan perhatiannya kepada: (1) mandat atau struktur legal; (2) struktur kelembagaan; (3) pendekatan manajerial; (4) kemampuan organisasional dan teknis; (5) kemampuan fiskal lokal; dan (6) kegiatan-kegiatan program.[11]
               Semua dimensi peningkatan kemampuan di atas dikembangkan sebagai strategi untuk mewujudkan nilai-nilai GG. Pengembangan sumber daya manusia, misalnya, dapat dilihat sebagai suatu strategi untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas dan memelihara nilai-nilai moral dan etos kerja. Pengembangan kelembagaan merupakan strategi penting agar suatu lembaga pemerintahan mampu: (1) menyusun rencana strategis ditujukan agar organisasi memiliki visi yang jelas; (2) memformulasikan kebijakan dengan memperhatikan nilai efisiensi, efektivitas, transparansi, responsivitas, keadilan, partisipasi, dan keberlanjutan; (3) mendesain organisasi untuk menjamin efisiensi dan efektivitas, tingkat desentralisasi dan otonomi yang lebih tepat, dan (4) melaksanakan tugas-tugas manajerial agar lebih efisien, efektif, fleksibel, adaptif, dan lebih berkembang. Dan pengembangan jaringan kerja, misalnya merupakan strategi untuk meningkatkan kemampuan bekerja sama atau kolaborasi dengan pihak-pihak luar dengan prinsip saling menguntungkan.
               Bila dicermati berbagai pendapat diatas maka “capacity building” sebenarnya berkenaan dengan strategi menata input dan proses dalam mencapai output dan outcome, dan menata feedback untuk melakukan perbaikan-perbaikan pada tahap berikutnya. Strategi menata input berkenaan dengan kemampuan lembaga menyediakan berbagai jenis dan jumlah serta kualitas sumber daya manusia dan non-manusia agar siap untuk digunakan bila diperlukan. Strategi menata proses berkaitan dengan kemampuan lembaga merancang, memproses dan mengembangkan kebijakan, organisasi dan manajemen. Dan strategi menata feedback berkenaan dengan kemampuan melakukan perbaikan secara berkesinambungan dengan mempelajari hasil yang dicapai, kelemahan-kelemahan input dan proses, dan mencoba melakukan tindakan perbaikan secara nyata setelah melakukan berbagai penyesuaian dengan lingkungan. Strategi-strategi tersebut harus dinilai secara cermat tingkat kelayakannya pada bidang-bidang strategis yang menjadi prioritas utama kegiatan pemerintahan pada saat sekarang.

