Thursday, March 10, 2011

“Perjanjian Arbitrase Sebagai Dasar Suatu Proses Penyelesaian Sengketa Melalui Badan Arbitrase”


1.     Pendahuluan
Semakin berkembangnya bidang-bidang kehidupan masyakarat, termasuk bidang bisnis, berimplikasi besar baik terhadap pranata maupun lembaga hukum. Implikasi terhadap pranata hukum disebabkan sangat tidak memadainya perangkat norma untuk mendukung kegiatan ekonomi dan bisnis yang sedemikian pesat. Kondisi tersebut kemudian diupayakan untuk diatasi dengan melakukan reformasi hukum di bidang kegiatan ekonomi.[1] Berbagai upaya dilakukan melalui pembaharuan atas substansi produk-produk hukum yang sudah tertinggal maupun dengan membuat peraturan perundang-undangan baru mengenai bidang-bidang yang menunjang kegiatan ekonomi dan bisnis. [2]

Lahirnya Undang-undang No. 30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, merupakan suatu bentuk penyesuaian hukum terhadap perubahan-perubahan yang terjadi di masyarakat, khususnya pada sektor bisnis. Perkembangan sektor bisnis yang sedemikian pesatnya membuat pengadilan tidak maksimal dalam menyelesaikan sengketa bisnis.  Banyak hakim pengadilan yang tidak mahir menyelesaikan  sengketa bisnis, tidak independen, bahkan acapkali kehilangan integritas moral dalam menjalankan profesinya.[3] Bagi para pengusaha, sengketa yang memakan waktu yang lama adalah sebuah kerugian besar. Dengan demikian, kehadiran arbitrase secara resmi di Indonesia melalui Undang-undang No. 30 tahun 1999 sangat didambakan karena lebih dapat dipercaya dan sesuai dengan budaya bisnis yang berlaku saat ini.

Agar suatu sengketa dapat diselesaikan melalui arbitrase, diperlukan adanya perjanjian arbitrase. Perjanjian arbitrase dapat disebut sebagai dasar fundamental yang menunjukkan kehendak para pihak untuk menyelesaikan sengketanya melalui forum arbitrase. Dengan adanya perjanjian arbitrase ini, pengadilan tidak memiliki wewenang untuk mengadili sengketa para pihak bersangkutan.  Makalah kecil ini merupakan suatu deskripsi atau gambaran umum mengenai perjanjian arbitrase. Dengan ini penulis memaparkan sejumlah hal yang perlu dimuat di dalam suatu perjanjian arbitrase.

2.     Perjanjian Arbitrase Sebagai Dasar Suatu Proses Penyelesaian Sengketa Melalui Badan Arbitrase
Menurut Pasal 1 ayat 3 (tiga) Undang-undang No. 30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa,[4] perjanjian arbitrase adalah suatu kesepakatan berupa klausula arbitrase yang tercantum dalam suatu perjanjian tertulis yang dibuat para pihak sebelum timbul sengketa, atau suatu perjanjian arbitrase tersendiri yang dibuat para pihak setelah timbul sengketa. Sebagaimana lazimnya sebuah perjanjian, perjanjian arbitrase harus memenuhi syarat sahnya suatu perjanjian.[5] Artinya kata sepakat dalam perjanjian arbitrase tidak boleh cacat atau tidak sah.[6] Syarat utama sah tidaknya perjanjian tersebut adalah apabila hal itu dilakukan dalam rangka penerapan undang-undang, serta perjanjian tersebut harus tertulis. Bentuk perjanjian apapun dianggap memadai, asalkan memenuhi syarat utamanya, yakni ada perjanjian (tertulis) arbitrase, timbal balik menghormati kontrak, dan harus ada pengertian dan tenggang rasa terhadap perjanjian.[7]

