Sunday, March 27, 2011

Negara dan Gereja Katolik soal Perceraian


Anggota Gereja Katolik di Indonesia, pada saat yang sama, juga merupakan Warga Negara Indonesia (WNI). Sebagai warga negara, anggota Gereja terkena kewajiban untuk mematuhi undang-undang dan kebijakan hukum yang diberlakukan negara. Dalam hal perkawinan, baik Gereja maupun negara memiliki hukumnya sendiri. Di antara hukum Gereja dan hukum negara yang berbicara tentang perkawinan, terdapat kesamaan dan perbedaan. Dalam beberapa hal, kedua hukum ini saling melengkapi, misalnya mengenai hak asuh anak dan harta gono gini, Kitab Hukum Kanonik (KHK) mengacu kepada hukum perkawinan sipil (UU Perkawinan No. 1 Tahun 1974).  Acapkali perbedaan yang sulit diperdamaikan di antara hukum perkawinan sipil dan KHK, membawa institusi negara dan Gereja ke dalam polemik yang sulit ditemukan solusinya. 

Bagian II: PANDANGAN UU PERKAWINAN NO.1 TAHUN 1974 
TENTANG PERCERAIAN

UU Perkawinan No.1 Tahun 1974 merupakan kebijakan hukum yang mengatur perkawinan setiap WNI. UU Perkawinan No.1 Tahun 1974 memuat beberapa bagian pokok perkawinan yang penting dan relevan dengan kehidupan WNI, antara lain: Dasar Perkawinan, Syarat-syarat Perkawinan, Pencegahan Perkawinan, Batalnya Perkawinan, Perjanjian Perkawinan, Hak dan Kewajiban Suami Isteri, Harta Benda Dalam Perkawinan, Putusnya Perkawinan Serta Akibatnya, Kedudukan Anak, Hak dan Kewajiban Orangtua dan Anak, Perwakilan, dan beberapa ketentuan tambahan.

Perihal perceraian, secara khusus dipaparkan di dalam UU Perkawinan No.1 Tahun 1974 bab VIII tentang Putusnya Perkawinan Serta Akibatnya. Dalam UU perkawinan sipil, perceraian adalah salah satu bentuk putusnya perkawinan, di samping karena kematian dan keputusan pegadilan. Perceraian sipil mengandaikan adanya cukup alasan yang tidak memungkinkan lagi pasangan suami dan isteri yang mengajukan perceraian untuk hidup bersama secara harmonis. Perceraian sipil hanya dapat diputuskan melalui sidang pengadilan.

Putusnya ikatan perkawinan karena perceraian, menurut UU perkawina  sipil, menimbulkan beberapa akibat, antara lain:
1)      Bekas suami atau isteri yang sudah bercerai, berkewajiban memenuhi kebutuhan anak yang telah dihasilkan dari perkawinan yang gagal tersebut. Jika terjadi perselisihan mengenai hak asuh anak, maka penyelesaian atas persoalan tersebut ditempuh melalui pengadilan.
2)      Biaya pemeliharaan dan pendidikan anak hasil perceraian dibebankan kepada bekas suami. Jika bekas suami ternyata tidak dapat menjalankan tugas ini, maka pengadilan  dapat menentukan bahwa bekas isteri pun turut memikul tanggungjawab yang sama.
3)      Pengadilan dapat mewajibkan bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dan/ atau menentukan suatu kewajiban bagi bekas isteri.


Bagian III: faktor-faktor penyebab perceraian menurut UU Perkawinan No.1 Tahun 1974

Faktor penyebab perceraian menurut UU Perkawinan No.1 1974 terdapat dalam pasal 38 dan 39. Undang-undang perkawinan ini juga menentukan alasan-alasan yang dapat dijadikan dasar untuk perceraian. Di dalam bagian penjelasan pasal 39, dipaparkan bahwa perceraian  dapat terjadi jika:
a. Salah satu pihak berbuat zina, atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi, dan lain
    sebagainya, serta sukar disembuhkan.
b. Salah satu pihak meninggalkan yang lain selama 2 (dua) tahun berturtu-turut tanpa ijin
    pihak yang lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar kemauannya.
c. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara selama 5 (lima) tahun atau hukuman yang
    lebih berat setelah perkawinan berlangsung.
d. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan
    terhadap pihak yang lain.
e. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit yang mengakibatkan tidak dapat
    menjalankan kewajibannya sebagai suami/isteri.
f. Antara suami dan isteri terus-menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak
    ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.