c.    Sistem Penilaian Kinerja Pemerintahan Mendatang
          Kinerja lembaga pemerintahan menggambarkan sampai seberapa jauh lembaga pemerintahan telah mencapai tujuan atau visi yang telah ditetapkan, dengan memanfaatkan strategi yang telah dipilih lembaga tersebut. Dalam melakukan penilaian kinerja tersebut, dibutuhkan dasar teori, sasaran dan parameter penilaian, metode dan konteks penilaian yang jelas. Hal ini penting karena dapat diketahui dengan mudah mengapa orang melakukan penilaian, apa saja yang dinilai, bagaimana melakukan penilaian dan dalam kondisi apa mereka melakukan penilaian tersebut.
               Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, dasar teoritis dari penilaian kinerja pada saat sekarang adalah “reinventing government” yang menitik beratkan penilaian kinerja pada hasil. Hal ini bukan berarti penilaian terhadap cara yang digunakan tidak penting. Di sini bobot penilaian dari apa yang dijanjikan kepada masyarakat harus lebih tinggi dari pada bobot dari apa yang dilakukan pemerintah untuk memenuhi janji tersebut. Indikator utama yang digunakan untuk menilai kinerja pemerintahan pada saat ini adalah “good governance” dan “capacity building”. Good governance sebagaimana telah diuraikan sebelumnya prinsip-prinsip yang memuat sejumlah nilai pokok yang dijanjikan kepada masyarakat, sedangkan “capacity building” memuat nilai-nilai tentang kelayakan dari strategi yang ditempuh pemerintah dalam memenuhi janji tersebut.
               Efektif tidaknya suatu penilaian tergantung dari konteks ketika penilaian dilakukan. Pengalaman menunjukkan bahwa tingkat pencapaian hasil juga sangat ditentukan oleh konteks lingkungan yang meliputi dukungan internal organisasi (input) dan eksternal organisasi. Dari pengalaman sehari-hari dapat dilihat bahwa lembaga atau aparat pemerintahan tidak dapat menjalankan tugas pokoknya karena ketiadaan dana, sarana dan fasilitas (input) sebagai input penting yang seharusnya sudah tersedia ketika ia butuhkan. Bila hal ini terjadi maka penilaian terhadap kinerja menjadi tidak valid. Begitu pula, lembaga atau aparat pemerintahan tidak dapat menjalankan tugas pokoknya karena adanya ancaman atau hambatan, atau sebaliknya kurang adanya dukungan dari masyarakat sekitarnya. Dalam hal yang demikian, menilai kinerja menjadi tidak relevan sama sekali. Karena itu, agar penilaian dapat diterima maka sebelum menilai kinerja (individu, kelompok, institusi, dan program), perlu terlebih dahulu melakukan penilaian terhadap dukungan input dan lingkungan.
               Salah satu konteks lingkungan yang juga perlu dinilai adalah kemampuan penilai dan hubungan khusus antara pihak atau lembaga penilai dengan yang dinilai. Termasuk dalam kemampuan penilai adalah tingkat pendidikan, pengetahuan, pengalaman, dan penguasaan terhadap materi yang dinilai. Ia mengetahui secara tepat apa yang hendak ia nilai, dan cara ia memberi penilaian. Di masa lampau, ketepatan penilaian seringkali tidak diperhatikan sebab penilai atau pemimpin tidak mengetahui secara benar apa materi yang dinilai dan bagaimana menilainya. Karena ketidakmampuan tersebut maka muncul penilaian yang sangat afiliatif. Dalam kondisi semacam ini hasil penilaian tidak dapat digunakan.
               Secara teoritis dalam proses penilaian, si penilai harus memiliki kemampuan menilai dan bersifat independen (obyektif). Karena itu disarankan agar penilai sebaiknya berasal dari luar institusi. Penilai dari luar memang lebih independen tetapi seringkali kurang menguasai suasana di dalam institusi, dan sebaliknya penilai dari dalam institusi memang lebih mengetahui kondisi di dalam tetapi seringkali dikritik karena kurang obyektif. Ia memiliki hubungan pribadi yang sangat kuat dengan pihak-pihak tertentu di dalam lembaga sehingga mengkontaminasi penilaian kinerja. Karena itu, disarankan agar dalam penilaian kinerja digunakan sistim “multi penilai”, yaitu pihak yang berasal dari luar institusi tetapi dapat menilai karena mengalami langsung seperti para pelanggan dan masyarakat yang dilayani, sedangkan dari dalam institusi yang mengalami langsung yaitu pihak yang dinilai dan pihak yang mengamati kinerja secara langsung seperti pimpinan lembaga atau unit kerja. Di samping itu, secara teoritis juga diharapkan agar kriteria yang digunakan dalam penilaian tersebut juga diketahui dan disetujui oleh pihak yang dinilai.
               Disamping prinsip ini penting dalam rangka transparansi, juga agar pihak yang dinilai dapat mengajukan keberatan tentang kesulitan-kesulitan yang dihadapinya sehingga tidak bisa berkinerja baik, dan dengan demikian bias-bias penilaian dapat dihindari. Prinsip ini juga harus diterapkan pada penilaian kinerja pemerintahan, termasuk kinerja aparatnya.
               Pada bagian pembahasan berikut ini penulis mengaplikasikan prinsip-prinsip GG pada Badan Layanan Umum (BLU) Transjakarta. Prinsip-prisip GG yang telah dipaparkan pada bagian terdahulu di atas merupakan “kaca mata” dan untuk melihat kinerja pemerintah Pemprov DKI Jakarta dan beberapa perusahaan swasta yang “digandeng” pemerintah untuk meningkatkan pelayanan pada bisnis transportasi bersangkutan.


BAB III
PENERAPAN TATA KELOLA PEMERINTAHAN YANG BAIK (GOOD GOVERNANCE)
PADA  BADAN LAYANAN UMUM (BLU) TRANSJAKARTA

1.   GAMBARAN UMUM BUSWAY TRANSJAKARTA
               Pada bagian ini penulis memaparkan garis besar busway Transjakarta yang mencakup sisi historis kelahirannya, pengelolaan, dan infrastruktur yang tersedia. Berikut ini adalah kajian penulis terhadap sejumlah gagasan sebagaimana disebutkan di atas.