2.1. Bentuk-Bentuk Perjanjian Arbitrase
Terdapat dua macam perjanjian arbitrase. Pertama, "agreement to submit future disputes to arbitration," atau lazim dinamakan klausula arbitrase (arbitration clause)[8] sebagai bagian tak terpisahkan dari kontrak utama (principal agreement) para pihak. Kedua, "agreement to submit existing disputes to arbitration" atau secara singkat disebut "submission agreement."[9] Bentuk yang pertama yakni klausula arbitrase (arbitration clause), berkenaan dengan sengketa yang baru akan terjadi di kemudian hari. Oleh sebab itu, rumusan klausula arbitrase tidak selalu dapat dibuat secara rinci, karena belum dapat diketahui sengketa apa yang kelak akan terjadi dan belum diketahui pula bagaimana para pihak akan menyelesaikan sengketa tersebut dengan cara yang paling baik. Bentuk ini disebut dengan pactum de compromittendo. Sebaliknya, model yang kedua adalah submission agreement, berkenaan dengan sengketa yang telah terjadi, sehingga rumusan substansi agreement tersebut dapat disusun secara pasti dan rinci sesuai dengan keadaan sengketanya, sekaligus pula dapat dirancang bagaimana lembaga arbitrase akan menyelesaikan sengketa tersebut. Model yang kedua ini dinamakan akta kompromis.

Kedua bentuk perjanjian arbitrase (agreement to arbitrate) di muka, baik pactum de compromittendo maupun akta kompromis pada dasarnya memiliki tujuan serta konsekuensi hukum yang sama. Artinya, perjanjian arbitrase akan melahirkan kompetensi absolut[10] atau kewenangan mutlak forum arbitrase untuk memeriksa sengketa para pihak. Sebagai konsekuensi hukumnya penyelesaian sengketa dimaksud akan ditarik keluar dari yurisdiksi hakim pengadilan negeri dan selanjutnya menjadi kewenangan forum arbitrase yang dipilih oleh para pihak. Sebaliknya pengadilan negeri menjadi tidak berwenang untuk menyelesaikan sengketa bersangkutan. [11]

Namun demikian, kompetensi absolut forum arbitrase itu dapat gugur serta beralih kembali menjadi kompetensi pengadilan negeri apabila ternyata memenuhi syarat sebagaimana ditentukan di dalam bagian terakhir artikel II ayat (3) Konvensi New York (KNY),[12] yang mengatur bahwa:
"The Court of a Contracting State, when seized of an action in a matter in respect of which the parties have made an agreement within the meaning of this article shall, at the request of one of the parties, refer the parties to arbitration, unless if finds that the said agreement is null and void, inoperative or incapable of being performed.”

Kompetensi forum arbitrase sebagai akibat adanya pilihan jurisdiksi melalui perjanjian arbitrase (agreement to arbitrate), baik melalui klausula arbitrase (arbitration clause) maupun melalui submission agreement, secara implisit diakui dan dinyatakan dalam artikel II ayat (3) Konvensi New York. Bahwa pengadilan dari negara penandatangan konvensi harus merujuk para pihak ke forum arbitrase, menunjukkan betapa akibat adanya pilihan forum pengadilan negeri menjadi tidak berwenang memeriksa sengketa dimaksud, kecuali apabila ternyata dapat dibuktikan bahwa "... the said agreement is "null and void, inoperative or incapable of being performed".[13] Namun demikian kata-kata "the said agreement" dalam artikel II ayat (3) di atas, ternyata tidak ditemukan penjelasannya. Apakah yang dimaksud dengan agreement oleh konvensi adalah kesepakatan para pihak yang dituangkan di dalam kontrak utama (main contract) yang di dalamnya termasuk memuat klausula arbitrase (arbitration clause), ataukah yang dimaksud adalah submission agreement yang dibuat secara terpisah dari kontrak utama.

Berdasarkan pembacaan lebih lanjut, tampaknya agreement sebagaimana dimaksud dalam artikel II (3) Konvensi New York itu bukan agreement dalam arti kontrak utama (main contract) sebagaimana disepakati para pihak, melainkan maksudnya adalah "agreement to arbitrate" atau perjanjian arbitrase. [14] Oleh karena dalam Undang-undang Arbitrase Indonesia yang baru jelas disebutkan bahwa perjanjian arbitrase itu dapat berupa klausula arbitrase (arbitration clause) atau perjanjian tersendiri yang dibuat setelah terjadi sengketa (submission agreement). Atas dasar pemahaman tersebut maka mungkin saja terjadi suatu kontrak utama (main contract) berlaku sah, sedangkan perjanjian arbitrasenya (agreement to arbitrate) "null and void, inoperative or incapable of being performed."