Faktor lain penyebab perceraian adalah tingkat kesadaran perempuan dan perannya dalam masyarakat yang semakin berkembang. Hal ini muncul dengan adanya sosiologi otonom dan intelektual. Timbulnya kesadaran tersebut, menimbulkan peran pembantu dalam rumah tangga mendapat tempat dengan mengurus anak-anak. Selain itu, fasilitas yang tersedia membuat  orang merasa aman bagi dirinya sendiri. Dengan demikian, perhatian dan komunikasi antara suami istri semakin berkurang. Akibat lanjutannya adalah semakin melemahnya kedua pasangan suami dan isteri untuk mempertahankan perkawinan mereka.


Bertambahnya tingkat perceraian turut dipengaruhi oleh beberapa hal, antara lain:
1.      Berkembangnya tingkat kesadaran perempuan terhadap dirinya sebagai individu yang otonom dan bermartabat yang setara dengan pria. Terjadinya Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) dan bentuk penindasan lain terhadap perempuan dalam lingkup RT, tidak membuat perempuan tinggal diam. Penindasan yang berlebihan membuat mereka berani menuntut sebuah perceraian melalui jalur pengadilan.
2.      Jauhnya jarak antara tempat kerja dan tempat tinggal, membuat komunikasi suami-isteri semakin jarang terjadi. Biasanya perceraian yang diakibatkan oleh hal ini banyak terjadi di kota-kota besar.
3.      Dalam konteks Indonesia, kemungkinan adanya perceraian bagi sebuah perkawinan menurut Islam, turut mempengaruhi bertambahnya angka perceraian.


Bagian IV: Perbandingan UU Perkawinan No.1 Tahun 1974 dengan Kitab Hukum Kanonik (KHK) Tentang Perkawinan