1.1.       Sejarah Singkat Busway Transjakarta
               Transjakarta atau umum disebut busway adalah sebuah sistem transportasi bus cepat atau Bus Rapid Transit (BRT) di Jakarta, Indonesia. Sistem ini dimodelkan berdasarkan sistem TransMilenio yang sukses di Bogota, Kolombia. Perencanaan busway telah dimulai sejak tahun 1997 oleh konsultan dari Inggris. Pada waktu itu direncanakan bus berjalan berlawanan dengan arus lalu-lintas (contra flow) supaya jalur tidak diserobot kendaraan lain, namun dibatalkan dengan pertimbangan keselamatan lalu-lintas. Meskipun busway di Jakarta meniru negara lain (Kolombia, Jepang, Australia), namun Jakarta memiliki jalur yang terpanjang dan terbanyak. Sehingga kalau dulu orang selalu melihat ke Bogota, sekarang Jakarta sebagai contoh yang perlu dipelajari masalah dan cara penanggulangannya. [12]
               Bus Transjakarta memulai operasinya pada 15 Januari 2004 dengan tujuan memberikan jasa angkutan yang lebih cepat, nyaman, namun terjangkau bagi warga Jakarta. Untuk mencapai hal tersebut, bus Transjakarta diberikan lajur khusus di jalan-jalan yang menjadi bagian dari rutenya dan lajur tersebut tidak boleh dilewati kendaraan lainnya (termasuk bus umum selain Transjakarta). Agar terjangkau oleh masyarakat, maka harga tiket disubsidi oleh pemerintah daerah.
               Selama dua minggu pertama, dari 15 Januari 2004 hingga 30 Januari 2004, bus Transjakarta memberikan pelayanan secara gratis. Kesempatan itu digunakan untuk sosialisasi, di mana warga Jakarta untuk pertama kalinya mengenal sistem transportasi yang baru. Lalu, mulai 1 Februari 2004, bus Transjakarta mulai beroperasi secara komersil. Sejak Hari Kartini pada 21 April 2005, Transjakarta memiliki supir perempuan sebagai wujud emansipasi wanita. Pengelola menargetkan bahwa nanti jumlah pengemudi wanita mencapai 30% dari keseluruhan jumlah pengemudi. Sampai dengan bulan Mei 2006, sudah ada lebih dari 50 orang pengemudi wanita yang direkrut.

1.2.      Pengelolaan Busway Transjakarta
               Pada saat ini pengelolaan pelayanan jasa bus Transjakarta ditangani oleh Badan Layanan Umum (BLU) Transjakarta yang berada di bawah naungan Dinas Perhubungan Provinsi DKI Jakarta. Badan Layanan Umum Transjakarta busway semula merupakan lembaga non-struktural dari Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, yaitu Badan Pengelola (BP) Transjakarta busway, sebagaimana diatur dalam Surat Keputusan Gubernur DKI Jakarta Nomor 110 Tahun 2003. Sesuai dengan Peraturan Gubernur Provinsi DKI Jakarta Nomor 48 Tahun 2006, BP. Transjakarta busway diubah menjadi lembaga struktural dan menjadi Unit Pelaksana Teknis (UPT) Dinas Perhubungan yang mendapat kewenangan pengelolaan keuangan berbasis PPK-BLUD, yang mempunyai kegiatan utama memberikan pelayanan kepada masyarakat pengguna busway.[13]
               Sebagai pedoman kerja, BLU Transjakarta memiliki visi dan misi yang khas. Visi dan misi tersebut antara lain,
A.   Visi    : busway sebagai angkutan umum yang mampu memberikan pelayanan publik yang cepat, aman, nyaman, manusiawi, efisien, berbudaya, dan bertaraf internasional.
B.     Misi    :
a.    Melaksanakan reformasi sistem angkutan umum - busway dan budaya penggunaan angkutan umum.
b.    Menyediakan pelayanan yang lebih dapat diandalkan, berkualitas tinggi, berkeadilan, dan berkesinambungan di DKI Jakarta.
c.    Memberikan solusi jangka menengah dan jangka panjang terhadap permasalahan di sektor angkutan umum.
d.    Menerapkan mekanisme pendekatan dan sosialisasi terhadap stakeholder dan sistem transportasi terintegrasi.
e.    Mempercepat implementasi sistem jaringan busway di Jakarta sesuai aspek kepraktisan, kemampuan masyarakat untuk menerima sistem tersebut, dan kemudahan pelaksanaan.
f.     Mengembangkan struktur institusi yang berkesinambungan.
g.    Mengembangkan lembaga pelayanan masyarakat dengan pengelolaan keuangan yang berlandaskan good corporate governance, akuntabilitas dan transparansi.
               Dalam menjalankan misi pelayanannya di ranah publik, BLU Transjakarta dibantu oleh sejumlah operator transportasi. Operator-operator tersebut, antara lain:
a.    PT. Jakarta Exspress Trans,
b.    PT. Trans Batavi,
c.    PT. Jakarta Trans Metropolitan,
d.    PT. Jakarta Mega Trans,
e.     PT. Prima Jasa Perdana Raya Utama;
f.     PT. Eka Sari Lorena Transport.