Null and void, dapat diinterpretasikan "... where the arbitration agreement is affected by some invalidity right from the beginning. It would then cover matters such as the lack of consent due to misrepresentation, duress, fraud or undue influence".[15] Sebagai contoh tidak adanya kehendak yang bebas untuk menentukan persetujuan antara kedua pihak. Dapat juga terjadi karena adanya unsur paksaan (duress), penipuan (fraud), atau penyalahgunaan keadaan (undue influence). Undue influence atau misbruik van omstandigheden, dapat terdiri atas dua unsur, pertama, menimbulkan kerugian yang sangat besar dan kedua, menyalahgunakan kesempatan.[16] Kata "inoperative", diartikan bilamana "... the arbitration agreement has ceased to have effect. The ceasing of effect of the arbitration agreement may occur for a variety of reasons. One reason may be that the parties have implicitly or explicitly revoked the agreement to arbitrate.[17] Sebagai contoh misalnya, sengketa yang sama di antara pihak-pihak yang sama pula telah diputus oleh arbitrase atau telah diputus oleh suatu pengadilan tertentu (res judicata atau nebis in idem). Oleh karenanya arbitration agreement itu tidak lagi mempunyai kekuatan mengikat.

Sedangkan kata-kata "incapable of being performed", diartikan bilamana "... the arbitration cannot be effectively set into motion. This may happen where the arbitral clause is too vaguely worded, or other terms of the contract contradict the parties intention to arbitrate.[18] Untuk hal ini umpamanya perjanjian arbitrase disusun dalam kata-kata yang tidak jelas atau tidak lengkap.

2.2. Sejumlah Hal yang Perlu Dimuat di Dalam Perjanjian Arbitrase
Para pihak di dalam suatu perjanjian arbitrase bebas untuk memasukkan ke dalamnya syarat-syarat hukum sesuai dengan kehendaknya, tetapi persyaratan-persyaratan di dalam perjanjian tersebut harus dijabarkan secara jelas dan pasti.[19] Hal-hal yang dijabarkan di dalam perjanjian tersebut minimal memuat: a) para pihak, b) dibuat secara tertulis, c) penjabaran, d) tanda tangan para pihak, e) tempat pembuatan perjanjian, f) publikasi, g) sumber yurisdiksi/independensi, h) sumber otoritas/kedaulatan, i) doktrin ketidaktergantungan (separable doctrine), j) kompetensi, k) sumber hukum, l) sumber prosedur. Khusus pada bagian penjabaran, dimuat hukum yang berlaku (choice of law); lembaga yang menangani (choice of forum); pendapat ahli dapat diterima atau ditolak secara bersama; jika pendapat para ahli ditolak, maka masing-masing pihak menunjuk arbiternya masing-masing.

3.     Penutup
Ada adagium yang mengatakan bahwa “pada saat hukum disahkan, pada saat yang sama hukum tersebut sudah ketinggalan.” Mungkin adagium ini terlalu mendiskreditkan esensi hukum. Tetapi yang perlu dilihat dan diakui kebenarannya bahwa hukum seringkali tertinggal dari perkembangan peradaban umat manusia. Hal ini selaras dengan periode sebelum undang-undang tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian sengketa dipromulgasikan. Perkembangan bisnis yang sedemikian pesat dan permasalahan yang timbul di dalamnya belum dapat sepenuhnya diakomodir oleh produk hukum yang ada pada saat itu. Selain substansi hukum yang belum maksimal dalam mengakomodir persoalan bisnis yang ada, para penegak hukum pun dipandang tidak terlalu memahami dan menyelesaikan sengketa bisnis yang terjadi.

Lahirnya arbitrase secara resmi (melalui Undang-undang Arbitrase dan APS) memberikan nuansa baru di dalam dunia bisnis. Undang-undang Arbitrase dan APS mendefinisikan Arbitrase sebagai cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa. Melalui badan arbitrase dan arbitrase ad hoc, sengketa bisnis dapat diselesaikan secara profesional oleh arbiter-arbiter yang menguasai bidang permasalahan, dan dapat diselesaikan dalam waktu yang relatif singkat.