Antara hukum Gereja dan hukum negara yang berbicara tentang perkawinan, terdapat kesamaan dan perbedaan. Pada bagian ini, kami bermaksud memaparkan kesamaan dan perbedaan antara hukum Gereja dan hukum sipil tentang perkawinan sebagai tambahan.
1.      Arti dan Tujuan Perkawinan. Secara umum, UU perkawinan sipil (UU Perkawinan No.1 tahun 1974) dan Kitab Hukum Kanonik (KHK) memiliki arti dan tujuan perkawinan yang sama: yaitu ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita yang dimaksudkan untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal didasarkan pada Tuhan Yang Mahaesa (pasal 1). KHK secara spesifik menekankan kebersamaan seluruh hidup antara suami dan isteri (consortium totius vitae), serta kelahiran anak sebagai tujuan perkawinan (Kan. 1055).
2.      Hak dan Kewajiban Suami dan Isteri. UU perkawinan sipil membahas secara khusus hak dan kewajiban suami dan isteri. Paham dasarnya yaitu bahwa baik suami maupun isteri memiliki hak dan kedudukan yang seimbang dalam kehidupan berkeluarga dan bermayarakat. Kendatipun demikian, ada bagian khusus di dalam UU perkawinan sipil yang menyebut suami sebagai kepala keluarga, dan isteri sebagai ibu RT. Dengan pembagian peran semacam ini, UU perkawinan sipil terkesan sangat patriarkis. Padahal, pada saat ini di banyak keluarga, perempuan lebih berperan daripada laki-laki. Bagian ini persis merupakan perbedaan antara UU sipil tetang perkawinan dan KHK. KHK pada dasarnya mengenal dan mengakui prinsip kesetaraan antara suami dan isteri sama seperti UU perkawinan sipil. Kendati demikian, KHK tidak mengenal adanya pemilahan tugas antara suami dan isteri. Konsep “kebersamaan seluruh hidup” (consortium totius vitae)  secara intrinsik memuat kesetaraan antara suami dan isteri.
3.      Sifat Perkawinan: UU perkawinan sipil mengenal asas monogami dalam perkawinan, yaitu bahwa pada dasarnya seorang pria hanya memiliki seorang isteri. Tetapi monogami di dalam UU perkawinan sipil bersifat longgar, sebab masih terbuka kemungkinan bagi seorang suami untuk memiliki isteri lebih dari satu (poligami). Nuansa patriarkis muncul lagi pada pernyataan ini, sebab wanita yang bersuami lebih dari satu (poliandri) tidak dibahas di dalam UU perkawinan sipil. KHK secara tegas menyatakan perkawinan Katolik sebagai perkawinan yang bersifat satu dan tak terceraikan. Perkawinan hanya dimungkinkan bagi seorang pria dan seorang wanita yang bersepakat untuk berjanji setia sehidup semati. Salah satu pasangan hanya diperbolehkan menikah lagi jika pasangan hidupnya meninggal dunia. Baik poligami, maupun poliandri tidak dikenal di dalam KHK.
4.      Halangan Perkawinan: baik UU perkawinan sipil maupun KHK mengenal beberapa hal yang menjadi halangan terjadinya sebuah perkawinan yang sah menurut peraturan hukum yang dijunjung tinggi masing-masing lembaga. Sebagian dari beberapa halangan nikah sebagaimana yang ditentukan oleh UU perkawinan sipil, antara lain: larangan berlangsungnya perkawinan di antara pria dan wanita yang masih terikat hubungan kekeluargaan baik karena hubungan darah maupun hubungan semenda (pasal 8). KHK mengenal beberapa halangan nikah, antara lain: halangan nikah umur (kan.1083), halangan nikah impotensi (kan. 1084), halangan nikah karena ikatan perkawinan (1085), dan halangan nikah beda agama (kan. 1086).
5.      Perceraian: UU perkawinan sipil mengenal istilah perceraian. Topik mengenai perceraian akan dibahas secara khusus pada bagian berikut. KHK tidak mengenal adanya istilah perceraian. KHK mengenal istilah anulasi/pembatalan perkawinan. Anulasi perkawinan hanya dimungkinkan bila sebelum perkawinan disahkan (=diteguhkan), ada beberapa hal yang membuat perkawinan menjadi tidak sah, misalnya karena pasangan suami dan isteri masih berhubungan darah, dan di antara keduanya, salah satu pasangan mengalami gangguan psikis. Konsekuensi lebih lanjut dari tidak diakuinya perceraian di dalam KHK adalah bahwa perceraian yang dilakukan di hadapan sidang pengadilan sipil, oleh Gereja hanya dianggap sebagai perpisahan biasa, tanpa ikatan berkawinan sebelumnya diputuskan. Perpisahan ini tidak membuat pihak-pihak yang bercerai secara sipil mendapatkan pelayanan sakramental oleh Gereja. Pelayanan sakramental dihentikan Gereja, jika masing-masing pasangan menikah lagi (tentu tidak secara Katolik).
 
Bagian V: Tanggapan dan Catatan Kritis

Menurut kami, UU Perkawinan ini mengijinkan perceraian dengan alasan yang terlalu lunak. Seolah-olah perkawinan dapat diputuskan dengan alasan-alasan yang merugikan satu pihak dan menguntungkan pihak lain. Padahal perkawinan merupakan perwujudan komitmen antara dua orang pria dan wanita untuk membentuk suatu rumah tangga seumur hidup. Seharusnya perkawinan ini dapat dipertahankan seumur hidup. Suami-isteri cenderung memilih perceraian ketika masalah menimpa keluarga mereka. Mereka selalu berkata: jika sudah tidak ada kecocokan lagi, untuk apa dipertahankan. Perceraian merupakan jalan terbaik bagi mereka. Padahal pasangan bisa memilih cara untuk mencari solusi permasalahan yang terjadi dalam rumah tangga. Perceraian menurut kami, merupakan suatu keputusan yang egois dari kedua belah pihak yang hanya mementingkan diri sendiri daripada kepentingan bersama sebagai keluarga. Perceraian tidak menyelesaikan masalah, malah menambah masalah. Untuk itu, diperlukan kerja sama dari semua pihak, pemerintah, keluarga, dan masyarakat lain untuk menjaga keutuhan perkawinan. Pasangan suami-isteri harus diberi pengertian tentang makna perkawinan sebelum mereka melangsungkan perkawinan.

No comments:

Post a Comment