1.3.      Infrastruktur Yang Tersedia
                   Busway Transjakarta memiliki 141 halte di sepanjang delapan koridor busway dengan ketinggian platform 110 centimeter dari tinggi permukaan jalan agar tersedia akses yang rata dengan bus. Setiap halte busway dilengkapi dengan akses untuk pejalan kaki yang terhubung dengan jembatan penyeberangan orang, yang dirancang khusus untuk mempermudah pengguna layanan busway. Sarana dan prasarana di halte ada loket pembelian tiket, dan pintu barrier sebagai jalan masuk dan jalan keluar bagi pengguna jasa layanan. Selain itu disediakan fasilitas tempat sampah, informasi rute, dan pintu otomatis untuk memberikan kenyamanan dan keamanan saat menunggu di halte.
               Saat ini jumlah armada bus 426 unit dioperasikan berdasarkan rencana operasi yang terjadwal di 8 koridor. Bus yang diberangkatkan pada titik awal diatur sesuai dengan waktu yang telah ditentukan baik pada jam sibuk maupun jam tidak sibuk. Selain rute regulator Koridor 1 dan 8, untuk meningkatkan pelayanan dan mengurangi kepadatan penumpang di halte transit, maka BLU Transjakarta Busway menambah rute-rute langsung yang berdasarkan sistem jaringan dan dapat diakses penumpang sesuai dengan tujuan perjalanannya. Pada saat ini terdapat sekitar 3500 jumlah tenaga kerja yang terlibat dalam operasional busway yang terdiri dari pramudi, petugas pengamanan, petugas tiket dan petugas kebersihan.
2.   Sejumlah Persoalan Yang Dihadapi Busway Transjakarta
               Berikut ini penulis memaparkan sejumlah persoalan yang pada saat ini sedang dihadapi oleh busway Transjakarta. Persoalan yang dimaksudkan pada bagian ini adalah kesalahan sistem pengelolaan busway Transjakarta secara keseluruhan. Berikut ini penulis sejumlah pokok permasalahan yang dihadapi oleh busway Transjakarta. Sebagai pengantarnya, penulis memaparkan gambaran besar mengenai perbedaan kualitas pelayanan jasa transportasi busway yang ada di Jakarta dengan yang ada di Bogota, Kolombia.
a.   Jakarta Versus Bogota
Pengadaan fasilitas busway di Jakarta tidak terlepas dari peran Bogota yang telah memberikan inspirasi tentang cara penanggulangan kemacetan. Bogota adalah kota pertama yang mencetuskan pengadaan jalur khusus bus dalam rangka mengatasi kemacetan. Kualitas pelayanan busway di Bogota dapat dikatakan jauh lebih baik apabila dibandingkan dengan kualitas pelayanan busway di Jakarta.
1)  Kualitas Pelayanan Busway di Bogota, Kolombia
               Sama seperti di Jakarta, sudah cukup lama Kota Bogota (Ibukota negara Kolombia) berhadapan dengan persoalan kemacetan. Melalui suatu planning yang matang, akhirnya dipikirkanlah busway sebagai solusi untuk menjawab permasalahan itu. Pengadaan busway di Bogota dilakukan melalui pembangunan jalan baru yang dikhususkan untuk bus-bus TransMilenio (bus khusus untuk busway); bukan “mempersempit” jalan yang sudah ada.
               Fasilitas halte TransMilenio tergolong nyaman. Ruangan halte yang ber-AC (Air Conditioning) menjadikan halte sebagai tempat yang sangat nyaman bagi para calon penumpang bus. Halte tampak seperti ruang tunggu bandara, nyaman dan menyenangkan. Papan petunjuk tujuan terlihat jelas dan sangat informatif. Calon penumpang tidak perlu merasa khawatir akan tersesat. [14] Calon penumpang tidak perlu merasa bosan menunggu karena jarak kedatangan antarbus (headway) sangat singkat, antara 3-5 menit. Kenyamanan yang sama juga dapat dirasakan di dalam bus. Manakala bus mengalami gangguan di jalan, penumpang tidak perlu merasa risau sebab dalam waktu singkat bus sudah langsung diperbaiki oleh mekanik dari pos pelayanan busway terdekat. Bus ber-AC, adanya pembatasan maksimal jumlah penumpang per bus, dan petugas yang ramah menjadikan busway sebagai transportasi favorit masyarakat Bogota. [15]
               Pelayanan jasa bus TransMilenio dioperasikan oleh pihak swasta berdasarkan perjanjian konsesi dengan pihak pemerintah kota. Pembayaran kepada pihak operator swasta oleh pemerintah kota diperhitungkan berdasarkan: a) panjangnya rute yang ditempuh bus TransMilenio per kilometer, dan b) jumlah penumpang yang diangkut. Pemerintah kota bertanggung jawab terhadap penyediaan dan pemeliharaan jalur busway, stasiun, terminal, dan infrastruktur pelengkap lainnya, seperti pengerjaan jalan (road works), dan kontrol pusat Transmilenio. Secara umum, sudah terdapat pembagian tugas dan tanggung jawab yang jelas antara pihak operator dan pemerintah, sebagaimana yang tertuang di dalam perjanjian kerja sama antara kedua belah pihak tersebut.[16]