Salah satu bagian penting dalam arbitrase adalah perjanjian arbitrase. Menurut Undang-undang Arbitrase dan APS, perjanjian arbitrase adalah perjanjian arbitrase adalah suatu kesepakatan berupa klausula arbitrase yang tercantum dalam suatu perjanjian tertulis yang dibuat para pihak sebelum timbul sengketa, atau suatu perjanjian arbitrase tersendiri yang dibuat para pihak setelah timbul sengketa. Melalui perjanjian arbitrase, para pihak memberikan kewenangan penyelesaian sengketanya ke arbitrase. Pengadilan dalam hal ini tidak memiliki kewenangan untuk menyelesaikannya. Para pihak di dalam suatu perjanjian arbitrase bebas untuk memasukkan ke dalamnya syarat-syarat hukum sesuai dengan kehendaknya, tetapi persyaratan-persyaratan di dalam perjanjian tersebut harus dijabarkan secara jelas dan pasti. Perjanjian yang dirumuskan secara jelas dan pasti akan semakin mempermudah penyelesaian sengketa melalui arbitrase.

DAFTAR PUSTAKA

a.      Sumber Buku dan Karangan Ilmiah

Abdurrasyid, Priyatna. Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Segketa (APS)-Suatu Pengantar, (Jakarta: PT Fikahasti Aneska-bekerja sama dengan BANI, 2002)
Harahap, M. Yahya. Arbitrase Ditinjau dari: Rv, BANI Rules, ICSID, UNCITRAL Arb. Rules, NY Convention, PERMA 1 Th. 1990. (Jakarta: Sinar Grafika, 2001)
Rahardjo, Satjipto. Pembangunan Hukum di Indonesia dalam Konteks Situasi Global. Dalam Problema Globalisasi – Perspektif Sosiologi Hukum, Ekonomi, & Agama, (Surakarta: Muhammadiyah University Press, 2000)

Pakpahan, Normin S., “Pembaharuan Hukum di Bidang Kegiatan Ekonomi.” Makalah pada Temu Karya Hukum Perseroan dan Arbitrase; Jakarta, 22-23 Januari 1991

Redfern, Alan, et.al. Law and Practice of International Commercial Arbitration. (London: Sweet & Maxwell, 1991)
Santosa, Mas Achmad. “Independensi Peradilan dan TAP MPR RI No. X/MPR/1998”; Kompas, 11 Januari 1999.

Van den Berg, A.J. The New York Arbitration Convention of 1958 – Towards a Uniform Judicial Interpretation, (The Hague: TMC Asser Institute, 1981)

b.      Peraturan Perundang-undangan

Indonesia. Undang-undang tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, UU No. 30, LN No. 138 tahun 2009, TLN No. 3872, pasal 1 ayat 3.

Keputusan Presiden RI No. 34 Tahun 1981 tanggal 5 Agustus 1981 LNRI Thn. 1981 No. 40.