2)  Kualitas Pelayanan Busway di Jakarta
               Sejak pengoperasiannya pada tahun 2005, Transjakarta tidak luput dari beragam masalah. Kualitas pelayanan Transjakarta cenderung merosot dari waktu ke waktu. Sejumlah hal yang dikeluhkan antara lain, keterlambatan jarak kedatangan antarbus (headway), jumlah penumpang yang melebihi batas maksimal daya tampung sebuah bus (overload), halte yang kurang nyaman, dan meningkatnya resiko keselamatan penumpang Transjakarta dan orang lain yang melintas di jalur busway.  Acapkali, sopir Transjakarta harus menanggung secara pribadi, setiap kecelakaan lalu lintas bus yang terjadi.
               Salah satu faktor yang turut mengancam operasional busway adalah kenaikan harga bahan bakar gas. Sebagaimana yang diketahui bahwa sejak 1 April 2010, PT Perusahaan Gas Negara (PGN), sebagai penyuplai gas kepada sejumlah Sentra Pengisian Bahan Bakar Gas (SPBG) di Jakarta, menaikkan harga gas sebesar 15%. PT Petros Gas, yang memasok gas dari PT PGN dan sekaligus menyuplai gas ke sejumlah SPBG terpukul dengan kenaikan harga tersebut. Dengan demikian akan terjadi antrean panjang pada SPBG yang memasok gas dari Pertamina, yang nota bene tidak menaikkan harga gasnya. [17]
               Antara pemerintah propinsi DKI Jakarta dan sejumlah operator, terjadi perselisihan mengenai tarif busway per kilometer yang harus dibayarkan pemerintah kepada operator. Kasus yang bermula dari tuntutan kenaikan tarif Transjakarta per kilometer oleh sejumlah operator busway, dari Rp9.500 (harga tender) menjadi Rp12.885. Operator mengeluhkan kurangnya keuntungan yang didapat dari hasil kerjasamanya dengan pemerintah Propinsi DKI Jakarta. Perselisihan antara operator dan pemerintah propinsi akhirnya dibawa ke Badan Arbitrase Nasional (BANI). BANI akhirnya memenangkan pihak operator Tranjakarta dengan menetapkan harga per kilometer yang harus dibayar pemerintah propinsi sebesar Rp12.200, mendekati harga yang diminta operator (Rp12.885). Kendatipun demikian, Pemerintah Propinsi DKI tetap tidak menaikan tarif busway yang dipungut dari penumpang sebesar Rp3.500. [18]
               Salah satu penyebab lain dari merosotnya kualitas pelayanan busway adalah ketiadaan kesinambungan kinerja antara pemerintah propinsi terdahulu dengan pemerintah propinsi sekarang. Pada masa kepemimpinan Sutiyoso, masalah kemacetan merupakan masalah utama yang selekasnya harus ditemukan solusi atasnya. Sebagai hasilnya, diadakanlah proyek busway. Pemerintah Propinsi DKI di bawah kepemimpinan Fauzi Bowo saat ini telah mengalihkan persoalan kemacetan arus lalu lintas kendaraan darat kepada persoalan banjir. Perhatian kepada busway terbagi karena pemerintah propinsi saat in lebih memberikan perhatian pada rampungnya proyek Banjir Kanal Timur (BKT) yang diproyeksikan akan rampung pada akhir 2010 nanti.

b.   Kinerja BLU Transjakarta Pelu Diperbaiki
               Buruknya kinerja busway Transjakarta sebagaimana yang telah dipaparkan di atas menuntut adanya perbaikan kinerja lembaga yang mengurusnya. Lembaga yang paling bertanggung jawab terhadap hal ini adalah Badan Layanan Umum (BLU) Transjakarta yang mewakili kepentingan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta sebagai stakeholder. Sampai saat ini BLU Transjakarta belum menerapkan Standar Pelayanan Minimum (SPM) bagi pengoperasian busway Transjakarta. Atas ketiadaan SPM ini, sejumlah pihak mempertanyakan komitmen Gubernur Fauzi Bowo untuk memperbaiki kinerja Transjakarta. Sebenarnya SPM busway Transjakarta telah dipersiapkan, tetapi belum dapat diberlakukan karena masih dinilai belum lengkap oleh Gubernur Fauzi Bowo. Gubernur menginginkan suatu perumusan SPM yang lebih mendetail dan dapat diberlakukan pada semua koridor busway Transjakarta. Sebagian kalangan mengkritisi tindakan “menunggu” yang dilakukan oleh Gubernur Fauzi Bowo. Mereka berpendapat bahwa tidak ada alasan bagi Gubernur DKI Jakarta untuk menunda pemberlakuan SPM yang draftnya telah siap untuk disahkan. Kondisi setiap koridor busway memang berbeda satu dengan yang lainnya. Tetapi SPM harus berlaku untuk semua koridor agar pemakai jasa busway Transjakarta berpindah-pindah dari satu koridor ke koridor yang lain menurut selera mereka—tentu saja selera ini tergantung pada kualitas pelayanan busway Transjakarta pada suatu koridor. [19]
               Sampai saat ini BLU Transjakarta masih berada di bawah kontrol Dinas Perhubungan Provinsi DKI Jakarta. Isu mengenai perubahan status BLU Transjakarta kian hangat pada saat ini. Banyak pihak mendukung rencana melepaskan BLU Transjakarta dari Dinas Perhubungan Provinsi DKI Jakarta agar dapat dengan bebas menggunakan anggaran untuk peningkatan kualitas pelayanan busway Transjakarta. Salah satu dukungan perubahan status ini datang dari DPRD Provinsi DKI Jakarta. Salah seorang anggota Komisi E DPRD Provinsi DKI Jakarta, Aliman Aat, berujar bahwa sudah sejak lama DPRD menginginkan perubahan ini agar tidak terlalu membebani anggaran daerah (APBD). Kendatipun demikian, subsidi tetap harus diberikan kepada BLU Transjakarta sebagai wujud perhatian pemerintah Provinsi terhadap pelayanan publik.[20]
               Rencana perubahan status BLU Transjakarta yang lepas dari Dinas Perhubungan Provinsi DKI Jakarta dapat menghasilkan dua kemungkinan, yaitu menjadi semakin baik dan menjadi semakin buruk. Kemungkinan menjadi lebih baik apabila pejabat BLU diisi orang-orang profesional di bidang transportasi dan mengerti manajemen. Namun, bila diisi dengan orang-orang yang memiliki kepentingan pribadi masing-masing, BLU akan semakin buruk. Dengan kondisi belum mandirinya BLU, BLU tidak terkesan profesional. Hal ini disebabkan oleh karena adanya keharusan bahwa pejabatnya haruslah pegawai negeri eselon tiga di lingkungan Dinas Perhubungan. Dengan cara ini, tertutuplah kemungkinan bagi tenaga profesional di luar BLU untuk mengelola busway transjakarta dengan baik. Selain itu, dengan tidak mandirinya BLU, berarti BLU tidak memiliki keleluasaan untuk membuat program pemasukan uang di luar tiket atau non fare box revenue. Tanpa pemasukan di luar tiket, sulit menghapus subsidi.
               Jika BLU telah berubah status menjadi BLU penuh (berbentuk PT/BUMD), maka semua aset yang ada di dalam operasionalnya harus dilimpahkan kepadanya.  Aset yang dimaksud itu di antaranya lampu jalan (Dinas Perindustrian dan Energi), jalan raya (Dinas Pekerjaan Umum), dan reklame iklan di bus dan lajur jalan (Dinas Pendapatan Daerah). Dengan cara itu, BLU akan benar-benar mengelolanya dengan profesional.

3.   LEMAHNYA PENERAPAN GOOD GOVERNANCE PADA BLU TRANSJAKARTA
               Sebagaimana yang telah dipaparkan pada bagian terdahulu, prinsip-prinsip yang mendasari tata kelola pemerintahan yang baik adalah, partisipasi masyarakat, tegaknya supremasi hukum, transportasi, peduli pada stakeholder, berorientasi pada consensus, kesetaraan, efektifitas dan efisiensi, akuntabilitas, dan visi strategis. Berpatok pada prinsip-prinsip ini, dan juga uraian tentang kinerja BLU Transjakarta di atas, dapat dikatakan bahwa BLU Transjakarta belum berperan secara maksimal untuk meningkatkan kualitas pelayanan jasanya di bidang Bus Rapid Transit (BRT), busway Transjakarta. Berikut ini adalah inventaris sejumlah masalah pokok yang harus dibenahi oleh para pengelola busway Transjakarta, khususnya BLU sebagai wakil stakeholder (=Pemerintah Provinsi DKI Jakarta).
a.    Terjadi tarik menarik kepentingan antara Pemprov DKI Jakarta dengan sejumlah operator.
b.    Belum adanya pemberlakuan Standar Pelayanan Minimum oleh Pemprov DKI Jakarta.
c.    Infrastruktur busway Transjakarta yang kurang memadai.
d.    Pengurus BLU Transjakarta belum profesional. Pengurus yang ada saat ini adalah kalangan birokrat yang tidak mahir me-manage suatu instansi.
e.    Belum ada petugas yang benar-benar dikhususkan untuk menjaga koridor busway dari upaya penyerobotan jalur oleh kendaraan pribadi dan kendaraan umum lainnya.
f.     Peran masyarakat madani untuk menilai kinerja pemerintahan yang bersentuhan langsung dengan pelayanan publik belum maksimal.
               Permasalahan-permasalahan inilah yang sedang dihadapi oleh BLU Transjakarta yang berpengaruh pada buruknya kualitas pelayanan busway Transjakarta. Untuk itu, sudah seharusnya masalah pokok tersebut diatasi dengan tetap berpegang teguh pada prinsip-prinsip pengelolaan pemerintahan yang baik.