[1] Satjipto Rahardjo, “Pembangunan Hukum di Indonesia dalam Konteks Situasi Global”; dalam Problema Globalisasi – Perspektif Sosiologi Hukum, Ekonomi, & Agama, (Surakarta: Muhammadiyah University Press, 2000), hlm. 3-19, hlm. 13. Menurut S. Rahardjo, penyesuaian hukum terhadap perubahan di dalam masyarakat memang tidak terlalu terlihat pada tataran perundang-undangan primer, tetapi pada hal itu terlihat secara jelas pada tataran yang lebih rendah. Paket-paket deregulasi tidak terjadi melalui undangundang, melainkan lewat keputusan-keputusan pemerintah. Keadaan tersebut menarik untuk diikuti oleh karena kita tidak tahu sudah sampai seberapa jauh sebenarnya efek dari perkembangan di tingkat bawah itu mempengaruhi penataan hukum nasional.
[2] Normin S. Pakpahan, “Pembaharuan Hukum di Bidang Kegiatan Ekonomi.” Makalah pada Temu Karya Hukum Perseroan dan Arbitrase, (Jakarta, 22-23 Januari 1991): hlm. [29-37] 31.
[3] Mas Achmad Santosa, “Independensi Peradilan dan TAP MPR RI No. X/MPR/1998”; Kompas, 11 Januari 1999.
[4] Indonesia, Undang-undang tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, UU No. 30, LN No. 138 tahun 2009, TLN No. 3872, pasal 1 ayat 3.
[5] Pasal 1320 BW tentang syarat sahnya suatu perjanjian: (i) sepakat mereka yang mengikatkan diri, (ii) kecakapan untuk membuat suatu perikatan, (iii) suatu hal tertentu, dan (iv) suatu sebab yang halal.
[6] Kata sepakat dalam perjanjian arbitrase dianggap cacat apabila mengandung unsur-unsur kekeliruan (dwaling), paksaan (dwang), dan/atau adanya penipuan (bedrog); Lihat juga Pasal 1321 BW.
[7] Priyatna Abdurrasyid, Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Segketa (APS)-Suatu Pengantar, (Jakarta: PT Fikahasti Aneska-bekerja sama dengan BANI, 2002), hlm. 91-92.
[8] “...which deals with disputes which may arise in the future, does not usually go into too much detail, since it is not known what kind of disputes will arise and how they should best be handled.” Alan Redfern & Martin Hunter, Law and Practice of International Commercial Arbitration. (London: Sweet & Maxwell, 1991), hlm. 23.
[9] “...deals with an existing dispute and can be tailored exactly to fit the circumstances and to provide in detail how the arbitral tribunal should deal with the dispute. A submission agreement may take the form of a brief agreement to submit an existing dispute to the procedures of an arbitral institution. Ibid., hlm. 130.
[10] “Mahkamah Agung berpendirian bahwa klausula arbitrase dengan sendirinya berbobot kompetensi absolut, sehingga yurisdiksi mengadili sengketa yang timbul dari perjanjian, dengan sendirinya menurut hukum jatuh menjadi kewenangan absolut Mahkamah Arbitrase (arbitral tribunal). Oleh karena itu, setiap pengadilan menghadapi kasus gugatan yang seperti itu, ada atau tidak ada eksepsi, harus tunduk pada ketentuan Pasal 134 HIR, dan menyatakan dirinya tidak berwenang untuk mengadili.” M. Yahya Harahap, Arbitrase Ditinjau dari: Rv, BANI Rules, ICSID, UNCITRAL Arb. Rules, NY Convention, PERMA 1 Th. 1990. (Jakarta: Sinar Grafika, 2001). Hlm. 87.
[11] Lihat Pasal 3 Undang-undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan APS. Dari Yurisprudensi MA pada waktu yang lalu, sebelum Indonesia memiliki Undang-undang Arbitrase dapat diberikan contoh antara lain: Putusan Mahkamah Agung Nomor 2424 K/Sip/1981 tanggal 22 Februari 1982 dalam kasus Ahju Forestry Company Ltd.; Putusan Mahkamah Agung Nomor 455 K/Sip/1982 tanggal 27 Januari 1983 dalam kasus PT Asuransi Ramayana; dan juga Putusan Mahkamah Agung Nomor 794 K/Sip/1982 tanggal 27 Januari 1983 dalam kasus PT Asuransi Royal Indrapura; Intermanual Himpunan Putusan Mahkamah Agung tentang Arbitrase. Mahkamah Agung, Proyek Yurisprudensi, 1989.
[12] Indonesia mensahkan "Convention on the Recognition and Enforcement of Foreign Arbitral Awards" yang ditandatangani di New York tanggal 10 Juni 1958 dan mulai berlaku tanggal 7 Juni 1959, dengan memakai instrumen ratifikasi berupa Keputusan Presiden RI No. 34 Tahun 1981 tanggal 5 Agustus 1981 LNRI Thn. 1981 No. 40.
[13] A.J. van den Berg, menyatakan “The last part of Article II (3) provides that a court must refer the parties to arbitration unless the arbitration agreement is "null and void, inoperative or incapable of being performed".  A.J. van den Berg, "The New York Arbitration Convention of 1958 – Towards a Uniform Judicial Interpretation, (The Hague: TMC Asser Institute, 1981), hlm. 154.
[14] Sebagaimana disebutkan di dalam pasal 1 ayat (3) Undang-Undang No. 30 Thn. 1999.
[15] A.J. van den Berg, Op. Cit., hlm. 156.
[16] Setiawan, Klausula Arbitrase dalam Teori dan Praktek, dalam Varia Peradilan Tahun IX No. 104, (Mei 1994): hlm. 181.
[17] A.J. van den Berg, Op. Cit., hlm. 158.
[18] Ibid,. hlm. 159.
[19] Priyatna Abdurrasyid, Op.Cit., hlm. 95-96.

No comments:

Post a Comment