 BAB IV
P E N U T U P

1.   KESIMPULAN
               Kemacetan merupakan salah satu masalah utama yang dihadapi oleh Kota Jakarta. Salah satu alternatif penyelesaiannya adalah dengan mengadakan busway, jalur khusus yang (diharapkan) hanya dilalui oleh bus Transjakarta. Busway mulai aktif berlaku sejak tahun 2004. Tiga tahun pertama adalah masa gemilangnya busway. Setelah itu, kualitas pelayanan busway mengalami kemerosotan.
               Dari sudut pandang tata kelola pemerintahan yang baik / GG, pelayanan jasa busway Transjakarta yang dikelola oleh BLU Transjakarta belum berjalan dengan baik. Terdapat banyak faktor yang menyebabkan kemunduran kualitas pelayanan busway ini. Apabila dilihat dari sudut pandang tata kelola pemerintahan yang baik (good governance), maka masalah utamanya terletak pada lemahnya koordinasi dan kerjasama antara pemerintah dan swasta sebagai pihak yang paling bertanggung jawab terhadap kualitas pelayanan busway di Jakarta. Masyarakat acapkali tidak dilibatkan dalam setiap pengambilan keputusan yang dilakukan oleh pemerintah dan operator. Bahkan, operator Transjakarta mengeluhkan ketidakterlibatannya dalam pengambilan kebijakan publik pemerintah di bidang transportasi busway.  
               Selain beberapa masalah yang disebutkan di atas, salah satu permasalahan pokok adalah mengenai status BLU Transjakarta. Ada opini yang menyatakan bahwa keberadaan BLU di bawah Dinas Perhubungan DKI Jakarta (bagian dari pemerintahan DKI) akan menghambat upaya perbaikan pelayanan busway Transjakarta. Sebagaimana diketahui, urusan birokrasi pemerintahan, khususnya di Jakarta, tidak selalu mudah seperti yang dibayangkan. Terlalu banyak persyaratan birokratis yang harus dipenuhi untuk mendapatkan pelayanan dari suatu institusi pemerintahan. Jelaslah bahwa upaya perbaikan pelayanan busway Transjakarta akan selalu berbenturan dengan sejumlah urusan birokrasi yang panjang dan berbelit-belit. Muara dari semua ketidakberesan ini adalah buruknya pelayanan busway yang pada gilirannya amat merugikan masyarakat penggunanya.

2.   Saran
               Setelah melihat sejumlah hal yang menjadi faktor utama penyebab menurunnya kualitas pelayanan busway, berikut penulis memberikan beberapa saran konkret yang kiranya dapat dijadikan  masukan bagi pihak terkait untuk meningkatkan kualitas pelayanan busway di Jakarta.
a.    Pada masing-masing halte busway kiranya disiapkan kotak saran yang memberikan peluang bagi masyarakat untuk menilai kualitas pelayanan busway. Jika dimungkinkan, tempat pemberian saran itu merupakan sarana elektronik yang terhubung langsung dengan pusat kontrol busway Transjakarta, sehingga keluhan yang disampaikan oleh masyarakat dapat disampaikan dengan segera ke pusat dan ditanggapi secara bersegera pula.
b.    Isu perubahan status BLU Transjakarta menjadi BLU penuh (berbentuk PT) sebagaimana yang sedang berkembang pada saat ini harus segera direspons oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Perubahan ini tidak akan terwujud jika tidak ada “niat baik” dari Pemprov untuk meningkatkan kualitas pelayanan busway Transjakarta dengan “melepaskan” pengurusannya kepada badan hukum tertentu.
c.    Gubernur DKI Jakarta harus segera memberlakukan Standar Pelayanan Minimum (SPM) yang draftnya telah selesai dikerjakan. Kalaupun ada hal yang harus dilengkapi dari draft SPM yang ada, maka hal itu harus segera dilengkapi.










Daftar Pustaka

a.   Sumber Buku:
Eade D. Capacity Building: An approach to people-centered development, (Oxford, UK: Oxfam, GB, 1998).
Grindle, M.S. (Editor). Getting Good Government: Capacity Building in the Public Sectors of Developing Countries, (Boston, MA: Harvard Institute for International Development, 1997).
b.   Sumber Lain:
Saragih, Selamat. Busway Semakin Ketinggalan, dimuat di dalam Media Indonesia, (Jumat, 9 April 2010).
Hardjasoemantri, Koesnadi. Good Governance dalam Pembangunan Berkelanjutan di Indonesia, diakses dari http://www.lfip.org/, pada tanggal 27 Juli 2010.
Yeremias T. Keban, “Good Governance dan Capacity Building sebagai Indikator Utama dan Fokus Penilaian Kinerja Pemerintahan, diakses dalam bentuk pdf dari http://pdfqueen.com/, dengan entri pencarian yaitu “Tata Kelola Pemerintahan (Good Governance)”, pada tanggal
Fiszbein, A. The emergence of local capacity: Lesson from Columbia, World Development, ( Vol. 25(7), 1997).
Edralin, J.S. The new local governance and capacity building: A strategic Approach,  Regional Development Studies, (Vol. 3, 1997).
Transjakarta, diakses dari http://id.wikipedia.org/wiki/Transjakarta, pada tanggal 20 Juli 2010.
TransMilenio Busway-Based Mass Transit, Bogota, Colombia, dikutip dari http://www.bogota-dc.com/trans/transmil.htm, diakses pada tanggal 21 Mei 2010.
Operasional Busway Terancam, dikutip dari Media Indonesia, Jumat, 9 April 2010.
Subaidah, Neneng. Tarif Busway Tak Dinaikkan, dikutip dari Seputar Indonesia, Jumat, 4 Desember 2009.
Iwan, Anthonius (editor). Standar Pelayanan Transjakarta Dipertanyakan, diakses dari http://www.tribunnews.com/2010/05/05/, pada tanggal 20 Juli 2010.
Sumaryanto. DPRD Dukung Status BLU Transjakarta, diakses dari http://bataviase.co.id/node/201738, pada tanggal 20 Juli 2010.


[1] Selamat Saragih, Busway Semakin Ketinggalan, dimuat di dalam Media Indonesia, (Jumat, 9 April 2010).
[2] Ibid.
[3] Prinsip-prinsip tata kelola pemerintahan (Good Governance), antara lain: partisipasi masyarakat, tegaknya supremasi hukum, transparansi, peduli dan stakeholder, berorientasi pada konsensus, kesetaraan, efektivitas dan efisiensi, akuntabilitas, dan visi strategis. Koesnadi Hardjasoemantri, Good Governance dalam Pembangunan Berkelanjutan di Indonesia, diakses dari http://www.lfip.org/, pada tanggal 27 Juli 2010, hlm. 2-3.
[4] Caiden, G. E. 1991. Administrative Reform Comes of Age, (New York, N.Y: de Gruyter, 1991), dalam Yeremias T. Keban, “Good Governance dan Capacity Building sebagai Indikator Utama dan Fokus Penilaian Kinerja Pemerintahan, diakses dalam bentuk pdf dari http://pdfqueen.com/, dengan entri pencarian yaitu “Tata Kelola Pemerintahan (Good Governance)”, pada tanggal 20 Juli 2010, hlm. 1.
[5] Ide-ide gemilang tersebut antara lain misalnya mengadopsi karya Ted Gaebler dan David Osborne (1992) tentang “reinventing government”, Michael Barzelay (1992) tentang “post-bureaucratic paradigm”, dan Steven Cohen dan Ronald Brand (1993) tentang penerapan “Total Quality Management” dalam tubuh pemerintahan. Ide-ide monumental tersebut kini mulai mewarnai wawasan dan sikap kaum cendekiawan termasuk birokrat yang menginginkan perubahan menuju Indonesia Baru. Ibid., hlm.1-2.
[6] Koesnadi Hardjasoemantri, Op., Cit., hlm. 2-4.
[7] M.S. Grindle (Editor), Getting Good Government: Capacity Building in the Public Sectors of Developing Countries, (Boston, MA: Harvard Institute for International Development, 1997),  hlm. 1-28. 
[8] A. Fiszbein. The emergence of local capacity: Lesson from Columbia, World Development, ( Vol. 25(7), 1997) : hlm. 1029 – 1043.
[9] D. Eade. Capacity Building: An approach to people-centered development, (Oxford, UK: Oxfam, GB, 1998).
[10] J.S. Edralin, The new local governance and capacity building: A strategic Approach,  Regional Development Studies, (Vol. 3, 1997): hlm. 148-149. 
[11] Ibid.
[12] Transjakarta, diakses dari http://id.wikipedia.org/wiki/Transjakarta, pada tanggal 20 Juli 2010.
[13] Data ini diakses dari http://www.transjakarta.co.id/ pada tanggal 20 Juli 2010.
[14] Ibid.
[15] Transjakarta, Dikutip dari http://id.wikipedia.org/wiki/Transjakarta, diakses pada tanggal 21 Mei 2010.
[16]TransMilenio Busway-Based Mass Transit, Bogota, Colombia, dikutip dari http://www.bogota-dc.com/trans/transmil.htm, diakses pada tanggal 21 Mei 2010.
[17] Operasional Busway Terancam, dikutip dari Media Indonesia, Jumat, 9 April 2010.
[18] Neneng Subaidah, Tarif Busway Tak Dinaikkan, dikutip dari Seputar Indonesia, Jumat, 4 Desember 2009
[19]  Anthonius Iwan (editor), Standar Pelayanan Transjakarta Dipertanyakan, diakses dari http://www.tribunnews.com/2010/05/05/, pada tanggal 20 Juli 2010.
[20] Sumaryanto, DPRD Dukung Status BLU Transjakarta, diakses dari http://bataviase.co.id/node/201738, pada tanggal 20 Juli 2010.

No comments:

Post a Comment